Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Pulau-pulau Indonesia hanya bisa tersambung melalui laut-lut di antara pulau-pulaunya. Laut
bukan pemisah, tetapi pemersatu berbagai pulau, daerah dan kawasan Indonesia. Hanya melalui
perhubungan antar-pulau, antar-pantai, kesatuan Indonesia dapat terwujud. Pelayaran, yang
menghubungkan pulau-pulau, adalah urat nadi kehidupan sekaligus pemersatu bangsa dan negara
Indonesia. Sejarah kebesaran Sriwijaya atau Majapahit menjadi bukti nyata bahwa kejayaan suatu
negara di Nusantara hanya bisa dicapai melalui keunggulan maritim. Karenanya, pembangunan
industri pelayaran nasional sebagai sektor strategis, perlu diprioritaskan agar dapat meningkatkan
daya saing Indonesia di pasar global, karena nyaris seluruh komoditi untuk perdagangan
internasional diangkut dengan menggunakan sarana dan prasarana transportasi maritim, dan
menyeimbangkan pembangunan kawasan (antara Kawasan Timur Indonesia dan Barat) demi
kesatuan Indonesia, karena daerah terpencil dan kurang berkembang (yang mayoritas berada di
Kawasan Timur Indonesia yang kaya sumberdaya alam) membutuhkan akses ke pasar dan mendapat
layanan, yang seringkali hanya bisa dilakukan dengan transportasi maritim.

Pelayaran adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan angkutan di perairan, kepelabuhanan,
serta keamanan dan keselamatannya. Secara garis besar pelayaran dibagi menjadi dua, yaitu
Pelayaran Niaga (yang terkait dengan kegiatan komersial) dan Pelayaran Non-Niaga (yang terkait
dengan kegiatan non-komersial, seperti pemerintahan dan bela-negara). Kapal sebagai sarana
transportasi (dalam makala ini disepadankan dengan Transportasi laut) adalah kapal adalah
kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun yang digerakan dengan tenaga mekanik, tenaga angin,
atau tunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air,
serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah pindah.

1.2. Tujuan

Kapal sebagai sarana transportasi di laut sangat menentukan kelancaran dalam hal
pengangkutan atau pengiriman barang dan orang yang diangkut, sehingga kapal sangat berperan
aktif sebagai saran transportasi yang ada di laut. Tujuan dibuatanya makalah ini yaitu supaya
pembaca dapat mengetahui secara lebih jelas mengenai segala hal yang ada dan berhubungan
langsung dengan pengaangkutan laut yaitu kapal.

1.3. Rumusan Masalah


Dalam pembuatan makalah ini penulis ingin mengetahui lebih jauh mengenai beberapa hal
antara lain:
1. Bagaimanakah bentuk struktur organisasi yang ada di kapal?
2. Bagaimana terjadinya perjanjian pengangkutan laut serta akibat-akibat yang timbul dari
perjanjian tersebut ?

1.4. Ruang Lingkup Materi


Dalam membahas makalah ini penulis berusaha menjelaskan secara rinci mengenai
pengangkutan laut khususnya kapal, dimana penulis berusaha menjelaskan dari segi definisi hingga
tanggung jawab pengangkutan barang dengan kapal laut serta akibat-akibat yang timbul dari
perjanjian yang terbentuk dalam pengangkutan barang melalui laut yang mengunakan kapal lautdan

1
juga pengaturan asuransi terhadap kerusakan-kerusakan barang yang tiadk disengaja. Penjelasan
lebih lanjut akan dipaparkan dibawah dan akan lebih rinci dalam proses pembahasanya.

BAB II

LADASAN TEORI

2.1 Definisi Kapal dan Nahkoda


Menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Buku kedua tentang Hak-hak dan
Kewajiban-kewajiban yang timbul dari Pelayaran Pasal 309 menyebutkan Kapal adalah semua alat
berlayar, bagaimanapun namanya dan apa pun sifatnya. Kecuali bila ditentukan lain, atau diadakan
perjanjian lain, dianggap bahwa kapal itu meliputi perlengkapan kapalnya sedangkan menurut
Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaaran Pasal 1 Butir 36 menyebutkan Kapal adalah
kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga
mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis,
kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-
pindah dan menurut Menurut Pasal 1 UU N0. 21 Tahun 1992 tentang pelayaran,kapal adalah
kendaraan air dengan bentuk dan jenis apapun yang digerakan dengan tenaga mekanik, tenaga angin,
atau tunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan dibawah permukaan air,
serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah pindah.
Menurut pasal 1 butir 41 UU no.17 Tahun 2008 Nakhoda adalah salah seorang dari Awak
Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab
tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.2 Jenis-jenis kapal


Adapaun jenis-jenis kapal menurut Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan UU no.17
tahun 2008 antara lain:
1. KUHD PASAL 310 menyebutkan Kapal laut adalah semua kapal yang dipergunakan untuk
pelayaran di laut atau diperuntukkan bagi itu.
2. Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaaran menyebutkan pada pasal 1 ada
3jenis kapal yaitu pada butir 37,38dan 39.
Butir 37 menyebutkan Kapal Perang adalah kapal Tentara Nasional Indonesia yang
ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Butir 38 menyebutkan Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh instansi
Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundanganuntuk menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya.
Butir 39 menyebutkan Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia
dan tidak dicatat dalam daftar kapal Indonesia.

