Anda di halaman 1dari 21

“Bringing the Public Back In” 33

KRISIS EKONOMI
SEBAGAI MASALAH PUBLIK

Dari Krisis Moneter ke Krisis Multi-dimensi

Saat ini, setelah gerakan reformasi berumur


lebih dari sewindu, orang mudah menyepakati, bahwa
krisis multi-dimensi yang dialami bangsa ini belum
sepenuhnya pulih. Secara keseluruhan, banyak yang
mengakui bahwa reformasi di Indonesia berjalan pada
jalur yang benar dan proses pemilihan presiden secara
langsung dianggap sebagai salah satu keberhasilan.
Namun demikian, tidak sedikit pula yang melihat dan
yakin bahwa reformasi belum selesai, masih banyak
pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Bahkan
banyak orang yang menilai, bahwa kondisi ekonomi
Indonesia belum kembali ke posisi sebelum krisis
tahun 1998. Kalaupun terjadi pemulihan (recovery),
prosesnya sangat lambat dan sangat rentan terhadap
fluktuasi di pasar global. Tulisan ini tidak terutama
membahas mengenai perkembangan kinerja ekonomi
Indonesia sejak terjadinya krisis moneter 1998 sampai
sekarang, tetapi mencoba memahami mengapa proses
pemulihan ekonomi Indonesia terasa amat lambat
dibandingkan dengan negara-negara Asia lain yang
juga mengalami krisis lebih dulu dan lebih hebat dari
Indonesia. Tulisan ini secara hipotetik beranggapan,
bahwa sulitnya proses pemulihan ekonomi Indonesia
disebabkan oleh karena yang terjadi bukan semata-
mata sebuah krisis moneter atau krisis yang dapat
diselesaikan secara teknis keuangan atau strategi
34 “Bringing the Public Back In”

ekonomi semata, melainkan persoalan hilangnya


kepercayaan publik (public distrust) yang perlu
diselesaikan secara mendasar dan menyeluruh.

Jika dilihat kembali secara kronologis, apa yang


telah terjadi sejak tanggal 21 Mei 1998 adalah sebuah
bunga rampai ketidak percayaan (distrust) yang
terjalin demikian rumit. Berakhirnya kepemimpinan
nasional yang ditandai dengan mundurnya Soeharto
dari jabatan kepresidenan pada tanggal 21 Mei 1998,
tidak lain merupakan manifestasi ketidak-percayaan
publik kepada rejim yang berkuasa. Demikian pula
dengan pro-kontra terhadap pengangkatan B.J. Habibie
sebagai pengganti Soeharto. Krisis kepercayaan
terhadap pemerintah tersebut, sebenarnya sudah
tampak dengan jelas pada paruh kedua tahun 1997,
ketika pemerintah berusaha untuk mengatasi gejolak
moneter. Ketika itu nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika Serikat anjlok dari sekitar Rp 2.400,- per dolar
menjadi sekitar Rp 8.700,- per dolar. Krisis
kepercayaan publik tersebut juga menjadi begitu jelas
ketika pemerintah, khususnya aparat keamanan, tidak
berdaya dalam menjelaskan apalagi mengatasi
berbagai perilaku agesif massa yang beruntun sejak
peritiwa Baucau (1 Januari 1995) sampai peristiwa
Tanah Abang (28 Januari 1997), dari Situbondo (10
Oktober 1996) sampai ke Tasikmalaya (26 Desember
1996), dan banyak lagi peristiwa sejenis yang
memenuhi tahun kalender 1995 sampai saat ini.
Kerusuhan 13 Mei 1998 di ibu kota, mempunyai bobot
tersendiri dalam menurunkan kepercayaan
internasional terhadap pemerintah Indonesia,
khususnya dalam menjamin keamanan dari suku
minoritas di kota metropolitan. Ketidakmampuan
membongkar dengan tuntas para pelaku penculikan
dan ulah orang yang dianggap provokator dalam
“Bringing the Public Back In” 35

berbagai kerusuhan, memberikan kredit amat negatif


bagi pemerintah, khususnya polisi dan tentara.

Kepercayaan publik terhadap kemampuan


negara melindungi warganya semakin pudar, terutama
ketika kerusuhan demi kerusuhan terjadi begitu
marak, tidak ada satu fihakpun yang merasa sungguh
bertanggungjawab. Yang terjadi adalah maraknya
berbagai analisis dan penjelasan dengan berbagai
versi dan gaya, dari yang bersifat akademik sampai
yang romantik, dari yang mesianik sampai yang
berusaha mencuci tangan. Tentang peristiwa
Tasikmalaya, misalnya, Pangab waktu itu langsung
membuat pernyataan dengan mengidentifikasi
peristiwa tersebut sebagai suatu hasil rekayasa politik,
dengan demikian pasti ada dalang, aktor intelektual
dan semacamnya. Sementara Abdurachman Wahid,
tokoh besar NU yang sekaligus deklarator PKB yang
kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia yang
ke-4, melihat hal tersebut sebagai akibat dari
terdesaknya pedagang santri oleh pemodal besar
(Majalah Ummat, 20 Januari 1997). Sedangkan Amin
Rais, yang merupakan salah seorang tokoh reformasi
dan sempat menjadi Ketua MPR, sebagaimana yang
dimuat dalam berbagai media massa, lebih melihat
kerusuhan tersebut sebagai manifestasi dari
ketidakadilan. Sementara polisi, khususnya jajaran
Polda Jabar, merasa dijadikan sebagai kambing hitam
yang tidak mampu menjaga keamanan yang menjadi
tanggung-jawabnya.

