Anda di halaman 1dari 6

Kriteria Untuk Identifikasi Fitokimia

Kriteria Untuk Identifikasi Fitokimia


suatu senyawa yang telah dikenal dan diketcmukan lagi di dalam tumbuhan baru, dapat
diidentifikasi berdasarkan pembandingan kromatografi dan spektrum dengan senyawa asli.
Cuplikan asli dapat diperolch dari perusahaan niaga kimia (lihat Lampiran B), dengan cara
isolasi ulang dari sumber yang telah diketahui, atau, sebagai usaha terakhir, dengan meminta
kepada pencliti yang pcrtama kali mengisolasi dan mcmaparkannya. Sampai sebcrapa jauh kita
harus melakukan pembandingan bergantung pada golongan senyawa yang ditelaah. Tetapi,
sebagai pedoman umum, dapat dikatakan kita hams menggunakan sebanyak mungkin kriteria
untuk mcyakinkan kebenaran identifikasi .
Pembandingan kromatografi harus didasarkan kepada ko-kromatog-rafi senyawa dengan
senyawa asli, tanpa pemisahan, paling sedikit dalam cmpat sistcm. Bila KLT merupakan dasar
utama pembanding-.an, jelas ada keuntungannya bila digunakan pcnjerap yang berlainan
(misalnya selulosa dan silika gel) di samping pengembang yang berlainan pada satu jenis
penjerap (tabel 1.5). Bila mungkin, kita harus membandingkan senyawa tak dikenal itu dengan
senyawa pemban-ding dengan menggunakan tiga kriteria kromatografi yang jelas. Kriteria itu
misalnya waktu retensi pada KGC, KCKT dan Rp pada KLT; atau Rp pada KKt, KLT dan
pergerakan nisbi pada elektrofo-resis. Demikian juga untuk pembandingan spektrum harus
digunakan dua cara atau lebih. Idealnya, semua spektrum UV, IM, dan RMI - ^1 harus
dibandingkan.
Pada senyawa tumbuhan baru biasanya kita dapat saja menentukan strukturnya berdasarkan
pengukuran spektrum dan kromatografi, terutama yang bertalian dengan spektrum dan
kromatografi senyawa yang sudah dikenal dalam deret yang sama. Peyakinan struktur dapat
dilakukan dengan pengubahan kimia. dan menjadikannya senyawa yang sudah dikenal. Pada
waktu lampau, tahap penting dalam identifikasi struktur ialah menentukan rumus molekul
dengan cara mikro-analisis sekurang-kurangnya dengan menentukan karbon dan hidrogen.
Mikroanalisis yang demikian masih tetap diperlukan, tetapi bila kita hanya mempunyai beberapa
mikrogram senyawa, sekarang dapat saja kita mengukur massa ion molekul dengan tepat, yaitu
dengan spek-trometer massa (lihat bagian 1.4.4 dan tabel 1.5). Pada senyawa baru, membuat
turunannya bermaniaat pula, misalnya membuat asetat, eter metil, dan sebagainya, karena
analisis senyawa turunannya itu akan menambah peyakinan mengenai rumus molekul senyawa
asal-nya.
Analisis hasil
Analisis Kualitatif
Banyak analisis tumbuhan yang dicurahkan pada isolasi dan identifikasi kandungan sekunder
dalam jenis tumbuhan khusus atau se-kelompok jenis tumbuhan, dengan harapan ditemukan
beberapa kandungan yang strukturnya baru atau tidak biasa. Tetapi; perlu kita ketahui bahwa
banyak dari komponen yang mudah diisolasi itu merupakan senyawa yang biasa dijurnpai atau
terdapat umum dalam tumbuhan. Sukrosa mungkin mengristal dari pekatan ekstrak air tumbuhan
dan sitosterol dari fraksi fitosterol. Komponen yang lebih menarik sering kali berupa komponen
yang kadarnya lebih rendah.
Bila diperoleh senyawa yang strukturnya jelas-jelas baru, haruslah diperiksa dengan teliti apakah
senyawa tersebut memang belum pernah dilaporkan. Harus pula diteliti dalam berbagai pustaka
yang ada (misalnya ensiklopedia terpenoid yang baru, Glasby, 1982), tetapi, di samping itu,
diperlukanjuga penelusuran Chemical abstract secara tuntas.  
