Anda di halaman 1dari 4

Guru, Jangan Minta Dikasihani

Oleh: Jabarita

Tema Hari Guru Nasional (HGN) ke-13 tahun ini, “Profesionalisme Guru untuk Insan
Indonesia yang Beriman, Cerdas, dan Kompetitif”. Penulis ingin menyoroti ‘mental dikasihani’
yang menghambat profesionalisme.
Salah satu kelemahan guru yang saya amati selama ini adalah memosisikan diri sebagai
pihak yang perlu dibantu dan dikasihani. Mereka mengajukan tuntutan agar gaji dinaikkan
dengan menyodorkan fakta-fakta betapa kecilnya gaji guru. Pendeknya, guru adalah pihak yang
kalah, lemah—meski dengan kesadaran, guru sangat dibutuhkan—dan karena itu mohonlah
diperhatikan.
Cara pandang guru yang seperti itu terhadap dirinya membuat guru berada pada posisi
‘mental kalah’. Ini sesuatu yang sangat serius. Implikasi mental kalah membuatnya kehilangan
potensi, gairah, dan kolektifitas. Di lapangan bermunculanlah guru-guru yang mengajar dengan
ilmu zaman batu tanpa pernah memperbaharuinyalagi, tidak disiplin dalam mengajar, termasuk
di antaranya mengabaikan psikologi anak-anak.
Jelas tidak dapat dipukul rata bahwa begitulah gambaran semua guru. Masih ada yang
benar-benar menjadi sosok yang pantas digugu dan ditiru. Namun jumlah mereka bukanlah
jumlah mayoritas, melainkan minoritas. Kegagalan dana BOS seperti yang diberitakan, kendati
itu bukan semuanya karena faktor guru, tetapi guru turut bertanggung jawab atas kegagalan itu.
Bukankah guru merupakan pihak yang paling awal (pendataan) dan paling akhir (penyaluran)
dalam pengelolaan dana BOS?
Mengingat pentingnya peran guru sehingga ada istilah ‘guru bangsa’ (tidak ada istilah
pengusaha bangsa, wartawan bangsa) maka perlu ada keseriusan dari seluruh komponen bangsa
untuk memperbaiki kondisi tersebut. Selama sikap mental guru-guru masih didominasi mental
kalah, mental dikasihani, selama itu pula pendidikan generasi bangsa tidak akan beranjak.
Di zaman penjajahan dan awal kemerdekaan, posisi sosial guru sangat tinggi. Guru
masuk dalam kelompok elit masyarakat. Sekarang banyak guru yang tidak lagi direken
(dihiraukan). Menurut Bambang Sudibyo, ini kegagalan guru dalam mempertahankan status
sosialnya.
Tidak adil jika kesalahan itu seluruhnya ditimpakan kepada guru. Pemerintah juga turut
menciptakan kondisi itu, begitu juga politisi. Mengapa? Sebab di masa lalu, guru dipolitisasi.
Hampir tidak ada guru yang berani memilih selain Golkar di saat pemilu. Memilih selain
Golkar bisa mendatangkan masalah tersendiri bagi guru. Guru-guru akhirnya banyak yang
memilih aman—menuruti permintaan pihak atas.
Akibatnya banyak yang tergadai, termasuk independensi guru yang sangat diperlukan di
dunia pendidikan. Kebenaran bukan lagi dalam proses, melainkan pada hasil. Salah satu
implikasinya adalah Ujian Nasional. Sebagian guru-guru menganut paham pragmatis, yang
penting nilainya tinggi, tentang bagaimana menghasilkan nilai, misalnya dengan mengajari
anak-anak, tak lagi dipersoalkan.