2.3 Pengangkutan
Menurut pendapat R. Soekardono, SH, pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan
tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak
perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Buku kedua tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban yang timbul
dari Pelayaran.
Undang-undang Nomer 17 Tahun 2008 Tentang pelayaran

2
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Struktur Organisasi Kapal

Struktur organisasi kapal terdiri dari seorang Nakhoda selaku pimpinan umum di atas kapal
dan Anak Buah kapal yang terdiri dari para perwira kapal dan non perwira/bawahan (subordinate
crew). Struktur organisasi kapal diatas bukanlah struktur yang baku, karena tiap kapal bisa berbeda
struktur organisaninya tergantung jenis, fungsi dan kondisi kapal tersebut. Selain jabatan-jabatan
tersebut dalam contoh struktur organisasi kapal diatas, masih banyak lagi jenis jabatan di kapal,
diluar jabatan Nakhoda. Misalnya di kapal pesiar ada jabatan-jabatan Bar-tender, cabin-boy,
swimming-pool boy, general purpose dan lain sebagainya. Dikapal lain misalnya terdapat jabatan
juru listrik (electrician), greaser dan lain sebagainya. Semua orang yang mempunyai jabatan di atas
kapal itu disebut Awak kapal, termasuk Nakhoda, tetapi Anak kapal atau Anak Buah Kapal (ABK)
adalah semua orang yang mempunyai jabatan diatas kapal kecuali jabatan Nakhoda.

3.2 Nakhoda Kapal

UU. No.21 Th. 1992 dan juga pasal 341.b KUHD dengan tegas menyatakan bahwa Nakhoda
adalah pemimpin kapal, kemudian dengan menelaah pasal 341 KUHD dan pasal 1 ayat 12 UU.
No.21 Th.1992, maka definisi dari Nakhoda adalah sebagai berikut :“ Nakhoda kapal ialah seseorang
yang sudah menanda tangani Perjanjian Kerja Laut (PKL) dengan Pengusaha Kapal dimana
dinyatakan sebagai Nakhoda, serta memenuhi syarat sebagai Nakhoda dalam arti untuk memimpin
kapal sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 342 KUHD secara ekplisit
menyatakan bahwa tanggung jawab atas kapal hanya berada pada tangan Nakhoda, tidak ada yang
lain. Jadi apapun yang terjadi diatas kapal menjadi tanggung jawab Nakhoda, kecuali perbuatan
kriminal. Misalkan seorang Mualim sedang bertugas dianjungan sewaktu kapal mengalami
kekandasan. Meskipun pada saat itu Nakhoda tidak berada di anjungan, akibat kekandasan itu tetap
menjadi tanggung jawab Nakhoda.

3.2.1 Nakhoda sebagai Pemegang Kewibawaan Umum

Mengandung pengertian bahwa semua orang yang berada di atas kapal, tanpa kecuali harus
taat serta patuh kepada perintah-perintah Nakhoda demi terciptanya keamanan dan ketertiban di atas
kapal. Tidak ada suatu alasan apapun yang dapat dipakai oleh orang-orang yang berada di atas kapal
untuk menentang perintah Nakhoda sepanjang perintah itu tidak menyimpang dari peraturan
perundang-undangan. Setiap penentangan terhadap perintah Nakhoda yang demikian itu merupakan
pelanggaran hukum, sesuai dengan pasal 459 dam 460 KUH. Pidana, serta pasal 118 UU. No.21, Th.
1992. Jadi menentang perintah atasan bagi awak kapal dianggap menentang perintah Nakhoda
karena atasan itu bertindak untuk dan atas nama Nakhoda (pasal 384, 385 KUHD serta pasal 55 UU.
No. 21 Th. 1992).

Djaja, D. Bambang Setiono Adi Indra Kusna,HUKUM LAUT DAN PERKAPALAN, Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejurua,2008, cet.ke-1, Bab .XIII

3
3.2.2 Nakhoda sebagai Pemimpin Kapal

Nakhoda bertanggung jawab dalam membawa kapal berlayar dari pelabuhan satu ke
pelabuhan lain atau dari tempat satu ke tempat lain dengan selamat, aman sampai tujuan terhadap
penumpang dan segala muatannya (pasal 341 KUHD, pasal 55 UU. No. 21 Th. 1992 serta pasal 1/1
(c) STCW 1978).

3.2.3 Nakhoda sebagai Penegak Hukum

Nakhoda adalah sebagai penegak atau abdi hukum di atas kapal sehingga apabila diatas
kapal terjadi peristiwa pidana, maka Nakhoda berwenang bertindak selaku Polisi atau Jaksa. Dalam
kaitannya selaku penegak hukum, Nakhoda dapat mengambil tindakan antara lain :

a. menahan/mengurung tersangka di atas kapal


b.membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP)
c. mengumpulkan bukti-bukti
d. menyerahkan tersangka dan bukti-bukti serta Berita Acara
e. Pemeriksaan (BAP) pada pihak Polisi atau Jaksa di pelabuhan pertama yang disinggahi.(pasal 387,
388, 390, 394 (a) KUHD, serta pasal 55 No. 21 Th. 1992).

3.2.4 Nakhoda sebagai Pegawai Catatan Sipil

Apabila diatas kapal terjadi peristiwa-peristiwa seperti kelahiran dan kematian maka
Nakhoda berwenang bertindak selaku Pegawai Catatan Sipil. Tindakan-tindakan yang harus
dilakukan Nakhoda jika di dalam pelayaran terjadi kelahiran antara lain :

1. Membuat Berita Acara Kelahiran dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
2. Mencatat terjadinya kelahiran tersebut dalam Buku Harian Kapal
3. Menyerahkan Berita Acara Kelahiran tersebut pada Kantor Catatan Sipil di pelabuhan

Pertama yang disinggahi Jikalau terjadi kematian :

1. Membuat Berita Acara Kematian dengan 2 orang saksi (biasanya Perwira kapal)
2. Mencatat terjadinya kematian tersebut dalam Buku Harian Kapal
3. Menyerahkan Berita Acara Kematian tersebut pada Kantor Catatan Sipil di pelabuhan pertama
yang disinggahi
4. Sebab-sebab kematian tidak boleh ditulis dalam Berita Acara. (Reglemen Pencatatan Sipil bagi
Kelahiran dan Kematian, serta pasal 55 UU. No. 21. Th. 1992).

