Anda di halaman 1dari 100

Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Pemodelan Spasial

Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru BTA (+) di Wilayah Kota


Samarinda Triwulan I Tahun 2010

Oleh:
PURIANINGSIH
NIM: 06.55235.00401.10

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2011
Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Pemodelan Spasial
Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru BTA (+) di Wilayah Kota
Samarinda Triwulan I Tahun 2010

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Pada
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Mulawarman

OLEH:
PURIANINGSIH
NIM. 06.55235.00401.10

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2011
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA 2011

ABSTRAK
PURIANINGSIH
Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Pemodelan Spasial Kejadian
Tuberkulosis (TB) Paru BTA (+) di Wilayah Kota Samarinda Triwulan I
Tahun 2010
Penyakit tuberculosis merupakan salah satu masalah kesehatan bagi
bangsa Indonesia dan dunia. Pada tahun 2008 di Kota Samarinda
terdapat 454 kasus baru dan di tahun 2009 menurun menjadi 433 kasus
baru, namun pada triwulan I Tahun 2010 didapatkan data 218 kasus TB
Paru BTA (+) dengan kasus baru berjumlah 104 kasus. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui gambaran sebaran kejadian TB Paru BTA (+),
mengetahui hubungan kepadatan penduduk, kemiskinan, dan akses ke
fasilitas pelayanan kesehatan dengan kejadian TB Paru BTA (+).
Desain penelitian ini merupakan Geographical epidemiologi yaitu
bentuk penelitian secara deskripsi menjelaskan mengenai penyebaran
penyakit, tingkat kesakitan dan kematian dalam suatu wilayah.
Pengambilan sampel menggunakan purposive sampel dengan mengacu
pada kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapatkan 78 sampel dari total
populasi 218 kasus. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan
data sekunder. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan aplikasi
pengolah data geografi.
Hasil penelitian pada peta menunjukkan dari 6 kecamatan sebaran
kasus TB Paru BTA (+) paling banyak di Kecamatan Samarinda Utara
berjumlah 20 kasus dan paling sedikit di Kecamatan Samarinda Ulu
berjumlah 7 kasus. Kecamatan Samarinda Ulu merupakan kecamatan
dengan kepadatan penduduk tinggi, sehingga dapat dikatakan bahwa
kepadatan tidak berkaitan dengan kasus TB Paru BTA (+), sedangkan
Kecamatan Samarinda Utara merupakan kecamatan dengan angka
kemiskinan paling tinggi banyak ditemukan kasus, sehingga dapat
dikatakan bahwa kemiskinan berkaitan dengan TB Paru BTA (+). Akses
ke fasilitas pelayanan kesehatan berkaitan dengan penemuan TB Paru
BTA (+) sebab semakin jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan maka sulit
bagi petugas kesehatan dalam mencari orang-orang yang beresiko TB
Paru maupun menjadi hambatan bagi penderita selama proses
pengobatan. Penting bagi pelayanan kesehatan mengadakan promosi
kesehatan kepada kelompok masyarakat, tidak hanya upaya kuratif pada
individu saja yang dilakukan, agar mencegah dan memutus rantai
penularan TB Paru

Kata Kunci : Sistem Informasi Geografi, TB Paru BTA (+)


Kepustakaan : 23, 1996-2010
PUBLIC HEALTH FACULTY
UNIVERSITY OF MULAWARMAN
SAMARINDA 2011
ABSTRACT
PURIANINGSIH
Aplication of Geographic Information System For Example Spacial
Tuberculosis (TB) BTA (+) Cases in Samarinda City Region The One
Quarterly Of 2010
Tuberculosis is one of health problem in the world especially in
Indonesia. In 2008, Samarinda has 454 new cases and in 2009, it decline
become 433 new cases, but in the one quarterly of 2010, there are 218 TB
Paru BTA (+) cases with 104 new cases. This research is in tended to
know a describing of the spread of TB Paru BTA (+) case, to know
correlation of the population density, the poverty and the way to facilities of
health service with TB Paru BTA (+) case.
This design is Geographical Epidemiologi. It is descriptive research that
to explain about the spread of disease, the sickness and death degree in a
region. To determine sampling, the researcher employes purposive
sample. It refers to inclusi and exclusi criteria until it is gotten 78 sample of
218 cases. Data collection is primer and secunder data. Tabulation data
use geography tabulation data application.
The result of this research shows 6 subsdistrict of spread of TB Paru
BTA (+) case, there are 20 cases in the north Samarinda, it is most cases
in Samarinda and there are 7 cases in the Samarinda Ulu. It is least cases
in Samarinda , too. Samarinda Ulu is the talkest of population density of
he all subsdistrict. So it can said, the population density not related to TB
Paru BTA (+) case, while The North Samarinda is highest poverty of the all
subsdistrict, it is related to TB Paru BTA (+). The way to facilities of health
service relate to invention of TB Paru BTA (+). It is caused the farther of
facilities of health service, it make difficult for health guard to look for
peoples who suffer TB Paru. It also become inhibiting factor for a victim
during medicinal treatment. It is important for health service to make a
health promotion for societies, it is not only curative prevention to prevent
and resolve a sprea of TB Paru.

Keywords : Geographic Information System, TB Paru BTA (+)


Literature : 23, 1996-2010
RIWAYAT HIDUP

1. Nama : PURIANINGSIH
2. NIM : 06.55235.00401.10
3. Tempat, Tanggal Lahir : Bulungan, 20 Juli 1989
4. Jenis Kelamin : Perempuan
5. Agama : Islam
6. Asal SLTA/ Akademi : SMA Negeri 1 Malinau
7. Status Perkawinan : Belum Menikah
8. Alamat Asal : Jl. Handayani RT.V Malinau
9. Alamat Sekarang : Jl. Perjuangan 1 No.30 A

Samarinda
10 Email : alif_ya.puri@yahoo.com

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas petunjuk dan hidayah Nya, atas semua

nikmat Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi yang

berjudul “Aplikasi Sistem Informasi Geografi untuk Pemodelan Spasial


Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru BTA (+) di Wilayah Kota Samarinda

Triwulan I Tahun 2010” pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Mulawarman.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan

ucapan terimakasih kepada:

1. Ibu Dra. Hj. Sitti Badrah, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Mulawarman

2. Ibu Ike Anggraeni, G., SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing I atas

bimbingan, arahan, dan kesediaan waktu di tengah kesibukan yang

selalu diberikan kepada penulis

3. Ibu Risva, SKM, M.Kes selaku dosen pembimbing II atas masukan,

bantuan, dan kesediaan waktu di tengah kesibukan yang selalu

diberikan kepada penulis

4. Bapak Drs. Ismail, AB., M.Kes, Bapak Siswanto, SPd, M.Kes dan

Bapak Ali Suhardiman, SHut, MP selaku dosen penguji yang telah

memberikan waktu disela - sela kesibukannya, memberikan arahan,

saran kepada penulis demi penyempurnaan tugas akhir ini

5. Kedua orang tua penulis, Bapak Sukiran dan Ibu Tatik yang senantiasa

memberikan dorongan moral dan material yang tak terhingga serta

selalu mendoakan untuk kebaikan dan keberhasilan penulis

6. Teman-teman angkatan 2006 khususnya kelas A yang telah

membersamai selama ini

7. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih

untuk semua bantuannya


Semoga apa yang telah diberikan kepada penulis mendapat pahala dan

balasan dari Allah SWT, amin.

Penulis mengharapkan saran dan kritik guna kesempurnaan menuju

arah yang lebih baik lagi dan semoga tulisan ini bermanfaat bagi

almamater khususnya dan bagi pembaca serta masyarakat umumnya.

Penulis

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................
ABSTRAK......................................................................................
RIWAYAT HIDUP..........................................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................
DAFTAR ISI...................................................................................

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah....................................................................
C. Tujuan Penelitian......................................................................
D. Manfaat Penelitian....................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.Tuberkulosis (TB)
1. Pengertian............................................................................. 8
2. Cara Penularan..................................................................... 8
3. Riwayat Terjadinya TB.......................................................... 9
4. Diagnosis dan Gejala TB...................................................... 10
5. Penderita TB......................................................................... 12
6. Faktor Resiko........................................................................ 15
7. Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan.................. 21
8. Pencegahan dan Pengobatan.............................................. 22
B. Sistem Informasi Geografi (SIG).............................................. 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


A. Jenis dan Desain Penelitian.................................................... 39
B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian............................ 39
C. Populasi dan Sampel................................................................ 39
D. Kriteria Sampel......................................................................... 40
E. Kerangka Konsep..................................................................... 41
F. Variabel..................................................................................... 41
G. Definisi Operasional................................................................. 41
H. Manajemen Data...................................................................... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil
1. Keterbatasan Penelitian........................................................
2. Gambaran Demografi Kota Samarinda................................
3. Sebaran Kasus Penyakit TB Paru BTA (+) Kota Samarinda.
4. Kepadatan Penduduk...........................................................
5. Kemiskinan...........................................................................
6. Akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan.............................
7. Hubungan Kepadatan Penduduk dengan
Kasus TB Paru BTA (+)........................................................

8. Hubungan Kemiskinan Penduduk dengan


Kasus TB Paru BTA (+)........................................................
9. Hubungan Akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan
dengan Kasus TB Paru BTA (+)...........................................
10. Daerah Resiko Persebaran Kasus TB Paru BTA (+).........
B. Pembahasan
1. Sebaran Kasus TB Paru BTA (+) Kota Samarinda..............
2. Hubungan antara Kasus TB Paru BTA (+) dengan
Kepadatan Penduduk..........................................................
3. Hubungan antara Kasus TB Paru BTA (+)
dengan Kemiskinan..............................................................
4. Hubungan antara Kasus TB Paru BTA (+)
dengan Akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan...............
5. Daerah Transmisi Penyebaran TB Paru BTA (+).................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan adalah hak dasar manusia dan merupakan salah satu

faktor yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Kegiatan

pelayanan kesehatan pada umumnya akan memberikan kontribusi


positif dalam perbaikan dan peningkatan pelayanan kesehatan

masyarakat. Peningkatan dari berbagai upaya pelayanan kesehatan

sebagai konsekuensinya akan berdampak pada peningkatan derajat

kesehatan masyarakat.

Dalam rangka untuk mencapai kesehatan optimal, maka Negara

Indonesia menerapkan “Paradigma Sehat” sebagai basis

pembangunan kesehatan. Paradigma sehat adalah cara pandang, pola

pikir model pembangunan kesehatan yang bersifat menyeluruh. Untuk

mewujudkan ini ditetapkan visi, yaitu gambaran, prediksi atau harapan

tentang keadaan masyarakat indonesia di masa yang akan datang yaitu

Indonesia Sehat 2010 (Depkes RI, 2007).

Penyakit tuberculosis merupakan salah satu masalah kesehatan bagi

bangsa Indonesia dan dunia. WHO menyatakan bahwa sekitar 1,9

milyar manusia, telah terinfeksi kuman tuberkulosis.

Mycobacterium tuberculosis yang menjadi bakteri penyebab penyakit

tuberkulosis atau TB telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia.

Tahun 1993, WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TB

karena pada sebagian besar negara di dunia, penyakit TB ini tidak

terkendali. Kira-kira 95% dari kasus TB dan 98% kematian akibat TB di

seluruh dunia terjadi pada negara-negara berkembang termasuk

Indonesia TB masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat

di Indonesia. Data WHO (2006) menyatakan bahwa Indonesia sebagai

penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina


dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 kasus dan jumlah kematian

sekitar 101.000 orang (http://www.hpmrc.ugm.ac.id)

Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001

menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan salah satu dari lima

penyebab utama kematian di Indonesia. Sebagian besar pasien TB

Paru berasal dari kelompok masyarakat usia produktif dan lapisan

sosial ekonomi rendah.

Diperkirakan setiap tahun ditemukan 450.000 kasus baru TB, dimana

sekitar 1/3 penderita terdapat disekitar Puskesmas, 1/3 ditemukan di

pelayanan Rumah Sakit/ klinik pemerintah dan swasta, praktek swasta

dan sisanya belum terjangkau Unit Pelayanan Kesehatan. Sedangkan

kematian karena TB diperkirakan 175.000 per tahun. Penyakit TB ini

menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif

(http://ppmplp.depkes.go.id).

Jumlah penderita TB yang tinggi juga ditemukan di Provinsi

Kalimantan Timur pada tahun 2003 tercatat sebanyak 806 penderita TB

(http://www.kaltimprov.go.id/ ). Berdasarkan penelitian Maulana (2007)

dalam Ali (2008) penderita TB Paru di Kalimantan Timur tahun 2005

mengalami peningkatan yaitu sebanyak 1.648 dan pada tahun 2006

meningkat menjadi 2.040 kasus baru TB Paru. Dari jumlah itu, kasus

terbanyak di wilayah Samarinda berjumlah 457 kasus TB Paru BTA (+).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Samarinda Tahun 2010,

pada tahun 2007 kasus baru TB Paru BTA (+) berjumlah 329 kasus dan

meningkat menjadi 454 kasus pada tahun 2008 kemudian menurun


pada tahun 2009 menjadi 433 kasus. Akan tetapi, pada triwulan I Tahun

2010 Kota Samarinda didapatkan data 218 kasus TB Paru BTA (+)

dengan kasus baru berjumlah 104 kasus.

Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat saat ini, diduga

disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat (2)

pengobatan yang tidak adekuat (3) program penanggulangan tidak

dilaksanakan dengan tepat (4) infeksi endemik human immuno-

deficiency virus (HIV) (5) migrasi penduduk (6) mengobati sendiri (7)

meningkatnya kemiskinan (8) pelayanan kesehatan yang kurang

memadai (Direktorat Jenderal PP & PL, 2006)

Masih banyaknya penderita TB selain karena faktor lingkungan yang

kotor dan kumuh juga masih kurangnya kesadaran masyarakat

penderita TB untuk berobat secara terus menerus. Selain kurangnya

kesadaran masyarakat untuk berobat, sarana yang masih kurang, SDM

petugas yang masih perlu ditingkatkan, dan faktor geografis, masalah

biaya untuk penanggulangan TB juga perlu ditingkatkan.