Terlepas dari berbagai faktor pemicu yang


mendahuluinya, serta analisis tentang faktor-faktor
penyebabnya, peristiwa Tasikmalaya dan yang lainnya
tetap meninggalkan kesan tentang hancurnya norma-
norma sosial dan kesan tentang ketidakberdayaan
36 “Bringing the Public Back In”

pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan yang


muncul. Sampai saat ini, aktor intelektual atau yang
lebih populer dengan sebutan provokator itu tetap tak
pernah jelas sosoknya, apalagi dapat ditangkap dan
diadili. Mereka menghilang dalam riuhnya pernyataan
politik, sedangkan mereka yang diadili dipercaya oleh
banyak orang, bukanlah pelaku kunci yang seharusnya
bertanggungjawab. Ketidakpercayaan demi
ketidakpercayaan dan ketidakberdayaan demi
ketidakberdayaan untuk mengidentifikasi kebenaran
itulah yang menyebabkan makin mempersulit setiap
upaya untuk memahami serta memecahkan persoalan
yang sesungguhnya.

Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah


juga sudah terkikis habis setiap hari oleh praktek-
praktek penyalahgunaan kekuasaan yang tanpa batas
dan pengawasan yang merambah ke segala bidang
kehidupan, termasuk adanya intervensi kekuasaan
terhadap proses pengadilan, dari penanganan kasus
Udin, seorang wartawan sebuah harian di Yogyakarta,
sampai kasus Galib dan kasus Bank Bali.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah, khususnya
pemerintahan Habibie, tampak semakin kuat karena
pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi krisis
moneter yang sudah berkembang parah menjadi krisis
ekonomi, sosial dan politik secara menyeluruh. Harga
harga kebutuhan pokok, baik barang maupun jasa,
terus melangit sementara daya beli masyarakat terus
melemah. Kebangkrutan sektor riil, khususnya sektor
properti, dan sektor perbankan, menghasilkan tingkat
pengangguran yang amat tinggi. Bank Dunia
memperkirakan, bahwa tahun 1998 pengangguran di
Indonesia berlipat empat kali menjadi 20 juta orang
disamping 50 juta orang yang semi pengangguran. ILO
memperkirakan memperkirakan tidak kurang dari
“Bringing the Public Back In” 37

15.000 orang setiap hari kehilangan pekerjaan dalam


masa krisis ini. ILO juga memperkirakan, bahwa 5,4
juta orang karyawan yang kehilangan pekerjaan akan
masuk sektor informal pada tahun 1998, bergabung
dengan 2/3 penduduk yang sudah berada di sana.
Sebagian lagi dari mereka yang kehilangan pekerjaan
akan menganggur dan merupakan kekuatan potensial
bagi naiknya kriminalitas dan kerusuhan sosial
maupun instabilitas politik. Dapat dipastikan, bahwa
angka-angka itu semakin buruk sekarang.

Sejak awal sampai saat ini, usaha pemerintah


untuk mengatasi krisis moneter yang berkembang
menjadi krisis ekonomi luas belum menunjukkan hasil.
Hal tersebut antara lain berkaitan erat dengan krisis
kepercayaan yang telah dibahas di muka. Beberapa
peristiwa penting mampu menurunkan kredibilitas
pemerintah di mata rakyat dengan drastis, diantaranya
dapat disebut bahwa beberapa saat sebelum
melikuidasi 16 buah bank, pemerintah masih
menyatakan bahwa bank-bank tersebut adalah bank-
bank yang sehat. Selain itu, pemerintah pernah
membuat berbagai pernyataan tentang jumlah devisa
negara yang dinilai cukup, namun ternyata tidak
memadai untuk menutup neraca perdagangan luar
negeri. Demikian pula dengan diumumkannya
penilaian Bank Dunia yang menyatakan kuatnya
fundamen ekonomi Indonesia, beberapa saat sebelum
anjloknya nilai rupiah. Sejak itu, hampir semua ajakan
pemerintah kepada masyarakat untuk melakukan
upaya penyelamatan ekonomi, termasuk ajakan
menjual dolar dan menyumbang emas untuk negara,
tidak mendapat tanggapan yang berarti dari
masyarakat, bahkan dianggap lelucon yang tidak lucu
karena kebanyakan rakyat tidak belanja dengan dolar.
Mitra dagang Indonesia di luar negeri pun serta merta
38 “Bringing the Public Back In”