3.2.5 Kewajiban Nahkoda

1. Nakhoda wajib bertindak dengan kepandaian, ketelitian dan dengan kebijaksanaan yang
cukup untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
2. Nakhoda wajib menaati dengan seksama peraturan yang lazim dan ketentuan yang ada untuk
menjamin kesanggupan berlayar dan keamanan kapal, keamanan para penumpang dan
pengangkutan

4
3. muatannya. Ia tidak akan melakukan perjalanannya, kecuali bila kapalnya untuk
melaksanakan itu memenuhi syarat, dilengkapi sepantasnya dan diberi anak buah kapal
secukupnya.
4. Nakhoda wajib menggunakan pandu, di mana pun bila peraturan perundang-undangan,
kebiasaan atau kewaspadaan mengharuskannya.
5. Nakhoda wajib mengurus barang yang ads di kapal milik penumpang yang meninggal selama
perjalanan, di hadapan dua orang penumpang membuat uraian secukupnya mengenai hal itu
atau menyuruh membuatnya, yang ditanda-tangani olehnya dan oleh dua orang penumpang
tersebut.
6. Nakhoda harus dilengkapi di kapal dengan: (KUHD 432.) surat laut atau pas kapal, surat
ukur dan petikan dari register kapal yang memuat semua pembukuan yang berkenaan dengan
kapal sampai hari keberangkatan terakhir dari pelabuhan Indonesia. daftar anak buah kapal,
manifest muatan, carter partai dan konosemen, ataupun salinan surat itu; Peraturan
perundang-undangan dan reglemen yang berlaku di Indonesia terhadap perjalanan, dan
segala surat lain yang diperlukan Terhadap carter partai dan konosemen, kewajiban ini tidak
berlaku dalam keadaan yang ditetapkan oleh Kepala Departemen Marine.

3.2.6 Larang Bagi Nahkoda

Nakhoda tidak boleh meninggalkan kapalnya selama pelayaran atau bila ada bahaya
mengancam, kecuali bila ketidakhadirannya mutlak perlu atau dipaksa untuk itu oleh ikhtiar
penyelamatan diri .

3.2.7 Kewenangan dan Hak Nahkoda

1. Setelah tiba di suatu pelabuhan, nakhoda dapat menyuruh pegawai yang berwenang untuk
membuat keterangan kapal mengenai kejadian dalam perjalanan.
2. Bila sangat diperlukan, demi keselamatan kapal atau muatannya, nakhoda berwenang untuk
melemparkan ke laut atau memakai habis perlengkapan kapal dan bagian dari muatan.
3. Nakhoda dalam keadaan darurat selama perjalanan berwenang untuk mengambil dengan
membayar ganti rugi, bahan makanan yang ada pada para penumpang atau yang termasuk
muatan, untuk digunakan demi kepentingan semua orang yang ada di kapal.
4. Nakhoda mempunyai kekuasaan disipliner atas anak buah kapal. Untuk mempertahankan
kekuasaan ini ia dapat mengambil tindakan yang selayaknya diperlukan.
5. Nakhoda mempunyai kekuasaan di kapal atas semua penumpang. Mereka wajib menaati
perintah yang diberikan oleh nakhoda untuk kepentingan keamanan atau untuk
mempertahankan ketertiban dan disiplin.

3.3 Anak Buah Kapal (ABK)

3.3.1. Hak-hak Anak Buah Kapal

a. Hak Atas Upah


b. Hak Atas Tempat Tinggal dan Makan
c. Hak Atas Perawatan waktu sakit/kecelakaan
d. Hak Atas Cuti
e. Hak Atas Pengangkutan untuk dipulangkan

5
Djaja, D. Bambang Setiono Adi Indra Kusna,HUKUM LAUT DAN PERKAPALAN, Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah
Menengah Kejurua,2008, cet.ke-1, Bab .XIII

3.3.2 Kewajiban Anak Buah Kapal

Kewajiban-kewajiban Anak Buah Kapal antara lain :


a. Taat kepada perintah atasan, teristimewa terhadap perintah Nakhoda
b. Meninggalkan kapal (turun ke darat) harus dengan ijin Nakhoda atau yang mewakilinya
c. Tidak membawa barang dagangan, minum-minuman keras, dan senjata (api) di atas kapa.
d. Melakukan tugas tambahan atau kerja lembur jika dianggap perlu oleh Nakhoda
e. Turut membantu menyelamatakan kapal, penumpang, dan muatannya, dalam kecelakaan kapal
f. Berprilaku sopan, serta tidak mabuk-mabukan di kapal dalam rangka turut menciptakan keamanan
dan ketertiban diatas kapal

3.3.3 Larangan Bagi Anak Buah Kapal


Anak buah kapal tidak boleh membawa atau mempunyai minuman keras atau senjata di kapal
tanpa izin nakhoda.