(http://www.kaltimprov.go.id/ )

Pengobatan tuberkulosis terkendala oleh seringnya pasien tidak

melanjutkan pengobatan hingga tuntas karena jenuh ataupun karena

merasa lebih baik setelah minum obat di dua bulan pertama. Faktor lain

yang menjadi penyebab penghambat pengobatan tuberkulosis menurut

Jajat (2000) dalam Suherman (2002) adalah ketersediaan sumber daya

kesehatan (meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, petugas puskesmas,

dan lain-lain), keterjangkauan sumber daya (biaya pengobatan, jarak


rumah ke sarana kesehatan, ketersediaan transportasi, dan lain-lain)

dan komitmen masyarakat dan pemerintah.

Menurut Johnson (2008) dalam Nurun (2009) banyak hal yang

menjadi faktor resiko penyebab TB paru. Diantaranya adalah status

ekonomi yang rendah, keadaan gizi yang kurang baik, pengetahuan

kesehatan yang kurang sehingga keadaan kesehatan lingkungan pun

menjadi buruk dan menyebabkan bakteri Tuberculosis berkembang

biak.

Publikasi WHO dalam rangka World TB Day 2002 yang mengambil

tema Stop TB Fight Proverty menyebutkan beberapa alasan gagalnya

pengobatan TB antara lain derajat kemiskinan penderita, sulitnya

menjangkau fasilitas kesehatan, kurangnya petugas kesehatan, harga

obat yang mahal, dan prosedur yang berbelit (Majalah Kedokteran

Indonesia, 2005).

Dalam rangka mempercepat memecahkan masalah kesehatan

masyarakat oleh pengambilan keputusan, upaya penyampaian

informasi kesehatan sangat penting. Salah satu cara untuk memberikan

gambaran informasi tersebut adalah dalam bentuk tabel, diagram dan

alur. Informasi tersebut dapat dipindahkan pada peta geografi dengan

bantuan suatu perangkat lunak yang dapat menyajikan informasi

tersebut dalam bentuk spasial/ keruangan yaitu Sistem Informasi

Geografi (SIG). Aplikasi SIG diperlukan untuk membuat informasi

epidemiologi mudah dipahami, diinterpretasikan dan diambil tindakan .

(Hernita, 2003)
Menurut Ahmadi dalam Putri (2008) analisis spasial sebagai bagian

dari manajemen penyakit berbasis wilayah, merupakan suatu analisis

dan uraian tentang data penyakit secara geografi berkenaan dengan

kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi,

kasus kejadian penyakit, dan hubungan antar variabel tersebut.

Oleh karena tingginya jumlah kasus TB Paru BTA Positif di Wilayah

Samarinda serta adanya faktor resiko , maka dibutuhkan analisis

spasial penyakit TB Paru BTA Positif untuk mengetahui gambaran

sebaran kasus TB serta hubungannya dengan faktor-faktor resiko yang

ada.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah

penelitian yaitu “Bagaimana gambaran serta hubungan kepadatan

penduduk, kemiskinan dan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan

dengan pendekatan keruangan terhadap kejadian Tuberkulosis (TB)

Paru Basil Tahan Asam (BTA) Positif di Kota Samarinda tahun 2010?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Menerapkan aplikasi sistem informasi geografi untuk pemodelan

spasial kejadian Tuberkulosis (TB) Paru Basil Tahan Asam (BTA)

Positif di Kota Samarinda tahun 2010 yang bertujuan untuk


mengetahui gambaran kejadian TB Paru BTA Positif serta hubungan

kejadian TB Paru BTA positif dengan kepadatan penduduk,

kemiskinan dan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran sebaran kejadian TB Paru BTA Positif di

Kota Samarinda tahun 2010

b. Mengetahui hubungan kepadatan penduduk dengan kejadian TB

Paru BTA Positif di Kota Samarinda tahun 2010

c. Mengetahui hubungan kemiskinan dengan kejadian TB Paru BTA

Positif di Kota Samarinda tahun 2010

d. Mengetahui adanya hubungan akses pelayanan kesehatan

dengan kejadian TB Paru BTA Positif di Kota Samarinda tahun

2010

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

a. Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang Ilmu

Kesehatan Masyarakat
b. Mengaplikasikan Sistem Informasi Geografi dalam Bidang

Kesehatan Masyarakat

c. Sebagai dasar penelitian –penelitian serupa di masa yang

akan datang

2. Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai sarana penerapan ilmu-ilmu yang diperoleh dalam

pendidikan dan mengembangkan wawasan peneliti tentang Sistem

Informasi Geografi yang diaplikasikan dalam Ilmu Kesehatan

Masyarakat

3. Manfaat Bagi Fakultas

a. Menambah literatur tentang aplikasi Sistem Informasi Geografi

dalam bidang Kesehatan Masyarakat

b. Sebagai masukan untuk penyempurnaan kurikulum di masa

yang akan datang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis

1. Pengertian
Tuberkulosis atau yang biasa dikenal dengan TB adalah penyakit

menular yang bersifat menahun, disebabkan oleh kuman

Mycobacterium tuberculosis, yang sering dihinggapi adalah paru-

paru. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu

tahan terhadap asam pada pewarnaan.Oleh karena itu disebut pula

sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman tuberkulosis cepat mati

dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup

beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan

tubuh kuman ini dapat dormant, tertidur lama selama beberapa tahun

(Depkes RI, 2002).

2. Cara Penularan

TB tersebar lewat udara bila orang yang mengidap TB di paru-

paru atau tenggorokan batuk, bersin atau berbicara dan

‘mengirimnya’ ke udara. Kalau kuman ini terhirup orang lain, maka

bisa terkena infeksi. Mendapatkannya kebanyakan dari pergaulan

yang sering dan lama, seperti dengan anggota keluarga atau teman.

TB tidak tersebar dari alat rumah tangga, misalnya sendok garpu,

piring mangkuk, gelas, seprai, pakaian atau telepon. Jadi tidak perlu

memakai alat rumah tangga masing-masing

(http://www.health.nsw.gov.au/).

Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif.

Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman dalam

bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman

dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.


Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup ke dalam

saluran pernafasan. Daya penularan dari seseorang penderita

ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya.

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular

penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak

terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

Kemungkinan seseorang terinfeksi TB Paru ditentukan oleh

konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara

tersebut (Depkes RI, 2002).

3. Riwayat Terjadinya TB

a. Infeksi Primer

Infeksi primer terjadi pada seseorang yang terpapar pertama

kali dengan kuman tuberkulosis. Droplet yang terhisap sangat

kecil ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan

mukosiller bronkus dan terus berjalan sampai di alveolus

terminalis dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman

tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara pembelahan

diri di paru yang mengakibatkan peradangan di dalam paru.

Saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke kelenjar

limfe di sekitar hilus paru dan ini disebut sebagai kompleks primer.

Waktu antara terjadi infeksi sampai pembentukan kompleks primer

adalah 4-6 minggu.

(http://www.ppmplp.depkes.go.id).

b. Tuberkulosis Pasca Primer (Post Primary Tuberculosis)


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa

bulan atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya

tahan tubuh menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang

buruk. Ciri khas dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan

paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura

(Depkes RI, 2002).

4. Diagnosis dan Gejala TB

Diagnosis pada penderita TB dapat dilakukan melalui:

a) Untuk yang di dalam paru-paru:

Potret sinar X dapat menunjukkan apakah penyakit TB sudah

mengenai paru-paru. Ujicoba dahak menunjukkan apakah ada

kuman TB pada dahak yang keluar. Jika orangnya tidak dapat

mengeluarkan dahak, ujicoba lain mungkin diperlukan.

b) Untuk yang di luar paru-paru:

Ujicoba seperti biopsi jarum halus, contoh dari luka, contoh dari

pembedahan atau contoh air seni dini hari dapat membantu

diagnosa TB.

TB memiliki beberapa gejala menurut Muherman, dkk (2002)

dalam Retno (2007) gejala-gejala TB yaitu :

a) Batuk

b) Dahak

c) Sering flu
d) Batuk berdarah

e) Berat badan turun

f) Sakit dinding dada

g) Demam dan berkeringat

h) Nafas pendek

i) Rasa lelah

Menurut Tjokronegoro dan Utama (2001 ) dalam Retno (2007),

bahwa gejala-gejala yang terbanyak adalah :

a) Demam

b) Sesak napas

c) Batuk/batuk berdarah

d) Nyeri dada.

TB bisa menyerang bagian tubuh yang mana pun, tapi paru-paru

yang paling sering. Pengidapnya mungkin mendapat aneka gejala

sebagai berikut: batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu,

demam, berat badan turun tanpa sebab, keringat malam, senantiasa

lelah, nafsu makan berkurang, dahak bebercak darah, atau sakit dan

bengkak di bagian yang terkena, bagi TB yang di luar paru-paru. Ada

juga pengidap penyakit TB aktif yang hanya bergejala ringan

((http://www.health.nsw.gov.au/)

5. Penderita TB

a) Penemuan Penderita TB

(1) Penemuan Penderita TB Paru Pada Orang Dewasa


Penemuan penderita TB dilakukan secara pasif, artinya

penjaringan tersangka penderita dilaksanakan pada mereka

yang datang berkunjung ke unit pelayanan kesehatan.

Penemuan secara pasif tersebut didukung dengan penyuluhan

secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat

untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka penderita.

Selain itu semua kontak penderita TB paru BTA positif dengan

gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Semua tersangka

penderita diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari

berturut-berturut, yaitu Sewaktu–Pagi–Sewaktu /SPS (Depkes

RI, 2002).

(2) Penemuan Penderita Pada Anak

Penemuan penderita tuberkulosis pada anak merupakan hal

yang sulit. Sebagian besar tuberkulosis anak didasarkan atas

gambaran klinis, gambaran radiologis, dan uji tuberkulin

(Depkes RI, 2002). Karena sulitnya mendiagnosis TB pada

anak, sering terjadi overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di

lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan undertreatment.

Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya

adalah orang dewasa dengan sputum basil tahan asam positif,

sehingga penanggulangan TB ditekankan pada pengobatan TB

dewasa. Akibatnya, penanganan TB anak kurang diperhatikan

(Direktorat Jenderal PP & PL, 2006)

b) Klasifikasi Penyakit dan Tipe Penderita


(1) Klasifikasi Penyakit

(a) Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang

jaringan paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).

Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi

dalam :

1. Tuberkulosis Paru BTA Positif

Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif atau 1 spesimen dahak SPS

hasilnya BTA positif dan foto rontgen dada menunjukkan

gambaran tuberkulosis aktif.

2. Tuberkulosisi Paru BTA Negatif

Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA

negatif dan foto rontgen dada menunjukkan tuberkulosis

aktif. TB Paru Negatif Rotgen Positif dibagi berdasarkan

tingkat keparahan penyakitnya, yaitu berat dan ringan

(Depkes RI, 2002).

3. Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ektra paru adalah tuberkulosis yang

menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung, kelenjar limfe,

tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,

alat kelamin, dan lain- lain. Tuberkulosis ekstra paru


dibagi lagi pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu

tuberkulosis ekstra paru ringan dan tuberkulosis ekstra

paru berat (Depkes RI, 2002).

(2) Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan

sebelumnya. Menurut Tjokronegoro dan Utama (2001) dalam

Retno (2010) tipe penderita dibagi dalam:

(a) Kasus Baru

Adalah penderita yang tidak mendapat Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) lebih dari satu bulan.

(b) Kasus Kambuh (relaps)

Adalah penderita yang pernah dinyatakan sembuh dari

tuberkulosis tetapi kemudian timbul lagi tuberkulosis

aktifnya.

(c) Gagal

Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif

atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu

bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih. Gagal adalah

penderita dengan hasil BTA negatif Rontgen positif menjadi

BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.

(d) Kasus Kronik

Adalah penderita yang BTA-nya tetap positif setelah

mendapat pengobatan ulang lengkap yang disupervisi

dengan baik.
Menurut Depkes RI (2002 ), tipe penderita dibagi ke dalam

beberapa tipe, yaitu kasus baru; kambuh (relaps); pindahan

(transfer in); setelah lalai (drop-out); gagal dan kasus kronik.

(Purbosari, 2007)

6. Faktor Resiko

Faktor risiko yaitu semua variabel yang berperan atas timbulnya

kejadian penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TB saling

berkaitan satu sama lainnya (Saad, 2005)

a. Kondisi Sosial Ekonomi

Menurut Beaglehole (1993) dalam Sugiarto (2004) TB Paru

seringkali dikaitkan dengan kondisi ekonomi. Orang yang hidup

dalam kemiskinan biasanya mempunyai kesehatan yang buruk. Ini

diantaranya disebabkan oleh tingginya pemaparan infeksi akibat

kepadatan penghuni, makanan yang tidak cukup ataupun

lingkungan kerja yang tidak sehat. Ekonomi rendah secara

bersama-sama dengan faktor lainnya menjadi prasyarat timbulnya

sakit akan tetapi tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.

WHO (2003) menyebutkan 90% penderita TB di dunia

menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin.

Hubungan antara kemiskinan dengan TB bersifat timbal balik, TB

merupakan penyebab kemiskinan dan karena miskin maka

manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri, mungkin

tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat

merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi


buruk, serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap

pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut

perhitungan, rata-rata penderita TB kehilangan 3 sampai 4 bulan

waktu kerja dalam setahun. Mereka juga kehilangan penghasilan

setahun secara total mencapai 30% dari pendapatan rumah

tangga. (Saad, 2005).

Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki 14 kriteria untuk

menentukan keluarga/ rumah tangga miskin yaitu:

1) Luas bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang.

2) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu

murahan.

3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu

berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester.

4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan

rumah tangga lain.

5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.

6) Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/

sungai/ air hujan.

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/

arang/ minyak tanah.

8) Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam

seminggu

9) Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun

10) Hanya sanggup makan hanya satu/ dua kali dalam sehari.
11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/

poliklinik.

12) Sumber penghasilan kepala keluarga adalah petani dengan

luas lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh

perkebunan, dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan di

bawah Rp. 600.000,- (Enam Ratus Ribu) per bulan.