tidak mau menerima letter of credit (L/C) yang


dikeluarkan oleh bank-bank di Indonesia. Hal ini
menyebabkan sulitnya melakukan transaksi dagang
dengan pihak luar negeri, terutama bagi para importir.
Persoalannya saat itu adalah bagaimana pengalaman-
pengalaman tersebut dipahami dan dikonseptualisasi
secara tepat, sehingga dapat dedekati dengan tepat
pula. Tulisan ini, sekali lagi, tidak mempunyai pretensi
untuk memberi penjelasan satu-satunya tentang
fenomena yang dialami, apalagi memberi jawaban
yang jitu terhadap persoalan yang demikian rumit.
Namun dengan segala keterbatasannya bermaksud
menawarkan suatu cara pandang yang mungkin
berguna dalam memahami tali temali persoalan
ekonomi yang rumit tadi dengan sebuah kata kunci,
kepercayaan publik (public trust). Secara hipotetik
dapat dirumuskan, bahwa sulitnya pemerintah
melakukan pemulihan ekonomi bangsa ini setelah
mengalami krisis, adalah karena telah kehilangan
kepercayaan publik. Oleh karena itu, membangun
kembali ekonomi bangsa ini harus dimulai dengan
membangun kepercayaan publik yang telah sempat
porak-poranda.

Secara sistematik, bagian pertama dari tulisan


ini berusaha mengidentifikasi berbagai persoalan
dasar yang saat ini terjadi, merentang dari krisis
moneter sampai krisis moral. Bagian kedua, mencoba
membuat suatu konseptualisasi dan refleksi teoritik
tentang bagaimana krisis tersebut dipahami serta
berusaha menjawab mengapa hal tersebut terjadi.
Bagian ketiga tulisan ini berusaha menggugah lahirnya
langkah nyata yang perlu ditempuh untuk mengatasi
krisis, baik di tingkat individu, kelompok, maupun di
tingkat bangsa secara keseluruhan. Sambil percaya,
bahwa proses pemilihan umum yang relatif aman dan
“Bringing the Public Back In” 39

demokratis, dapat menjadi tonggak awal bagi


pembentukan pemerintahan yang dapat dipercaya
(credible) untuk memimpin bangsa ini memasuki
milenium ketiga yang penuh tantangan.

“The Problem of Public Distrust”

Persoalan dasar yang ingin dijawab pada bagian


ini adalah bagaimana masalah kepercayaan (trust)
berhubungan dengan masalah ekonomi dan masalah-
masalah lainnya? Ilmuwan sosial, khususnya para
penstudi sosiologi ekonomi, mudah sepakat bahwa
kepercayaan adalah esensi dan sekaligus landasan
bagi terjadinya suatu interaksi sosial yang positif,
yakni kerjasama. Hal tersebut tidak saja berlaku dalam
relasi-relasi kekuasaan (politik) dan relasi-relasi
kultural, tetapi juga dalam relasi-relasi ekonomi. Tidak
saja dalam masyarakat tradisional, tetapi juga dalam
masyarakat modern. Fukuyama (1995) mendefinisikan
kepercayaan sosial (social trust) sebagai ikatan-ikatan
terselubung di antara warga masyarakat yang
memfasilitasi berbagai transaksi, memberdayakan
kreativitas individual, dan melegitimasi tindakan-
tindakan kolektif. Untuk sampai pada kesimpulan
tersebut, Fukuyama mengkaji berbagai kebudayaan
nasional dalam rangka mencari tahu prinsip-prinsip
tersembunyi di balik kejayaan dan kemakmuran suatu
bangsa. Hasil penemuannya membuktikan, bahwa
kehidupan ekonomi melekat pada budaya setiap
masyarakat serta tergantung pada ikatan moral (moral
bonds) dari kepercayaan sosial (social trust). Dalam
situasi ekonomi global seperti saat ini, menurutnya,
keberhasilan suatu negara akan sangat ditentukan
oleh perbedaan-perbedaan budayanya. Social capital
yang direpresentasikan dengan tingkat kepercayaan
(social trust) akan sama pentingnya (bahkan lebih)
40 “Bringing the Public Back In”

dibandingkan dengan modal fisik seperti sumber daya


alam dan uang. Ia berpendapat, bahwa masyarakat
yang mempunyai tingkat kepercayaan sosial tinggilah
yang mampu membangun organisasi bisnis yang besar
namun fleksibel seperti yang dibutuhkan dalam
persaingan ekonomi dewasa ini. Menurutnya,
keberhasilan ekonomi suatu bangsa tidak terutama
ditentukan oleh etos individualismenya, namun oleh
kuatnya ikatan-ikatan komunitas di dalam masyarakat
yang bersangkutan.