3.4 Perjanjian Pengangkutan Laut

3.4.1 Cara Terjadinya Perjanjian Pengangkutan

Menunjuk pada serangkaian perbuatan tentang penawaran dan penerimaan yang dilakukan
oleh pengangkut dan pengirim atau penumpang secara timbal balik. Serangkaian perbuatan semacam
ini tidak ada pengaturannya dalam undang-undang, melainkan ada dalam kebiasaan yang hidup
dalam praktek pengangkutan, karena itu serangkaian perbuatan tersebut perlu ditelusuri melalui
kasus perjanjian pengangkutan.
Dalam perjanjian pengangkutan barang di laut terlebih dahulu ada perjanjian perdagangan
antara kedua negara. Dalam hal pengangkutan barang di laut yang lebih ditekankan mengenai
kesepakatan mengenai tarif bea masuk. Tarif bea masuk dikenakan berdasarkan perjanjian atau
kesepakatan yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain atau
beberapa negara lain, misalnya: bea masuk berdasarkan Common Effective Preferential Tariff untuk
Asean Free Trade Area (Cept for AFTA). Dengan memperhatikan Undang-undang No. 7 Tahun
1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The Word Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), besarnya tarif maksimum ditetapkan setinggi-
tingginya 40% termasuk bea masuk tambahan.
a. Penawaran dari pihak pengangkut
Pengangkut merupakan pengusaha pengangkutan yang memiliki dan menjalankan
perusahaan pengangkut yang berbentuk perusahaan persekutuan badan hukum. Cara terjadi
perjanjian pengangkutan dapat secara langsung antara pihak-pihak atau secara tidak langsung
dengan menggunakan jasa perantara (ekspeditur, biro perjalanan). Apabila pembuatan perjanjian
pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran pihak pengangkut dilakukan dengan
menghubungi langsung pihak pengirim atau penumpang, atau melalui media massa. Ini berarti
pengangkut mencari sendiri muatan atau penumpang untuk diangkut. Pada pengangkutan laut, kapal
laut menyinggahi pelabuhan-pelabuhan untuk memuat barang atau penumpang.
Jika penawaran pihak pengangkut dilakukan melalui media massa, pengangkut hanya
menunggu permintaan dari pengirim atau penumpang. Pada pengangkutan laut, pengangkut

6
mengumumkan atau mengiklankan kedatangan dan keberangkatan kapal laut, sehingga pengirim
atau penumpang dapat memesan untuk kepentingan pengirim atau keberangkatannya.

b. Penawaran dari pihak pengirim, penumpang


Apabila pembuatan perjanjian pengangkutan dilakukan secara langsung, maka penawaran
pihak pengirim atau penumpang dilakukan dengan menghubungi langsung pihak pengangkut. Ini
berarti pengirim atau penumpang mencari sendiri pengangkut untuknya. Hal ini terjadi setelah
pengirim atau penumpang mendengar atau membaca mengumuman dari pengangkut. Jika
penawaran dilakukan melalui perantara (ekspeditur, biro perjalanan), maka perantara menghubungi
pengangkut atas nama pengirim atau penumpang. Pengirim menyerahkan barang kepada perantara
(ekspeditur) untuk diangkut.

3.4.2 Terjadinya Perjanjian Pengangkutan

Mengenai saat kapan perjanjian pengangkutan itu terjadi dan mengikat pihak-pihak, sebagian
ada ditentukan dalam undang-undang dan sebagian lagi tidak ada. Dalam hal tidak ada ketentuan,
maka kebiasaan yang hidup dalam praktek pengangkutan diikuti. Dalam KUHD ada ketentuan yang
mengatur saat terjadi persetujuan kehendak, baik mengenai pengangkutan barang maupun
penumpang. Menurut ketentuan Pasal 504 KUHD pengirim yang telah menyerahkan barang kepada
pengangkut di kapal menerima surat tanda terima (mate's receipt) yang merupakan bukti bahwa
barangnya telah dimuat dalam kapal. Jika pengirim menghendaki konosemen, ia dapat menukarkan
surat tanda terima itu dengan konosemen yang diterbitkan oleh pengangkut.
Dari ketentuan ini dapat diketahui bahwa penerbit surat tanda terima adalah suatu keharusan.
Tetapi penerbitan konosemen bukan suatu keharusan. Surat tanda terima membuktikan bahwa
barang sudah diterima dan dimuat dalam kapal sesuai dengan penyerahan dari pengirim. Dengan
demikian, perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak-pihak "sejak surat tanda terima
barang ditandatangani" oleh pengangkut atau orang atas nama pengangkut. Dalam surat tanda terima
itu dicantumkan tanda tangan pengangkut dan tanggal penerimaan jika diterbitkan konosemen,
tanggal penerimaan sama dengan tanggal surat itu. Dokumen pengangkutan terdiri dari surat muatan
untuk pengangkutan barang dan tiket penumpang untuk pengangkutan penumpang. Baik surat
muatan maupun tiket penumpang diatur dalam undang-undang. Dalam Pasal 90 KUHD dinyatakan
bahwa surat muatan merupakan perjanjian antara pengirim atau ekspeditur dengan pengangkut,
ditandatangani oleh pengirim atau ekspeditur. Memperhatikan ketentuan Pasal 90 KUHD, maka
dapat dinyatakan bahwa surat muatan dibuat oleh pengirim atau ekspeditur atas nama pengirim, dan
baru berfungsi sebagai surat perjanjian (bukti ada perjanjian) jika pengangkut menandatangani juga
surat muatan tersebut.
Dalam Pasal 506 KUHD dinyatakan bahwa konosemen adalah surat bertanggal dalam mana
pengangkut menerangkan bahwa ia telah menerima barang tertentu untuk diangkut ke suatu tempat
tujuan yang ditunjuk dan di sana menyerahkannya kepada orang yang ditunjuk (penerima) disertai
dengan janji-janji apa penyerahan akan terjadi. Berdasarkan ketentuan Pasal 504 KUHD konosemen
diterbitkan oleh pengangkut atas permintaan pengirim. Tetapi menurut ketentuan Pasal 505 KUHD,
nakhoda dibolehkan menerbitkan konosemen apabila ada barang yang harus diterima untuk
diangkut, sedangkan pengangkut atau perwakilan tidak ada di tempat itu. Konosemen mempunyai
arti penting dalam dunia perusahaan pengangkutan laut dan perdagangan sebab konsomenen
berfungsi sebagai :
a. Pelindung barang yang diangkut dengan kapal yang bersangkutan; konosemen
merupakan persetujuan yang mengikat pengangkut, pengirim dan penerima, sehingga
barang dilindungi dari perbuatan sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab
pengangkut.
7
b. Surat bukti tanda terima barang di atas kapal; dengan adanya konosemen pengangkut
atau agen atau nakhoda mengakui bahwa ia telah menerima barang dari pengirim untuk
diangkut dengan kapal yang bersangkutan;
c. Tanda bukti atas barang; dengan memiliki konosemen berarti sekaligus memiliki barang
yang tersebut didalamnya. Setiap pemegang konosemen berhak menuntut penyerahan
barang yang tersebut didalamnya. Di kapal mana barang itu berada (Pasal 510 KUHD).
Penyerahan konosemen sebelum barang yang tersebut didalamnya diserahkan oleh
pengangkut, dianggap sebagai penyerahan barang tersebut (Pasal 517 a KUHD);
d. Kuitansi pembayaran biaya pengangkutan, dalam konosemen dinyatakan bahwa biaya
pengangkutan diserahkan lebih dahulu di pelabuhan pemuatan (freight prepaid) oleh
pengirim atau dibayar kemudian di pelabuhan tujuan (freight to collected) oleh
penerima;
e. Kontrak atau persyaratan pengangkutan, konosemen adalah bukti perjanjian
pengangkutan yang memuat syarat-syarat pengangkutan.