13) Pendidikan tertinggi kepala keluarga : tidak bersekolah/ tidak

tamat SD/ hanya SD.

14) Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan

nilai minimal Rp. 500.000,- (Lima Rus Ribu Rupiah), seperti

sepeda motor kredit/ non-kredit, emas, ternak, kapal motor,

atau barang modal lainnya (http://www.dinsos.pemda-

diy.go.id/).

Dari 14 kriteria tersebut BPS mengklasifikasikan kemiskinan

menjadi tiga kategori yaitu:

a. Kategori sangat miskin, bila memiliki 12 kriteria,

b. Kategori miskin bila memenuhi 6 - 10 kriteria,

c. Mendekati miskin bila memenuhi 5 -6 kriteria.

Penelitian Budiono (2003) di Jakarta Timur menunjukkan bahwa

secara statistik tidak ada hubungan antara sosial ekonomi dengan

kejadian TB Paru, namun dalam penelitian ini yang menjadi

responden adalah yang memilki strata sosial ekonomi relatif hampir


sama. Hal ini terbukti bahwa proporsi responden antara ekonomi

rendah dan yang lebih tinggi hampir sama, kondisi inilah yang

mungkin menyebabkan sosial ekonomi tidak berhubungan dengan

kejadian TB Paru. Berbeda halnya dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sugiarto (2004) di Kabupaten Bengkulu Utara

bahwa orang yang mempunyai penghasilan rendah berisiko 1,14

kali untuk mengalami kejadian TB Paru BTA (+) dibandingkan

dengan orang yang mempunyai penghasilan lebih.

b. Kepadatan

Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan

penyakit. Semakin padat, maka perpindahan penyakit, khususnya

penyakit melalui udara, akan semakin mudah dan cepat. Oleh

sebab itu, kepadatan dalam rumah maupun kepadatan hunian

tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian

TB. Untuk itu Departemen Kesehatan telah membuat peraturan

tentang rumah sehat, dengan rumus jumlah penghuni/luas

bangunan. Syarat rumah dianggap sehat adalah 10m 2 per orang

(Depkes, 2003). Sedangkan kepadatan penduduk dirumuskan

jumlah jiwa/ . Menurut Undang-undang No.56 Tahun 1960 ada

empat klasifikasi kepadatan penduduk, yaitu:

1) Tidak padat (0-50 jiwa/ )

2) Kurang padat (51-250 jiwa/ )

3) Cukup padat (251-400 jiwa/ )


4) Sangat padat (> 401 jiwa/ )

Penelitian Apriani (2001) di Sulawesi Tengah menunjukkan

hubungan yang bermakna antara kepadatan hunian rumah dengan

kejadian TB Paru. Orang yang tinggal dalam rumah yang padat

penghuninya mempunyai risiko untuk tertular TB 1,55 kali pada

kontrol 1 dan 1,79 kali pada kontrol dua. Sedangkan penelitian

Budiono (2003) di Jakarta Timur kepadatan rumah terbukti tidak

ada hubungan dengan kejadian TB Paru. Orang yang tinggal di

dalam rumah yang padat penghuninya tidak ada bedanya dengan

yang tinggal di dalam rumah yang tidak pada penghuninya. Tidak

adanya hubungan antara kepadatan rumah dengan kejadian TB

Paru dalam penelitian ini mungkin angka prevalensi TB Paru di

Indonesia tinggi, sehingga kesempatan untuk kontak dengan

penderita TB bisa terjadi di luar rumah. Alasan lain mungkin karena

responden dalam penelitian ini homogen, yaitu proporsi kepadatan

rumah antara kelompok kasus dan kontrol relatif sama.

c. Faktor Risiko Perilaku

Faktor risiko perilaku adalah kebiasaan yang dilakukan sehari-

hari yang dapat mempengaruhi terjadinya penularan/penyebaran

penyakit. Yang termasuk factor risiko perilaku dalam terjadinya

penularan TB adalah sebagai berikut:

1. Kebiasaan tidur penderita TB bersama-sama dengan anggota

keluarga

2. Tidak menjemur kasur secara berkala (Saad, 2005)


3. Kebiasaan membuang ludah/dahak sembarangan

4. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela rungan

5. Kebiasaan tidak pernah membuka jendela kamar tidur

6. Kebiasaan tidak pernah membersihkan lantai

7. Kebiasaan merokok (Saad, 2005)

Menurut Johnson (2008) dalam Nurun (2009) banyak hal yang

menjadi faktor resiko penyebab TB paru. Diantaranya adalah status

ekonomi yang rendah, keadaan gizi yang kurang baik, pengetahuan

kesehatan yang kurang sehingga keadaan kesehatan lingkungan pun

menjadi buruk dan menyebabkan bakteri Tuberculosis berkembang

biak.

Selain itu, pengobatan tuberkulosis terkendala oleh seringnya

pasien tidak melanjutkan pengobatan hingga tuntas karena jenuh

ataupun karena merasa lebih baik setelah minum obat di dua bulan

pertama. Faktor lain yang menjadi penyebab penghambat pengobatan

tuberkulosis menurut Jajat (2000) dalam Suherman (2002) adalah

ketersediaan sumber daya kesehatan (meliputi fasilitas pelayanan

kesehatan, petugas puskesmas, dan lain-lain), keterjangkauan

sumber daya (biaya pengobatan, jarak rumah ke sarana kesehatan,

ketersediaan transportasi, dan lain-lain) dan komitmen masyarakat

dan pemerintah.

7. Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Perawatan di rumah sakit bukanlah suatu keharusan bagi penerita

TB Paru untuk sembuh dari penyakitnya, kecuali terdapat komplikasi.


Waktu pengobatan relatif lama yaitu sekurang-kurangnya 6 bulan dan

bisa sembuh dengan kepatuhan menjalankan nasihat dokter atau

petugas kesehatan untuk terlatih dan teratur meminum obat sesuai

petunjuk. Tempat pelayanan akan memberikan pelayanan dengan

tujuan membuat penderita sembuh, mencegah kematian penderita,

agar tidak kambuh dan untuk menurunkan risiko penularan (Depkes,

2003).

Kemudahan akses ke sarana pelayanan kesehatan berhubungan

dengan berbagai faktor penentu, antara lain jarak tempat tinggal dan

waktu tempuh ke sarana kesehatan, serta status sosial ekonomi dan

budaya (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur, 2009)

Dari segi jarak dapat diklasifikasikan menjadi:

a. Dekat (<1 km)

b. Jauh (1-5 km)

c. Sangat jauh (>5 km)

Sedangkan waktu tempuh ke fasilitas pelayanan kesehatan,

diklasifikaskan menjadi:

a. Sangat cepat (< 15 menit)

b. Cepat (16-30 menit)

c. Lama (31-60 menit)

d. Sangat lama (>60 menit)

Kondisi di Provinsi Kalimantan Timur, rumah tangga yang berjarak

lebih dari 5 km berada di Kutai Timur, Malinau dan Kutai Barat.

Demikian halnya dengan waktu tempuh, daerah waktu tempuh lebih


dari 30 menit ke fasilitas pelayanan kesehatan tertinggi di Nunukan

berikutnya Kutai Timur (Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur,

2009)

8. Pencegahan dan Pengobatan

Pengidap TB di paru-paru diminta menutupi hidung dan mulutnya

apabila mereka batuk atau bersin. Pengidap TB menular di paru-

paru dipisahkan dari orang lain sampai tidak bisa menulari lagi.

Beberapa orang yang diagnosanya Infeksi TB ditawarkan sederet

pengobatan pencegahan. Bagi jenis TB yang menjadikan nyawa

terancam, vaksin BCG dapat melindungi anak-anak yang bepergian

ke negara yang biasa kejangkitan TB.

Diobati dengan gabungan antibiotika khusus setidaknya 6 bulan.

Antibiotika TB ini diminum di bawah pengawasan perawat klinik

guna memperhatikan dampak sampingnya dan meyakinkan

pengobatannya sudah selesai. Pengidap TB dapat sembuh jika

menyelesaikan pengobatannya. Selama diobati, pengidap TB dapat

kembali ke kegiatan seperti biasa jika sudah tidak menulari lagi.

Jika tidak minum obat, pengidapnya bisa menjadi sakit parah,

bahkan meninggal.

(http://www.health.nsw.gov.au/)

B. Sistem Informasi Geografi (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan komputer yang

berbasis pada sistem informasi yang digunakan untuk memberikan


bentuk digital dan analisa terhadap permukaan geografi bumi. Defenisi

SIG selalu berubah karena SIG merupakan bidang kajian ilmu dan

teknologi yang relatif masih baru. Beberapa definisi dari SIG adalah

( Rahayuningsih, 2007)

1. Purwadhi, 1994:

a) SIG merupakan suatu sistem yang mengorganisir perangkat

keras (hardware), perangkat lunak (software), dan data, serta

dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan,

maupun analisis data secara simultan, sehingga dapat diperoleh

informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan

b) SIG merupakan manajemen data spasial dan non-spasial yang

berbasis komputer dengan tiga karakteristik dasar, yaitu:

1). Mempunyai fenomena aktual (variabel data non-lokasi) yang

berhubungan dengan topik permasalahan di lokasi

bersangkutan;

2). Merupakan suatu kejadian di suatu lokasi; dan

3). Mempunyai dimensi waktu ( Rahayuningsih, 2007)

3. Aronaff, 1989.

SIG adalah sistem informasi yang didasarkan pada kerja komputer

yang memasukkan, mengelola, memanipulasi dan menganalisa data

serta memberi uraian.

4. Barrough, 1986.
SIG merupakan alat yang bermanfaat untuk pengumpulan,

penimbunan, pengambilan kembali data yang diinginkan dan

penayangan data keruangan yang berasal dari kenyataan dunia

( Rahayuningsih, 2007)

Menurut Tomilin (1990) dalam Fitri (2007)Sistem Informasi Geografis

(SIG) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang

memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). SIG juga dapat

diartikan lebih sempit sebagai sebuah sistem komputer yang memiliki

kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan

menampilkan informasi bereferensi geografis, misalnya data yang

diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database.

Esri (1990) mendefinisikan SIG sebagai suatu kumpulan yang

terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data

geografi dan personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh,

menyimpan, mengupdate, memanipulasi, menganalisis dan

menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi

(Susilawati,2009)

Berdasarkan definisi diatas , maka dapat dibagi sebagai berikut:

1. Input

subsistem ini mengumpulkan data dan mempersiapkan data

spasial dan atribut dari berbagai sumber. Data yang digunakan harus

dikonversikan menjadi format digital yang sesuai. Salah satu teknik

mengubah data analog menjadi data digital adalah dengan digitasi

menggunakan digitizer
2. Manipulasi

Penyesuaian terhadap data masukan untuk proses lebih lanjut,

misalnya penyamaan skala, pengubahan sistem proyeksi,

generalisasi, dan lain-lain.

3. Managemen Data

Digunakan database management sistem (DBMS) untuk

membantu, menyimpan, mengorganisasikan dan mengolah data

4. Query

Penelusuran data menggunakan lebih dari satu layer dapat

memberikan informasi untuk analisis dan memperoleh data yang

diinginkan

5. Analisis

Kemampuan untuk analisis data spasial untk memperoleh

informasi baru. Salah satu fasilitas yang banyak digunakan adalah

analisis tumpang susun peta (overlay)

6. Visualisasi

Penyajian berupa informasi baru atau basis data yang ada baik

dalam bentuk peta, tabel, grafik,dan lain-lain (Susilawati,2009)

Komponen SIG merupakan suatu sistem komputer yang terintegrasi

di tingkat fungsional dan jaringan yaitu:

1. Perangkat Keras (hardware)


Komputer dan periperalnya merupakan komponen yang harus

tersedia untuk mengoperasikan SIG berbasis komputer. Perangkat

keras SIG meliputi perangkat keras : pemasukan data, pemrosesan

daa dan penyajian data dan penyajian hasil serta penyimpanan

(storage)

2. Perangkat Lunak (software)

Perangkat lunak mempunyai fungsi di atas dan fasilitas untuk

penyimpanan analisis dan penayangan informasi geografi.

Persyaratan yang harus dipenuhi software GIS adalah

a. Merupakan database Management Sistem (DBMS)

b. Fasilitas untuk pemasukan dan manipulasi data geografis

c. Fasilitas untuk query, analisis dan visualisasi

d. Graphical User Interface (GUI) yang baik untuk mempermudah

akses yang ada.

3. Data

Data merupakan komponen yang penting dalam SIG. Data SIG

dibedakan menjadi data grafis dan data atribut. Data grafis

mempunyai tiga elemen yaitu titik, garis dan area. Adapun bentuk

vektor atau raster yang mewakili geometri, ukuran, bentuk posisi dan

arah

4. Sumberdaya Manusia

Teknologi SIG menjadi sangat terbatas kemampuannya jika tidak

ada sumberdaya yang mengelola sistem dan mengembangkan untuk


aplikasi yang sesuai. Pengguna dari pembuat sistem harus saling

bekerjasamauntuk mengembangkan teknologi (Susilawati,2009)

5. Metode

Model dan teknik pemrosesan perlu dibuat untuk berbagai aplikasi

SIG. Sistem komputer untuk SIG terdiri dari perangkat keras,

perangkat lunak, dan prosedur untuk penyusunan pemasukan data,

pengolahan, analisis, pemodelan dan penayangan data geospasial.

Fungsi pengguna adalah untuk memilih informasi yang diperlukan,

membuat standar, membuat jadwal pemutakhiran yang efisien

menganalisis hasil yang dikeluarkan untuk kegunaan yang diinginkan

dan merencanakan aplikasi (Susilawati,2009)

Hal-hal yang berkaitan dengan SIG dalam mengolah data adalah

1. Overlay

Overlay (tumpang susun) adalah analisis spasial esensial yang

mengombinasikan dua layer yang menjadi masukannya, sehingga

menghasilkan layer baru.


