Anda di halaman 1dari 2

FATIMAH:

Andaikan Ia Bukan Wanita


Oleh: Muhammad Al-Caff

Mekah, seperti biasa, tampak sibuk. Orang-orang keluar rumah untuk


memenuhi kebutuhan harian mereka. Jutaan harapan dan angan-angan
menggelinding di atas penghuni Ummul Qura. Ada di antara mereka yang sibuk
menghitung-hitung keuntungan perdagangannya; ada yang sibuk mengurusi
pohon kurma; ada yang asyik dalam menggembala domba-domba lucu dan
menggemaskan; ada yang memikirkan hari tua mereka sambil menggelus-elus
jenggot dan cambang mereka; ada yang terlena dalam keindahan syair dan
pantun; ada yang hanyut dalam derasnya fanatisme kesukuan yang memang
tidak mudah hilang dari kehidupan mereka meskipun pasca terbitnya fajar
Islam; ada penguburan anak perempuan hidup-hidup, baik secara rahasia atau
terang-terangan yang diwarnai dengan aroma kental Jahiliyah...
Di tengah-tengah hiruk-pikuk kota kelahiran Ismail itu, ada seseorang yang
sedang menanti kedatangan anaknya. Orang tersebut tidak banyak mempunyai
harapan dan keinginan. Hanya satu keinginannya: melihat anaknya lahir ke
dunia dengan sehat dan selamat. Inilah harapan satu-satunya.
Mengapa hanya ini yang menjadi harapannya? Tidakkah ia mempunyai harapan
lainnya? Iya, hanya itu harapannya. Harapan-harapan lainnya bermuara pada
harapan ini. Dengan kata lain, harapan ini adalah Harapan besarnya, sedangkan
harapan lainnya adalah harapan kecilnya. Harapan inilah yang ketika terwujud
akan menjadi mutiara kehidupannya. Harapan inilah yang ketika ia berwujud
maka wujudnya menjadi sarana untuk datangnya para malaikat yang membawa
jamuan dari surga. Harapan inilah yang menjadi padanan terserasi bagi pemuda
gagah berani yang mengorbankan jiwanya di malam yang mencekam demi
menyelamatkan hidup sang kekasih. Harapan inilah yang menjadi perantara
lahirnya dua mahkota pemuda surga. Harapan inilah yang dengan lancar
berdialog di alam rahim dengan ibundanya sehingga melekatlah gelar Al-
Muhaddatsah padanya. Harapan inilah yang rumahnya menjadi tempat lalu-
lalang para malaikat, khususnya malaikat termulia Jibril as. Harapan inilah yang
menjadi ibu bagi ayahnya. Harapan inilah adalah anugerah terbesar Allah SWT
bagi utusan tercinta dan termulia-Nya. Harapan ini adalah Al-Kautsar yang
dengannya keturunan orang-orang mulia dan suci terjaga dan tak terputus alias
abtar. Harapan tidak lagi menjadi harapan, tapi fakta, ketika pada tanggal 20
Jumadil Akhir ia menerangi kota Mekah dengan kelahirannya yang suci.
Demikianlah Fatimah az-Zahra as. Ia adalah wanita termulia sejagad bagi yang
mengenalnya dengan baik dan benar. Semua keutamaan yang dimiliki oleh pria
terpatri di dalam diri wanita ini. Semua model kesempurnaan manusiawi dan
malakuti terdapat dalam diri istri wali Allah ini. Fatimah adalah nama yang
mencerminkan keindahan dan kebesaran. Betapa tidak, dengan usia yang begitu
singkat selama ia berlabuh di dunia, ia mencetak record yang menakjubkan.
Fatimah menggarungi lautan derita dengan penuh ketabahan dan kesabaran. Ia
menikmati penderitaan di usianya yang masih kanak-kanak saat ayahnya dan
keluarganya dikepung dan diboikot oleh kaum musyrik dan kafir.
Fatimah tidak sempat merasakan indahnya bermain boneka dan aneka permaian
anak kecil lainnya karena ia harus menghadapi tekanan-tekanan hidup yang
superberat sebagai konsekuensi logis dari “profesi” ayahnya yang menjajakan
"hidangan langit" di tengah-tengah kedunguan dan kebutaan kaum Jahiliah.
Bahkan, tidak jarang Fatimah harus menangis tersedu-sedu ketika melihat
"siarang langsung" penghinaan dan perlakuan buruk para alumni Universitas
Berhalaisme terhadap ayah tercintanya. Dan prestasi besar lainnya yang dicetak
