Anda di halaman 1dari 9

1.1.

Definisi Istihsan
Menurut bahasa, istihsan ialah mengembalikan sesuatu kepada yang baik.
Menurut istilah, istihsan ialah mengecualikan (memindahkan) hukum
suatu peristiwa dari hukum peristiwa lain sejenisnya dan memberikan kepadanya
hukum yang lain karena ada alasan yang kuat bagi pengecualian tersebut.
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni
menhitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan (Kamus Lisan Al-Arab).
Menurut istilah ushul, yaitu memperbandingkan, dilakukan oleh mujtahid
dari kias jalli (jelas) kepada kias khafi (yang tersembunyi).
Menurut istilah ulama ushul, istihsan adalah sebagai berikut :
Istihsan ialah meninggalkan hukum yang kuat yang telah ditetapkan pada
suatu kejadian berdasarkan dalil syara’ menuju (menetapkan) hukum yang lain
yang lebih kuat dari kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang
mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan.
 Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustafha juz I : 137,
“Istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid
menurut akalnya.
 Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam Mazhab Al-Maliki berkata,
“Istihsan adalah pengambilan suatu kemashlahatan yang bersifat
juz’i dalam menanggapi dalil yang bersifat global.”
Dalam praktiknya, istihsan dimaksudkan sebagai upaya meninggalkan
qiyas yang jelas (jalli) menuju qiyas yang samar (khafi) atau merajihkan
ketentuan hukum yang khusus (juz’i) dari ketentuan yang umum (kulli) karena ada
dalil lain yang menguatkan.
Dalam pengertian di atas, dapat diketahui bahwa untuk menentukaan dalil
yang termasuk istihsan, maka paling tidak terdapat dua ciri sebagai berikut :
1. Adanya anggapan pemakaian qiyas yang ‘illat-nya samar dari qiyas yang
illat-nya jelas. Misalnya, dalam hadits tidak diperbolehkkan menjual harta
wakaf, namun karena alasan tertentu, seperti fungsi wakaf tidak ada, maka
harta itu boleh dijual oleh kemashlahatan lain.

1
2. Mengecualikan sesuatu dari hukum yang umum. Misalnya, Islam
melarang transaksi yang belum tahu waktunya. Namun, berdasarkan
istihsan, Islam memberikan dispensasi dengan transaksi salam (pesanan)
dan istisna’ (membuat barang setelah terjadi transaksi).

1.2. Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama


1. Ulama Hanafiyah
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan
istihsan. Begitu pula dalam keterangannya yang ditulis dengan beberapa kitab
Ushul , yang menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan,
dalam beberapa kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang
menyangkut istihsan.

2. Ulama Malikiyah
Asy-Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang
kuat dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah.
Bagitu pula menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Maliki sering berfatwa dengan
menggunakan istihsan,

3. Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kali Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah
mengakui adanya istihsan, sebagaimanaa dikatakan oleh Imam Al-Amudi dan
Ibnu Hazib. Akan tetapi, Al-Jalal Al-Mahalli dalam kitab Syarh Al-Jam’ Al-
Jawwami’ mengatakan bahwa istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama
yang lain mengingkarinya termasuk di dalamnya golongan Hanabilah.

4. Ulama Syafi’ih
Golongan Al-Syafi’i secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan
mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan
tidak menggunakannnya sebagai dalil.

2
Imam Syafi’i berkata : “Barangsiapa yang menggunakan istihsan berarti ia
telah membuat syari’at.“
Beliau juga berkata, “Segala urusan itu telah diatur oleh Allah SWT,
setidaknya ada yang menyerupainya sehingga diri dibolehkan menggunakan
qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.”

1.3. Kedudukan Istihsan Sebagai Sumber Hukum Islam


Para ulama berbeda pendapat, terutama dalam hal kedudukan istihsan ini.
Imam Abu sebagai sumber hukum Islam tersendiri, termasuk sebagian Malikiyah
dan Hambaliyah juga berpendapat demikian. Sedangkan Imam Syafi’i
menolaknya dengan ungkapannya “Maan istahsana faqad syara’a fid din”
Barangsiapa yang membuat istihsan, maka sungguh ia membuat hukum syara’
tersendiri dalam agama.
Pada dasarnya istihsan bukanlah sumber hukum syara’ tersendiri, bukan
pula sebagai hukum tersendiri, melainkan suatu metode yang menggunakan dalil
khafi dari pada dalil jalli berdasarkan adanya dalil lain.