Secara analisa membutuhkan lebih dari satu layer yang akan

ditumpang susun secara fisik agar bisa dianalisa secara visual

(http://www.docstoc.com/docs/27326834/Bab-2-Konsep-Sistem-

Informasi-Geografi)

Pada awalnya , data atau objek-objek geografi hanya disajikan

di atas peta dengan menggunakan bentuk simbol, variasi ukuran,

pola garis, dan kombinasi warna. Kemudian, elemen-elemen

geometri ini dideskripsikan di dalam legendanya , misalnya garis

hitam tebal untuk jalan utama, garis hitam tipis untuk jalan

sekunder dan jalan-jalan yang berikutnya. Namun dengan adanya


overlay maka sebuah peta dapat menjadi media yang sangat

efektif baik sebagai alat presentasi maupun sebagai bank tempat

penyimpanan data atau objek grafis (Prahasta, 2009)

2. Layer

Perangkat SIG dapat menghubungkan sekumpulan unsur-

unsur atau objek peta (yang diimplementasikan di dalam satuan-

satuan yang disebut layer) sehingga dapat dikatakan bahwa layer

adalah tampilan dari peta pada lembar kerja dengan atribut-

atributnya yang disimpan di dalam tabel-tabel basis data (atribut).

Dengan demikian, “sungai”, “bangunan”, “jalan”, “laut”, “batas-

batas administrasi”, “perkebunan”, dan “hutan” bisa merupakan

contoh-contoh layer. Kumpulan layer-layer ini beserta tabel-tabel

atribut terkait akan membentuk basis data SIG. Dengan demikian,

proses perancangan basis data merupakan hal yang esensial di

dalam SIG. Rancangan basis data akan menentukan efektivitas

dan efisiensi proses-proses masukan, pengelolaan, dan keluaran

SIG itu sendiri (Prahasta, 2009)


3. Buffer

Buffer adalah analisis spasial yang akan menghasilkan unsur-

unsur spasial yang berupa poligon, membuat peta dengan jarak

tertentu dari suatu obyek. Unsur-unsur ini merupakan area atau

buffer yang berjarak (yang ditentukan) dari unsur-unsur spasial

yang menjadi masukannya. Multiple Ring Buffer berfungsi untuk

membuat lebih dari satu buffer dengan jarak interval tertentu dari

suatu objek, misalnya jarak pertama 5 meter, kedua 10 meter, dan

ketiga 15 meter. Dengan adanya buffer maka akan dapat

menghasilkan layer spasial baru yang berbentuk poligon dengan

jarak tertentu dari unsur –unsur spasial yang menjadi masukannya

(Prahasta, 2009)

Titik Garis Poligon

1)

2) 3)

4. Dot/ titik
Dot/ titik adalah representasi grafis atau geometri yang paling

sederhana bagi objek spasial. Representasi ini tidak memiliki

dimensi, tetapi dapat diidentifikasikan di atas peta dan dapat

ditampilkan pada layar monitor dengan menggunakan simbol-

simbol tertentu. Perlu dipahami bahwa skala peta akan

menentukan apakah suatu objek akan ditampilkan sebagai titik

atau poligon (area/ luasan ). Pada peta skala besar , unsur-unsur

bangunan akan ditampilkan sebagai poligon/ area, sementara

pada skala kecil akan ditampilkan sebagai unsur-unsur titik.

(Prahasta, 2009)
5. Garis

Garis adalah bentuk geometri linier yang akan menghubungkan

paling sedikit dua titik dan digunakan untuk merepresentasikan

objek-objek yang berdimensi satu. Batas-batas setiap sisi objek

geometri poligon juga merupakan garis-garis, demikian pula

dengan jaringan listrik, jaringan komunikasi dan utiliti lainnya

dapat dipresentasikan sebagai objek dengan bentuk geometri

garis. Meskipun demikian, dilain pihak, sebagai contoh entitas

jalan dan sungai dapat dipresentasikan baik sebagai objek

geometri garis maupun poligon. Hal ini bergantung pada skala

peta yang menjadi sumbernya atau skala representasi akhirnya

( Prahasta, 2009)
6. Poligon

Geometri poligon digunakan untuk mempresentasikan objek-

objek ua dimensi. Unsur-unsur spasial danau, batas provinsi,

batas kota adalah beberapa contoh tipe entenitas dunia nyata

yang pada umunya direpresentasikan sebagai objek – objek

dengan geometri poligon. Meskipun demikian, representasi ini

masih bergantung pada skala petanya atau sajian akhirnya. Suatu

objek yang berbentuk poligon paling sedikit dibatasi oleh tiga garis

yang saling terhubung di antara ketiga titik sudutnya

http://www.bappeda.samarinda.go.id/sig_10.php

7. Atribut
Atribut memiliki fungsi untuk mendeskripsikan karakteristik

suatu peta. Penentuan atribut pada umumnya didasarkan pada

fakta-fakta yang ada. Dengan adanya atribut diharapkan dapat

memberikan informasi terkait dengan obyek

Setiap entitas pasti memiliki sejumlah atribut yang akan

mendeskripsikan karakteristiknya. Penentuan atau pemilihan

atribut yang relevan bagi suatu entitas merupakan hal penting di

dalam pembentukan suatu model data. Atribut berfungsi untuk

mendeskripsikan featurs objek yang bersangkutan hingga mereka

benar-benar dapat dianggap informasi. Pada implementasinya

atribut ini disimpan di dalam tabel-tabel basis data (Prahasta,

2009).
8. Global Positioning System (GPS)

Global Positioning System (GPS), adalah sistem satelit navigasi

dan penentuan posisi global yang dimungkinkan dengan

beroperasinya satelit penentu posisi milik negara Amerika. Secara

prinsip, GPS bekerja berdasarkan sinyal-sinyal yang dipancarkan

oleh satelit-satelit tersebut Informasi mengenai posisi satelit

secara terus menerus dan simultan dikirimkan kepada penerima

sinyal di bumi yang selanjutnya diolah menjadi informasi koordinat

secara global dapat diketahui oleh setiap orang dengan satuan

pengukuran dan sistem koordinat yang jelas. Data biasanya yang

didownload adalah waypoint (titik). Data ini adalah koordinat titik-

titik yang diukur (diambil koordinatnya ) dalam survey lapangan.

Selain waypoint, data yang lebih penting untuk didownload adalah

tracklog (jejak). Tracklog adalah kumpulan koordinat titik-titik yang

diambil secara otomatis oleh GPS dalam interval waktu dan jarak

tertentu (Prahasta, 2009). GPS memiliki beberapa tipe, salah

satunya adalah Garmin GPS MAP 60 CSX, merupakan High

Sensitivity GPS dengan fitur MAPPING mampu menghadirkan

interest point ditambah lagi fitur baromatic altimeter dan kompas

membuat GPSMAP 60 XSC menjadi tool survey yang lengkap.

GPSMAP 60 CSX-pun waterproof dengan tampilan warna pada

layar serta memiliki slot memory untuk MicroSD.


Gambar. Garmin GPS MAP 60 CSX

Salah satu manfaat SIG adalah kemudahan dalam melihat fenomena

kebumian dengan perspektif yang lebih baik. SIG mampu

mengakomodasi penyimpanan, pemrosesan, dan penayangan data

spasial digital bahkan integrasi data yang beragam, mulai dari citra

satelit, foto udara, peta bahkan data statistik. Ketersediaan komputer

dengan kecepatan dan kapasitas ruang penyimpanan besar seperti

saat ini, SIG akan mampu memproses data dengan cepat dan akurat

dan menampilkannya. SIG juga mengakomodasi dinamika data dan

pemutakhiran data menjadi lebih mudah ( Rahayuningsih, 2007)


Selain itu, menurut Barus dan Wiradisastra (2000) dalam anisah

(2007) Sistem Informasi Geografis dapat dimanfaatkan untuk

mempermudah dalam mendapatkan data-data yang telah diolah dan

tersimpan sebagai atribut suatu lokasi atau obyek. Data-data yang

diolah dalam SIG pada dasarnya terdiri dari data spasial dan data

atribut dalam bentuk dijital. Sistem ini merelasikan data spasial (lokasi

geografis) dengan data non spasial, sehingga para penggunanya dapat

membuat peta dan menganalisa informasinya dengan berbagai cara.

SIG merupakan alat yang handal untuk menangani data spasial,

dimana dalam SIG data dipelihara dalam bentuk digital sehingga data

ini lebih padat dibanding dalam bentuk peta cetak, table, atau dalam

bentuk konvensional lainya yang akhirnya akan mempercepat

pekerjaan dan meringankan biaya yang diperlukan.

Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa perlu menggunakan

SIG, menurut Anon (2003) dalam Anisah (2007) alasan yang

mendasarinya adalah:

1. SIG menggunakan data spasial maupun atribut secara terintergarsi

2. SIG dapat memisahkan antara bentuk presentasi dan basis data

3. SIG memiliki kemampuan menguraikan unsure-unsur yang ada

dipermukaan bumi ke dalam beberapa layer atau coverage data

spasial

4. SIG memiliki kemampuan yang sangat baik dalam

menvisualisasikan

5. Data spasial berikut atributnya


5. Semua operasi SIG dapat dilakukan secara interaktif

6. SIG dengan mudah menghasilkan peta -peta tematik

7. SIG sangat membantu pekerjaan yang erat kaitanya dengan bidang

spasial dan geoinformatika.

Posisi SIG dengan segala kelebihannya, semakin lama semakin

berkembang bertambah dan bervarian. Pemanfaatan SIG semakin

meluas meliputi pelbagai disiplin ilmu, seperti ilmu kesehatan, ilmu

ekonomi, ilmu lingkungan, ilmu pertanian, militer dan lain-lain (Aini,

2007).

Aplikasi SIG diperlukan untuk membuat informasi epidemiologi

mudah dipahami, diinterpretasikan dan diambil tindakan (Hernita,

2003). SIG memungkinkan untuk menggambarkan penyebaran kasus

dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, data kesehatan, dan

perencanaan penempatan lokasi pada fasilitas kesehatan. Dengan

menggunakan SIG maka penyebaran informasi mengenai pelayanan

kesehatan dan juga data megenai angka-angka kesehatan akan lebih

mudah dipahami. Menurut Ahmadi dalam Putri (2008) analisis spasial

sebagai bagian dari manajemen penyakit berbasis wilayah, merupakan

suatu analisis dan uraian tentang data penyakit secara geografi

berkenaan dengan kependudukan, persebaran, lingkungan, perilaku,

sosial ekonomi, kasus kejadian penyakit, dan hubungan antar variabel

tersebut.

Dalam SIG, peta kondisi kesehatan masyarakat dapat di

tumpangsusunkan dengan peta kepadatan permukiman, peta sanitasi


lingkungan, pola hidup masyarakat, tingkat ekonomi, dan pendidikan

masyarakat sehingga terlihat tingkat korelasinya antar variabel yang

mempengaruhi kesehatan masyarakat (http://file.upi.edu/Direktori/)

27

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian

Desain penelitian ini merupakan Geographical epidemiologi yaitu

bentuk penelitian secara deskripsi yang menjelaskan mengenai

penyebaran penyakit, tingkat kesakitan dan kematian dalam suatu

wilayah. Teknik dalam menganalisa secara spasial salah satunya

adalah dengan teknik korelasi, yaitu membandingkan dua hal yang

berbeda untuk melihat ada tidaknya hubungan sebab akibat

B. Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Waktu penelitian dilakukan pada Bulan Oktober Tahun 2010 yang

bertempat di Kota Samarinda

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah total kasus TB Paru BTA (+)

triwulan I Tahun 2010 di Kota Samarinda sebanyak 218 kasus

2. Sampel

Penelitian ini menggunakan purposive sampel dengan mengacu

pada kriteria inklusi dan kriteria eksklusi TB Paru BTA (+) triwulan I

Tahun 2010 di Kota Samarinda yang berjumlah 78 kasus

D. Kriteria Sampel

1. Kriteria Inklusi
- Kasus TB Paru BTA (+) triwulan I Tahun 2010 yang tercatat di

register penderita TB Paru BTA (+) Dinas Kesehatan Kota

Samarinda secara lengkap

- Kasus TB Paru BTA (+) triwulan I Tahun 2010 yang

memanfaatkan pelayanan kesehatan ( Puskesmas, RSUD I.A

Moeis, RSUD A.W Syahranie, RS Dirgahayu, RS. Islam)

2. Kriteria Eksklusi

- Kasus TB Paru BTA (+) triwulan I Tahun 2010 dengan register

penderita TB Paru BTA (+) yang tidak lengkap.di Dinas Kesehatan

Kota Samarinda

- Kasus TB Paru BTA (+) triwulan I Tahun 2010 yang alamat tempat

tinggalnya berada di luar wilayah kerja pusat pelayanan kesehatan

yang menjadi obyek penelitian

E. Kerangka Konsep
Mengenai faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian

penyakit TB Paru BTA (+) serta tujuan penelitian yang sudah

ditetapkan, maka kerangka konsep penelitian sebagai berikut:

Variabel Bebas Variabel Terikat

FAKTOR DEMOGRAFI
Kepadatan penduduk

FAKTOR SOSIAL
Kejadian TB Paru
Kemiskinan
BTA (+)

PELAYANAN KESEHATAN
Akses ke fasilitas pelayanan
kesehatan

F. Variabel

Variabel-variabel dalam penelitian ini berupa variabel terikat yaitu

kejadian TB Paru BTA Positif, untuk variabel bebas yaitu faktor

demografi (kepadatan penduduk), faktor sosial (kemiskinan) dan

pelayanan kesehatan ( akses ke fasilitas pelayanan kesehatan).