oleh Fatimah yang langsung dimasukkan dalam Buku Besar Pencataan Record
Amal Manusia (baca: Al Qur'an) adalah keikhlasannya dalam menyedekahkan
semua makanannya saat ia berpuasa nazar selama 3 hari yang karenanya Allah
SWT menghujaninya dengan bertubi-tubi pujian (untuk lebih jelasnya, silakan
Anda membaca Asbab Nuzul surat al Insan).
Adalah salah maha besar kalau ada yang mengira bahwa pujian Allah dan Rasul-
Nya terhadap ibu Hasan dan Husein ini semata-mata karena "basa-basi". Allah
SWT dan Nabi-Nya tidak pernah mengenal kata basa-basi terhadap siapapun.
Sehingga karena itu, misalnya, ketika Rasul saw bersabda: "Allah ridha dengan
keridhaan Fatimah dan marah karena kemarahannya," maka sabda beliau ini
tidak mempunyai unsur basa-basi atau nepotisme. Beliau berbicara sejujur-
jujurnya bahwa demikianlah kedudukan sesungguhnya anaknya di sisi Allah,
tidak kurang dan tidak lebih. Orang yang menganggap Rasulullah saw berbasa-
basi dalam sikap dan tutur katanya adalah orang yang seratus persen tidak
mengenal kedudukan beliau saw. Bukankah Al Quran mengatakan: "Ia
(Muhammad) tidak pernah berbicara atas kemauan hawa nafsunya. Apa saja
yang diucapkannya berdasarkan wahyu (dari Tuhannya)." (QS. An Najm:3-4)
Adalah benar bahwa Nabi saw sebagai ayah memiliki hubungan yang begitu erat
dengan Fatimah, anak semata wayang yang bertahan hidup dengan beliau.
Adalah benar bahwa Fatimah adalah harapan besar ayahnya. Namun perlu
dicatat bahwa seorang Nabi adalah ayah yang terbaik buat anaknya
sebagaimana ia penasihat yang terbaik bagi umatnya. Ia tidak mungkin
melakukan kesalahan mendasar dalam mendidik anaknya. Seorang nabi,
misalnya, tidak mungkin memanjakan anaknya secara tidak rasional yang
mungkin bisa dilakukan oleh ayah yang lain (selain Nabi). Alhasil, pendidikan
Nabi adalah pendidikan yang terbaik dan termulia, sehingga seorang Nabi tidak
mungkin pernah salah dalam mendidik umatnya, apalagi anaknya sendiri. Jadi,
kata salah asuh harus kita buang jauh-jauh dari kamus kehidupan seorang Nabi.
Berdasarkan hal ini, semua pujian atau mungkin kecaman Nabi terhadap
anaknya sendiri pun pasti benar dan tidak basi basi.
Dan salah satu keutamaan besar Fatimah lainnya yang patut dibanggakan oleh
ayahnya adalah meneruskan reuni malaikat Jibril dengan ayahnya. Yakni,
sepeninggal ayahnya, Jibril tidak langsung “pensiun” dari tugasnya alis tidak
turun ke rumah Fatimah lagi, namun selama 75 hari Jibril bertamu ke rumahnya
dan menyampaikan berita samawi teraktual yang datang dari Sang Maha Tahu
akan segala berita (al Khabir). Ali, suami tercinta dan tersetianya, dengan
telaten dan gembira mencatat setiap ilmu dan kabar yang disampaikan oleh
Jibril itu. Berkaitan dengan keutamaan ini, Imam Khomaini ra meyakini bahwa
inilah keutamaan terbesar putri asuhan wahyu ini dibandingkan rentetan
kebesaran dan keagungan lainnya.
Akhirnya, Jika kaum Adam berbangga dengan Ali sebagai model pemuda
dambaan mereka, maka kaum hawa pun berbangga dengan Fatimah sebagai
model pemudi pusat sanjungan mereka. Dan tidak ada satu titik lemah sekecil
pun yang akan kita temukan pada diri Fatimah. Cukuplah bagi kita pernyataan
Ali Syariati: Fatimah is Fatimah—sebagai pengakuan akan kedangkalan dan
kepandiran serta keterbatasan lisan dan pena untuk mengungkap hakikat
bidadari manusia ini. Dan hanya satu “kekurangan” yang menutupi nama besar
Fatimah, yaitu “sayang dia wanita.” Lalu kalau dia pria kenapa? Ini pertanyaan
pamungkas yang maha menarik. Dan izinkan bukan saya yang menjawabnya,
tapi orang yang hari lahirnya sama dengan hari kelahiran putri Nabi saw ini,
dialah Imam Khomeini ra. Beliau memberitahu kita: “Andaikan Fatimah seorang
pria niscaya ia akan menjadi Nabi.”

Anda mungkin juga menyukai