Penjelasan Fukuyama tentang sebab


keberhasilan pembangunan ekonomi tersebut di atas
agak menjungkirbalikan apa yang biasa dikemukakan,
baik oleh para ekonom konservatif maupun para
pendukung materialisme Marxis. Pasar bebas, menurut
para pendukungnya merupakan kondisi utama bagi
lahirnya inisiatif individu menuju kemakmuran. Variasi
jawaban lain sangat menekankan pada keterampilan
dan motivasi individu sebagai kunci keberhasilan
pembangunan ekonomi. Penjelasan yang lain lagi
memfokuskan pada masalah jenis dan ukuran
organisasi produksi. Dengan cara yang berbeda, Mills
dan Ulmer (1946) serta Piore dan Sabel (1984)
mengemukakan bahwa industri berskala besar sangat
merugikan peningkatan kesejahteraan masyarakat,
sedangkan industri kecil berdampak positif. Harrison
(1994) di sisi lain, yakin akan hal yang sebaliknya. Ia
percaya bahwa bisnis berskala besar tidak hanya bisa
hidup dan berkembang baik, tetapi menjadi sangat
fleksibel dan efisien serta berdampak positif pada
kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Berbeda dengan penjelasan-penjelasan yang


telah dikemukakan di muka, penjelasan sosiologis
seperti juga penjelasan Fukuyama, umumnya mengacu
“Bringing the Public Back In” 41

pada struktur sosial dan kultur sebagai faktor penjelas.


Mereka percaya, bahwa faktor-faktor sosial merupakan
penjelas tinggi-rendahnya tingkat kesejahteraan
masyarakat. Sumber argumen tersebut dapat
ditemukan dalam karya klasik Karl Polanyi
(1944/1957), The Great Transformation dan
dikemukakan kembali oleh Mark Granovetter (1985)
dan para pendukung sosiologi ekonomi. Polanyi dalam
buku tersebut mengemukakan, bahwa proses-proses
pasar dan ekonomi melekat (embedded) pada pranata-
pranata sosial yang ada.

Kajian Polanyi merupakan hasil refleksi


mendalam terhadap faktor ekonomi dan politik dari
runtuhnya peradaban Eropa abad ke-19. Dalam
bukunya, ia mengidentifikasi ada empat institusi yang
menjadi pilar peradaban waktu itu: keseimbangan
kekuatan internasional (the international balance of
power), standar harga emas (the gold standard),
mekanisme pasar bebas (self regulating markets), dan
negara yang bersikap liberal (the liberal state). Polanyi
berpendapat, bahwa self regulating market-lah yang
merupakan pilar paling penting dan menentukan dari
keempatnya. Pasar bebas tidak hanya merupakan
sumber dari munculnya suatu peradaban baru saat itu,
tetapi juga yang paling bertanggungjawab atas
runtuhnya peradaban yang ada setelah perang dunia
pertama. Polanyi sungguh percaya, bahwa ekonomi
pasar tidak akan bisa bertahan untuk waktu tertentu
tanpa menghancurkan masyarakat di sekitarnya. Hal
tersebut terjadi, bukan saja karena pasar bebas
sangat mengutamakan hubungan-hubungan ekonomi
semata, tetapi juga karena sistem ideal dari ekonomi
baru menuntut adanya penolakan tanpa belas kasih
terhadap status sosial umat manusia.
42 “Bringing the Public Back In”

Untuk lebih meyakinkan, Polanyi


mengidentifikasi lebih lanjut bahwa pasar bebas telah
mendorong pabrik-pabrik (baca: industri) telah
melumatkan kebutuhan umat manusia, dengan cara
menghancurkan masyarakat sebagai satu komunitas
menjadi atom-atom lepas, manusia individual. MacIver
menggarisbawahi pesan Polanyi ini dalam kata
pengantar buku Polanyi untuk edisi tahun 1957
sebagai berikut:

"Men failed to realize what the cohesion of


society meant. The inner temple of human life
was despoiled and violated. The tremendous
problem of the social control of a revolutionary
change was unappreciated; optimistic
philosophies obscured it, shortsighted
philanthropies conspired with power interest to
conceal it, and the wisdom of time was still
unborn."

(Manusia gagal untuk menyadari apa arti


guyubnya suatu komunitas. Esensi dasar hidup
manusia dihancurkan dan dilanggar. Berbagai
masalah yang berkaitan dengan pengendalian
sosial dari sebuah perubahan yang dasyat tidak
mendapat hirauan; pemikiran filsafat yang
optimistik mengaburkannya, kepentingan sesaat
bersekongkol dengan kepentingan kekuasaan
menyembunyikannya, sementara kebajikan yang
ditunggu belum juga muncul).

