Anda di halaman 1dari 3

Nyamuk transgenik, strategi baru

pengontrol Malaria
Sumber: Berita Iptek Topik: Biologi Tags: Malaria, Nyamuk transgenik, Obat anti-
malaria, P. falciparum, P. malariae, P. ovale, Penanggulangan Malaria, Penyakit Malaria,
Plasmodium vivax

Negara-negara tropis dan subtropis, termasuk Indonesia, masih direpotkan oleh penyakit
malaria. Penyakit ini merupakan penyakit yang sudah lama dikenal, namun masih belum
ada penanggulangan yang efektif sampai sekarang. Dari hasil statistik, penyakit ini telah
membunuh satu orang anak Afrika setiap 30 detik. Artinya, 2.880 orang anak Afrika
meninggal setiap hari karena malaria. Di Indonesia sendiri malaria masih tetap menjadi
penyebab utama kematian dan diperkirakan 50 orang menderita malaria per 1.000 orang
penduduk. Kalau Indonesia berpenduduk 200 juta jiwa, 10 juta jiwa diantaranya
menderita malaria. Ini adalah angka yang cukup besar. Karena itu, penyakit malaria ini
juga penyakit yang harus mendapat perhatian serius sebagai salah satu usaha untuk
mencapai “Indonesia Sehat 2010″.

Penyakit Malaria
Kata “malaria” berasal dari bahasa Itali “Mal” yang artinya buruk dan “Aria” yang
artinya udara, sehingga “malaria” berarti udara buruk (bad air). Hal ini disebabkan oleh
karena malaria terjadi secara musiman di daerah yang kotor dan banyak tumpukan air.
Pada tahun 1880 Charles Louis Alphonse Laveran, dokter berkebangsaan Prancis,
menemukan bahwa malaria disebabkan oleh Plasmodium, parasit bersel tunggal.
Beberapa saat kemudian juga ditemukan bahwa penyakit ini menular dari orang ke orang
dengan perantaraan nyamuk Anopheles betina yang memerlukan darah untuk
membesarkan telurnya. Nyamuk perantara ini dalam bidang penyakit menular dinamakan
vektor, dan vektor utama untuk malaria adalah nyamuk Anopheles gambia dan A.
stephensi.
Saat ini diperkirakan 40% dari penduduk dunia mempunyai resiko terhadap malaria.
Malaria ditemukan di daerah tropis dan subtropis, dan menginfeksi lebih dari 300 juta
pasien setiap tahun dan 1 juta diantaranya meninggal dunia. Afrika, kususnya kawasan
sahara bagian selatan, merupakan daerah yang paling riskan, dimana 90% dari kematian
di kawasan ini disebabkan oleh malaria. Kebanyakan yang meninggal adalah anak-anak
yang daya tahan tubuhnya (imun) masih lemah.

Malaria dapat dibagi atas 4 kelompok, yang masing-masingya adalah yang disebabkan
oleh Plasmodium vivax, P. malariae, P. ovale dan P. falciparum. Malaria P. viva dan P.
falciparum adalah malaria yang popular dan P. falciparum sendiri merupakan malaria
yang menyebabkan tingkat kematian paling tinggi. Parasit ini mengidap dan berkembang
biak di tubuh nyamuk, dan masuk ke dalam tubuh manusia melalui darah pada saat
nyamuk Anopheles menggigit manusia. Di dalam tubuh manusia, parasit ini masuk ke
dalam sistim imun, menginfeksi hati dan sel darah merah, dan akhirnya keluar dan
menginfeksi kembali nyamuk pada saat nyamuk menggigit manusia. Di dalam tubuh
nyamuk parasit ini berkembang biak lagi dan menyerang manusia kembali.

Gejala malaria muncul rata-rata 9 sampai 14 hari setelah terinfeksi. Gejalanya berupa
demam panas (fever), sakit kepala (headach), muntah (vomiting) dan gejala-gejala lain
yang mirip dengan gejala flu. Jika tidak diobati atau parasit tersebut resisten terhadap
obat yang diberi, infeksi akan berkembang cepat dan bisa menyebabkan kematian dengan
merusak sel darah merah (anemia), menyumbat kapilari yang membawa darah ke otak
(celebral malaria), atau mengganggu organ tubuh lainnya.

Penanggulangan Malaria

Banyak usaha-usaha yang telah dan tengah dilakukan untuk penanggulangan penyakit
malaria ini. Diantaranya adalah penemuan obat anti-malaria. Obat anti-malaria telah
banyak dikembangkan dan dijual di pasaran, namun kebanyakan tidak efektif. Hal ini
disebabkan karena parasit menunjukan resistensi yang cepat terhadap obat-obat tersebut,
apalagi obat yang dipakai hanya satu jenis saja. Pemakaian obat kombinasi lebih
memperlambat munculnya parasit yang resisten. Selain itu, penemuan dan
pengembangan obat baru juga kurang dilaksanakan karena tidak adanya daya tarik
perusahaan farmasi disebabkan karena tidak adanya keuntungan yang bisa diharapkan.
Tidak adanya keuntungan ini disebabkan penyakit ini adalah penyakit di negara-negara
berkembang yang memiliki daya beli yang rendah.