G. Definisi Operasional

Definisi Skala
No Variabel Kriteria Objektif Alat Ukur
Operasional Ukur
1. Kejadian Individu pada Data Ordinal
penyakit TB seluruh kelompok Dinas
Paru BTA umur yang Kesehata
Positif dinyatakan n Kota
menderita TB
Paru BTA Positif
sesuai hasil
pemeriksaan
medis yang
tercatat di Dinas
Kesehatan Kota,
yang dalam peta
SIG digambarkan
dengan titik
- Tidak padat
(0-50 jiwa/
)
- Kurang padat
(51-250 jiwa/
Jumlah ) Pendataa
penduduk pada - Cukup padat n dengan
Kepadatan masing-masing
2. (251-400 jiwa/ observasi Ordinal
Penduduk kelurahan (jiwa/ dokument
) asi
)
- Sangat padat
(> 401 jiwa/
)
(Undang-undang
No.56 Tahun 1960)

- Sangat miskin
(memenuhi 12
kriteria miskin)
Ketidakmampuan - Miskin
individu dalam
(memenuhi 6 -
memenuhi Pendataa
kebutuhan dasar 10 kriteria n dengan
minimal untuk miskin) observasi
3. Kemiskinan - Mendekati Ordinal
hidup layak dokument
dilihat dari miskin asi dari
pendapatan dan (memenuhi 5 kelurahan
jumlah -6 kriteria
tanggungan miskin)
(http://www.dinso
s.pemda-
diy.go.id/)

Jarak dan waktu - Dekat (<1 km)


tempuh yang
Akses ke dibutuhkan - Jauh (1-5 km)
fasilitas penderita untuk - Sangat Jauh Ordinal
4. (>5 km) Observasi
pelayanan mencapai
kesehatan pelayanan (Dinkes Kaltim,
kesehatan 2009)
H. Manajemen Data

1. Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data

primer (yaitu dengan menggunakan alat GPS ke lokasi kasus TB)

serta data sekunder. Data sekunder diambil pada:

a) Dinas Kesehatan Kota Samarinda

b) Badan Pusat Statistik Kota Samarinda

c) Kantor Kecamatan di Wilayah Kota Samarinda

d) Pelayanan Kesehatan di Wilayah Kota Samarinda

2. Pengolahan dan Analisa Data

a) Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan Sistem

Informasi Geografi menggunakan aplikasi pengolah data geografi

b) Variabel kemiskinan dan kepadatan penduduk diperoleh dari data

sekunder pada Badan Pusat Statistik Kota Samarinda dan Kantor

Kecamatan di Wilayah Kota Samarinda. Setelah didapatkannya

data tersebut, selanjutnya diinput pada atribut Peta Samarinda

dengan bantuan aplikasi pengolah data geografi, setelah keluar

hasilnya,lalu disimpan pada aplikasi tersebut

c) Berbeda halnya dengan variabel kemiskinan dan kepadatan

penduduk, untuk variabel akses ke fasilitas pelayanan kesehatan,

yang pertama dilakukan adalah mendatangi lokasi terjadinya

kasus TB Paru BTA Positif untuk menentukan lokasi berupa titik

yang akan dimasukkan pada peta Kota Samarinda dalam aplikasi


pengolah data geografi dengan bantuan alat Global Positioning

System (GPS), setelah semua kasus sudah ditentukan lokasinya

pada GPS, selanjutnya beralih ke pusat pelayanan kesehatan

dalam hal ini adalah puskesmas dan rumah sakit. Langkah kedua

adalah menyimpan data yang telah terekam dari GPS tersebut

yang kemudian di upload dalam komputer untuk dilihat hasilnya

dan disinkronkan dengan peta yang ada. Langkah ketiga adalah

membuat buffer (membuat peta dengan jarak tertentu dari suatu

obyek) dengan interval < 1 km, 1-5 km dan >5 km, selanjutnya

disimpan.

d) Hasil peta dari ketiga variabel telah selesai, langkah terakhir

adalah melakukan proses tumpang susun ketiga peta tersebut.

e) Penyajian data dalam penelitian ini yaitu dalam bentuk peta.

f) Analisa data dilakukan secara deskriptif dengan melihat hasil

tampilan dari peta yang telah mengalami proses tumpang susun.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

1. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer

adalah data yang didapat langsung di lapangan dalam hal ini berupa

data kemiskinan dan lokasi tempat tinggal penderita maupun lokasi

pusat pelayanan kesehatan, sedangkan data sekunder yaitu data

yang tidak diambil secara langsung dan pada penelitian ini yang

merupakan data sekunder adalah data kasus penyakit TB Paru BTA

(+) diambil dari data Dinas Kesehatan Kota Samarinda dan data

kependudukan diambil dari data Badan Pusat Statistik Kota

Samarinda.

Pada penelitian ini jumlah sampel adalah 78 kasus, namun yang

berhasil didapat hanya 43 kasus, hal ini disebabkan beberapa hal,

pertama,alamat kasus yang tidak lengkap sehingga menyulitkan untuk

ditemui, walaupun dari data yang ada memang semua alamat sampai

kepada nomor rumah, namun kondisi Kota Samarinda yang luas dan

banyak jalan, gang dan RT maka jika dialamat yang ada hanya nama

jalan dan nomor rumah, sulit ditemukan. Kedua, alamat kasus yang

jauh dari pusat kota sedangkan peneliti tidak mengetahui lokasi

tersebut, ketiga, alamat yang tidak jelas dan tidak mengalami

pembaruan dari pusat pelayanan kesehatan sehingga ada alamat-

alamat yang RT maupun nomor rumahnya berubah, dan yang

keempat, ada kasus yang ketika ditemukan alamatnya namun tidak


ada di tempat, misalnya sedang keluar kota untuk waktu yang lama,

pindah maupun ada kasus yang berasal dari luar daerah dan ketika

berobat menggunakan kartu pengenal milik keluarganya, sehingga

nama yang tercantum pada fasilitas pelayanan kesehatan bukanlah

namanya, dan ketika dia sembuh akan langsung kembali ke daerah

asalnya

2. Gambaran Demografi Kota Samarinda

Kota Samarinda merupakan ibukota Propinsi Kalimantan Timur dan

berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kertanegara. Luas

wilayah Kota Samarinda adalah 718,00 km 2 dan terletak antara

117o03’00’’ Bujur Timur dan 117o18’14” Bujur Timur serta diantara

00o19’02” Lintang Selatan dan 00o42’34” Lintang Selatan. Saat ini

Kota Samarinda dibagi menjadi 6 kecamatan yaitu, Kecamatan

Palaran, Samarinda Ilir, Samarinda Seberang, Sungai Kunjang,

Samarinda Ulu dan Samarinda Utara. Sedangkan jumlah kelurahan di

Kota Samarinda sebanyak 53 kelurahan. Berikut gambaran Kota

Samarinda yang ada di peta

Gambar 4.1 Peta Kota Samarinda Tahun 2010


Dari 6 Kecamatan yang ada di Kota Samarinda, masing-masing

memiliki luas wilayah yang berbeda-beda, di bawah ini tabel luas

wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan.

Tabel 4.1 Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Per


Kota Samarinda Tahun 2008

No. Kecamatan Luas Wilayah Penduduk Kepadatan Jumlah


(Km2) (Jiwa) (Jiwa/ Km2) Kelurahan
1. Palaran 182.53 43,713 239 5
2. Samarinda Ilir 89.70 108,742 1,212 13
3. Samarinda Seberang 40.48 93,997 2,322 8
4. Sungai Kunjang 69.23 98,687 1,425 7
5. Samarinda Ulu 58.26 105,971 1,819 9
6. Samarinda Utara 277.80 151,007 544 11
Sumber: BPS Kota Samarinda (2009)

Dari tabel di atas terlihat bahwa kecamatan terluas adalah

Kecamatan Samarinda Utara yaitu 277.80 km 2, sedangkan Palaran

memiliki luas wilayah 182.53 km2, selanjutnya adalah Samarinda llir

yang memiliki luas wilayah yaitu 89.70 km 2, dan yang tidak terlalu

berbeda jauh adalah Sungai Kunjang dengan luas wilayahnya yaitu

69.23 km2 dengan Samarinda Ulu yaitu 58.26 km 2 dan yang paling

sempit adalah Samarinda Seberang yaitu hanya 40.48 km 2

Kecamatan Palaran memiliki jumlah penduduk paling sedikit

diantara kecamatan lainnya yaitu berjumlah 43,713 jiwa dan

kecamatan dengan jumlah penduduk terbanyak adalah Kecamatan

Samarinda Utara yaitu 151,007 jiwa. Jika dibandingkan jumlah

penduduk per wilayah, maka daerah yang memiliki tingkat kepadatan

tertinggi adalah Kecamatan Samarinda Seberang yaitu 2,322 jiwa/

km2. Samarinda Ulu termasuk kecamatan yang kepadatan

penduduknya masuk dalam kategori sangat padat dan hal ini


ditunjang juga oleh kondisi lingkungan tempat tinggal penderita yang

memang berada di lingkungan padat rumah

Kecamatan Samarinda Ilir merupakan kecamatan yang memiliki

kelurahan terbanyak jika dibandingkan dengan kelurahan lainnya yang

ada di Kota Samarinda, berjumlah 13 kelurahan, sedangkan

kecamatan yang memiliki kelurahan paling sedikit adalah Kecamatan

Palaran.

3. Sebaran Kasus Penyakit TB Paru BTA (+) Kota Samarinda

Data kasus penyakit TB Paru BTA (+) di Wilayah Kota Samarinda

adalah hasil rekapitulasi tiap triwulan pada Unit Pelayanan Kesehatan

(UPK) selama tahun 2005 - triwulan II tahun 2010. Namun yang

menjadi sampel adalah kasus triwulan I dan II pada tahun 2010,

sebab dengan mengetahui kejadian pada triwulan I, maka akan

terlihat kecenderungan peningkatan di triwulan berikutnya, dan hal ini

menjadi masalah yang serius bila tidak ditangani dengan baik. Dari

peta terlihat bahwa kejadian penyakit pada suatu kecamatan ada yang

berdekatan dengan kecamatan lain. Berikut peta sebaran kejadian TB

Paru BTA (+) di sejumlah Kecamatan yang ada di Kota Samarinda


Gambar 4.3 Sebaran Kejadian Penyakit TB Paru BTA (+)
Kota Samarinda Tahun 2010

Dari gambar yang ada dapat diketahui bahwa sebaran kasus TB

terbanyak terdapat di Kecamatan Samarinda Utara yaitu berjumlah 20

kasus, sedangkan di Kecamatan Samarinda Ilir dan Kecamatan

Sungai Kunjang terdapat jumlah kasus yang sama yaitu masing-

masing 8 kasus, dan di Kecamatan Samarinda Ulu berjumlah 7 kasus.


Pada Kecamatan Samarinda Seberang dan Kecamatan Palaran tidak

terlihat adanya kasus, hal ini disebabkan tidak adanya data yang

tersedia di Unit Pelayanan Kesehatan sehingga menimbulkan

keterbatasan dalam penelitian.

4. Kepadatan Penduduk

Kasus TB Paru tersebar di beberapa kecamatan, yaitu Kecamatan

Samarinda Utara, Kecamatan Samarinda Ilir, Kecamatan Samarinda

Ulu dan Kecamatan Sungai Kunjang. Pada kedua kecamatan lain

yaitu Kecamatan Samarinda Seberang dan Kecamatan Palaran tidak

tampak adanya kasus TB Paru BTA (+), hal ini bukan berarti kedua

kecamatan tersebut bebas dari adanya penyakit ini, akan tetapi pada

saat dilakukan penelitian, data kasus di kedua kecamatan ini kurang

lengkap dan jauh dari jangkauan peneliti sehingga akan memakan

waktu yang lama. Berikut gambar peta kepadatan penduduk

kecamatan yang ada di Kota Samarinda


Gambar 4.4 Peta Kepadatan Penduduk Kota Samarinda Tahun
2009
Dari gambar yang ada dapat diketahui bahwa kecamatan yang

memiliki tingkat kepadatan tertinggi adalah Kecamatan Samarinda

Seberang, kemudian diikuti oleh Kecamatan Samarinda Ulu,

Kecamatan Sungai Kunjang, Kecamatan Samarinda Ilir, Kecamatan

Samarinda Utara dan Kecamatan Palaran. Kepadatan penduduk

selain diketahui berdasarkan data namun diamati juga ketika

penelitian di lapangan yaitu bagaimana kondisi sekitar rumah

penderita yang memang padat hunian rumah yang menyebabkan

lingkungan tersebut menjadi lembab sehingga memudahkan

penyebaran kasus TB Paru sebab Mycobacterium Tuberculosis hanya

akan mati bila terkena sinar matahari langsung.

5. Kemiskinan

Data jumlah keluarga miskin (gakin) di Kota Samarinda dapat dilihat

pada tabel berikut

Tabel 4.7 Keluarga Miskin Per Kecamatan Kota Samarinda


Tahun 2008

No. Kecamatan Keluarga Miskin

Jumlah Persentase

1. Palaran 2,902 10.34

2. Samarinda Ilir 6,050 21.56

3. Samarinda Seberang 2,940 10.48

4. Sungai Kunjang 3,570 12.72

5. Samarinda Ulu 3,126 11.14

6. Samarinda Utara 9,470 33.75


Sumber: BPS Kota Samarinda (2009)

Jumlah keluarga miskin tahun 2009 dari 6 kecamatan di Kota

Samarinda berjumlah 28,058 Rumah Tangga. Keluarga miskin

tertinggi terdapat di Kecamatan Samarinda Utara berjumlah 9,470

Rumah Tangga sedangkan keluarga miskin terendah terdapat di

Kecamatan Palaran berjumlah 2,902 Rumah Tangga

Gambar 4.5 Peta Angka Kemiskinan Penduduk Kota Samarinda


Tahun 2009
6. Akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang dimanfaatkan oleh masyarakat

adalah Puskesmas dan Rumah Sakit, walaupun ada beberapa jenis

jasa pengobatan lain seperti dokter praktek dan poliklinik. Namun

pada penelitian ini dibatasi hanya pada Puskesmas dan Rumah Sakit

tempat ditemukannya kasus. Berikut gambar cakupan pelayanan

kesehatan Puskesmas dan Rumah Sakit berdasarkan jarak < 1 km, 1-

5 km, dan > 5 km


Gambar 4.6 Peta Sebaran Puskesmas dan Rumah Sakit di Kota
Samarinda Tahun 2010
1 km

5 km

Dari gambar yang ada terlihat bahwa terdapat daerah yang tidak

tercakup oleh pelayanan kesehatan yaitu daerah yang memiliki jarak


lebih dari 5 km dari fasilitas pelayanan kesehatan, namun di daerah-

daerah tersebut sebenarnya masih terdapat puskesmas, hanya saja

karena pada penelitian ini dibatasi fasilitas kesehatan yang masuk

adalah tempat ditemukannya kasus maka ada beberapa puskesmas

yang tidak didata, seperti Puskesmas Loa Bakung Kecamatan Sungai

Kunjang, Puskesmas Sungai Siring Kecamatan Samarinda Utara,

Puskesmas Sambutan dan Puskesmas Sungai Kapih Kecamatan

Samarinda Ilir, Puskesmas Kampung Baka, Puskesmas Mangkupalas

dan Puskesmas Harapan Baru Kecamatan Samarinda Seberang serta

Puskesmas Palaran Kecamatan Palaran. Tujuan pelayanan

kesehatan adalah tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang

memuaskan harapan dan kebutuhan derajat masyarakat (Djojosugito,

2001). Salah satu sumber daya yang perlu diperhatikan dalam rangka

pelayanan kesehatan yang memadai, baik kualitas maupun kuantitas

adalah penyediaan fasilitas kesehatan yang berada sedekat mungkin

dengan masyarakat sehingga upaya dan jangkauan pelayanan

kesehatan dapat dilaksanakan dengan mudah dan sebaik mungkin.