Alasan lain melakukan analisis fitokimia ialah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab
efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak tumbuhan kasar bila diuji
dengan sistem biologi. Dalam hal ini kita harus memantau cara ekstraksi dan pe-misahan pada
setiap tahap, yaitu untuk melacak senyawa aktif tersebut sewaktu dimurnikan. Kadan'g-kadang
keaktifan hilang selama proses fraksinasi akibat ketidakmantapan senyawa itu, dan akhirnya
mungkin saja diperoleh senyawa berupa kristal tetapi tanpa keaktifan seperti yang ditunjukkan
oleh ekstrak asal. Kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa aktif selama proses isolasi
dan pencirian harus selalu tertanam dalam ingatan.
Demikian juga, haruslah disadari bahwa pembentukan senyawa jadian merupakan hal yang biasa
dalam analisis tumbuhan. Banyak senyawa yang terdapat dalam jaringan tumbuhan sangatlah
labil, dan, hampir tak terelakkan, mungkin berubah selama ekstraksi. Pigmen plastid, yaitu
klorofil dan karotenoid, mudah berubah selama kromatografi (lihat bab 3 dan 4 ). Semua
glikosida tumbuhan mungkin terhidro-lisis sedikit, baik secara enzimatis maupun secara
takenzimatis selama proses isolasi, sementara ester mungkin mengalami transesterifikasi dengan
adanya pelarut alkohol. Terpena atsiri mudah mengalami tata-ulang molekul selama penyulingan
uap (bab 3) dan mungkin terjadi perasematan (rasemisasi) kandungan yang aktif optik bila tidak
dilakukan tindakan pencegahan. Protein pun mungkin menjadi sasaran pro tease selama isolasi
(lihat bab 7).
Selanjutnya, senyawa jadian mungkin masuk tanpa disengaja dari perlengkapan laboratorium
selama pemurnian. Senyawa tinambah yang paling umum ialah butil isoftalat, yaitu pemlastik
atau peliatyang hampir selalu mencemari ekstrak tumbuhan. Senyawa tersebut me-„ benar-benar
pernah dilaporkan sebagai kandungan tumbuhan walau pun sumbernya jelas, yaitu dari botol
cuci plastik yang di-(ninakan oleh petugas selama isolasi. Untuk menghindari senyawa adian
ekstrak tumbuhan kasar harus diperiksa untuk mengetahui oakah senyawa yang dapat diisolasi
setelah pemurnian yang meluas itu betul-betui terdapat dalam ekstrak asal.
Analisis kuantitatif
Penentuan kuantitas komponen yang ada dalam ekstrak tumbuhan sama pentingnya dengan
penentuan kualitatif ekstrak tumbuhan tersebut. Pada pendekatan yang paling sederhana data
kuantitatif dapat diperoleh dengan menimbang banyaknya bahan tumbuhan yang dieunakan
semula (seandainya jaringan kering) dan banyaknya hasil yang diperoleh. Hasil demikian, yang
berupa persentase dari ke-seluruhan, merupakan angka minimum karena adanya bahan yang
hilang selama pemurnian tidaklah terelakkan. Besarnya kehilangan dapat diperkirakan dengan
menambahkan senyawa murni yang di-ketahui bobotnya ke dalam ekstrak kasar, lalu pemurnian
diulangi dan banyaknya senyawa yang diperoleh kembali ditentukan. Bila kita mengekstraksi
jaringan segar, diperlukan faktor konversi (kebanyakan daun tumbuhan mengandung air 90%)
untuk menyatakan hasil sebagai persentase bobot kering.
Pengukuran kuantitatif dapat juga dilakukan pada serbuk kering bahan tumbuhan untuk
menentukan kadar total gula, nitrogen, protein, fenol, tanin, dan sebagainya. Beberapa cara yang
dapat diguna-kan akan dibicarakan dalam bab-bab berikut. Cara tersebut mungkin saja tidak
lepas dari kesalahan karena gangguan dari komponen lain. Apakah penentuan kuantitatif yang
demikian itu mempunyai nilai dan segi, misalnya saja, banyaknya 'pemangsaan' yang diderita
organ tumbuhan tertentu, masih memerlukan penilaian.
