Anda di halaman 1dari 19

Tinjauan Yuridis Terhadap Kekuasaan Eksekutif Dalam Konstitusi

Negara Republik Indonesia

NAMA : ANDAP BUDHI REVIANTO

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perbedaan pandangan mengenai lembaga-lembaga negara di

Indonesia selalu menjadi topik pembahasan yang menarik, bahkan UUD

1945 belum memberikan batasan yang jelas antara wewenang lembaga

eksekutif, yudikatif dan legislatif. Fenomena yang terjadi selama empat

dekade terakhir ini menunjukkan kecenderungan pengaturan sistem

bernegara yang lebih berat kepada lembaga eksekutif. Pada saat itu,

posisi presiden sebagai eksekutif dalam sistem presidensiil1 yang tidak

jelas batasan kewenangannya semakin cenderung mendorong kearah

yang negatif, yang dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang.

UUD 1945 memberikan wewenang tertentu kepada presiden dalam

menjalankan tugas pemerintahan. Namun demikian, pemberian

wewenang tersebut tidak diikuti dengan batasan-batasan terhadap

penggunaannya. Soekarno, mantan presiden pertama RI, dalam rapat

1
Dalam sistem presidensiil, kedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintah merupakan
kedudukan yang menyatu dalam jabatan Presiden.

1
pertama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 18 Agustus

1945 menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “UUD Kilat.”2 Hal ini

dikarenakan mendesaknya keinginan untuk memproklamasikan

kemerdekaan pada saat itu sehingga infrastruktur bagi sebuah negara

yang merdeka harus segera disiapkan. Oleh karena itu, hal tersebut

menyebabkan UUD 1945 menjadi UUD yang singkat dan sangat multi

interpretatif. Pada masa damai dan tenteram, upaya politik untuk

mengadakan perubahan terhadap UUD 1945, sebagaimana yang

diamanatkan oleh UUD 1945 sendiri (Pasal 3 juncto Aturan Peralihan,

butir 2), juga tidak diikuti oleh upaya lembaga legislatif untuk membuat

ketentuan lebih lanjut terhadap pasal-pasal dalam UUD 1945. Tidak

banyak pasal dalam UUD 1945 yang telah diatur lebih lanjut dengan

peraturan perundang-undangan di bawahnya dan pasal-pasal yang

mengatur mengenai wewenang presiden sebagai kepala negara

merupakan beberapa diantaranya.

Dalam melaksanakan kekuasaannya, presiden diberikan kekuasaan

yang sangat besar oleh UUD 1945, dimana pada masa awal

pemerintahan, kekuasaan Presiden dalam menjalankan pemerintahan

bukan hanya sekedar berdasarkan Pasal 4, 5 10, 11, 12, 13, 14 dan 15

saja, tetapi juga berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan yang berbunyi:

“Sebelum MPR, DPR dan DPA dibentuk menurut UUD ini, segala

kekuasaannya dijlankan oleh President dengan bantuan sebuh Komite

2
Harun Alrasid, “Membangun Indonesia Baru dengan Undang-undang Dasar Baru (Menanti
Kelahiran Republik Kelima)” dalam Naskah UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR,
(Jakarta: UI Press, 2004), hal. 153.

2
Nasional”3. Sebagai akibat dari ketentuan peralihan tersebut, presiden

dengan sah dapat bertindak sebagai dictator karena bantuan Komite

Nasional sama sekali tidak dapat diartikan suatu pengekangan atas

kekuasaannya.4

Kemudian dalam pelaksanaan pada masa orde baru, ternyata

kekuasaan-kekuasaan lembaga eksekutif ini telah banyak menimbulkan

berbagai masalah yang sampai saat itu masih diwarnai pendapat pro dan

kontra seputar penggunaannya. Hal tersebut dapat disebabkan karena

tiga hal, yakni: Pertama, besarnya kekuasaan presiden tersebut tidak

diikuti dengan mekanisme dan pertanggungjawaban yang jelas. Padahal

hak-hak tersebut sifatnya substansial bagi kehidupan bangsa sehingga

memerlukan adanya kontrol, misalnya pemilihan duta dan konsul,

penentuan susunan kabinet, wewenang untuk menyatakan perang, dan

lain-lain. Kedua, fenomena ketidakpercayaan masyarakat terhadap

pemerintah telah sedemikian besarnya sehingga menimbulkan sensitivitas

dalam tubuh masyarakat terhadap tindakan-tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah, khususnya presiden. Ketiga, berkaitan erat dengan yang

kedua, sensitivitas ini juga didorong oleh tumbuhnya kesadaran

masyarakat dengan sangat cepat dengan dipicu oleh atmosfir reformasi

yang tengah berjalan pada saat ini.