Mental Kalah dan Permisifisme


Mental kalah itu perlu dikikis habis agar guru tidak ‘menjual’ kelemahannya, dengan
harapan dikasihani. Mental kalah bisa juga mengarahkan guru menganut budaya permisif
(menyerbabolehkan). Itu terjadi karena dengan memosisikan diri sebagai orang yang kalah,
akhirnya ia akan menganggap tak berdaya dan karena itu apa yang secara normatif tidak boleh,
dianggap boleh. Itu cara bertahan.
Bertahan dengan mengandalkan kelemahan jiwa dan menganut ‘apa saja boleh’
membuat guru kehilangan arah. Jika ada pihak yang mengajak berbisnis buku kepada anak-
anak, dianggap boleh. “Gaji guru kan kecil, ini bisa tambahan”. Kalau dana BOS bisa
‘dimainkan’, mengapa tidak, begitu kira-kira.
Mental kalah itu juga membuat guru tidak gemar menonjolkan kemampuannya,
melainkan ‘alasan mengapa ia tidak mampu’. “Bagaimana mungkin guru bisa membaca buku
baru, padahal uang sewa rumah pun harus mengutang”. Itu ungkapan dari orang bermental
kalah. Apakah membaca buku harus dengan membelinya, tidakkah ada cara lain? Bukankah
ada perpustakaan, meminjam kepada yang punya buku, dan usaha-usaha lain yang tidak
seterusnya harus dengan uang.
Tidak heran jika data-data tentang guru menunjukkan penurunan kualitas yang ‘ya
ampun ini musibah’. Menurut Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan, Depdiknas, Fasli Jalal, dari 2,7 juta guru yang ada saat ini, sekitar 912.505 orang
guru tidak layak mengajar atau tidak layak menjadi guru. Di tingkat SD 49,3 persen, SMP 36
persen, SMA 33 persen, SMK 43 persen.
Akibat yang paling serius dari mental kalah, mental dikasihani ini adalah matinya
profesionalisme. Pihak yang paling merasakan itu secara langsung adalah para murid. Jika
mereka diajar guru-guru yang bermental kalah tentu saja mereka pun akan menjadi sosok-
sosok yang tumbuh dengan mental kalah, minta dikasihani, merasa diri tak mampu berdaya.

Solusinya, Bangkitkan Diri Sendiri


Ada orang atau pihak yang memerlukan pertolongan orang lain untuk bangkit. Itu
sesuatu yang wajar karena tidak setiap orang mempunyai kekuatan untuk bangkit sendiri.
Namun perlu disadari bahwa untuk bangkit, pertama-tama orang harus membangkitkan dirinya
sendiri. Seseorang ketika ingin ditolong, diberdayakan dan seterusnya, maka pertama kali harus
mulai dari dirinya sendiri.
Ketidakberdayaan guru yang selama ini sering dikatakan, termasuk oleh guru sendiri,
jika ingin berdaya, pertama-tama mereka harus memberdayakan dirinya sendiri. Membuat guru
menjadi profesional dan kompeten, pertama-tama harus dimulai dari dalam diri si guru itu
sendiri. Adalah sesuatu yang mustahil keinginan membuat guru profesional dan kompeten, jika
keinginan itu muncul dari luar, sedangkan guru tidak.
Menurut penulis, supaya guru bisa membangkitkan dirinya, dapat membangungkan
semangatnya, maka perlu dimulai dengan perubahan dari dalam. Menumbuhkan bibit-bibit
kebangkitan tidak menjadi masalah kalau pihak luar dilibatkan. Kegiatan-kegiatan penataran
dan sejenisnya, hemat penulis, perlu diarahkan pada kegiatan yang bisa memompakan kembali
semangat guru.
Kegiatan pelatihan dan sejenisnya, selama ini kerap hanya berkutat pada soal-soal
teknis, sementara intinya yaitu sesuatu yang membuat orang semangat terhadap yang teknis itu,
dilupakan. Sehebat apapun kemampuan atau kompetensi seseorang, jika semangatnya
melempem atau bahkan patah, maka kompetensi itu akan mati beku. Sebaliknya, semangat
mendidik yang dimiliki guru bisa dengan sendirinya memacu dirinya untuk belajar, meski
secara otodidak.[]
Penulis, pemerhati pendidikan

Anda mungkin juga menyukai