Secara ideal, dalam pengukuran kuantitatif, kuantitas masing-maSing komponen dalam golongan
senyawa tertentu perlu ditetapkan, dan im sekarang dapat dilakukan dengan mudah secara KGC
atau KCKT. Misalnya, banyaknya asam lemak yang terikat dalam lipid netral dapat ditentukan
dengan cara yang betul-betui terulangkan. Ini dapat dilakukan dengan penyabunan, lalu
pembentukan ester metil, dan kemudian pengukuran kuantitatif secara KGC (bab 4). Demikian
juga pengukuran KCKT dapat digunakan untuk menentukan banyaknya P^men flavonoid dalam
berbagai varietas dan genotipe bunga kebun.
Sudah jelas bahwa mengulang pengukuran merupakan hal yang penting agar pengukuran
tersebut dapat dinilai secara statistik, tetapi hal ini kadang-kadang tidak diperhatikan. Perbedaan
kuantitas yang disebabkan oleh parameter lingkungan hams dihilangkan dan pen-cuplikan harus
memperhatikan umur dan tempat-tumbuh tumbuhan. Petunjuk mengenai hal ini terdapat dalam
kebanyakan buku ajar tumbuhan mutakhir, tetapi sebaiknya dilihat juga buku Paech dan Tracey
(1956-1964).
Penggunaan
Umum
Sekarang prosedur fitokimia telah mempunyai peranan yang mapan dalam semua cabang ilmu
tumbuhan, walau pun sebelumnya tidaklah selalu dcmikian. Meski pun cara ini sudah jelas
penting dalam semua telaah kimia dan biokimia, penggunaanya dalam lingkungan biologi yang
lebih ketat baru dalam dua dasa warsa tcrakhir ini saja. Dalam disiplin yang tampaknya jauh dari
laboratorium kimia pun, scperti sistematika, fitogeografi, ekologi, dan paleobotani, cara
fitokimia telah menjadi penting untuk memecahkan jcnis masalah tertentu. Tidak dapat
diragukan lagi, cara fitokimia ini akan makin banyak digunakan dalam semua bidang tersebut di
masa mcndatang.
Dalam buku ini hanya disebutkan beberapa saja dari penggunaan cara fitokimia yang banyak itu.
Beberapa penggunaan yang sudah nyata dalam pertanian, industri makanan dan gizi, serta
pcnelitian farmasi memang sudah sepantasnya. Penggunaan berikut dikcmukakan hanya untuk
memberikan gambaran mengenai nilai cara fitokimia dalam cabang utama ilmu tumbuhan.
Fisiologi tumbuhan
Sumbangan utama telaah fitokimia kepada fisiologi tumbuhan yang tak dapat diragukan lagi
ialah pada penentuan struktur, asal-usul biosintesis, dan ragam kerja hormon tumbuhan alam.
Sebagai hasil kerja sama yang terus menerus antara fisiologiwan dan fitokimiawan selama tahun-
tahun belakangan ini sekarang telah dikenal lima golongan pengatur tumbuh: auksin, sitokinin,
absisin, giberelin, dan etilena. Cara deteksi yang berbeda-beda pada KGC, KLT, dan KKt
dibahas kemudian sebagai berikut: auksin (h. 250), sitokinin (h. 257), absisin (h. 138), dan
giberelin (h. 145). Salah satu segi istimcwa pada hormon golongan giberelin ialah besarnya
jumlah struktur yang di-
ketahui (lebih dari 60), dan rupanya semuanya mempunyai jangka sifat pengatur tumbuh yang
serupa. Kebutuhan akan cara yang tepat' mituk mendeteksi dan membedakan giberelin yang satu
dari yang lainnya menghasilkan pengembangan gabungan KG-SM untuk analisis tersebut. Cara
yang lebih terinci terdapat dalam buku umum niengenai cara isolasi senyawa pengatur tumbuh
yang disunting oleh Hillman (1978). Persyaratan yang diperlukan untuk analisis hormon yang
teliti telah dibahas dengan kritis oleh Reeve dan Crozier (1980). Suatu tinjauan ulang yang baik
sekali mengenai cara terbaru, ter-inasul< 'radioimmunoassay' ialah tinjauan ulang Horgan
(1981).