7. Hubungan Kepadatan Penduduk dengan Kejadian TB Paru

BTA (+)
Berikut adalah gambar peta kepadatan penduduk dengan sebaran

kejadian TB

Gambar 4.7 Peta Kepadatan Penduduk dan Kasus TB Paru


BTA (+) Tahun 2010

Dari gambar 4.7 dapat dilihat bahwa tingkat kepadatan penduduk

tidak terkait dengan jumlah kasus. Kecamatan Samarinda Utara yang

merupakan daerah tidak padat memiliki jumlah kasus yang lebih


banyak yaitu berjumlah 20 kasus dibandingkan kecamatan lain dan

daerah yang padat penduduknya seperti Kecamatan Samarinda Ulu

dalam penelitian ini hanya terdapat 7 kasus saja. Selain itu, jika dilihat

berdasarkan kejadian kasus pertriwulan, maka untuk daerah yang

padat penduduknya seperti Kecamatan Samarinda Ulu, justru

mengalami penurunan kasus yaitu pada triwulan I ditemukan 4 kasus

dan triwulan II menjadi 3 kasus.

8. Hubungan Kemiskinan Penduduk dengan Kasus TB


Paru BTA (+) Tahun 2010

Kemiskinan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kasus

TB, sebaran kasus TB Paru BTA (+) terlihat pada gambar berikut ini:

Gambar 4.8 Peta Kemiskinan Penduduk dan Kejadian TB Paru


BTA (+) Tahun 2010
Dari gambar yang ada dapat diketahui bahwa kemiskinan terkait

dengan kasus TB Paru BTA (+). Dapat dilihat daerah yang memiliki

angka kemiskinan penduduk tertinggi yaitu Kecamatan Samarinda

Utara memiliki sebaran TB Paru BTA (+) tertinggi pula yaitu 20 kasus.

Demikian pula halnya dengan Kecamatan Samarinda Ilir yang

merupakan kecamatan dengan angka kemiskinan tertinggi kedua

setelah Kecamatan Samarinda Utara, angka sebaran kasus TB Paru

BTA (+) juga tinggi dan meningkat yaitu triwulan I ditemukan 2 kasus

dan triwulan II menjadi 6 kasus


. Sedangkan Kecamatan Samarinda Ulu hanya terdapat 7 kasus.

Jika dilihat berdasarkan kasus pertriwulan, maka pada triwulan I

berjumlah 4 kasus dan menurun menjadi 3 kasus pada triwulan II.

9. Hubungan Akses ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan


Kasus TB Paru BTA (+)

Berikut adalah gambar cakupan pelayanan kesehatan puskesmas

dan rumah sakit yang ada di Kota Samarinda tempat ditemukannya

kasus TB Paru BTA (+).

Gambar 4.9 Peta Jarak Cakupan Pelayanan Kesehatan dan


Kasus TB Paru BTA (+) Tahun 2010
1 km

5 km

Dari gambar terlihat bahwa adanya buffer untuk jarak-jarak tertentu,

yaitu < 1 km berwarna abu-abu, 1-5 km berwarna kuning kehijauan,

dan lebih dari 5 km adalah daerah yang berada di luar cakupan

pelayanan kesehatan. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Timur

membagi wilayah cakupan ini dalam 3 kategori yaitu untuk jarak <1

km termasuk jarak dekat, 1-5 km jarak jauh dan >5 km jarak sangat

jauh. Bila dilihat dari gambar terdapat 29 kasus yang berada dalam

buffer <1 km, dan 14 kasus yang berada dalam buffer 1-5 km. Hal ini

mengindikasikan bahwa fasilitas pelayanan kesehatan turut terkait

dengan penemuan kasus TB Paru BTA (+), sebab terlihat bahwa

banyaknya kasus berada pada buffer < 1 km berjumlah 29 kasus, dan

14 kasus berada pada buffer 1-5 km, hal ini adalah wajar bila kasus

banyak ditemui disekitar fasilitas pelayanan kesehatan karena jarak

yang tidak terlalu jauh, sehingga ketika ada keluhan pasien bisa
segera memeriksakan dirinya, sedangkan yang berada lebih dari 1 km

walaupun mereka merasakan adanya keluhan namun karena jarak

yang jauh membuat enggan untuk memeriksakan diri, selain itu

dengan jarak yang dekat lebih memudahkan masyarakat untuk

mendapatkan informasi.

Cakupan penemuan kasus Tuberkulosis Paru BTA (+) / Case

Detection Rate (CDR) di Kota Samarinda dalam 5 tahun terakhir

mengalami fluktuasi, tahun 2006 sebesar 354 kasus, tahun 2007

menurun menjadi 333 kasus, tahun 2008 meningkat secara signifikan

menjadi 454 kasus, menurun kembali pada tahun 2009 sebesar 433

dan pada tahun 2010 meningkat kembali sebesar 437 kasus. Untuk

lebih lengkapnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 4.10 Penemuan Kasus Baru Tuberkulosis Paru BTA (+) di


Kota Samarinda Tahun 2006-2010
Sumber: Dinkes Kota Samarinda (2011)

Terjadinya fluktuasi CDR bisa jadi disebabkan oleh petugas TB

Paru yang belum cukup memberikan penyuluhan kesehatan di

masyarakat sehingga dikhawatirkan berdampak pada tingkat

pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang penyakit TB Paru

juga akan rendah. Akibat lebih lanjut masyarakat kemungkinan

menjadi enggan datang ke puskesmas untuk memeriksakan diri

sehingga berdampak pada petugas TB Paru puskesmas akan

kesulitan menemukan suspek dan penderita TB Paru. Disisi lain

selama ini penjaringan suspek dan penemuan penderita TB Paru

terjadi hanya pada saat penderita datang ke Puskesmas atau pada

saat penyuluhan kesehatan di masyarakat, sehingga penting

dilakukan upaya aktif pencarian kasus TB Paru (Mantala,2003)


10. Daerah Resiko Persebaran Kasus TB Paru BTA (+)

Berikut adalah gambar transmisi persebaran Kasus TB Paru BTA

(+) .

Gambar 4.10 Peta Transmisi Penyebaran Kasus TB Paru BTA (+)

Dari 43 kasus yang berhasil diteliti ada 7 kasus yang selama proses

pengobatan melakukan aktivitas di luar yang sering dan berinteraksi

dengan banyak orang, seperti mengajar, kuliah dan berdagang di

pasar, sehingga berpotensi untuk menyebarkan kuman

Mycobacterium Tuberculosis pada orang lain. Daerah-daerah


transmisi tersebut yaitu SDN.017 Loa Bahu, Pasar Kedondong Jalan

Ulin dan Kampus Universitas Mulawarman.

B. Pembahasan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya,

maka pembahasan selanjutnya mengenai persebaran kejadian TB Paru

BTA (+), dan keterkaitannya dengan kepadatan penduduk, kemiskinan

dan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan adalah sebagai berikut:

1. Sebaran Kasus TB Paru BTA (+) Kota Samarinda

Berdasarkan gambar 4.3 Kasus TB Paru BTA (+) hanya terdapat

pada 4 kecamatan yang ada di Kota Samarinda dan terbanyak berada

di Kecamatan Samarinda Utara dengan jumlah 20 kasus. Hal ini bukan

berarti di kecamatan lain tidak ada kasus TB Paru BTA (+) hanya saja

data yang diperoleh peneliti terkait alamat kasus kurang lengkap, selain

itu jauhnya jarak yang perlu dipikirkan karena melihat kondisi waktu

yang ada sehingga dari 78 sampel kasus hanya 43 kasus yang berhasil

diteliti, tidak dapat menunjukkan data sesungguhnya di lapangan.

Dari hasil penelitian terdapat kasus pada triwulan I dan triwulan II

yang berada pada satu kecamatan yang memberikan penjelasan

bahwa transmisi penyakit khususnya penyakit menular tidak terbatas

pada wilayah administrasi (Soetojo, 2004). Selain itu dengan adanya

kasus yang berbeda waktu namun satu wilayah menunjukkan bahwa

terjadi peningkatan kasus TB Paru BTA (+) sebab Tuberculosis

merupakan penyakit menular yang bersifat menahun, cara


penularannya lewat udara bila orang yang mengidap TB Paru BTA (+)

batuk, bersin atau berbicara dan mengirimkannya ke udara (Depkes RI,

2002), sehingga perlu adanya penanganan khusus untuk penyakit TB

Paru agar tidak terus meningkat sebab selama ini penanggulangannya

masih menjadi masalah karena rendahnya cakupan penemuan (case

finding) penderita TB Paru BTA (+) yang belum mendapat dukungan

dari para pengambil kebijakan. Tingginya kasus TB di Kecamatan

Samarinda Utara dalam penelitian ini karena daerah tersebut

merupakan kecamatan yang memiliki angka kemiskinan penduduk

tertinggi jika dibandingkan dengan kecamatan lain, selain itu hasil

wawancara dengan kasus diketahui bahwa sebagian besar mereka

tertular ketika bekerja, sebab bila dibandingkan dengan kasus di daerah

lain, pada kecamatan ini banyak kasus yang bekerja di luar kota

dengan mobilitas tinggi dan intens berhubungan langsung dengan

orang lain yang menjadi rekan kerja.

Selain pekerjaan, umur berperan dalam kasus TB Paru, risiko untuk

mendapatkan penyakit TB Paru dapat dikatakan seperti kurva normal

terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun karena diatas 2 tahun

hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap TB Paru dengan baik.

Puncaknya tentu dewasa muda dan menurun kembali ketika seseorang

atau kelompok menjelang usia tua (Warren,1994, Daniel dalam

Ruswanto, 2010), namun di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB

Paru adalah usia produktif yaitu 15 hingga 50 tahun. (Depkes,2002).


Kekuatan untuk melawan infeksi adalah tergantung pertahanan

tubuh dan ini sangat dipengaruhi oleh umur penderita. Pada awal

kelahiran pertahanan tubuh sangat lemah dan akan meningkat secara

perlahan sampai umur 10 tahun, setelah masa pubertas pertahanan

tubuh lebih baik dalam mencegah penyebaran infeksi melalui darah,

tetapi lemah dalam mencegah penyebaran infeksi di paru. Tingkat umur

penderita dapat mempengaruhi kerja efek obat, karena metabolisme

obat dan fungsi organ tubuh kurang efisien pada bayi yang sangat

mudah dan pada orang tua, sehingga dapat menimbulkan efek yang

lebih kuat dan panjang pada kedua kelompok umur ini (Crofton, 2002).

Pada penelitian ini sebanyak 63% yang terkena TB Paru adalah kasus

dengan umur produktif, hal ini sesuai dengan perkiraan Depkes (2001),

namun pada penelitian yang dilakukan oleh Bambang Ruswanto (2010)

di Kabupaten Pekalongan dinyatakan bahwa umur bukan merupakan

faktor risiko terhadap kejadian tuberkulosis paru sebab kelompok kasus

umur 15–50 tahun jumlahnya lebih banyak bila dibandingkan dengan

kasus yang berusia <15 tahun dan >50 tahun

b). Hubungan antara Kasus TB Paru BTA (+) dengan Kepadatan


Penduduk

Dari gambar 4.7 terlihat bahwa kepadatan tidak berkaitan dengan

kasus TB Paru BTA (+), menurut WHO dalam Ginting (2006) wilayah

yang kepadatan penduduknya tinggi cenderung memiliki tempat

tinggal yang kumuh, hygiene dan nutrisi yang buruk, sehingga bila ada

warganya terkena penyakit TB akan mempercepat proses


penyebarannya, akan tetapi dalam penelitian ini Kecamatan

Samarinda Utara dengan kepadatan rendah justru ditemui banyak

kasus, hal ini terjadi karena kasus yang ditemui kebanyakan mereka

adalah orang-orang yang memiliki pekerjaan dengan mobilitas tinggi

di luar kota, jenis pekerjaan menentukan faktor resiko yang harus

dihadapi setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang

berdebu paparan partikel debu di daerah terpapar akan

mempengaruhi terjadinya gangguan pada saluran pernafasan.

Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas,

terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya

TB Paru.

Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap

pendapatan keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola

hidup sehari-hari diantaranya konsumsi makanan, pemeliharaan

kesehatan selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan

rumah (konstruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai

pendapatan di bawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan

kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi bagi setiap

anggota keluarganya sehingga mempunyai status gizi yang kurang

dan akan memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB

Paru. Dalam jenis konstruksi rumah dengan mempunyai pendapatan

yang kurang maka konstruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi

syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya penularan

penyakit TB Paru. Pada penelitian yang dilakukan oleh Helda Suarni


(2009) di Kecamatan Pancoran Mas Jakarta menunjukkan bahwa

tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan dengan

kejadian TB Paru BTA (+). Hal ini terjadi antara yang bekerja dan tidak

bekerja antara kasus dan kontrol sebarannya sama. Pekerjaan

responden untuk kasus maupun kontrol mempunyai resiko untuk

tertular penyakit TB Paru. Karena jenis pekerjaan menentukan faktor

resiko apa yang harus dihadapi setiap individu, untuk itu penyuluhan

harus tetap diberikan kepada masyarakat tentang perilaku hidup

bersih dan sehat dalam upaya pencegahan terhadap penyakit TB

Paru.