Ada tiga konosemen dilihat dari cara peralihannya :


a. Konosemen atas nama (op naam), nama penerima dicantumkan dengan jelas dalam
konosemen. Konosemen ini diperalihkan (diserahkan) kepada pihak lain dengan cara
cesse.
b. Konosemen atas pengganti (aan toonder), nama penerima dicantumkan dengan jelas
diikuti oleh "atau pengganti" dalam konosemen. Konosemen ini diperoleh (diserahkan)
kepada pihak lain dengan cara endosemen (Pasal 506 ayat 3 KUHD).
c. Konosemen atas tunjuk (aan toonder), nama penerima tidak dicantumkan dalam
konosemen, tetapi dicantumkan "atau pembawa" atau "yang menunjukkan". Konosemen
ini diperalihkan (diserahkan) kepada pihak lain dengan cara dari tangan ketangan. Yang
paling banyak digunakan dalam praktek pengangkutan laut di Indonesia adalah
konosemen atas (opn naam).

3.5 Akibat-akibat yang Timbul Dari Perjanjian Pengangkutan Barang Melalui Kapal Laut

Dengan adanya perjanjian pengangkutan barang melalui kapal laut akan menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak, seperti telah diketahui para pihak di dalam perjanjian
pengangkutan itu ialah pihak pengangkut dan pihak pemakai jasa. Kebiasaan yang hidup dalam
praktek pengangkutan adalah kebiasaan yang berderajat hukum keperdataan. Undang-undang
menganut asas bahwa penundaan keberangkatan harus dengan persetujuan kedua belah pihak.
Kebiasaan menentukan bahwa waktu keberangkatan sewaktu-waktu dapat berubah tanpa
pemberitahuan lebih dahulu. Jadi apabila terjadi keterlambatan sedangkan barang dalam keadaan
selamat tidak rusak atau hilang, maka merupakan kebiasaan dalam pengangkutan laut dan tidak ada
ganti kerugian (denda), kecuali apabila barang muatan tersebut rusak atau hilang. Kewajiban
pengangkut ialah menjaga keselamatan barang yang diangkut sejak saat penerimaannya sampai saat
penyerahannya. Hal ini diatur dalam Pasal 468 KUHD. Pengangkut juga diwajibkan mengganti
kerugian yang disebabkan oleh rusak, hilangnya barang baik seluruhnya atau sebagian, sehingga
pengangkut tidak dapat menyerahkan barang-barang yang ia angkut. Namun pengangkut dapat
membebaskan dirinya dari kewajiban tersebut asal ia dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya
barang atau adanya kerusakan itu karena terjadinya suatu peristiwa yang sepatutnya tidak dapat
dicegahnya atau dihindarinya atau adanya keadaan memaksa (overmacht) atau kerusakan tersebut
disebabkan karena sifat, keadaan atau cacat dari barang itu sendiri atau juga karena kesalahan
pengirim.