Patologi tumbuhan
Cara fitokimia penting bagi patologiwan, terutama untuk menentu-kan ciri atau sifat kimia dari
fitotoksin (hasil sintesis mikroba yang terbentuk dalam tumbuhan tinggi bila tumbuhan tersebut
diserang bakteria atau fungi) dan fitoaleksin (hasil metabolisme tumbuhan tinggi yang dibentuk
sebagai jawaban terhadap serangan mikroba). Berbagai jenis struktur kimia yang berlainan
terlibat dalam kedua hal tersebut. Fitotoksin yang paling dikenal ialah hkomarasmin dan asam
fusarat, yaitu turunan asam amino yang merupakan senyawa pelayu pada tomat. Toksin lain yang
telah diisolasi ialah glikopep-tida, naftokuinon, atau seskuiterpenoid (Durbin, 1981). Secara
kimia beberapa fitotoksin labil sehingga diperlukan tindakan pencegahan khusus selama isolasi
dan identifikasinya.
Demikian pula fitoaleksin mempunyai struktur yang berbeda-beda, bergantung pada sumber
tumbuhan (Bailey dan Mansfield, 1982)'. Fitoaleksin dapat berupa seskuiterpenoid (risitin dari
Solanum tu-berosum), isoflavonoid (pisatin dari Pisum sativum), asetilena (asam. wieron dari
Vicia faba), atau senyawa fenol (orkinol dari Orchis militaris). Identifikasi isoflavonoid dan
asetilena dipaparkan berturut-turut dalam bab 2 dan bab 5, dan suatu prosedur untuk mengimbas
pembentukan fitoaleksin disajikan sebagai percobaan praktek dalam bab
2.                                                
Senyawa 'pra-infeksi' (kandungan sekunder alam), oleh beberapa patologiwan tumbuhan,
dianggap penting sebagai penyebab ketahan-an tumbuhan terhadap penyakit. Senyawa yang
diduga terlibat di dalamnya ialah senyawa fenol, seperti floridzin dalam apel dan tanin dalam
frambus. Cara identifikasi senyawa demikian dibahas secara terinci dalam bab 2.
Dua bidang penelitian ekologi -yang mementingkan kandungan tumbuhan sekunder ialah
antaraksi tumbuhan-hewan dan antaraksi tum-buhan-tumbuhan. Masalah analitik pada kedua
bidang tersebut sulit karena jumlah bahan biologi yang tersedia bagi fitokimiawan sangat
terbatas. Misalnya, dalam mengikuti nasib senyawa sekunder pada peristiwa pemakanan daun
oleh serangga diperlukan telaah berbagai organ serangga untuk memeriksa tempat penyimpanan
senyawa tersebut; telaah demikian itu sering kali rumit dan makan banyak waktu.
Senyawa yang sampai sekarang terutama diketahui terlibat dalam antaraksi tumbuhan-hewan
ialah alkaloid dan glikosida jantung, glikosida minyak mostar, sianogen, steroid, atau terpena
atsiri. Senyawa tumbuhan dapat berlaku sebagai penarik atau penolak makan, mempunyai
pengaruh horrnon pada serangga, atau memper-lengkapi serangga dengan mekanisme pertahanan
yang berguna terhadap hewan pemakan serangga (Harborne, 1982).
Antaraksi tumbuhan-tumbuhan melibatkan senyawa alelopati, yaitu senyawa yang dikeluarkan
oleh suatu tumbuhan dari akar atau daun-nya untuk mencegah tumbuhnya jcnis tumbuhan lain di
sekitarnya. Senyawa tersebut berupa terpena atsiri (misalnya sineol) atau asam fenolat sederhana,
bergantung pada tempat tumbuhnya, apakah di daerah beriklim semitropik atau scdang. Telaah
fitokimia alelopati mungkin sulit karena memerlukan pfientuan senyawa pada ekstrak daun utuh,
pelepasan senyawa dari daun, dan juga cuplikan tanah. Kemungkinan perubahan senyawa aktif
dengan cepat dalam tanah juga menyulitkan telaah dalam bidang ini.
Segi terapan penelitian antaraksi tumbuhan-hewan antara lain pengendalian gangguan serangga
terhadap tumbuhan pertanian dengan pestisida alam atau buatan. Telaah fitokimia mungkin
diperlukan untuk melacak nasib pestisida tersebut di lingkungannya. Per-kembangan terakhir
mengenai hal ini telah ditinjau ulang oleh Huston dan Roberts (1983).