American Lungs Association (2005) menyatakan bahwa ketika

orang-orang dengan TB Paru atau laring batuk, tertawa, bersin,

bernyanyi, atau berbicara, maka kuman penyebab tuberkulosis

berkemungkinan akan tersebar ke udara. Jika orang lain menghirup

kuman ini, maka berkesempatan mereka akan terkena infeksi

tuberkulosis. Pada umumnya dibutuhkan kontak yang berulang-ulang

untuk terjadinya proses infeksi tersebut dan didukung oleh kondisi

kekebalan tubuh seseorang sedang turun. Berbeda dengan

Kecamatan Samarinda Ulu dengan kepadatan tinggi dalam penelitian

ini hanya terdapat 7 kasus. Selain itu, jika dilihat berdasarkan kejadian

pertriwulan mengalami penurunan kasus yaitu pada triwulan I

ditemukan 4 kasus dan triwulan II menjadi 3 kasus. Penurunan kasus

di kecamatan ini dapat dipicu karena terdapat beberapa fasilitas

pelayanan kesehatan yang lebih banyak bila dibandingkan dengan


kecamatan lain, terdiri dari 4 Puskesmas dan 2 Rumah Sakit besar

yang mudah dijangkau, dan idealnya setiap puskesmas melayani

30,000 jiwa dalam suatu daerah (Profil Kesehatan Kota Samarinda).

Dengan adanya fasilitas pelayanan kesehatan tersebut maka lebih

mempermudah dalam penemuan kasus, sehingga dapat segera

diatasi sehingga tidak semakin menyebar penularannya.

Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Budiono (2003) di

Jakarta Timur kepadatan rumah terbukti tidak ada hubungan dengan

kejadian TB Paru. Orang yang tinggal di dalam rumah yang padat

penghuninya tidak ada bedanya dengan yang tinggal di dalam rumah

yang tidak padat penghuninya. Tidak adanya hubungan antara

kepadatan rumah dengan kejadian TB Paru dalam penelitian ini

mungkin angka prevalensi TB Paru di Indonesia tinggi, sehingga

kesempatan untuk kontak dengan penderita TB bisa terjadi di luar

rumah. Alasan lain mungkin karena responden dalam penelitian ini

homogen, yaitu proporsi kepadatan rumah antara kelompok kasus

dan kontrol relatif sama.

Hal ini berbanding terbalik dengan teori Achmadi (2005) bahwa

kesehatan lingkungan cenderung timbul pada daerah persatuan area.

Suatu lingkungan yang padat penduduknya akan menimbulkan kesan

kumuh, dan memang hal ini tidak dapat dipungkiri akan

mengakibatkan sanitasi yang buruk dan memudahkan bagi penyakit

menular untuk menyebar.


c) Hubungan antara Kasus TB Paru BTA (+) dengan Kemiskinan

Dari gambar 4.8 diketahui bahwa ada keterkaitan antara kemiskinan

dengan kasus TB Paru BTA (+), daerah yang memiliki angka

kemiskinan penduduk tertinggi yaitu Kecamatan Samarinda Utara

dengan jumlah kasus tertinggi pula yaitu 20 kasus. Namun, pada

penelitian ini sampel yang berada di Kecamatan Samarinda Utara

sebanyak 13 kasus adalah mereka yang berada dalam kondisi ekonomi

sejahtera, mereka tertular ketika bekerja yang kemungkinan terpapar

oleh rekannya, selain itu yang menjadi faktor penyebabnya adalah

kebiasaan sehari-hari penderita misalnya perokok, sering mandi

malam, kondisi rumah yang sirkulasi udaranya kurang lancar walaupun

hal-hal tersebut bukan faktor utama namun akan menjadi faktor

pendukung yang secara bersama-sama akan mempengaruhi fungsi

paru dan memudahkan bagi kuman TB untuk menginfeksi. Hal ini

menunjukkan bahwa TB Paru tidak hanya menyerang orang-orang

dengan kondisi ekonomi lemah, sehingga butuh perhatian khusus untuk

penyakit TB. Selain itu Kecamatan Samarinda Ilir yang merupakan

kecamatan dengan angka kemiskinan tertinggi kedua setelah

Kecamatan Samarinda Utara, kasus TB Paru mengalami peningkatan

yang signifikan dari triwulan I yaitu 2 kasus menjadi 6 kasus pada

triwulan II. Terjadinya peningkatan yang signifikan bisa disebabkan

karena Kecamatan Samarinda Ilir dari kasus yang ada diketahui bahwa

banyak penduduknya yang berpendidikan rendah selain itu daerah ini

merupakan daerah yang yang terdiri dari beragam suku sehingga


memiliki kebiasaan yang berbeda-beda. Selain itu dengan jumlah

penduduk terbanyak kedua diantara kecamatan yang ada di

Samarinda, namun tidak diimbangi dengan jumlah pelayanan

kesehatan yang hanya terdapat 3 puskesmas dengan jumlah penduduk

108,742 jiwa, padahal idealnya setiap puskesmas melayani 30,000 jiwa

(Profil Kesehatan Kota Samarinda) maka berdampak pada rendahnya

penemuan kasus yang berakibat pada peningkatan kasus karena tidak

segera diatasi.

Ekonomi rendah secara bersama-sama dengan faktor lainnya

menjadi prasyarat timbulnya sakit akan tetapi tidak dapat berdiri sendiri-

sendiri (Sugiarto, 2004). Kemiskinan akan mempengaruhi berbagai

aspek kehidupan baik dari segi kesehatan, pendidikan, kondisi rumah

dan lain-lain. Bila seseorang miskin maka akan sulit baginya untuk

dapat memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan karena mungkin ia

merasa mahal dan tidak mampu untuk membayarnya, demikian juga

halnya dengan pendidikan, orang yang tidak mampu maka pendidikan

baginya seolah sesuatu yang sangat sulit untuk dijangkau, selain biaya

pendidikan yang mahal, ia pun akan berpikir bahwa dana yang ia miliki

akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer terutama pangan

sehari-hari. Demikian juga dengan kondisi rumah, selain tak mampu

untuk membangun rumah layak huni, merekapun tidak tahu syarat

rumah yang sehat karena pendidikan yang rendah.

Menurut Saad (2005) hubungan antara kemiskinan dengan TB

bersifat timbal balik, TB merupakan penyebab kemiskinan dan karena


miskin maka manusia menderita TB. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri,

mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat

merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi buruk,

serta perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan

kesehatan juga menurun kemampuannya.

Bila ditelaah kondisi gizi buruk mempengaruhi penularan TB, sebab

gizi buruk akan mempengaruhi imunitas seseorang, dan bila

imunitasnya menurun maka akan mudah baginya untuk terinfeksi ketika

ia terpapar kuman TB. Selain itu, karena TB sangat mudah menular

dan bakterinya hanya akan mati bila terkena sinar matahari langsung,

maka dengan keadaan lingkungan perumahan yang tidak sehat, seperti

padat dan sanitasi buruk akan menjadi lembab dan kuman TB akan

menyebar. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ibu Pertiwi di Jakarta

Timur (2004) menunjukkan adanya hubungan bermakna antara

penghasilan dengan kejadian TB Paru pada anak umur 0-14 tahun

mungkin disebabkan masyarakat di Jakarta Timur rata-rata adalah

bekerja sebagai tenaga kontrak (73%), daerah kumuh sebanyak (15%),

dengan jumlah KK 102.779, keadaan ini menunjukkan jumlah

penghasilan yang masih rendah sehingga merupakan tempat

berkembang biaknya kuman yang patogen.

d) Hubungan antara Kasus TB Paru BTA (+) dengan Akses ke


Fasilitas Pelayanan Kesehatan

Dari gambar 4.9 terlihat bahwa cakupan pelayanan kesehatan

dengan jarak dekat <1 km meliputi 29 kasus dan selebihnya yaitu 14

kasus berada pada jarak jauh antara 1-5 km. Sehingga akses ke
fasilitas pelayanan kesehatan mempunyai keterkaitan dengan

penemuan Kasus TB Paru BTA (+) dalam hal ini yang berperan

langsung adalah puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan

kesehatan pertama masyarakat, sebab semakin dekat dan mudah

dijangkau fasilitas pelayanan kesehatan akan memudahkan

masyarakat untuk mendapatkan informasi melalui promosi kesehatan. .

Pelayanan kesehatan sendiri mempunyai syarat pokok pelayanan

kesehatan yaitu tersedia dan berkesinambungan, dapat diterima dan

wajar, mudah dicapai, mudah dijangkau dan bermutu (Azwar, 1996).

Salah satu syarat pokok tersebut adalah mudah dicapai dalam hal ini

adalah jarak, namun bila kita melihat jarak yang ada, maka sudah pasti

hanya yang berjarak < 1km saja yang masuk dalam syarat pokok,

sebab jarak yang jauh antara rumah penderita dengan fasilitas

pelayanan kesehatan akan menyulitkan bagi penderita untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan

Pada Kecamatan Samarinda Ulu terdapat 4 puskesmas sehingga

memudahkan masyarakat dalam mengakses fasilitas pelayanan

kesehatan, sehingga di kecamatan ini kasus TB Paru mengalami

penurunan yang awalnya triwulan I berjumlah 4 kasus menjadi 3 kasus

pada triwulan II. Berbeda dengan Kecamatan Samarinda Ilir yang

hanya terdapat 3 puskesmas dan tidak sebanding dengan jumlah

penduduk yang ada, selain itu akses untuk menempuh ketiga

puskesmas tersebut cukup sulit bila tidak memiliki kendaraan pribadi,

sebab transportasi umum tak selalu ada menuju daerah tersebut,


sehingga di Kecamatan Samarinda Ilir kasus TB Paru mengalami

peningkatan dari 2 kasus pada triwulan I menjadi 6 kasus pada triwulan

II.

Pada penelitian ini terdapat data kasus yang alamatnya tidak

lengkap bahkan ada yang menggunakan alamat orang lain, sehingga

menyulitkan ketika dilakukan penelitian dan dari pihak penyedia

pelayanan kesehatan pun tidak dilakukan upaya untuk memperbarui

alamat kasus dan pengecekan tentang kebenaran alamat yang ada,

bila ini tidak segera diatasi dan dicari solusi, maka akan menyulitkan

untuk menentukan daerah yang rawan sebab bisa jadi kasus

berpindah-pindah tempat dan kita tidak tahu dimana ia sering kontak

untuk waktu yang lama

Penyakit TB Paru BTA (+) sangat menular, sehingga perlu untuk

segera disembuhkan dan salah satu faktor penghambat pengobatannya

menurut Jajat (2000) dalam Suherman (2002) adalah ketersediaan

sumber daya kesehatan meliputi fasilitas pelayanan kesehatan ,

petugas puskesmas dan jarak rumah ke sarana kesehatan. Dan bila

kita melihat dari gambar bahwa ternyata yang memanfaatkan fasilitas

pelayanan kesehatan terbanyak adalah mereka yang memang jarak

rumahnya termasuk dekat yakni < 1 km, walaupun memang bukan

hanya jarak yang menjadi tolak ukur dalam kemudahan mencapai

pelayanan kesehatan, tetapi jika akses ke pelayanan kesehatan jauh

maka cenderung masyarakat akan mencari pengobatan sendiri kecuali

bagi mereka yang memang memahami pentingnya mencari


pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut Notoatmojo

(2003) bahwa rendahnya pemakaian fasilitas kesehatan seperti

puskesmas, rumah sakit erat hubungannya dengan perilaku pencarian

pengobatan dengan jarak yang terlalu jauh baik secara fisik maupun

sosial sehingga pemanfaatan fasilitas kesehatan menjadi rendah sesuai

juga dengan yang dikemukakan oleh Azwar (1996) jarak fasilitas

kesehatan yang jauh akan menyebabkan pemanfaatan fasilitas sarana

kesehatan menjadi rendah akan mempengaruhi terhadap pencarian

pengobatan.

Faktor lain seperti transportasi dan dana, bila fasilitas pelayanan

kesehatan itu dekat dari rumah penduduk, maka merekapun akan

mudah mendapat jasa kesehatan, tanpa perlu menggunakan

transportasi dan dana. Selain itu, jika fasilitas pelayanan kesehatan

mudah dijangkau maka akan meminimalisir waktu yang terbuang yang

seharusnya bisa dimanfaatkan untuk bekerja ataupun beraktivitas

lainnya. Selain itu, agar masyarakat yang terkena TB dapat berobat ke

Puskesmas, maka perlu dilakukan upaya promosi bahwa di puskesmas

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan secara cuma – cuma dari awal

pengobatan sampai penyembuhan, sehingga tidak menyulitkan mereka

dari segi ekonomi, sebab bila mereka berobat ke dokter praktek maka

biaya yang dibutuhkan cukup besar dan bila selama pengobatan

berlangsung mereka berhenti lantaran tidak sanggup untuk membeli

obatnya lagi akan berakibat terjadinya kekebalan kuman TB terhadap

Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara meluas atau Multi Drug


Resistance (MDR) dan upaya penyembuhannya menjadi lebih sulit ,

sebab membutuhkan pengobatan dengan dosis lebih tinggi dan

biayanya lebih mahal. Pada penelitian yang dilakukan Ambun Kadri di

Kota Solok Sumatera Barat (2006) perilaku pencarian pengobatan

tersangka penderita TB Paru dipengaruhi oleh salah satunya sikap,

pada penelitian ini kelompok perilaku pencarian pengobatan tersangka

penderita TB Paru perilaku 1 yang tidak melakukan tindakan apa-apa

mempunyai sikap tidak setuju bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit

menular yang dapat disembuhkan apabila berobat ke puskesmas.

Demikian juga pada kelompok perilaku 2 yang melakukan pengobatan

sendiri di rumah mempunyai sikap tidak setuju tentang penyakit TB

Paru adalah menular yang dapat disembuhkan bila berobat teratur ke

puskesmas sehingga perilaku pencarian pengobatan sendiri di rumah.