8
Kewajiban dari pemakai jasa ialah membayar upah angkutan. Dan ia harus secara jujur memberi
tahu tentang keadaan barang yang akan diangkut kepada pengangkut. Dalam hal ini pengirim tidak
memberi tahukan secara benar kepada pengangkut tentang barang-barang yang akan diangkut atau
karena sifat, keadaan dan cacat yang terdapat pada barang-barang dan karena itu pengangkut
menderita kerugian, maka pengangkut berhak untuk menuntut penggantian kerugian kepada pihak
pemakai jasa (pengirim). Sebaliknya kalau pihak pemakai jasa menderita kerugian sebagai akibat
pihak pengangkut tidak memenuhi apa yang menjadi isi perjanjian pengangkutan, maka pihak
pemakai jasa dapat menuntut pihak pengangkut yaitu yang dapat berupa pembatalan perjanjian
pengangkutan atau menuntut ganti rugi atau menuntut pembatalan dan ganti rugi. Pengaturan
kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan laut terdapat dalam Bab V A Buku II KUHD
untuk barang dan Bab V B Buku II KUHD untuk penumpang. dua bab ini berlaku sebagai lex
specialis pengangkutan laut, sedangkan Bab I sampai dengan Bab IV Buku III KUHPerdata berlaku
sebagai lex generalis. Dalam perjanjian pengangkutan laut, kewajiban pokok pengangkut adalah
sebagai berikut :
a. Menyelenggarakan pengangkutan barang dari pelabuhan pemuatan sampai di pelabuhan
tujuan dengan selamat;
b. Merawat, memelihara, menjaga barang yang diangkut dengan sebaik-baiknya;
c. Menyerahkan barang yang diangkut kepada penerima dengan sebaik-baiknya dalam keadaan
lengkap, utuh, tidak rusak atau tidak terlambat.
Kewajiban pokok ini diimbangi dengan hak atas biaya pengangkutan yang diterima dari
pengirim atau penerima. Apabila barang yang diangkut itu tidak diserahkan seluruh atau sebagian
atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian kepada pengirim.
Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat membuktikan
bahwa tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusaknya barang itu karena :
1. Suatu peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi;
2. Sifat, keadaan atau cacat barang itu sendiri;
3. Kesalahan atau kelalaian pengirim sendiri (Pasal 468 ayat 2 KUHD
Pengangkut hanya bertanggung jawab terhadap pencurian dan kehilangan emas, perak, permata
dan barang berharga lainnya, uang dan surat berharga serta kerusakan barang berharga yang mudah
rusak, apabila sifat dan harga barang-barang tersebut diberitahukan kepadanya sebelum atau pada
saat penerimaan (Pasal 469 KUHD). Berdasarkan Pasal 491 KUHD, penerima wajib membayar
biaya pengangkutan kepada pengangkut setelah penyerahan barang dilakukan di tempat tujuan.
Tetapi kebiasaan yang berlaku dan diikuti adalah apabila pengirim menyerahkan barang kepada
pengangkut, ia harus membayar biaya pengangkutan lebih dahulu, kemudian baru diperhitungkan
dengan penerima. Salah satu alasan bahwa kebiasaan ini diikuti karena pengangkut tidak mempunyai
hak retensi bila penerima tidak membayar biaya pengangkutan setelah barang diserahkan kepadanya.
Perjanjian pengangkutan barang melalui kapal laut merupakan bagian dari sub sistem tata
hukum nasional, yaitu hukum keperdataan dagang (perusahaan), yang terdiri dari komponen-
komponen subsistem : subyek hukum, status hukum, peristiwa hukum, obyek hukum, hubungan
hukum dan tujuan hukum. Subyek perjanjian pengangkutan meliputi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pengangkutan yang terdiri dari pengangkut, pengirim, penumpang, penerima,
eksportir, pengatur muatan, pengusaha pergudangan. Pihak-pihak yang berkepentingan ini dapat
berupa pihak yang secara langsung terikat dalam perjanjian yang dibuat, seperti pengangkut,
pengirim dan penumpang. Subyek pengangkutan mempunyai status yang diakui oleh hukum, yaitu
sebagai pendukung kewajiban dan hak dalam pengangkutan. Pendukung kewajiban dan hak ini dapat
berupa manusia pribadi atau badan hukum, baik ia pengangkut, pengirim, penerima ataupun
eksportir, pengusaha pergudangan, sedangkan penumpang selalu berupa manusia pribadi, tetapi
dapat berfungsi ganda yaitu sebagai subyek sekaligus sebagai obyek pengangkutan. Pihak-pihak
yang berkepentingan dalam pengangkutan mengadakan persetujuan yang meliputi apa yang menjadi
9
obyek pengangkutan, tujuan yang hendak dicapai, syarat-syarat dan cara bagaimana tujuan itu dapat
dicapai melalui perjanjian pengangkutan. Pihak-pihak yang berkepentingan dalam perjanjian itu
masing-masing mempunyai kewajiban dan hak secara bertimbal balik.
Tujuan yang hendak dicapai oleh pihak-pihak yang berkepentingan pada dasarnya meliputi
tibanya barang atau penumpang di tempat tujuan dengan selamat dan lunasnya pembayaran biaya
pengangkutan. Dalam pengertian tujuan termasuk juga segi kepentingan pihak-pihak dan
kepentingan masyarakat, yaitu manfaat apa yang mereka peroleh setelah pengangkutan selesai.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, tujuan hukum pengangkutan adalah terpenuhinya
kewajiban dan hak pihak-pihak dalam pengangkutan. Kewajiban pihak pengangkut adalah
menyelenggarakan pengangkutan dari tempat tertentu ke tempat tujuan dengan alamat. Sedangkan
kewajiban pihak pengirim atau penumpang adalah membayar biaya pengangkutan. Tujuan hukum
pengangkutan adalah tujuan pihak-pihak dalam pengangkutan yang diakui sah oleh hukum. Tujuan
yang diakui sah oleh hukum disebut juga tujuan yang halal.
Tujuan yang halal adalah salah satu unsur Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu unsur keempat :
"kausa yang halal", artinya isi perjanjian pengangkutan yang menjadi tujuan itu harus tidak dilarang
oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan. Tujuan perjanjian pengangkutan tidak hanya mengenai kepentingan pihak-pihak,
melainkan juga kepentingan umum.
1. Tujuan pihak-pihak
Tujuan pihak-pihak yang diakui sah oleh hukum pengangkutan "tiba di tempat akhir
pengangkutan dengan selamat" dan lunas pembayaran biaya pengangkutan. Tujuan ini merupakan
keadaan yang dicapai setelah perbuatan selesai dilakukan atau berakhir. Tiba di tempat akhir
pengangkutan artinya sampai di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian pengangkutan. Dengan
selamat artinya barang yang diangkut tidak mengalami kerusakan, kehilangan, kekurangan,
kemusnahan, tetap seperti semula.
Pengertian "dengan selamat" disini terbatas pada tidak ada pengaruh akibat dari perbuatan,
keadaan, kejadian yang datang dari luar barang atau diri penumpang, yang menjadi tanggung jawab
pengangkut. Jika pengaruh itu datang dari dalam barang, misalnya terlampau masak, mudah busuk,
maka pengangkut tidak bertanggung jawab. Tujuan dari pihak pengangkut adalah memperoleh
pembayaran biaya pengangkutan. Pembayaran ini dilakukan pada awal pengangkutan oleh pengirim,
atau pada akhir pengangkutan setelah penyerahan barang kepada penerima dan penerima membayar
biaya pengangkutan.
2. Manfaat yang Diperoleh
Tercapainya tujuan perjanjian pengangkutan memberi manfaat atau kenikmatan kepada pihak-
pihak yang berkepentingan dan masyarakat luas. Manfaat atau kenikmatan tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Dari kepentingan pengirim, pengirim memperoleh manfaat untuk konsumsi pribadi
maupun keuntungan komersial;
b. Dari kepentingan pengangkutan, pengangkut memperoleh manfaat keuntungan material
sejumlah uang atau keuntungan immaterial berupa meningkatkan kepercayaan
masyarakat atas jasa pengangkutan yang diusahakan oleh pengangkut; Dari kepentingan
penerima, penerima memperoleh manfaat untuk konsumsi pribadi maupun keuntungan
komersial;
c. Dari kepentingan penumpang, penumpang memperoleh manfaat kesempatan
mengemban tugas, profesi, meningkatkan ilmu pengetahuan, keahlian di tempat yang
dituju (tempat baru);
Dari kepentingan masyarakat luas, masyarakat memperoleh manfaat kebutuhan yang merata dan
kelangsungan pembanguna.