3
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hal. 112.

4
A.K. Pringgodigdo, Kedudukan Presiden Menurut Tiga Undang-undang Dasar Dalam Teori dan
Praktek, (Jakarta: Pembangunan, 1956), hal. 11.

3
Diskusi dan kajian tentang negara di Indonesia pada umumnya

didominasi oleh pendapat kuat yang beranggapan bahwa negara

merupakan sebuah lembaga netral, tidak berpihak, berdiri di atas semua

golongan masyarakat, dan mengabdi pada kepentingan umum.

Kepercayaan yang tulus pada hal ideal ini mungkin yang mendasari

pendapat-pendapat di atas, yang oleh para pejabat negara ini kemudian

diturunkan menjadi jargon-jargon "demi kepentingan umum",

"pembangunan untuk seluruh masyarakat" dan lain sebagainya. Namun

pada kenyataan di lapangan, terjadi banyak hal yang tidak membuktikan

anggapan ideal tersebut. Negara yang identik dengan kekuasaan,

sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup,

dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power). Negara ternyata

juga memiliki kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan sendiri yang

terkadang justru merugikan kepentingan umum.

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa kekuasaan presiden yang

besar yang diberikan oleh UUD 1945 selama masa keberlakuannya,

cenderung dimanfaatkan oleh rezim yang berkuasa untuk kepentingan-

kepentingan politiknya sendiri. Kekuasaan Presiden ini kemudian hanya

menjadi instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan politik golongan

tertentu yang pragmatis sifatnya atau paling tidak mengeliminasi

kepentingan demokratisasi di Indonesia.

Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat

dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi

negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang

4
konsep kekuasaan presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan

negara netral dan paham integralistik, yang biasanya melegitimasi konsep

tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab

kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal

tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi di segala

bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah

saatnya kekuasaan presiden yang sangat besar harus dibatasi.

Setelah dilakukannya perubahan/amandemen terhadap UUD 1945

oleh MPR dalam era reformasi maka kekuasaan-kekuasaan presiden yang

selama beberapa dekade tersebut sangat besar mulai dibatasi.

Pembatasan ini dilakukan guna terciptanya suatu prinsip mekanisme

checks and balances dalam penyelenggaraan negara sehingga

tercerminnya suatu bentuk konsep kedaulatan negara.5

Penulisan ini ingin membahas tentang kekuasaan Presiden RI,

khususnya kekuasaannya sebagai Kepala Negara. Kekuasaan sebagai

kepala negara oleh beberapa pakar hukum tata negara dikonsepkan

secara berbeda-beda. Padmo Wahjono salah satunya menyatakan

kekuasaan presiden sebagai kepala negara secara sempit, sebagaimana

disebutkan dalam UUD 1945 Pasal 10, 11, 12, 13, 14, 15 dan peraturan

perundang-undangan dalam hal pengangkatan-pengangkatan, adalah

kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau

5
Prinsip Checks and Balances merupakan implikasi diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan
(separation of power) antar tiga cabang kekuasaan yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk
saling mengawasi, mengontrol dan mengimbangi secara sederajat satu sama lain.
Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press,
2005), hal. 73 dan 235.

5
merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau advis suatu

lembaga tinggi negara lainnya.6 Konstitusi sebagai aturan dasar atau

pokok dasar dalam berkehidupan di suatu negara memberikan suatu

kontribusi sebagai kontrak sosial dalam berketatanegaraan.