Sedangkan kelompok perilaku lainnya (berobat ke dukun, berobat

dengan membeli obat warung, ke puskesmas dan ke dokter praktek)

semua setuju penyakit TB Paru tersebut berbahaya sehingga mereka

mempunyai sikap setuju bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit

menular yang dapat disembuhkan bila berobat teratur di puskesmas.

Bila melihat angka CDR yang mengalami fluktuasi sejak tahun 2006,

maka diketahui bahwa angka penemuan kasus masih rendah,

walaupun dalam penemuan kasus ini tidak hanya melibatkan

puskesmas tetapi ada beberapa rumah sakit seperti RSUD

AW.Syahrani, RS. Islam dan RS. Dirgahayu serta Lapas dan Rutan.

Perlu suatu komitmen yang serius untuk mengatasi masalah ini, yang
mana kerjasama lintas program dengan melibatkan semua staff

puskesmas sehingga program TB bukan hanya milik petugas

koordinator saja tapi sudah menyatu dengan program lain dan semua

staf peduli dengan penyakit ini. Adanya pelatihan terhadap semua staf

tentang penyakit TB Paru sehingga mereka mempunyai modal dalam

menjaring sasaran dan ini juga akan meningkatkan kreativitas dan

kinerja petugas yang akan berdampak pada hasil program. Selain itu,

puskesmas perlu melibatkan masyarakat seperti kader yang dapat

dimanfaatkan sebagai perpanjangan tangan di lapangan (Depkes,

2000).

Program upaya penanggulangan TB Paru pada awal tahun 1990-an

WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB

yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment

Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang

secara ekonomis paling efektif (cost-efective). Strategi ini

dikembangkan dari berbagi studi, uji coba klinik (clinical trials),

pengalaman- pengalaman terbaik (best practices), dan hasil

implementasi program penanggulangan TB selama lebih dari dua

dekade. Penerapan strategi DOTS secara baik, disamping secara cepat

menekan penularan, juga mencegah berkembangnya MDR-TB. Fokus

utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas

diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan

memutuskan penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens

TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan


cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB. Pengobatan TB

bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian,

mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah

terjadinya resistensi kuman terhadap OAT (Depkes RI, 2008).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu :

1. Tahap intensif

Tahap awal intensif, dengan kegiatan bakterisid yang memusnahkan

populasi kuman yang membelah dengan cepat. Pada tahap ini,

penderita menelan obat setiap hari, yang terdiri dari Isoniazid,

Rifampicin, Streptomycin, Pyrazinamide, dan Ethambutol dan diawali

langsung untuk mencegah terjadinya resistensi terhadap semua OAT,

terutama Rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan

secara tepat, penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun

waktu 2 minggu.

2. Tahap lanjutan.

Tahap lanjutan, dengan melalui kegiatan sterilisasi kuman pada

pengobatan jangka pendek atau kegiatan bakteriostatik pada

pengobatan konvensional. Pada tahap ini penderita mendapat jenis

obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Panduan OAT disediakan dalam bentuk paket OAT-KDT & kombipak

dengan tujuan untuk memudahkan menjamin kelangsungan

(kontinuitas) pengobatan sampai selesai satu paket untuk satu

penderita dalam satu masa pengobatan.


Diantara ketiga variabel yang ada maka dapat diketahui yang paling

berkaitan dengan kejadian TB adalah kemiskinan dan akses ke fasilitas

pelayanan kesehatan, sedangkan kepadatan tidak berkaitan dengan

kejadian TB. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Sugiarto (2004) di

Kabupaten Bengkulu bahwa orang yang mempunyai penghasilan

rendah beresiko 1.14 kali untuk mengalami kejadian TB Paru BTA (+)

dibandingkan dengan orang yang mempunyai penghasilan lebih.

Menurut Depkes (2003) untuk kepadatan penduduk maka semakin

padat, perpindahan penyakit, khususnya melalui udara akan semakin

mudah dan cepat demikian pula dengan TB, akan tetapi fakta di

lapangan menunjukkan daerah yang tidak padat justru banyak

ditemukan penyakit TB.

e) Daerah Transmisi Penyebaran TB Paru BTA (+)

Dari gambar 4.11 terlihat ada 3 tempat yang beresiko terhadap

kejadian TB, yaitu SDN.017 Loa Bahu, Pasar Kedondong Jalan Ulin

dan Kampus Universitas Mulawarman. Daerah tersebut menjadi

beresiko sebab dari hasil tanya jawab terhadap kasus selama proses

pengobatan ada yang terlibat aktif di beberapa tempat tersebut, dengan

kondisi kasus belum sembuh dan berpotensi menularkan sehingga

menjadi sangat rawan bagi orang-orang yang berada disekitarnya.

Penyakit TB Paru termasuk salah satu dari 14 penyakit lainnya yang

termasuk dalam golongan DOMI (Diseases of The Most Improverish)

yaitu penyakit yang memiskinkan. Penyakit TB Paru erat kaitannya


dengan masalah kemiskinan, gizi buruk, dan lingkungan, tetapi bukan

berarti hanya orang miskin saja yang dapat terkena. Perilaku hidup

yang tidak sehat seperti pola makan yang tidak tepat, kebiasaan

merokok, membuang ludah sembarangan, rumah yang kurang sehat

dapat mempermudah seseorang untuk terkena TB Paru. Jadi, setiap

orang tidak ada yang bebas dari serangan kuman TB Paru. Oleh

karena itu, adanya daerah yang rawan menjadi transmisi penyebaran

TB Paru dan bila melihat program penanggulangan TB Paru yang lebih

terfokus pada upaya kuratif terhadap individu, maka sebaiknya

dilakukan penyuluhan dan promosi kesehatan kepada masyarakat

sebagai upaya preventif agar TB Paru ini tidak menyerang, sebab bila

hanya upaya kuratif yang dilakukan maka kasus bisa sembuh namun ia

sudah menyebarkan kuman TB dan menginfeksi banyak orang, selain

itu mengingat biaya yang cukup mahal serta jangka waktu pengobatan

yang panjang jika telah terkena. Promosi kesehatan yang dapat

diberikan kepada masyarakat seperti upaya menciptakan lingkungan

dan rumah yang sehat, pola makan yang baik dengan gizi seimbang,

serta kebersihan diri untuk menjaga daya tahan tubuh sehingga tidak

mudah terkena infeksi (http://www.bbkpmska.com)

Bagi kasus untuk mencegah penularan maka dianjurkan menutup

mulut dengan sapu tangan pada waktu batuk dan bersin. Penderita TB

Paru dan Pengawasan Menelan Obat (PMO) serta keluarga perlu

diberikan konseling TB agar dapat mencegah penularan, mendeteksi

awal jika ada yang mengalami gejala TB Paru serta mengawasi dan
mendorong penderita agar berobat secara teratur sampai dinyatakan

sembuh. Kesembuhan bukan hanya dengan obat saja, akan tetapi

perubahan perilaku mutlak diperlukan.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Sebaran kejadian Penyakit TB Paru BTA (+) di Wilayah Kota

Samarinda dalam penelitian ini terbanyak pada Kecamatan

Samarinda Utara dan hanya yang paling sedikit pada

Kecamatan Samarinda Ulu

2. Kecamatan Samarinda Ulu merupakan kecamatan yang

memiliki kepadatan penduduk tinggi, namun dalam penelitian ini

kasus yang ada hanya sedikit, dan berbanding terbalik dengan

Kecamatan Samarinda Utara yang tidak padat, banyak

ditemukan kasus, selain itu pada Kecamatan Samarinda Ulu

justru mengalami penurunan kasus dari triwulan I berjumlah 4

kasus menjadi 3 kasus pada triwulan II, sehingga dapat

dikatakan kepadatan tidak berkaitan dengan kasus TB Paru.

3. Angka kemiskinan tertinggi pada Kecamatan Samarinda Utara

tempat ditemukan banyaknya kasus, dan juga terjadi

peningkatan kasus yang signifikan dari triwulan I ke triwulan II

pada Kecamatan Samarinda Ilir, yang merupakan daerah

dengan angka kemiskinan tertinggi kedua setelah Kecamatan

Samarinda Utara yaitu dari 2 kasus menjadi 6 kasus, sehingga

dapat dikatakan bahwa kemiskinan berkaitan dengan kejadian

TB Paru BTA (+)

4. Akses ke fasilitas pelayanan kesehatan berkaitan dengan

penemuan kasus TB Paru BTA (+), ketersediaan fasilitas

pelayanan kesehatan di suatu tempat yang mudah terjangkau

akan memudahkan masyarakat dalam mencapai pelayanan


kesehatan untuk dapat segera memperoleh pelayanan

kesehatan sehingga dapat segera ditangani jika ada ditemukan

penyakit serius dan dapat dilakukan upaya preventif bagi

sekitarnya agar tidak tersebar

B. Saran

1. Fasilitas Pelayanan Kesehatan tidak hanya melakukan upaya

kuratif terhadap kasus TB Paru tetapi seyogyanya melakukan

promosi kesehatan dan upaya pencegahan TB yang bersifat

menyeluruh pada suatu kelompok masyarakat

2. Puskesmas sebagai pelayanan pertama kesehatan pada

masyarakat dapat mengontrol dan memonitoring alamat kasus,

sehingga tidak terjadi bias dan dapat dengan mudah

mengetahui daerah rawan

3. Pada penelitian ini kasus banyak ditemukan pada kecamatan

yang memiliki angka kemiskinan tertinggi, sedangkan

kemiskinan berpengaruh pada gizi seseorang, oleh karena itu

puskesmas perlu melakukan koordinasi lintas program antara

petugas TB Paru dengan staf puskesmas yang lain seperti

bagian gizi untuk peningkatan status gizi masyarakat agar

memiliki imunitas yang tinggi dan tidak rentan terhadap penyakit

infeksi

4. Pada penelitian ini kasus yang ditemukan jauh dengan

pelayanan kesehatan jumlahnya lebih kecil bila dibandingkan


dengan yang berada dekat dengan pelayanan kesehatan, oleh

karena itu perlu adanya penyampaian informasi kepada

masyarakat bahwa pengobatan TB di puskesmas diberikan

secara gratis sehingga jarak tak menjadi hambatan dalam

pencarian pengobatan

DAFTAR PUSTAKA

Aditama, T.Y. Tuberkulosis dan Kemiskinan. Dalam Majalah Kedokteran


Indonesia Vol 55 No. 2 Pebruari 2005 Hal 49-51
Aini, Anisah. Sistem Informasi Geografis Pengertian Dan Aplikasinya
Tahun 2007. Yogyakarta: STMIK AMIKOM. (diakses tanggal 28
April 2010)
Apriani, Wayan.2001.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
TB Paru di Kabupaten Donggala Provinsi Sulawesi Tengah
Tahun 2000. Jakarta: Universitas Indonesia ( diakses tanggal 27
Juli 2010)

Budiyono, Agus FX. 2003. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan


Kejadian TB Paru BTA Positif di Kota Jakarta Timur Tahun 2003.
Jakarta: Universitas Indonesia ( diakses tanggal 27 Juli 2010)

Departemen Kesehatan RI. Prosedur Tetap Pencegahan dan Pengobatan


Tuberkulosis pada Orang dengan HIV/AIDS. Kelompok Kerja
TB-HIV Tingkat Pusat

. 2005. Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis Cetakan ke 9. Jakarta: Departemen Kesehatan
RI.

Direkorat Jenderal PP & PL. 2006. Diagnosis dan Tatalaksana


Tuberkulosis Anak. Jakarta: Direktorat Jenderal PP & PL
bekerjasama dengan Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP
Ikatan Dokter Anak Indonesia

Hernita, Wiwin. 2003. Aplikasi Sistem Informasi Geografi Pada Kasus


Pasti Demam Berdarah Dengue ( Confirm DHF) di Dinas
Kesehatan Kabupaten Bandung Tahun 2003. Jakarta:
Universitas Indonesia ( diakses tanggal 05 Juli 2010)
http://dinsos.pemda-diy.go.id ( diakses tanggal 28 Juli 2010)
Prahasta, Eddy. 2009. Sistem Informasi Geografi. Bandung: Informatika

Purbosari, Retno. 2007. Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium


TB Paru Puskesmas dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan
Dahak Tersangka TB Paru di Kabupaten Kudus Tahun 2006.
Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan
Masyarakat .Semarang: Universitas Negeri Semarang.
(diakses tanggal 28 April 2010)

Putri, M.K. 2008. Analisis Spasial Penyakit Demam Berdarah Dengue Per
Kecamatan di Kotamadya Jakarta Timur 2005-2007. Jakarta:
Universitas Indonesia

Rahayuningsih, Fitri . 2007. Sistem Informasi Geografis Negara-Negara


Asia Berbasis Web . Program Studi Teknik Informatika
Fakultas Teknik Universitas PGRI Yogyakarta (diakses
tanggal 28 Maret 2010)
Saad, dkk. Buku Tutor Problem Based-Learning Hemoptisis. Riau:
Fakultas Kedokteran Universitas Riau ( diakses tanggal 12 Juli
2010)

Soetojo, D.W. 2004. Analisis Spasial Kejadian Demam Berdarah Dengue


(DBD) di Wilayah Kota Madya Jakarta Pusat Tahun 2000-
2003. Program Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia ( diakses tanggal 05 Juli 2010)

Sugiarto, Agus. 2004. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian TB


Paru BTA Positif pada Penghuni Rumah Kebun di Kabupaten
Bengkulu Utara Tahun 2004. Jakarta: Universitas Indonesia
(diakses tanggal 27 Juli 2010)

Suherman, Maman. 2002. Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan


Ketidakpatuhan Mengambil Obat Penderita TB Paru di
Puskesmas Kota Tasikmalaya Tahun 1999-2000. Jakarta:
Universitas Indonesia

Working Paper Series No. 14 Januari 2009 © Magister Kebijakan dan


Manajemen Pelayanan Kesehatan UGM -
http://www.hpmrc.ugm.ac.id (diakses tanggal 28 April 2010)

Anda mungkin juga menyukai