10
Wiwoho Soejono, S.H., Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya, Yogyakarta : Liberty, 1987, Cet.
Ke-1, h.24

3.6 Tanggung Jawab Pengangkutan Barang Dengan Kapal Laut

Setidak-tidaknya ada tiga prinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum pengangkutan yaitu
pertama prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability), kedua prinsip tanggung
jawab berdasarkan praduga (presumption of liability), ketiga prinsip tanggung jawab mutlak
(absolute liability).
1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Kesalahan
Menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan
pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian atas segala kerugian yang timbul
dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan kesalahan pengangkut itu.
Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang
umum berlaku seperti yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata tentang Perbuatan Melawan
Hukum.
2. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Praduga
Menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang
timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya, tetapi jika pengangkut dapat membuktikan
bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Yang dimaksud
dengan tidak bersalah adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang perlu untuk
menghindari kerugian, atau peristiwa yang menimbulkan kerugian itu tidak mungkin dihindari.
Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut, bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang
dirugikan cukup menunjukkan adanya kerugian yang diderita dalam pengangkutan yang
diselenggarakan oleh pengangkut.
3. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak
Menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap
setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan
pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri
dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak
mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan. Apabila prinsip-
prinsip ini dihubungkan dengan undang-undang yang mengatur pengangkutan darat, laut dan udara
di Indonesia, ternyata undang-undang pengangkutan yang mengatur ketiga jenis pengangkutan
tersebut menganut prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga. Hal ini terbukti dari antara lain
ketentuan salah satu pasal berikut ini.
Dalam Pasal 468 ayat 2 KUHD ditentukan bahwa apabila barang yang diangkut itu tidak
diserahkan seluruh atau sebagian, atau rusak, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian
kepada pengirim. Tetapi pengangkut tidak bertanggung jawab mengganti kerugian apabila ia dapat
membuktikan bahwa tidak diserahkan seluruh atau sebagian atau rusaknya brang itu karena suatu
peristiwa yang tidak dapat dicegah atau dihindari terjadi. Timbulnya konsep tanggung jawab karena
pengangkutan memenuhi kewajiban tidak sebagaimana mestinya, atau tidak baik atau tidak jujur
atau tidak dipenuhi sama sekali. Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam Pasal 1236 dan
1246 KUHPerdata. Menurut ketentuan Pasal 1236 KUHPerdata, pengangkut wajib membayar ganti
kerugian atas biaya, kerugian yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat
menyerahkan atau tidak merawat sepatutnya untuk menyelamatkan barang muatan. Pasal 1246
KUHPerdata menentukan bahwa biaya, kerugian dan bunga itu pada umumnya terdiri dari kerugian
yang telah diderita dan laba yang sedianya akan diterima.
Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 468 KUHD, maka tanggung jawab pengangkut adalah
pada saat barang yang diterimanya dan berakhir pada saat penyerahan pada pihak yang berhak. Dari