Penyerahan kedaulatan oleh rakyat melalui perwakilannya kepada

penguasa harus dibuat aturan-aturan main yang jelas sehingga

diharapkan penguasa memberikan kepastian hukum dalam melaksanakan

kekuasaannya agar tidak disalahgunakan. Peran saling kontrol dan antar

lembaga eksekutif dan legislatif diharapkan membawa sistem presidensiil

UUD 1945 lebih menjamin pemerintahan yang stabil.7 Hukum bukanlah

sekedar bunyi aturan. Hukum mencakup juga kenyataan. Bahkan

kenyataaan (law in action) dapat mengesampingkan aturan hukum yang

bersifat formal (law in books).8

Arus globalisasi yang kian cepat bergerak menyebabkan ekskalasi

kondisi politik, ekonomi, sosial dan lain-lain juga senantiasa berubah

mengikuti perkembangan mutakhir. Hal ini juga mewajibkan untuk

menyesuaikan ketentuan hukum yang berlaku sehingga tetap berfungsi

secara wajarbaik sebagai instrument penjaga ketertiban maupun sebagai

pendorong perubahan untuk mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran

dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Hal ini pun tidak menutup pula

terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan. Pergeseran

6
Padmo Wahyono, “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan Atas Hukum” dalam Politik Hukum
Tata Negara Indonesia, diedit oleh Hendra Nurtjahjo, (Jakarta: PSHTN UI, 2004), hal. 88.
7
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH-UII Press, 2004), hal. 6.

8
Ibid, hal. 9

6
kekuasaan antara eksekutif dan legislatif makin terjadi untuk

menciptakan tatanan kehidupan bernegara yang demokratis. Makalah ini

mencoba berfokus menguraikan kekuasaan lembaga eksekutif. Dengan

demikian, dalam makalah ini akan memaparkan dan menganalisis

bentuk-bentuk/macam-macam kekuasaan Presiden selain sebagai Kepala

Negara juga sebagai Kepala Pemerintahan, yang secara normatif

didasarkan pada UUD 1945.

Pokok Permasalahan dan Tujuan Penulisan

Sehubungan dengan apa yang telah dijelaskan diatas maka dalam

penulisan ini terdapat beberapa permasalahan yang dianggap mendasar

bagi pelaksanaan kekuasaan presiden tersebut, yaitu:

• Apa saja macam kekuasaan presiden RI dalam hukum positif

Indonesia berdasarkan UUD 1945 pasca amandemen?

• Sistem dan mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mengurangi

kecenderungan penyimpangan kekuasaan dari pelaksanaan

kekuasaan tersebut?

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

• Memberikan gambaran tentang konsep-konsep dan dasar hukum

kekuasaan presiden RI.

• Menganalisis secara konseptual mekanisme pelaksanaan kekuasaan

presiden RI yang terdapat dalam hukum positif di Indonesia.

• Mengemukakan rekomendasi terhadap batasan-batasan

pelaksanaan kekuasaan presiden RI di masa mendatang.

7
8
BAB II

PEMBAHASAN

Sejak beralihnya suatu rezim dari otoritarianisme ke demokrasi

telah mengalami perubahaan tatanan politik yang diformat dalam tatanan

yuridis ketatanegaraan maka pada tahap inilah pendekatan yuridis

terhadap politik melahirkan hukum tata negara atau yang disebut sebagai

hukum konstitusi.9 Hukum konstitusi merupakan hukum yang mendasari

seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.10 Dengan demikian,

politik hukum tentang tatanan bernegara bangsa Indonesia termuat

dalam konstitusi sehingga dapat dikatakan bahwa tatanan kehidupan

politik yang beradab dan demokratis harus dimulai dan dikonstruksikan

dalam konstitusi (everything is started from the letters of constitution).

UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis Negara Republik Indonesia

merupakan suatu dokumen hukum dan hukum dasar yang harus

dijadikan pegangan dalam prinsip penyelenggaraan bernegara.11 Sebagai

dokumen hukum, UUD 1945 merupakan suatu pernyataan kontrak sosial

antara rakyat dengan penguasa. Sedangkan sebagai hukum dasar, UUD

9
Hendra Nurtjahjo, Politik Hukum Tata Negara Indonesia, (Depok: PSHTN UI, 2004), hal. ix.

10
Ibid., hal. x.

11
Konstitusi dapat dikatakan hukum dasar yang tertulis yang lazim disebut UUD dan dapat pula tidak
tertulis. Menurut Jimly Asshiddiqie, UUD sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma
hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek
penyelenggaraan Negara sehari-hari, termasuk kedalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit
constitustionel) suatu Negara. Baca Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
(Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hal. 35.

9
1945 merupakan basic rule dalam proses kehidupan berketatanegaraan

bagi tiap-tiap lembaga kekuasaan yang menjalankan fungsinya masing-

masing menurut prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power).

