Anda di halaman 1dari 3

http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?

id=23498

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan untuk menghentikan rencana pembangunan


gedung DPR.

"Rencana pembangunan gedung dan bangunan jajaran pemerintahan yang tidak memenuhi ketentuan
fasilitas, dalam bahasa saya tidak memenuhi kaidah kepatutan harus ditunda atau dihentikan," ujar SBY
usai melakukan rapat terbatas bidang optimasi dan efisiensi anggaran di Istana Presiden, Jakarta, Kamis
(7/4).

Menurut SBY, pembangunan gedung yang mewah di tengah masih banyaknya masyarakat yang berada
di lingkungan miskin sangat tidak patut dilakukan.

Selain itu, ditengah harga minyak yang tidak menentu, pemerintah harus melakukan penghematan
anggaran untuk berjaga-jaga.

"Pembangunan gedung bisa dilaksanakan kalau sangat diperlukan. Besaran, luas dan fasilitas harus
betul-betul sesuai dengan keperluan, sehingga ada anggaran yang bisa dihemat," tegasnya.

RMOL. Penolakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan pembangunan gedung baru DPR
diapresasi. Penolakan Presiden itu dinilai sebagai bentuk perhatiannya terhadap rakyat kecil yang
harus mendapatkan perhatian dari pada DPR.

"Sikap Presiden ini harus diikuti oleh anggota fraksi-fraksi, bukan hanya Demokrat, tapi fraksi
lain, baik yang menjadi anggota koalisi, atau bukan anggota. Mulai hari ini tidak perlu lagi ada
polemik. Karena pemerintah sudah menyatakan sikap menolak," kata Ketua Umum PP Pemuda
Muhamnadiyah, Saleh Partaonan Daulay, kepada Rakyat Merdeka Online sesaat lalu (Kamis,
7/4).

Meski begitu, Saleh menyesalkan lambannya SBY memberikan pernyataan menolak gedung
DPR. Bila sedari awal SBY mengungkapkan penolakannya, terangnya, tentu hal ini tidak
menghabiskan energi masyarakat. Karena wacana ini telah diperdebatkan selama beberapa bulan.

Tapi, yang menarik bagi Saleh, lewat pernyataannya itu, SBY mengakui, bahwa masih banyak
rakyat yang hidup miskin di tengah-tengah gedung mewah. Menurutnya, pernyataan jujur SBY
itu harus ditindaklanjuti para menteri terkait untuk mengentaskannya.

"Itu adalah signal yang bagus bahwa SBY lebih memperhatikan rakyat kecil dan mengabaikan
proyek-proyek pembangunan gedung raksasa, yang tidak ada hubungannya dengan rakyat kecil,"
tandasnya. [zul]

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai gedung pemerintah tidak pantas bermewah-mewah di
tengah minimnya fasilitas publik yang memadai.
"Pembangunan gedung atau perkantoran atau fasilitas yang berkaitan dengan itu bisa dilaksanakan
kalau memang sangat diperlukan dan memiliki urgensi yang tinggi," ujar SBY usai rapat terbatas di Istana
Presiden, Jakarta, Kamis (7/4).

Kemudian, sambung SBY, gedung pemerintahan harus dipikirkan besaran luas dan fasilitasnya. Gedung
pemerintah harus dibangun sesuai dengan keperluannya, tidak boleh fasilitas itu diada-adakan.

"Kalau gedung pemerintah tidak dibangun berlebih, maka ada biaya yang dihemat, sehingga tidak ada
kenyataan bahwa gedung atau wisma itu terkesan berlebihan bahkan mewah," tegasnya.

"Saya masih melihat gedung dan bangunan yang dibangun baik di tingkat pusat juga di daerah, bahkan
yang menyolok di beberapa daerah termasuk wisma dan rumah jabatan, yang menurut saya, setelah
saya lihat langsung itu berlebihan, mewah," tambahnya.

Sementara, katanya, di sekeliling gedung mewah itu justru kurang fasilitas publik yang sangat diperlukan
masyarakat, seperti persediaan air bersih, fasilitas jalan, Puskesmas, dan prasarana pendidikan.

"Dan lebih-lebih sejumlah daerah di mana gedung-gedung megah berdiri, angka kemiskinan di
sekitarnya juga relatif tinggi," jelasnya.

"Ini yang mesti kita koreksi dan tidak boleh terjadi di masa depan. Sesungguhnya pemerintah telah
memiliki peraturan baik dikeluarkan Kementerian PU maupun Kemendagri. Tentang sebutlah standar
bangunan dan gedung perkantoran agar tepat tidak melebihi kepatutannya dan sesuai dengan biaya
yang bisa disediakan oleh negara," tandasnya.

Menurutnya LUKMAN HAKIM, pembangunan gedung baru telah mendapatkan penolakan luas
masyarakat. Bila dilanjutkan, dapat memicu lembaga lain baik di pusat maupun daerah berlomba-
lomba membangun kantor baru atau fasilitas lain tanpa uji kepatutan dan kelayakan yang memadai.
"Kondisi ini pada gilirannya akan memicu ketimpangan dan ketidakadilan sosial," ujarnya.

Koalisi juga menilai DPR tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat karena lebih
mengutamakan kepentingannya sendiri daripada memprioritaskan dana tersebut untuk
dialokasikan terhadap sektor-sektor lain yang langsung menyentuh kesejahteraan masyarakat,
seperti sektor pendidikan. DPR juga diminta mengembalikan anggaran pembangunan gedung
baru kepada negara.

"Kami juga menuntut pimpinan DPR dan pimpinan fraksi untuk meminta maaf secara terbuka
melalui sidang paripurna DPR atas rencana pembangunan gedung DPR yang dinilai telah
melukai perasaan rakyat seluruh Indonesia," kata Emerson.
"Dulu alasannya gedungnya miring, tapi kemudian terbantahkan. Setelah diketahui, ada beberapa
bagian gedung yang retak, tetapi ternyata kerusakan tersebut bisa diperbaiki tanpa harus bangun
gedung baru," ungkap Peneliti Senior Divisi Korupsi Politik, Abdullah Dahlan, di kantor Indonesian
Corruption Watch (ICW), Jakarta, Rabu (13/4/2011).

Abdullah beranggapan, berbagai alasan ini menunjukkan bahwa DPR RI telah keluar dari kontrol
publik dan lebih mengedepankan kepentingan sendiri. Ia menyatakan, apa pun alasan yang
dipakai DPR untuk melanjutkan pembangunan gedung tidak akan mematahkan penolakan rakyat
terhadap rencana tersebut.

"Jangan sampai pembangunan gedung baru ini hanya untuk mencari keuntungan, bukan untuk
melayani rakyat," tandasnya. 

"Sebagai Ketua DPR seharusnya mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada
mementingkan kepentingan pribadi, seseorang atau golongan. Pembangunan gedung baru tidak
mencerminkan itu," ujar Ray sebelum mengajukan Marzuki ke BK DPR.

"Penolakan tidak digubris oleh pimpinan Dewan. Mereka terus melanjutkan pembangunan
gedung yang kontroversial ini. pembangunan gedung baru DPR jika dipaksakan sama halnya
dengan memperpanjang penderitaan rakyat," kata salah seorang aktivis koalisi Emerson Yuntho
kepada wartawan di Gedung DPR, Selasa (12/4/2011).

Anda mungkin juga menyukai