Paleobotani
Fitokimia barn belakangan ini saja digunakan untuk menelaah tumbuhan fosil, namun tak dapat
disangsikan lagi bahwa peranannya akan meningkat, misalnya dalam menguji berbagai hipotesis
mengenai asal-usul awal tumbuhan darat. Beberapa hasil fitokimia yang telah dicapai sekarang
antara lain identifikasi pigmen klorofil yang telah terurai sebagiari dalam endapan lignit yang
berumur 50 juta tahun identifikasi karbohidrat dalam tumbuhan zaman paleozoikum vane
berumur 250—400 juta tahun, dan identifikasi hidrokarbon dalam Equisetum yang hidup pada
zaman triasikum, berumur 200 juta tahun (Chaloner dan Alien, 1970). Bahan dinding tepung sari
/polenin) dari tumbuhan fosil telah ditelaah juga dengan berhasil (Shaw, 1970), dan pada
penguraian menghasilkan asam lemak dan asam fenolat yang dapat dikenali. Identifikasi terpena
dalam damar fosil dan batu ambar fosil telah menghasilkan juga data baru yang sangat menarik
perhatian dari segi filogenetik (Thomas, 1970). Peng-gunaan cara fitokimia pada paleobotani
telah ditinjau ulang baru-baru ini oleh Niklas (1980).
Genetika Tumbuhan
Pada masa lampau sumbangan fitokimia kepada genetika tumbuhan tinggi ialah sebagai s.arana
untuk mengidentifikasi antosianin, flavon, dan pigmen karotenoid yang terdapat dalam genotipe
warna yang berbeda pada tumbuhan kebun. Hasilnya telah menunjukkan bahwa pengaruh
biokimia gen ini mempunyai dasar yang sederhana dan telah menunjukkan kemungkinan alur
pembuatan pigmen dalam organisme tersebut (Alston, 1964). Senyawa keturunan lainnya dalam
tumbuhan (alkaloid, terpena, dan sebagainya) telah berhasil di-petakanjuga dengan telaah
fitokimia.
Sumbangan fitokimia yang lebih baru kepada genetika ialah identifikasi tumbuhan hibrida dan
penentuan asal-usul induknya dengan cara kimia. Fitokimia pun telah mendapat pengakuan yang
meningkat sebagai sarana yang berguna, bersama-sama dengan sitologi, pada analisis variasi
genetika dalam populasi tumbuhan (bandingkan Harborne dan Turner, 1984).
Sistematika Tumbuhan
Salah satu bidang yang paling cepat berkembang dalam fitokimiapada saat ini ialah disiplin
hibrida antara kimia dan taksonomi, yang di-kenal sebagai sistematika biokimia atau
kemotaksonomi. Pada dasar-nya, kemotaksonomi ialah telaah kimia dalam kelompok tumbuhan
yang terbatas, terutama mengenai kandungan sekundemya, dan juga makromolekul serta
penggunaan data yang diperoleh untuk menggo-longkan tumbuhan (Harborne dan Tunner,
1984).Boleh jadi golongan senyawa yang paling bermanfaat untuk telaah yang demikian itu ialah
flavonoid. Telaah mengenai banyak senyawa lain (khususnya alkaloid, asam amino nonprotein,
terpena, dan scnyawa belerang) telah menghasilkan juga informasi baru yang ber-guna untuk
taksonomi. Cara yang teliti itu penting, baik pada penja-ringan pendahuluan tumbuhan maupun
pada analisis komponennya yang lebih terinci. Analisis kimia urutan asam amino protein
tumbuhan juga telah dimanfaatkan sehubungan dengan masalah sis-tematika pada tingkat
penggolongan tumbuhan yang lebih tinggi. Telah diperoleh hasil mengenai sitokrom C,
plastosianin, dan fere-doksin; pengurutan asam nukleat tumbuhan telah menghasilkan juga data
yang penting untuk taksonomi (Jensen dan Fairbrothers, 1983).

Sumber :
J.B. Harborne. 2006. Metode Fitokimia.Bandung (terbitan kedua): ITB

Anda mungkin juga menyukai