Anda di halaman 1dari 5
DIAGNOSIS TB-PARU PADA PASIEN DENGAN HIV/AIDS Ahmad Hudoyo *, Dianiati KS **, Adria Rusli*™, Sila Wiwieka"*, Sardikin Giriputra** * Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulasis Indonesia (PPT), “Departemen Pulmonologi & limu Kedokteran Respirasi FKUI/ RS Persahabatan ~ Jakarta, “RS Infeksi Sulianti Saroso - Jakarta PENDAHULUAN, Menegakkan diagnosis TB-paru pada orang yang bukan pengidap HIV tidak terlalu sulit. Mulai dari keluhan, gejala, tampilan fisik, dan gambaran foto ronsen dada memberi gambaran yang khas atau spesifik Tidak demikian halnya proses penyakit TB-paru pada penderita HIV, yang gejala dan gambaran foto ronsen dadanya tidak khas. Untuk menegakkan diagnosis TB- paru pada HIVIAIDS diperlukan ketrampilan khusus dan juga pengalaman, Tuberkulosis pada pasien dengan HIV mempunyai gejala dan gambaran klinis yang berbeda dengan orang tanpa terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan karena rendahnya teaksi imunologik penderita AIDS. Seperti diketahui manifestasi Klinis TB sebenarnya merukapakan reaksi imunologik tethadap Mycobacterium tuberculosis. Walaupun gambaran radiologik TB pada penderita AIDS mirip gambaran TB primer, keadaan umum pasien dengan AIDS cepat memburuk', Situasi penyakit TB akan mengalami peningkatan dengan masuknya HIV/AIDS. Kombinasi TB dengan HIV/AIDS sangat berbahaya dan mematikan. Di daerah atau negara dengan prevalensi TB yang masih ‘tinggi, terbukti kenaikan jumlah pasien TB meningkat secara signifikan’, Dalam makalah ini akan dibahas langkah- langkah untuk menegakkan diagnosis TB, khususnya TB-paru pada penderita dengan seropositif HIV, berdasar beberapa referensi mulai dari buku teks ° kedokteran yang klasik sampai jurnal-jurnal kedokteran mutakhir. Semoha bermanfaat kgususnya untuk dokter- dokter di Puskesmas dan dokter dokter-dokter diklinik swasta, agar setidaknya memiliki pemahaman sehingga dapat menangani atau merujuk secara lebih dini pasien pasien TB dengan seropositif HIV. EPIDEMIOLOGI Acquired Immuno Defficiency Syndrome (AIDS) pertama kali dilaporkan pada tahun 1981, yang disebabkan oleh HIV-1, HIV-2 menyebabkan penyakit yang hampir sama tetapi agak kurang agresif dan terbatas di Afrika Barat. HIV-1 dibagi menjadi beberapa grup (M, 0 dan N) dan beberapa sub tipe genetik. Grup M mempunyai 11 subtipe (A-K) yang masig-masig berhubungan dengan area geografik. Subtipe B terutama di Amerika, Jepang, Australia, Karibian dan Eropa?, Kenaikan jumlah pasien TB akibat meningkatnya jumiah seropositif HIV telah dilaporkan terjadi di berbagai negara, termasuk negara maju seperti ‘Amerika Serikat, demikian juga di negera negara sedang berkembang seperti Republik Tanzania, Uganda , Ziare , dan juga Brunei, Perlu diketahui bahwa apabila seseorang dengan seropositif HIV terinfeksi kuman TB maka ia mudah menjadi AIDS dibanding mereka yang seronegatif', Menurut laporan WHO, HIV telah menginfeksi 40 juta penduduk di seantero bumi, dengan kasus baru tiap tahunnya tercatat 4,9 juta, dan telah menimbulkan kematian sebanyak 3,1 juta jiwa. Afrika-subsahara tercatat memiliki korban tertinggi sehingga mencapai 26 juta orang telah terinfeksi HIV. Dari Afrika Selatan dilaporkan 25%-49% orang dewasa telah terinfeksi HIV, dan ternyata telah terjadi kematian dengan jumlah angka 1/3 dari seluruh angka kematian didunia, HIV Jumal Tuberkulosis Indonesia, Vol.4 no.2 dapat menular melalui darah, cairan