Identifikasi Polanyi tentang akibat pasar bebas


beberapa abad yang lalu sungguh dahsyat dan seperti
sangat dekat dengan pengalaman sehari-hari.
Selanjutnya Polanyi berpendapat, bahwa ketika
berhadapan dengan kekuatan penghancur tersebut
“Bringing the Public Back In” 43

(pasar bebas), masyarakat bereaksi untuk melindungi


diri. Apapun mekanismenya, hal tersebut akan
menghancurkan mekanisme pasar, mengacaukan
industri dan pada akhirnya membahayakan
masyarakat itu sendiri dengan cara mengacaukan
institusi-insitusi sosial yang berdiri di atasnya.
Sedangkan hancurnya sistem internasional saat itu,
disebabkan oleh karena keseimbangan kekuatan antar
bangsa (international balance of power) tidak lagi
mampu menghasilkan perdamaian manakala sistem
ekonomi tempat ia berpijak gagal. Revolusi industri,
menurut Polanyi, telah berhasil mengembangkan
teknologi produksi secara mengagumkan, namun hal
tersebut disertai dengan terjadinya penyisihan hidup
orang-orang kebanyakan. Teknologi mereduksi
manusia menjadi buruh, dan alam menjadi sebidang
tanah. Pendeknya ia percaya, bahwa hancurnya
peradaban umat manusia yang ia saksikan selama
Perang Dunia II bersumber dari hancurnya ekonomi
pasar. Namun Polanyi menelusuri sumber kegagalan
ekonomi pasar tersebut ternyata terletak pada kondisi-
kondisi sosial masyarakat Eropa Barat yang
melahirkan dan menjadi pijakan ekonomi pasar
tersebut.

Demikianlah kerangka istitusional (the social


construction) dari pasar bebas yang menjadi inti
peradaban masyarakat Eropa Barat yang sempat
diidentifikasi oleh Polanyi dalam rangka menjelaskan
runtuhnya peradaban pada saat itu.. Secara lebih
spesifik, Polanyi juga menjelaskan mengenai perilaku
ekonomi. Ia berpendapat bahwa perilaku ekonomi
sesungguhnya melekat di dalam hubungan-hubungan
sosial yang berlangsung setiap hari:
44 “Bringing the Public Back In”

"The outstanding discovery of recent historical


and anthropological research is that man's
economy, as a rule, is submerged in his social
relationships. He does not act so as to safeguard
his individual interest in the possession of
material goods; he acts so as to safeguard his
social standing, his social claims, his social
assets." (Polanyi 1944/1957:.46)

(Penemuan luar biasa dari penelitian sejarah dan


antropologi saat ini adalah, bahwa ekonomi umat
manusia, sebagai suatu aturan, melekat dalam
hubungan-hubungan sosial. Orang tidak
melakukan tindakan ekonomi dalam rangka
melindungi kepentingan individualnya untuk
memiliki barang-barang material, melainkan
bertindak untuk melindungi status sosialnya,
tuntutan sosialnya, serta aset sosialnya).

Untuk memperkuat argumennya, Polanyi mengangkat


hasil penelitian Bronislaw Malinowski mengenai
masyarakat Trobiand di kepulauan Melanesia Barat.
Malinowski mengemukakan, bahwa masyarakat
Trobiand tidak terutama berlandas pada motivasi
ekonomi, melainkan pada hubungan timbal-balik
dalam perkawinan dan kekeluargaan serta redistribusi
susunan kekuasaan dan stratifikasi sosial. Dalam
masyarakat semacam itu, menurut Polanyi, sistem
ekonomi hanyalah merupakan fungsi dari organisasi
sosial (Polanyi 1944/1957:49). Lebih lanjut Polanyi
mengemukakan, bahwa prinsip ini juga berlaku di
dalam masyarakat modern seperti masyarakat Eropa
(ibid.: 55).

Pesan penting yang disampaikan Karl Polanyi


dari analisis terhadap pengalaman Eropa Barat setelah
“Bringing the Public Back In” 45

Perang Dunia I adalah, membawa kembali masyarakat


dan tatanan sosial untuk diperhitungkan dalam
memahami tindakan-tindakan ekonomi. Pesan yang
mendapat simpatik dan relevan untuk di dengar
kembali oleh para pengamat dan ilmuwan sosial saat
ini. Polanyi menemukan jawaban terhadap masalah-
masalah ekonomi, dalam hubungan-hubungan sosial
yang tidak terhancurkan. MacIver ketika memberikan
pengantar terhadap tulisan Polanyi menulis juga
sebagai berikut:

"...what our age needs is the reaffirmation, for


its own condition and for its own needs, of the
essential values of human life... from Polanyi one
can learn to look beyond the inadequate
alternatives that are usually offered to him or
her, the thus far and no farther of liberalism, the
all or nothing of collectivism, the seer negation
of individualism, for these all tend to make some
economic system the primary objective. Only by
the primacy of society, the inclusive coherent
unity of human interdependence, that we can
hope to transcend the perplexities and the
contradictions of our time."
(Polanyi, 1944/1957: x-xii).