Diantara ketiga lembaga kekuasaan yang menyelenggarakan negara

tersebut, terdapat satu lembaga negara yang berfungsi menjalankan

pemerintahan yaitu lembaga eksekutif. Lembaga ini lazim dikenal sebagai

kepresidenan. Menurut Jimly Asshiddiqie bahwa yang dimaksud dengan

lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi jabatan yang

dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945 berisi dua jabatan,

yakni Presiden dan Wakil Presiden.12 Oleh sebab itu, pemerintahan

Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 sering dikatakan menganut

sistem presidensiil.

Sistem presidensiil ini pun sifatnya tidak murni karena bercampur

baur dengan elemen-elemen sistem parlementer. Percampuran itu

tercermin dalam konsep pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, yang

termasuk kedalam pengertian lembaga parlemen. Dengan demikian, UUD

1945 menetapkan adanya fungsi sistem pemisahan kekuasaan sebagai

adanya mekanisme kontrol antara kedua lembaga tersebut agar tercipta

dan terselenggaranya pemerintahan yang kuat dan stabil.

12
Jimly Asshidiqqie, ibid., hal. 209.

10
Bahwa sistem UUD 1945 menghendaki suatu penyelenggaraan

pemerintahan yang kuat dan stabil. Untuk mencapai maksud tersebut,

UUD 1945 menggunakan prinsip-prinsip:13

1. Sistem eksekutif tunggal bukan kolegial. Dengan sistem ini

penyelenggaraan dan kendali pemerintahan ada pada satu tangan,

yaitu Presiden.14

2. Presiden adalah penyelenggaraan pemerintahan (chief executive),

disamping sebagai kepala negara (head of state).

3. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, melainkan kepada.

MPR.15

4. Selain wewenang administrasi negara, Presiden mempunyai

wewenang mandiri dalam membuat aturan-aturan untuk

menyelenggarakan pemerintahan (disamping wewenang yang

dilakukan bersama DPR membuat undang-undang).16 Bahkan

dengan alasan kegentingan yang memaksa, Presiden dapat

menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-

Undang.17

13
Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensiil bertujuan untuk
memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh Negara Republik
Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri negara pada tahun 1945. Lihat Ni’matul Huda, op.cit., hal.
145.
14
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 4 ayat (1).
15
Berdasarkan perubahan ketiga, President tidak bertanggung jawab baik kepada DPR maupun
MPR. Ketentuan ini akan lebih memperkuat kedudukan Presiden.
16
Indonesia, UUD 1945, Pasal 5 jo Perubahan Pertama, 1999.

17
Ibid., Pasal 22.

11
5. Presiden dapat menolak mengesahkan rancangan undang-undang

yang telah disetujui DPR. Hak tolak ini bersifat mutlak tanpa suatu

mekanisme balances. Untuk menunjukan kehendak DPR sebagai

perwujudan kedaulataan rakyat adalah yang supreme mestinya

disediakan klausula untuk meniadakan penolakan Presiden

(Pembatasan telah diatur dalam Perubahan Kedua, Pasal 20 ayat

5).18

Dalam praktek, sebelum perubahan UUD 1945, kedudukan

konstitusional Presiden makin kuat karena: Pertama, berkembangnya

paham yang memberikan status tersendiri kepada Presiden sebagai

Mandataris di samping sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

Perkembangan Pemahaman ini didasarkan kepada bunyi Penjelasan UUD

1945 yang menyebutkan Presiden adalah Mandataris MPR.19 Dengan

paham ini, diterima pula pandangan bahwa Presiden bertanggung jawab

kepada MPR karena sebagai Mandatarisi MPR. Disebutkan dalam

penjelasan UUD 1945 : “Presiden yang diangkat oleh Majelis.” Paham

yang menempatkan mandataris sebagai institusi sendiri merupakan

perluasan yang berlebihan. Yang dimaksudkan “mandataris” dalam

Penjelasan adalah hanya sekedar menegaskan bahwa Presiden yang

dipilih MPR menjalankan fungsi sebagai mandataris atau pemegang

mandat MPR, sehingga harus tunduk dan bertanggung jawab kepada

18
Ibid., Pasal 21 jo. Perubahan Kedua, 2001.

19
Lihat Penjelasan UUD 1945 : “Ia ialah ‘Mandataris’ dari Mejelis”

12
MPR. Jadi, sebutan mandataris melekat pada jabatan Presiden sebagai

penyelenggara pemeritahan, bukan sebagai pranata tersendiri.