tubuh lain, hubungan seksual, dan menyusui. Cara penularan terbanyak adalah dari heteroseksual(>75%). Kira-kira 59-10% infeksi baru HIV menimpa anak-anak dan lebil dari 90% terjadi saat masih janin dalam kandungan, saat melahirkan atau saat menyusui. Infeksi melalui Jarum suntik angkanya berbeda dari satu negara dengan lain negara®. Epidemi HIV dia Asia Tenggara relatif terjadi belakangan, tetapi akhir-akhir ini perkembangannya cukup memprihatinkan. Status epidemik dari masing masing negara berbeda. Thailand, Kamboja dan Myanmar tercatat paling awal, Prevalensinya tercatat paling tinggi dan sekarang telah mencapai lebih dari 19. Di Indonesia dan Vietnam dikategorikan masih rendah, tetapi kira-kira 50% nya memiiki risiko tinggi. Prevalensi terendah tercatat di Filipina yaitu kurang dati 0,196, Epidemi HIV terutama disebabkan penularan ari penggunaan jarum suntik dan dari PSK (pekerja seks komersial). Virus rekombinan di dominasi jenis CRFOI_AE, dan tidak jarang subtype B dan C*, HUBUNGAN TB dan HIV Menurut WHO, infeksi HIV terbukti merupakan faktor yang memudabkan terjadinya proses « sakit » pada orang yang telah terinfeksi TE (oleh Mycobacte- rium tuberculosis}, meningkatkan risiko TB latent menjadi TB aktif dan kekambuhan, menyulitkan diag- nosis , dan memperburuk stigma. TB juga meningkatkan morbiditi dan mortaliti pada pasien pengidap HIV. Di negara sedang berkembang dengan prevalensi TB masih tinggi, TB diketahui sebagai infeksi oportunistik yang sering ditemukan pada pasien dengan sero-positif HIV. Pasien dengan uji tuberkulin (+) dan HIV (-) risiko terkena penyakit 18 kira-kira 10%, sedang pasien dengan HIV (+) meningkat menjadi 600% Di negera yang telah berkembang, TB diketahui merupakan infeksi oportunistik yang paling sering ditemukan pada pasien dengan reaksi seropositif. Apabila seseordng dengan seropositif tertular kuman Tb maka karena kekebalannya rendah, besar sekali kemungkinannya akan langsung menderita TB. Hal int berbeda sekali dengan orang normal atau mereka dengan seronegatif, karena kuman TB yang masuk akan dihambat oleh reaksi imuniti yang ada dalam tubuhnya. isamping itu penyakit TB pada mereka dengan seropositif cepat berkembang kearah perburukan’. Pada pasien seropositif HIV, dengan daya tahan tubuh atau imuniti yang sangat rendah akan mudah terjadi infeksi oportunistik lain selain oleh M ‘uberkulosis. Di Asia Tenggara TB menduduki peringkat tertinggi. Meningitis oleh karena kriptokokus juga ijumpai di Thailand dengan angka sebesar di negera- nagara barat, Akan tetapi kejadian Sarkoma Ka posi sangat jarang di Asia Tenggara‘. Tabel 1 memperlikatkan kondisi dan prevalensi infeksi oportunistik di Asia Tenggara. Beberapa kondidi infeksi oportunistik yang bethubungan dengan HIV yang tercantum dalam tabel 1 ini perlu diperhatikan mengingat infeksi oportunistik patogen TB pada HIV menunjukkan gejala dan gambaran radiologik yang tidak spesifik lagi. Dengan demikian perlu dipertimbangkan diagnosis bandingnya. 