(Apa yang dibutuhkan saat ini adalah penegasan


kembali, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
saat ini, nilai-nilai esensial dari hidup manusia…
dari Polanyi orang dapat belajar untuk mencari di
luar alternatif-alternatif yang tidak memadai
yang biasa diperolehnya, menerima tidak lebih
jauh dari liberalisme, menerima mentah-mentah
kolektivisme, atau pengingkaran terhadap
tukang ramal dari individualisme, untuk itu
semua cenderung membuat sistem ekonomi
46 “Bringing the Public Back In”

menjadi tujuan utama. Hanya dengan


mengutamakan masyarakat, persatuan umat
manusia yang inklusif saling tergantung, yang
terhadapnya kita dapat berharap untuk
mentransendensikan kebingungan dan
kontradiksi-kontradiksi yang terjadi saat ini).

Refleksi Polanyi menyajikan cara pandang unik


dan inklusif dalam menjelaskan institusi dan perilaku
ekonomi. Pemikirannya menggema kembali melalui
kajian-kajian sosiologi ekonomi. Para pendukung
sosiologi ekonomi mengembangkan lebih lanjut
argumen-argumen yang dikemukakan oleh Polanyi.
Mereka sangat menekankan, bahwa tindakan ekonomi
pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari relasi-relasi
sosial dan relasi-relasi kekuasaan. Swedberg dan
Granoveter (1992) mengajukan tiga argumen kuat
untuk menjelaskan hal tersebut. Pertama, perilaku
ekonomi (seperti berdagang) adalah sebuah tindakan
sosial. Argumen ini sebenarnya merupakan topik klasik
dan masih tetap menempati agenda utama dalam
penelaahan sosiologi. Durkheim ([1893] 1984: 173)
dalam bukunya The Division of Labor in Society
menekankan, bahwa tindakan ekonomi murni (i.e.
maksimisasi profit dan tindakan rasional) tidak
mungkin mampu menciptakan ikatan sosial yang lebih
permanen, bahkan ketika masyarakat sepenuhnya
bersandar pada pembagian kerja yang teratur. Ia
menekankan, bahwa pada kenyataannya individu-
individu yang terlibat dalam proses pertukaran,
biasanya masih menjalin hubungan walau proses
pertukaran telah selesai. Hal itu hanya mungkin terjadi
karena, seperti juga bentuk-bentuk tindakan sosial
yang lain, adanya orientasi menuju dan diilhami oleh
apa yang disebutnya sebagai collective
representations. Pandangan yang kuat tentang
“Bringing the Public Back In” 47

perilaku ekonomi sebagai suatu bentuk tindakan sosial


juga dikemukakan oleh dua tokoh sosiologi klasik
lainnya Karl Marx dan Max Weber.

Argumen kedua dari para pendukung sosiologi


ekonomi berbunyi, bahwa tindakan ekonomi selalu
terkondisi dalam suatu situasi sosial tertentu (socially
situated). Tindakan ekonomi tidak mungkin dapat
dijelaskan hanya dengan mengacu pada motif-motif
individual semata. Tindakan ekonomi melekat
(embedded) dalam suatu jaringan (network)
hubungan-hubungan personal yang berlangsung.
Jaringan atau network di sini diartikan sebagai suatu
rangkaian kontak yang teratur atau hubungan-
hubungan sosial sejenis di antara individu-individu
atau kelompok-kelompok. Pendekatan network tidak
saja mampu menghindari analisis terhadap individu
sebagai atom yang terpisah dari orang lain, tetapi juga
memberi penjelasan yang memadai mengenai
penemuan, penyebaran dan penggunaan teknologi
dalam proses produksi, susunan kepemilikan, atau
penjelasan budaya tentang peristiwa ekonomi
tertentu. Ia juga membuktikan, bahwa orang umumnya
menggunakan network dalam memperoleh pekerjaan
dan karirnya (Granovetter, 1974).

Argumen ketiga adalah, bahwa institusi ekonomi


terbentuk secara sosial (socially constructed).
Argumen ini sebenarnya merupakan reaksi sosiologis
terhadap the New Institutional Economics yang mulai
menaruh perhatian terhadap proses pelembagaan
ekonomi (Williamson 1975, 1985; North 1981; Schotter
1981; North and Thomas 1973). Neo-ekonomi-
institusional muncul dari kesadaran ilmu ekonomi
tentang perlunya analisis terhadap institusi sosial
untuk menjelaskan berbagai masalah ekonomi, namun
48 “Bringing the Public Back In”

yang menjadi tema dasar mereka adalah efisiensi.