Kedua, Presiden dilekati dengan berbagai kewenangan khusus

seperti sebagai penyelenggara pembangunan. Dengan ini seolah-olah

Presiden mempunyai kualifikasi kewenangan lain selain sebagi

penyelenggara pemerintah. Sedangkan penyelenggara pembangunan oleh

Pemerintahan (Presiden) tidak lain dari fungsi pemerintahan itu sendiri

yaitu menyelenggarakan pemerintahan untuk mewujudkan tujuan

membentuk pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia

dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial.20

Ketiga, Kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi Angkatan

Bersenjata (sekarang: TNI dan POLRI) diberi pengertian sebagai

kewenangan efektif, bukan sekedar simbolik. Memang terdapat dua

pandangan mengenai kedudukan Presiden (kepala negara) sebagai

pimpinan teritnggi angkatan perang. Pandangan pertama

menganggapnya sebagai bersifat simbolik untuk menunjukan bahwa

militer ada di bawah kendali pemerintahan sipil.21 Pandangan lain

mengatakan bahwa kedudukan Presiden sebagai pimpinan tertinggi

20
Lihat TAP Nomor VI/MPR/1983 jo. TAP MPR Nomor V/MPR/1998, dan TAP MPR No.
XIII/MPR/1998.

21
Yuddy Chrisnandi, Reformasi TNI: Perspektif Baru hubungan Sipiul-Militer di Indonesia, (Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2005), hal. 98 dan 109.

13
angkatan bersenjata atau angkatan perang tidak hanya simbolik, tetapi

efektif. Presiden dengan kuasa sendiri dapat mengerahkan angkatan

perang untuk melakukan tindakan tertentu.

Dari uraian di atas terlihat bahwa kuatnya kekuasaan Presiden

(pemerintah) dalam penyelenggaraan negara bukan sekedar fakta,

melainkan sebagai suatu yang inheren dengan sistem UUD 1945 beserta

praktek ketatanegaraannya. Untuk menghindari keadaan “excessive”

kekuasaan Presiden yang besar tersebut, dapat dikembangkan beberapa

cara sebagai suatu praktek ketatanegaraan, antara lain :

• Menjadikan BP MPR sebagai badan sehari-hari yang melakukan segala

tugas MPR yang tidka sedan bersidang, kecuali wewenang menetapakn

perubahan UUD, menetapakan GBHN, dan meminta

pertanggungjawaban Presiden. Tugas-tugas pengawasan

konstitusional lainnya terhadap Presiden termasuk memperingatkan

Presiden mengenai tugas-tugas konstitusionalnya dan berbagai tugas

lain dapat dilaksanakan BP MPR. Meskipun DPR mempunyai wewenang

pengawasan, pengawasan sehari-hari oleh MPR sendiri mempunyai arti

hukum, politik, atau psikologis yang lebih kuat dari DPR, karena

Presiden untergeordnet terhadap MPR sehingga ada unsur “atasan dan

bawahan”. Sedangkan dengan DPR, Presiden neben. Artinya tidak

tunduk dan tidak bertanggung jawab kepada DPR.22

22
Dengan perubahan hubungan antara Presiden dan MPR akibat perubahan UUD 1945, pandangan
ini tidak lagi relevan, kecuali dalam rangka mencegah Presiden dan Wakil Presiden melakukan
pelanggaran sebagaimana ditentukan Pasal 7 A UUD 1945.

14
• Penggunaan secara lebih efektif wewenang DPR untuk mengawasi

Presiden baik yang bersifat preventif maupun repsesif. Hak-hak kontrol

DPR harus dapat digunakan dengan tata cara yang lebih sederhana

dan mudah, tidak berbelit-belit yang disertai persyaratan-persyaratan

yang tidak mudah diwujudkan. Namun demikian, pelaksanaan fungsi

kontrol harus dilakukan dengan memperhatikan bentuk pemerintahan

presidensial yang harus stabil, kekuasaan ekslusif Presiden yang

dijamin UUD, dan “beleid” sebagai suatu kebebasan bertindak atas

dasar “doelmatigheid” dan bukan “rechtmatigheid” belaka.

• Hak anggaran DPR harus dapat digunakan secara lebih efektif sehingga

seluruh aspek penyelenggaraan anggaran diketahui dan tunduk pada

kehendak DPR.