2 Jumal Tuberkulosis Indonesia, Vol.4 no.2 DIAGNOSIS Gambaran Klinik pasien TB dengan HMAIOS tergantung dari derajat berat ringannya. Pada saat awal dan ketike imuniti masik baik gejala TB tidak banyak berbeda dengan pasien TB tanpa HIV. Misalnya terdapat keluhan batuk-batuk, demam terutama sore hari, eringat malam, nafsu makan berkurang, berat badan turun dan batuk darah, Bila proses telah berianjut dengan imuniti sangat rendah maka gambaran klinik menjadi tidak khas lagi. Dengan demikian sangat penting mengetahui riwayat penyakit, serta kemungkinan ada tidaknya faktor risiko, seperti seks ‘bebas, riwayat penyakit STD, atau riwayat penggunaan jarum suntik pada penyalah gunaan obat. Gejala klinik mengarah dan atau curiga pada TB-HIV, bila dijumpai proses perburukan klinis yang berlangsung sangat cepat. Misalnya keadaan umum menurun drastis, demam tinggi, dan atau timbulnya sesak napas yang bukan oleh karena bronkospasme yang ditandai bunyi wheezing. Bila HIV/AIDS sudah lanjut tentu saja disertai tanda tanda klinis HIV/AIDS yang jelas. TB pada HIV sering bermanifestasi klinis sebagai proses TB ekstra paru misalnya limfadenitis, cfusi pleura, efusi perikard atau TB milier. Selain itu beberapa peroedaan yang patut dicatat adalah pada TB- HIV gejala batuk lebih jarang, hal ini disebabkan oleh karena jarang terjadi_ kaviti, proses inflamasi, endobronkial TB dan iritasi bronkus sebagai akibat berkurangnya aktifiti sel-sel mediated-immuniti. Demikian juga hemoptisis akibat pecahnya arteri bronkialis juga jarang terjadi pada kasus TB-HIV, karena tidak terbentuknya proses nekrosis kaseosa’. Pemeriksaan sputum BTA tetap merupakan pemeriksaan paling penting dalam menegakkan diagnosis TB, walaupun di daerah dengan prevalensi HIV tinggi. Penelitian yang di lakukan di Sub-Sahara Afrika memperlihatkan pasien-pasien TB-paru dengan HIV ternyata BTA sputumnya positif meskipun proporsi BTA negatif dan suspeknya lebih tinggi dibanding dengan pasien HIV negatif. Jumlah kuman yang terkandung dalam sputum lebih sedikit sehingga pada pemeriksaan mikroskopik per satuan lapangan pandang juga lebih sedikit®. Bila ada bahan lain selain sputum yang bisa diperiksa, sebaiknya dikirim untuk pemeriksaan BTA, misalnya feses, cairan pleura, LCS atau pus hasil aspirasi. Bila memungkinkan dilakukan juga pemeriksaan biakan atau kultur-resistensi Walaupun memakan waktu cukup Yama. Pemeritsaan kultur yang lebih cepat dengan perkiraan 7 hati bisa dilakukan dengan metode MODS (Mycroscopic- observasion drug susceptibility) Pemeriksaan radiologik untuk menegakkan diagnosis penting sebagai pepemeriksaan penunjang. Terutama bila pemeriksaan sputum BTA 3 X negatif, dan pemberian antibiotik spektrum luas tidak memberi respon, Gambaran radiologik juga tergantung dari berat, ringannya HIV. Pada tahap awal atau ‘early HIV’ ketika CD-4 masih normal, gambaran radiologik masih tipikal, sepesti infiltrat, fibrosis kaviti dan kalsifikasi dengan lokasi yang masin di apeks. Bila imunitas sudah menurun atau pada ‘late HIV gambaran radiologik bisa berubah menjadi atipikal dengan bayangan infiltrrat di inferior, atau berupa pembesaran kelenjar hilus. Manifestasi yang sering dijumpai berupa TB ektra paru seperti efusi pleura, efusi pesikard atau gambaran milier, Tetapi yang, sulit kadang-kadang TB-paru pada pasien HIV gambaran foto ronsen dadanya dapat ‘normal’®, Hasil studi yang pernah dilakukan di AS melaporkan bahwa ada 21% kasus dengan BTA sputum positif, baik langsung maupun dari biakan, dengan kadar CD4 <200/ul mempunyai gambaran radiologik normal’, Infeksi oportunistik lain, seperti tercantum dalam tabel 1, memang akan mempersulit penegakan diagnosis. Sehingga perlu difikirkan diagnosis bandingnya. | Lesiapek (HIV awa), J esi jnverior (HIV tanjut, ~é TBHIVIesi as TB HIV: pembesaran hilus ‘Jurmal Tuberkulasis Indonesia, Vol.4 no.2

Anda mungkin juga menyukai