Hanya institusi yang efisien yang akan bertahan dan
hidup. Menanggapi hal ini, Mark Granovetter (1990)
mengajukan konsep 'social construction' yang berakar
pada tiga konsep pokok yaitu 'the sosial construction
of reality' dari Peter L.Berger dan Thomas Luckmann
(1966), 'konsep path-dependent development' dari
Paul David (1986) dan Brian Arthur (1989), dan konsep
'jaringan sosial' (social network). Secara garis besar
Granovetter mengemukakan, bahwa institusi sosial,
termasuk institusi ekonomi, bukanlah suatu realitas
obyektif dan bersifat eksternal seperti yang tampak di
permukaan. Melainkan merupakan hasil suatu proses
sosial, yaitu proses penciptaan sosial yang lambat.
Cara melakukan sesuatu, termasuk cara berdagang,
'diperkeras' dan 'dipertebal' dan kadang-kadang
'diperhalus' melalui proses-proses dan konstrukri sosial
sampai akhirnya terciptalah 'cara berdagang tertentu'.
Jaringan (network) dipandang sangat perlu dalam
proses formasi institusi, namun begitu institusi telah
mapan (locked in) urgensinya menjadi berkurang.
Dalam konteks institusionalisasi yang demikian, maka
konsep efisiensi bukanlah penjelas utama tentang
mengapa sebuah organisasi bisnis dapat bertahan
hidup dan berkembang. Kalaupun demikian, efisiensi
itu sendiri lahir sebagai hasil dari proses konstruksi
sosial.

Catatan Kaki untuk Pemulihan Ekonomi

Sebagai penutup, tulisan ini mencoba memberi


sebuah catatan kaki untuk pemulihan ekonomi.
Mengapa hanya sebuah catatan kaki? Karena isinya
bukanlah sebuah konsep dan teori ekonomi yang lahir
dari tradisi yang lazim difahami di negeri ini,
“Bringing the Public Back In” 49

melainkan sebuah pelajaran yang datang dari masa


silam tentang kompleksnya jalinan institusional sebuah
realitas, dan refleksi historik yang layak
dipertimbangkan ketika persoalan ekonomi tidak lagi
bisa dimengerti apalagi di atasi dengan kacamata
sebuah disiplin. Sebuah catatan kaki yang diharapkan
dapat melahirkan inspirasi dan alternatif, ketika
sebuah persoalan dilihat dari paradigma yang berbeda.

Catatan Kaki Pertama;


Dalam tulisan ini dipahami, bahwa krisis
sesungguhnya yang melanda bangsa ini, meski dimulai
dengan sebuah krisis moneter dan berlanjut dengan
krisis ekonomi, bukanlah semata-mata masalah
ekonomi. Lebih dari itu, kesulitan dan lambatnya
upaya pemulihan menunjukkan, bahwa yang terjadi
adalah jalinan tali-temali yang rumit tentang
ketidakpercayaan publik (public distrust). Para ibu
rumah tangga tidak percaya, bahwa harga minyak
tidak akan melonjak dan tarif listrik tidak akan naik.
Para pengusaha ragu, apakah kebijakan tentang
investasi akan terus berganti dan tidak yakin bahwa
undang-undang tenaga-kerja tidak akan berubah
ketika seorang pejabat pindah. Para buruh waswas
apakah besok masih dapat bekerja tanpa terkena PHK
dan ragu apakah gaji bulan ini, meski hanya gaji
pokok, akan dibayarkan tepat waktu tanpa harus
mogok dan tanpa potongan uang rokok. Lebih dari itu
masyarakat sangat tidak percaya, bahwa uang pajak
tidak akan diselewengkan oleh pejabat dan para
konsumen tidak percaya akan kualitas barang dan
layanan jasa yang ditawarkan sebuah iklan. Sebuah
rantai ketidakpercayaan yang bertumpu pada tatanan
nilai dan norma pergaulan. Jika fakta yang baru
dikemukakan merupakan sebagian saja dari kebenaran
yang tidak perlu disangkal, maka tidak ada cara lain
50 “Bringing the Public Back In”

agenda pemulihan harus pertolak dari upaya


mengembalikan kepercayaan publik (public trust).
Strategi lebih rinci berkaitan dengan dan akan
dijelaskan dalam catatan kaki-catatan kaki
selanjutnya.

Catatan Kaki Kedua;


Seperti dikemukakan oleh para pendukung
sosiologi ekonomi seperti Swedberg, perilaku ekonomi
(seperti berdagang) adalah sebuah tindakan sosial. Hal
ini mengandung arti, bahwa perilaku ekonomi tersebut
juga tunduk pada hukum-hukum interaksi yang
berlaku secara umum. Bagaimana interaksi sosial
dapat dijelaskan? Dalam sosiologi, Randal Collins
(1994) menyebut ada empat perspektif untuk
menjelaskan sebuah tindakan sosial, yaitu perspektif
konflik, perspektif utilitarian, perspektif fungsionalisme
struktural atau (Dhurkheimian) dan perspektif
interaksionisme simbolik. Menurut perspektif konflik,
masyarakat terdiri dari individu dan kelompok dan
esensi interaksi sosial adalah kepentingan. Jadi ketika
seseorang atau sekelompok orang berinteraksi, yang
sesungguhnya

