Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Fiqih merupakan ilmu tauhid yang mengatur tata aturan, pedoman,


konsep-konsep dasar muslim dalam kehidupan dunia dan akhirat. Seperti aturan
thaharah, sholat, jenazah, zakat, puasa, haji dan umroh, muamalat, faraid, hikah,
jinayat, hudud (hukuman), jihad (peperAngan), makanan dan penyembelihan,
aqdiyah (hukum pengadilan) dan kitab al khilafah. Kegiatan ekonomi yang sering
kita temui dalam kehidupan sehari-hari bahkan tanpa kita sadari, pinjam-
meminjam sering kita lakukan. Bahkan jikalau kita tidak mampu membayar
hutang kita bisa mengalihkan hutang kita itu kepada orang yang berhutang kepada
kita dengan syarat dan ketentuan yang berlaku sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati. Kedua contoh tadi dikenal dalam konsep fiqh muamalah yaitu ‘ariyah
dan hiwalah. Berbicara mengenai pinjaman (‘ariyah), maka perlu kita bahas
mengenai dasar hukum ariyah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa sebenarnya ariyah itu?
2. Bagaimana dasar hukum serta rukun dan syarat Ariyah?
3. Dan apakah pembayaran / pengambilan pinjaman itu telah sesuai atau
tidak?
4. Untuk itu kita perlu mengetahui bagaimana pengembalian yang sesuai
dengan syara . agar kita bisa menerapkan dalam kehidupan nyata

C. MANFAAT PENULISAN
1. Untuk mengetahui dan mengkaji apa sebenarnya ariyah itu?
2. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana dasar hukum serta rukun dan
syarat Ariyah?
3. Untuk mengetahui dan mengkaji dan apakah pembayaran / pengambilan
pinjaman itu telah sesuai atau tidak?
4. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana pengembalian yang sesuai
dengan syara . agar kita bisa menerapkan dalam kehidupan nyata

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa ialah pinjaman. Sedangkan menurut
istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat:
1. Menurut Hanafiyah, ariyah ialah: “memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2. Menurut malikiyah, ariyah ialah: “Memiliki manfaat dalam waktu tertentu
dengan tanpa imbalan.
3. Menurut syafiiyah, ariyah adalah: “Kebolehan mengambil manfaat dari
sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta
tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. Menurut Hanbaliyah, Ariyah ialah: “kebolehan memanfaatkan suatu zat
barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Menurut Ibnu Rif’ah ‘ariyah adalah “Kebolehan mengambil manfaat suatu
barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan.”
6. Menurut al-Mawardi, ‘ariyah adalah “memberikan manfaat-manfaat”
7. Ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan
oleh pemiliknya kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dengan dikemukakannya definisi-definisi menurut para ahli di atas,
kiranya dapat difahami bahwa meskipun mereka menggunakan redaksi yang
berbeda, namun materi permasalahannya dari definisi tentang ‘ariyah tersebut
sama. Jadi, yang dimaksud dengan ariyah adalah memberikan manfaat suatu
barang dari seseorang kepada orang lain secara cuma-cuma (gratis). Bila
digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu dapat tidak disebut
‘ariyah.

B. DASAR HUKUM ‘ARIYAH


Menurut Sayyid Sabiq, tolong menolong (‘Ariyah) adalah sunnah.
Sedangkan menurut al-Ruyani, sebagaimana dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa
ariyah hukumnya wajib ketika awal islam. Adapun landasan hukumnya dari nash
Alquran ialah: “dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa

2
dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-
Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Selain dari Al-Quran, landasan hukum yang kedua adalah Al-Hadis, ialah:
“barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan” (Riwayat Abu
Daud)
“orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang
adalah zalim (berbuat aniaya)” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Hukum Meminjamkan:
1. Sunah : karena membantu orang lain yang sedang membutuhkannya
2. Mubah : karena saling tolong-menolong dalam hal-hal yang positif atau
kebaikan.
3. Wajib : karena sesuatu kondisi yang terdesak atau terpaksa, misalkan;
meminjamkan kain saat seseorang tidak mempunyai pakaian suci untuk
salat dan meminjamkan pisau untuk menyembelih binatang yang hamper
mati.
4. Haram : kalau yang dipinjam itu akan dipergunakan untuk sesuatu yang
haram. Misalkan ; seseorang yang meminjamkan mobil kepada pencuri
sedangkan ia mengetahui bahwa seseorang tersebut pencuri, maka
keadaanya sama seperti pencuri tersebut. Kaidah : “jalan menuju sesuatu
hukumnya sama dengan hukum yang dituju”

C. RUKUN DAN SYARAT ‘ARIYAH


Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib
diucapkan tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang
yang dipinjam dan boleh hukum ijiab Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan
benda ini kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku
berutang benda anu kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan
syarat benda-benda dalam jual beli.

3
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang
yang menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak
menyerahkannya, sedangkan syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
a. Baligh
b. Berakal
c. orang tersebut tidak dimahjur(dibawah curatelle) atau orang yang
berada dibawah perlindungan, seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
a. Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah
yang materinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang
sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
b. Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan
manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-
benda najis.

D. PEMBAYARAN PINJAMAN
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam
memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar
sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan
pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu
perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi
nilai kebaikan bagi yang membayar utang. Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang
sebaik baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu
dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam.
Kemudian Rasu bersabda:

4
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar
utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah
menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang
berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda: “ Tiap-tiap piutang yang
mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba”
( Dikeluarkan oleh Baihaqi).

E. MEMINJAM PINJAMAN DAN MENYEWAKAN


Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan
benda-benda pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum
mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan
pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan
barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya selama
peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram
hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizin
pemilik barang.
Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada
orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik berhak meminta
jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih
baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang memegang
ketika barang itu rusak.

F. TANGGUNG JAWAB PEMINJAM


Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian
barang tersebut rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang
berlebihan maupun karena yang lainnya. Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah,
Abu Hurairah, Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah,
Rasulallah Saw. Bersabda: “Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima,
hingga ia mengambilkannya”. Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik
berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang
pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw.

5
Bersabda: “Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti
kerusakan” (Dikeluarkan ai-Daruquthin)

G. TATAKRAMA BERUTANG
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau
utang piutang tentang nilai-nilia sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah
sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan
tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki
dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat
diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak
disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya berniat memberikan pertolongan kepada pihak
berutang. Bila yang meminjam tidak mampu mengembelikan, maka yang
berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya
dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman
berari berbuat zalim.

6
BAB III
KESIMPULAN
Ariyah adalah memberikan pinjaman kepada yang membutuhkannya
untuk diambil manfaatnya dengan tidak merubah atau merusaknya, bahwa setiap
muslim itu diwajibkan tolong menolong dalam kebajikan maka dengan demikian
pada dasarnya hukum ariyah adalah sunah. Apabila digantikan dengan sesuatu
atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ¸’Ariyah. Dalam ‘ariyah ada
rukun dan syarat yang harus dipenuhi, rukun ‘ariyah yaitu adanya akad (ijab dan
qabul), Orang-orang yang berakad, dan barang yang dipijamkan.

7
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hedi. 2002. Fiqih muamalat. Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA

Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih. Bandung: penerbit Titian Ilmu

Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka As-Sunah

Anda mungkin juga menyukai