Usaha lain adalah membasmi nyamuk Anopheles yang menjadi pengantar parasit
malaria. Pembasmian bisa dilakukan dengan pestisida atau menangkap nyamuk dengan
net dan kemudian membunuhnya dengan cara membakarnya. Penggunaan pestisida bisa
menyebabkan munculnya nyamuk yang resisten terhadap pestisida, sehingga tidak
memungkinkan penggunaan pestisida yang sama untuk jangka waktu yang lama. Usaha
pengembangan vaksin untuk pencegahan juga dilakukan, namun sampai saat ini belum
ada vaksin yang bisa digunakan.
Dan cara baru yang tengah diteliti adalah dengan menggunakan nyamuk transgenik.
Nyamuk dibuat sedemikian rupa sehingga nyamuk menjadi tahan terhadap parasit
Plasmodium atau membunuh parasit tersebut di dalam tubuhnya. Teknologi ini lebih
dimungkinkan lagi karena seluruh genom dari nyamuk A. gambiae dan parasit P.
falciparum baru-baru ini berhasil dibaca (Nature 3/10/2002 dan Science 4/10/2002).

Seperti yang dilaporkan oleh grup yang dikepalai oleh Marcelo Jacobs-Lorena dari Case
Wesrtern Reserve University, Amerika Serikat, mereka berhasil membuat nyamuk
transgenik Anopheles stephensi, dimana di dalam usus nyamuk dimasukan gen dari
peptida SM1 yang berfungsi membunuh nyamuk (Nature 23/5/2002). Dari hasil
percobaan ditemukan bahwa gen yang dimasukkan stabil dan menghasilkan peptide SM1.
Dan nyamuk transgenik ini mampu menekan pertumbuhan parasit P. berghei, parasit
yang menyebabkan malaria pada tikus, sampai 94%.

Andrea Crisanti dan koleganya dari Imperial College London, Inggris juga membuat
Anopheles stephensi transgenik dengan mamasukan gen dari elemen Minos (elemen yang
bisa dipindahkan atau transposable element yang berasal dari lalat Drosphila hydei) ke
dalam gen A. stephensi dengan menggunakan gen loncat (jumping gen) transposon
(Science 21/2/2003 dan Nature 22/6/2000). Namun mereka baru menyelidiki kestabilan
gen Minos yang dipindahkan dan efek pemindahan tersebut terhadap kehidupan nyamuk
transgenik.

Selain itu, M. Q. Benedict dkk dari Centers for Disease Control and Preventation (CDC),
Amerika Serikat, telah membuat A. gambiae transgenik dengan mamasukan gen dari
transposable element piggyBac (elemen yang diisolasi dari sel serangga Trichoplusia ni)
ke dalam gen A. gambiae dengan menggunakan transposon (Insect Molecular Biology
no.10, 2001). Tetapi mereka juga baru pada tahap pengujian kestabilan gen yang
dimasukan.
Penelitian nyamuk transgenik untuk pengontrolan malaria ini masih baru. Penelitian ini
baru dimulai sejak tahun 2000, walaupun idenya sudah ada sejak 30 tahun yang lalu.
Walaupun demikian, cara ini cukup memberikan harapan karena seperti yang dibuktikan
oleh Marcelo Jacobs-Lorena dkk, mereka telah berhasil menciptakan A. stephensi yang
bisa membunuh P. berghei.

Tentu saja masih banyak penelitian yang harus dilakukan sebelum penggunaan nyamuk
transgenik ini dilapangan. Masalah yang utama adalah kestabilan gen yang dimasukan di
dalam genom nyamuk tersebut sampai generasi selanjutnya. Ketidakstabilan gen yang
dimasukkan akan mengakibatkan hilangnya sifat transgenik nyamuk. Apalagi setelah
dilepaskan di alam, dimana banyak faktor lingkungan yang akan mempengaruhi
kestabilan gen tersebut. Efek gen yang dimasukan terhadap kehidupan nyamuk juga
merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya. Seandainya gen yang dimasukkan
membuat nyamuk jadi lemah, nyamuk transgenik tidak akan bisa tahan hidup bersaing
dengan nyamuk liar. Masalah-masalah ini tentunya harus dijawab dengan melakukan
penelitian yang cermat, tidak hanya mengenai nyamuk transgenik itu sendiri, tetapi juga
mengenai efek terhadap makhluk hidup yang ada di lingkungannya termasuk manusia.
Penelitian-penelitian semacam ini sangat diharapkan sebelum diaplikasikan di lapangan.

Anda mungkin juga menyukai