adalah pertemuan antar kepentingan yang saling


memaksakan. Dalam situasi ini, konflik kepentingan
adalah alamiah dan dominasi kepentingan yang kecil
oleh kepentingan yang lebih besar merupakan hal
natural. Dari perspektif ini, para pengambil kebijakan
ekonomi dapat memahami bahwa lapangan ekonomi
adalah sebuah medan pertempuran yang memerlukan
kearifan dalam mengelola sebuah konflik hidup dan
mati. Perspektif kedua, perspektif utilitarian adalah
cara pandang yang lebih dikenal di kalangan para
ekonom. Para pendukung perspektif ini memandang
masyarakat terutama sebagai kumpulan individu yang
“Bringing the Public Back In” 51

rasional yang memilik ciri, bahwa setiap perilakunya di


dorong oleh tujuan (goal oriented behaviour) dan cara
mencapai tujuan tersebut (prinsip efisiensi). Oleh
karenanya akses terhadap informasi merupakan hal
kritis dalam mengambil keputusan. Jika pengambil
keputusan memahami hal ini dan percaya pada cara
pandang ini, maka pemulihan ekonomi dapat mulai
dengan menyediakan informasi tentang apapun yang
diperlukan agar setiap individu dapat mengambil
keputusan ekonomi yang diharapkan. Perspektif
ketiga, fungsionalisme struktural, berpandangan
bahwa perilaku individu dipengaruhi oleh, bahkan
kadang-kadang ditentukan oleh struktur-struktur (nilai-
nilai, norma-norma dan jejaring kelembagaan)
kelompoknya. Rasionalisme individu sangat dibatasi
dan terikat pada struktur-struktur tersebut. Oleh
karena itu, kebijakan pemulihan ekonomi yang
dilakukan perlu memperhatikan framework
kelembagaan yang ada di dalam masyarakat.
Perspektif keempat, interaksionisme simbolik,
memandang bahwa interaksi sosial melibatkan
pertukaran simbol-simbol (terutama bahasa) dalam
rangka bertukar nilai yang dianggap penting dan
norma yang dianggap pantas. Dalam perspektif ini
barang dan jasa bukanlah benda ekonomi semata
yang dapat diperjual-belikan tanpa makna, melainkan
merupakan simbol sosial dari berbagai hal termasuk
status sosial dan lambang kesalehan. Oleh karena itu
perspektif ini membantu pengambil kebijakan ekonomi
untuk memilih komoditas dan sektor mana yang
secara simbolik bermakna bagi masyarakat dan secara
ekonomis bersifat strategis.

Catatan Kaki Ketiga;


52 “Bringing the Public Back In”

Seperti halnya tindakan sosial lain, tindakan


ekonomi selalu terkondisi dalam suatu situasi sosial
tertentu (socially situated). Secara sederhana prinsip
ini dapat dijelaskan dengan contoh-contoh berikut ini.
Memberi tips kepada pelayan hotel, kebanyakan orang
Amerika melakukannya dan menganggap hal itu
merupakan tindakan terpuji, sehingga orang yang
melakukannya akan mendapat pelayanan yang
menyenangkan. Sebaliknya jika hal itu dilakukan di
Jepang, pelayan hotel akan menolak dengan halus
dengan mengatakan ”Terima kasih, kami dilarang
menerima tips”. Jika hal itu dilakukan di Jakarta,
polanya sulit ditebak, oleh karena itu seorang tamu
bisa saja dianggap salah tingkah apakah harus
memberi atau tidak, dengan risiko bisa dianggap
dermawan atau bajingan. Melakukan atau tidak
melakukan mempunyai risiko yang sama. Demikian
juga halnya dengan membayar pajak kepada negara,
membayar atau tidak membayar risikonya sama, asal
memiliki kedekatan (baca: kolusi) dengan petugas
penagihan. Pengalaman empirik sederhana tersebut,
mengingatkan akan perlunya dibangun situasi-situasi,
yang sebenarnya jauh dari persoalan ekonomi, namun
merangsang setiap orang atau perusahaan untuk
melakukan tindakan yang dikehendaki.

Catatan Kaki Keempat;


Institusi ekonomi, seperti juga institusi-institusi
sosial lainnya, terbentuk secara sosial (socially
constructed) melalui proses yang disebut
institusionalisasi atau pelembagaan. Dalam sosiologi,
pengertian institusi tidak sama dengan organisasi,
melainkan menunjuk pada kumpulan norma yang
mengatur bagaimana suatu tindakan (termasuk
tindakan ekonomi) harus dilakukan. Proses
melembaganya sebuah norma umumnya bermula dari
“Bringing the Public Back In” 53

cara seseorang melakukan suatu tindakan. Jika cara itu


dianggap berhasil, biasanya diulang-ulang sehingga
menjadi sebuah kebiasaan. Ketika orang di sekitarnya
mengikuti kebiasaan orang itu karena dianggap baik,
maka terbentuklah apa yang disebut customs yang
kemudian membentuk sebuah tradisi. Sebuah proses
panjang yang mengingatkan para pengambil
kebijakan, bahwa pemulihan ekonomi memang
merupakan proses panjang yang membutuhkan
kesabaran, ketahanan, namun lebih dari semua itu
adalah konsistensi.

Anda mungkin juga menyukai