• Menciptakan praktek-praktek Checks and Balances secara lebih luas

antara Presiden dengan alat perlengkapan negara lainnya. Hal ini

dapat dilakukan antara lain :

a. Lebih mengefektifkan fungsi badan peradilan untuk menguji segala

peraturan perundang-undangan, keputusan, atau tindakan

pemerintahan terhadap UUD.

b. Lebih mengefektifkan DPA dengan mensyaratkan kewajiban

Pemerintah untuk berkonsultasi dengan DPA sebelum suatu

keputusan atau tindakan tertentu ditetapkan23 (DPA ditiadakan

berdasarkan perubahan keempat UUD 1945)

23
Berdasarkan perubahan keempat UUD 1945 maka DPA ditiadakan.

15
c. Hasil pemeriksaan BPK tidak hanya sebagai naskah untuk

disampaikan kepada DPR atau kepada Presiden, tetapi dapat secara

langsung diteruskan kepada pihak yang berwenang agar diadakan

penyidikan dan penuntutan apaabila menemukan tindakan di bidang

keuangan yang dapat dipidana atau dapat dikenai suatu tindakan

administrasi24

24
Pasal 3 Undang-undang Nomor 5 tahun 1973, menyebutkan “Apabila suatu pemeriksaan
mengungkapkan hal-hal yang menimbulkan sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan
keuangan negara, maka Badan Pemeriksaan Keuangan memberitahukan persoalan tersebut kepada
Pemerintah.”

16
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Memahami Undang-undang

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dalam “Jurnal

Legislasi Indonesia” Vol 1, No. 2 September 2004.

Alrasid, Harun. “Membangun Indonesia Baru dengan Undang-

undang Dasar Baru (Menanti Kelahiran Republik Kelima)” dalam Naskah

UUD 1945 Sesudah Empat Kali Diubah oleh MPR. Jakarta: UI Press, 2004.

Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Arinanto, Satya. “Perubahan Undang-undang Dasar 1945,” makalah

disampaikan dalam Seminar Nasional Tinjauan Kritis Terhadap Perubahan

Keempat UUD 1945 yang diselenggarakan FH Universitas Trisakti,

Jakarta, 15 Agustus 2002.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:

Konstitusi Press, 2005.

_______. “Pergeseran-pergeseran Kekuasaan Legislatif dan

Eksekutif” dalam Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Diedit

oleh Zainal A.M Husein, Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

_______. “Pembentukan dan Pembuatan Hukum” dalam Hukum

Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi. Diedit oleh Zainal A.M Husein.

Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

______. Kapita Selekta Teori Hukum: Kumpulan Tulisan Tersebar,

(Jakarta: FHUI, 2004

17
Biro Humas dan Hubungan Luar Negeri Departemen Hukum dan

HAM. Terjemahan Konstitusi Negara Asing. Jakarta: Depkeh & HAM,

2004.

Chrisnandi, Yuddy. Reformasi TNI: Perspektif Baru hubungan Sipiul-

Militer di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3ES, 2005.

Dicey, A.V. An Introduction to the Study of The Law of The

Constitution. ELBS, 1968.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2005.

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

Indonesia. Undang-undang tentang Perjanjian Internasional. UU No.

24 Tahun 2000. LN Tahun 2000 No. 185. TLN No. 4012.

Indonesia. Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan. UU No. 10 Tahun 2004, LN Tahun 2004 No. 53.

TLN. 4389.

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional.

Bandung: Bina Cipta, 1990.

Manan, Bagir. Kekuasaan Presiden. Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

______. Teori dan Politik Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press,

2004.

Nurtjahjo, Hendra. Politik Hukum Tata Negara Indonesia. Depok:

PSHTN UI, 2004

18
Pringgodigdo, A.K. Kedudukan President Menurut Tiga Undang-

undang Dasar Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Pembangunan, 1956

Wahyono, Padmo. “Indonesia ialah Negara yang Berdasarkan Atas

Hukum” dalam Politik Hukum Tata Negara Indonesia, diedit oleh Hendra

Nurtjahjo. Jakarta: PSHTN UI, 2004.

_______. Ilmu Negara: Kuliah-kuliah pada Fakultas Hukum

Universitas Indonesia. Disusun oleh Teuku Amir Hamzah, dkk. Jakarta:

Indo Hill-Co, 2003.

19

Anda mungkin juga menyukai