1.4. Macam-Macam Istihsan :


Ditinjau dari segi pengertian istihsan menuru ushul fiqh di atas, maka
istihsan itu terbagi atas dua macam, yaitu sebagai berikut :
1. Memindahkan hukum dari qiyas jalli ke qiyas khafi.
Contohnya :
Menurut ketentuan fiqih, air liur binatang buas yang dagingnya haram
dimakan, seperti harimau, singa, dan sebagainya termasuk najis. Kalau binatang
itu menjilat air, air bekas minumnya menjadi najis kalau air itu jumlahnya sedikit.
Hal ini, karena ailr liurnya diqiyaskan dengan daging berdasarkan qiyas jalli.
Namun, burung buas, seperti elang yang menggunakan paruhnya untuk minum
sehingga lidahnya tidak terkena air, air bekas minumnya tidak termasuk air
mutanajis berdasarkan qiyas khafi.
Menurut ahli-ahli fiqih mazhab Hanafi, sisa yang dimakan oleh binatang
buas seperti burung garuda, burung gagak, burung elang, burung bazi, hadaah

3
(elang yang putih kepalanya) burung rajawali. Sekalipun suci dan baik namun
dianggap najis secara kias.
Bentuk kias : Sisa yang dimakan oleh binatang yang haram dagingnya itu
seperti binatang buas yang menekam binatang ternak. Umpamanya macam tutul,
harimau belang, dan serigala. Sisa yang dimakannya itu mengikut kepada hukum
dagingnya.
Bentuk istihsan : Burung buas itu, haram dagingnya. Selain dari itu air ludah
yang keluar dari dagingnya, bukan bercampur dengan sisa yang dimakannya itu.
Burung itu minum dengan paruh, padahal paruhnya itu adalah tulang yang bersih.
Adapun binatang buas itu minum dengan lidahnya bercampur dengan air
ludahnya. Dalam hal ini dianggap najis sisa-sisa barang yang dimakannya itu.

2. Perpindahan hukum dari hukum yang bersifat umum ke hukum


pengecualian.
Contoh :
Menurut ketentuan fiqih bahwa orang yang menerima amanah tidak dapat
dituntut untuk mengganti kerugian akibat rusaknya benda yang diamanahi,
terkecuali kalau kerusakan itu disebakan kesengajaan atau kelalaian dari beberapa
orang yang bersama-sama mengambil upah. Kalau kerusakan benda yang
diupahkan itu disebabkan keadaan yang tidak diduga-duga, mereka tidak dituntut
mengganti berdasarkan istihsan.
Pemahaman ahli ushul fiqh mendefinisikan istihsan berdasarkan alasan
untuk mengecualikan tersebut, Dalam hal ini, istihsan dibagi menjadi istihsan-
qiyas dan istihsan-darurat.

 Istihsan Qiyas
Istihsan qiyas ialah mengecualikan hukum suatu persoalan dari hukum
yang ditetapkan oleh qiyas yang lahir dan mudah diterima pikiran menuju hukum
lain berdasarkan qiyas lain yang lebih halus dan rumit daripada qiyas pertama,
tetapi qiyas lebih kuat dasarnya dan lebih tepat. Istihsan qiyas sering disebut
dengan qiyas yang samar (Al-Qiyasul Khafi). Pada hakikatnya, istihsan tersebut

4
merupakan hasil usaha mencari segi-segi kekuatan salah satu qiyas dari beberapa
qiyas yang paling berlawanan mengenai suatu persoalan. Jadi, istihsan tersebut
termasuk dalam persoalan qiyas.
Sebagai contoh istihsan qiyas ialah persoalan titipan dan utang dalam
gambaran berikut :
Menurut aturan pokok yang telah disepakati, seseorang harus
bertanggung jawab atas pengakuannya dalam hubungannya dengan hak dirinya
sendiri, bukan dalam hubungannya dengan hak orang lain. Jadi, kalau ia
memberikan pengakuan bahwa dia bersama saudaranya mempunyai sejumlah
utang tertentu, ia harus melunasinya sebesar yang diakuinya dari jumlah tersebut,
sedangkan saudaranya tidak dapat dipaksa memenuhi selisih utang tersebut
apabila ia mengingkarinya.