11
Pasal 468 KUHD belum tampak jelas tentang saat mulai dan berakhirnya tanggung jawab
pengangkut, karena pasal tersebut hanya menyebutkan saat penerimaannya sampai saat
penyerahannya. Yang menjadi masalah ialah dimana penerimaan dan penyerahannya barang itu
terjadi. Apakah penerimaan dan penyerahan barang itu di pelabuhan, sepanjang kapal, di gudang
atau di geladak. Sebab kalau hal itu telah jelas diketahui, maka tampaknya tentang masa (periode
tanggung jawab pengangkut) juga Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1969 tidak jelas menetapkan
tentang masa tanggung jawab pengangkut. Seperti yang ditetapkan dalam Pasal 14 Peraturan
Pemerintah No. 2 Tahun 1969 tersebut dikatakan, bahwa perusahaan pelayaran bertanggung jawab
sebagai pengangkut barang kepada pemilik barang sejak saat menerima barang dari pengirim sampai
menyerahkan barang yang diangkutnya kepada penerima sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku atau syarat-syarat perjanjian pengangkutan atau kelaziman-kelaziman yang
berlaku dalam bidang pelayaran. Untuk mengatasi masalah ini, maka dalam praktek pengangkutan
barang di laut lazim digunakan klausula.
Sistem hukum di Indonesia tidak mensyaratkan pembuatan perjanjian pengangkutan itu secara
tertulis, cukup dengan lisan saja, asal ada persetujuan kehendak atau konsensus. Kewajiban dan hak
pihak-pihak dapat diketahui dari penyelenggaraan pengangkutan, atau berdasarkan dokumen
pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian itu. Yang dimaksud dokumen pengangkutan ialah
setiap tulisan yang dipakai sebagai bukti dalam pengangkutan, berupa naskah, tanda terima, tanda
penyerahan, tanda milik atau hak.
Apabila pengangkut tidak menyelenggarakan pengangkutan sebagaimana mestinya, ia harus
bertanggung jawab, artinya memikul semua akibat yang timbul dari perbuatan penyelenggaraan
pengangkutan baik karena kesengajaan ataupun karena kelalaian pengangkutan sendiri. Timbulnya
konsep tanggung jawab karena pengangkutan memenuhi kewajiban tidak sebagaimana mestinya atau
tidak baik, atau tidak jujur, atau tidak dipenuhi sama sekali.i
Tapi dalam perjanjian pengangkutan ada beberapa hal yang bukan tanggung jawab pengangkut,
artinya timbul kerugian, pengangkut bebas dari pembayaran ganti kerugian. Beberapa hal itu adalah:
1. Keadaan memaksa;
2. Cacat pada barang atau penumpang itu sendiri;
3. Kesalahan atau kelalaian pengirim atau penumpang.
Ketiga hal ini diakui baik dalam undang-undang maupun dalam doktrin ilmu hukum. Diluar
ketiga hal tersebut pengangkut bertanggung jawab.
Berdasarkan azas kebebasan berkontrak, pihak-pihak dapat membuat ketentuan yang membatasi
tanggung jawab pihak-pihak. Dalam hal ini pengangkut dapat membatasi tanggung jawab
berdasarkan kelayakan. Apabila perjanjian dibuat secara tertulis, biasanya pembatasan itu dituliskan
secara tegas dalam syarat-syarat atau klausula perjanjian, tetapi apabila perjanjian dibuat tidak
tertulis (lisan), maka kebiasaan yang berintikan kelayakan/keadilan memegang peranan penting,
disamping ketentuan undang-undang. bagaimanapun pihak-pihak dilarang menghapuskan sama
sekali tanggung jawab (Pasal 470 ayat 1 KUHD untuk pengangkut).
Luas tanggung jawab pengangkut ditentukan dalam Pasal 1236 dan 1246 KUHPerdata. Menurut
ketentuan Pasal 1236 KUHPerdata, pengangkut wajib membayar ganti kerugian atas biaya, kerugian
yang diderita dan bunga yang layak diterima, bila ia tidak dapat menyerahkan atau tidak merawat
sepatutnya untuk menyelamatkan barang muatan. Pasal 1246 KUHPerdata menentukan bahwa biaya,
kerugian dan bunga itu pada umumnya terdiri dari kerugian yang telah diderita dan laba yang
sedianya akan diterima.
Apabila terjadi perselisihan mengenai tanggung jawab ini, salah satu pihak yaitu pihak yang
dirugikan dapat menggugat kemuka Pengadilan. Dalam hal ini pengirim atau penerima dapat
menggugat pengangkut atas kerugian yang diderita dan sebaliknya pengangkut dapat menggugat
penerima atau pengirim mengenai biaya pengangkutan yang tidak atau belum dibayar.

12
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara, Jakarta : PT. Citra Aditya Bakti, 1994,
Cet. Ke-2, h.27

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan pada Bab III dan menjawab rumusan masalah , maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Struktur organisasi kapal terdiri dari Nahkoda dan Anak Buah Kapal dimana masing- masing
pihak mempunyai hak dan kewajiban serta mempunyai kewenangan yang berbeda. Dalam
pembahasan diatas dapat diketahui bahwa nahkoda mempunyai kwenangan-kewenangan
khusus yang mana salah satunya nahkoda dapat menjadi menjadi penegak hukum di kapal
apabial terjadi tindak pidana yang dilakukan di ataqs kapal yang berada di bawah
kekuasaanya.
2. Perjanjian pengangkutan terjadi karena adanya kesepakatan antara pengirim dengan
pengangkut, dimana pengangkut mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan
pengangkutanya ketempat tujuan tertentu dan pihak pengirim mengikatkan dirinya untuk
membayar ongkosnya. Dan sebagai tanda terimanya pengangkut akan menerbitkan Bill of
Lading yang merupakan dokumen pengangkutan itu sendiri. Bill of Lading mempunyai arti
yang sangat penting baik bagi pengangkut maupun bagi pengirim sehingga kesalahan
pertulisan data pada bill of lading akan menempatkan pengangkut pada tanggungjawab yang
seharusnya tidak perlu terjadi. Perjanjian pengangkutan laut terjadi dan mengikat pihak-pihak
"sejak surat tanda terima barang ditandatangani" oleh pengangkut atau orang atas nama
pengangkut.

4.2 Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis menyadari masih banyak kekurangan-
kekuranga yang perlu dilengkapi dan sangat jauh dari kata sempurna. Selain itu, dalam pembuatan
makalah ini penulis bukanlah seseorang yang sempurna yang mampu membuat sebuah tulisan yang
begitu sempurna. Adakalanya dalam karya ini terdapat sebuah kekurangan dimana kekurangan
tersebut tidak semua penulis dapat menyempurnakanya sehingga, penulis mengharapkan masukan-
masukan dari para pembaca supaya dilain waktu penulis dapat mengurangi kesalahan yang pernah
diperbuat serta diharapkan pembaca memberikan keritik yang membangun bagi penulis.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Kadir Muhammad. 1994.Hukum Pengangkutan Darat, Laut dan Udara. Jakarta : PT. Citra
Aditya Bakti.
Djaja, D. Bambang Setiono Adi Indra Kusna.2008.HUKUM LAUT DAN PERKAPALAN. Jakarta:
Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan.
Wiwoho Soejono. S.H. 1987. Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan Perkembangannya, Yogyakarta :
Liberty.
UU no 17 th 2008 tentang pelayaran
KUHD S. 1847-23. B U K U K E D U A : HAK-HAK DAN KEWAJIBAN-KEWAJIBAN
YANGTIMBUL DARI PELAYARAN
http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-pengangkutan/transportasi-maritim/
http://crayonpedia.org/mw/BAB._XIII._HUKUM_LAUT_DAN_HUKUM_PERKAPALAN_BAM
BANG_SETIONO tanggal 4 maret 2011 pulul 07.10
http://hubdat.web.id/uu/962-uu-nomor-17-tahun-2008-tentang-pelayaran/download tanggal 4 maret
2011 pulul 07.30
www2.unej.ac.id/fakultas/hukum1/hukum/kuhd/Buku%20II.rtf diakses tanggal 4 maret 2011 pulul
08.00

14
i

Anda mungkin juga menyukai