 Istihsan Darurat
Istihsan darurat ialah penetapan suatu hukum yang menyimpang dari
hukum yang ditetapkan oleh qiyas karena keadaan darurat (terpaksa) atau
kepentingan tertentu yang mengharuskan adanya penyimpangan tersebut untuk
menghadapi keadaan yang mendesak atau menghindarkan kesulitan. Jadi istihsan-
darurat terwujud manakala penerapan hukum yang didasarkan atas qiyas atau
suatu persoalan akan menimbulkan kepincangan dan ketidakadilan. Untuk
menghindari hal ini, dengan mendasarkan kepada istihsan, hukuum yang
ditetapkan oleh qiyas harus ditinggalkan dan memakai hukum yang lain.
Jadi, istihsan dalam keadaan semacam ini merupakan suatu cara
(jalan) bagi para fuqaha untuk menetapkan hukum-hukum yang didasarkan atas
pertimbangan kemashlahatan yang sesuai dengan logika hukum Islam (fiqih) dan
maksud-maksud syari’at bila penerapan qiyas akan menimbulkan hasil yang salah.
Sebagai contoh istihsan-darurat ialah melakukan pembayaran untuk
orang lain dari uang sendiri. Dalam salah satu aturan pokok hukum Islam, kalau
“A” melakukan pembayaran untuk kepentingan “B” dari uangnya sendiri, tanpa
diperintahkan sebelumnya, seperti untuk memberikan belanja orang-orang yang
menjadi tanggungan “B” atau untuk melunasi utangnya, dan sebagainya, “A”

5
dianggap sebagai pemberi sedekah (mutabbari), baik diniatkan memberi sedekah
atau tidak, dan baginya tidak boleh menuntut uang pengganti dari “B”, kecuali
kalau “A” melakukan pembayaran tersebut karena terpaksa, misalnya “A” harus
menebus barang yang digadaikan oleh “B” untuk jaminan utangnya (“B”) atas
persetujuan “A” karena “B” tidak mampu menebusnya. Jadi, disini terdapat
barang yang dipinjamkan untuk digadaikan dan pembayaran oleh “A” disini
bukan sebagai pemberian sedekah.

‫من ا ستحسن فقد شرع‬


Artinya :
“Barangsiapa yang mempergunakan istihsan,
sesungguhnya ia membuat syari’at baru.”

1.5. Argumentasi Masing-masing Madzhab


1. Golongan yang berpegang pada istihsan mengemukakan beberapa
argumentasi dan yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
 Penelitian terhadap nash-nash syari’at membuktikan bahwa syar’i
yang bijaksana pun memindahkan sebagian peristiwa hukum dan
ketentuan qiyas atau keumuman hukum kulli, kepada ketentuan
hukum lain karena akan menarik atau menolak mafsadah.
Misalnya, Allah SWT mengharamkan bangkai darah dan daging
babi, kemudian memindahkan ketentuan hukum kulli (haram itu)
menjadi tidak haram bagi orang yang dalam keadaan terdesak
(darurat). Semoga hukum rukhsah merupakan perpindahan dari
hukum ‘azimah.

2. Golongan yang menolak istihsan, yaitu dipelopori Imam Syafi’i


mengemukakan argumentasi seperti yang diungkapkannya dalam
kitabnya Ar-Risalah sebagai berikut :
“Setiap peristiwa hukum yang dijumpai seseorang mulim
memiliki ketentuan hukum yang pasti dan terdapat petunjuk

6
tentangnya. Kewajiban kaum muslimin untuk mengikuti ketentuan
hukum menurut kenyataannya terhadap peristiwa hukum yang
dihadapinya. Apabila terhadap peristiwa itu, tak ada ketentuan
hukumnya secara khusus, ia wajib mencari dalil menurut jalannya
yang benar dengan berijtihad dan ijtihad itu bersifat qiyasi.”
Contohnya :
Yang dituntut dari seorang muslim untuk diikutinya, adalah hukum
Allah atau hukum Rasul-Nya atau hukum yang diqiyaskan dari hukum
hukum Allah dan Rasulnya. Hukum yang ditetapkkan dengan istihsan oleh
mujtahid adalah hukum buatan (wad’i) bukan hukum syar’i. Hukum ini
dibentuk atas dasar mencari yang enak dan menuruti selera. Seorang
muslim tidak pernah diperintahkan mengikuti hukum selera dan hawa
nafsu.

7
USHUL FIQH

ISTIHSAN

Oleh :

Kelompok : 10 (Sepuluh)
Nama : 1. Devi Maryati (10 21 0040)
2. Febri Diana Yofar (10 21 0056)

Dosen Pembimbing :
Syaiful A., M. H.I.

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG
2011

8
Daftar Pustaka

Drs. H. Burhanuddin, M. Ag. 2000. Fiqih Ibadah. Bandung : Pustaka Setia


Muhammad Muslih, M. Ag. 2007. Fiqih. Bogor : Yudhistira
Prof. Dr. Rachmat Syaffe’i, MA. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung :
Pustaka Setia
Syekh Abdul Wahab Khallaf (Terj.). 1995. Ilmu Ushul Fikih. Jakarta :
Rineka Citra

Anda mungkin juga menyukai