Anda di halaman 1dari 9

c 


   
c  
  
Daniel Rohi
Jurusan Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri
Universitas Kristen Petra Surabaya - Jl. Siwalankerto 121-131 Surabaya 60236
Telp.(031)2983075-77, Fax. (031) 841802, rohi@peter.petra.ac.id




Kebutuhan akan energi listrik sebagai penggerak utama pembangunan terus meningkat
seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi nasional yang dipicu oleh pertumbuhan
sektor industri jasa dan konstruksi. Pada tahun 1990 diprediksi tingkat pertumbuhan
kebutuhan energi listrik di Indonesi sekitar 8,2 % setiap tahunnya, kenyataannya ramalan
tersebut jauh berbeda dengan kenyataan bahwa di tahun 1992 kebutuhan energi listrik
Indonesia justru meningkat secara mengejutkan yakni 18% rata-rata setiap tahun. Samapi
tahun 2010 pertumbuhan rata-rata kebutuhan elenrgi leistri berkisar pada 7% setiap
tahun.

Ketergantungan pada penyediaan tenaga listrik berbasis energi fosil dengan


menempatkan bahan bakar minyak yakni solar pada porsi yang cukup tinggi, memberikan
dampak pada krisis energi listrik. Batubara masih menduduki peringkat tertinggi, yaitu
45%, Gas alam 27%. Sisanya dipasok dari energi minyak sebesar 13% dan energi
terbarukan 15%.

Dalam rangka terlepas dari ketergantungan terhadap baham bakar fosil terutama minyak
bumi dalam penyediaan energi listrik, maka pemerintah telah mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang kebijakan energi nasional yakni tahun 2025
penggunaan energi nuklir sudah mencapai 2% tepatnya 1,993% dari kebutuhan energi
nasional.

Maksud baik dari pemerintah tersebut yang akan ditindaklanjuti dengan upaya
pemanfaatan energi nuklir untuk kelistrikan melalui pembangunan Pembagkit Listrik
Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia. Namun demikian, diera keterbukaan dan demokrasi
seperi saat ini berbagai wacana telah berkembang dalam masyarakat baik yang
mendukung atau menolak upaya pemerintah tersebut.

Kajian ini berupaya untuk merekam persepsi dan penerimaan masyarakat melalui
berbagai pernyataan dan pendapat yang dimuat di media masa dan forum±forum ilmiah
berkaitan dengan penggunaan energi nuklir dalam rangka mendukung kelistrikan
nasional. Pengetahuan akan persepsi tersebut terutama pihak yang secara pribadi maupun
kelembagaan yang bersikap kritis terhadap upaya pembangunan PLTN akan menentukan
seberapa besar penerimaan mereka terhadap pengunaan energi nuklir untuk kelistrikan.
O? 

Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Indonesia hampir dipastikan


akan dimulai pembangunannya pada tahun 2012 untuk kemudian dioperasikan
pada tahun 2017. Informasi tersebut disampaikan oleh menteri riset dan teknologi
(menristek) Kusmayanto Kadiman.

Ketika mengkonfirmasi informasi tersebut Menristek menepis resiko keberadaan


PLTN yang disebut lebih aman daripada merokok. Pernyataan menteri mengenai
kecilnya resiko PLTN merupakan refleksi persepsi pemerintah mengenai
ketiadaan bahaya PLTN, yang tentunya berolak belakang dengan presepsi yang
terbangun dalam masyarakat mengenai besarnya resiko PLTN ditinjau dari
beberbagai aspek.

Kontroversi mengenai keberadaan PLTN adalah wajar karena berbagai trauma


mengenai nuklir masih menjadi ingatan kolektif masyarakat dunia. Energi nuklir
senantiasa diakitkan dengan pembuatan sejata pemusnah masal dan fakta
beberapa kecelakaan reaktor PLTN menimbulkan korban jiwa, walaupun angka
korban akibat PLTN dibandingkan dengan kecelakaan yang lain sangatlah kecil.
Namun demikian, perlu ditelusuri lebih obyektif ihkwal bahaya PLTN sehingga
begitu menakutkan. Penelusuran ini menjadi penting, karena partisipasi
masyarakat dalam memberikan pendapat mengenai hal yang berkaitan langsung
dengan keselamatan jiwa banyak orang akan membuahkan keiklasan masyarakat
untuk mendukung keberadaan PLTN. Dukungan tersebut untuk kesejahteraan
masyarakat juga.

Kajian ini bertujuan untuk menjelaskan beberapa hal yakni pertama urain sepintas
mengenai prinsip dasar yang bersifat teknis mengenai teknologi nuklir, secara
khusus teknologi PLTN yang akan di kembangkan di Indonesia. Setelah itu akan
ditelusuri beberapa argumentasi rasional atau pendekatan yang lazim
dikemukakan oleh pihak-pihak yang stuju atau menolak kehadiran PLTN.

Pendekatan-pendekatan ini kemudian dipakai untuk menilai pendapat beberapa


kalangan di Indonesia mulai dari para cendekiawan, politisi, masyarakat awam
dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap dampak
dan prospek PLTN di Indoneia. Berbagai pandangan tersebut dicari dari berbagai
sumber pustaka, yang kemudian diasumsikan sebagai presepsi masyarakat
mengenai PLTN.

Urgensi mengetahui persepsi masyarakat akan menjadi indikator penerimaan


masyarakat mengenai PLTN. Pembahasan secar obyektif mengani hal ini masih
belum tuntas sebagaimana disampaikan oleh seorang pegiat yang stuju dengan
PLTN melaui ungkapan ³ harus diakui bahwa hingga kini belum ada studi yang
mendalam dan objektif dalam rangka mengukur presepsi atau penerimaan
masyarakat terhadap kehadiran PLTN di Indonesia´
Presepsi seseorang terhadap sesuatu ditentukan oleh tiga faktor yakni pribadi yang
memberikan persepsi, obyek yang diamati dan situasi yang melingkupi yang
bersangkutan ketika melakukan penilain. Selain itu, faktor pribadi yang
memberikan pengamatan tergantung juga pada sistem nilai yang diyakini dan
asumsi yang dipakai.

OO ? —OO—O—O

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pada dasarnya sama dengan pembangit
listrik tenaga uap lainnya. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menggunakan
uap bertekanan tinggi yang dihasilkan dari pemanasan air dalam boiler . Uap air
bertekanan tinggi tersebut dihasilkan dengan membakar batubara, gas, minyak,
kayu dan bahan-bahan lain yang dapat terbakar seperti limbah tebu, kelapa sawit,
sekam, dll. Uap air hasil pembakaran tersebut akan memutar turbin generator
yang kemudian menghasilkan energi litrik. Keseluruhan proses tersebut terjadi
dalam satu siklus tertutup.

Perbedaan mendasar PLTU lainnya PLTN adalah pemanasan air pada PLTN
dilakukan oleh pembelahan inti reaksi bahan fosil seperti uranium didalam reaktor
seperti pada gambar -1

Gambar-1 Skema prinsip kerja PLTN

Reaksi pembelahan inti uranium terjadi dalam reaktor. Didalam reaktor reaksi
tersebut terjadi secara berantai pada saat inti dari uranium dalam hal ini U-235
atau U-233 terbelah bereaksi dengan neutron yang akan menghasilkan berbagai
unsur lainnya dalm waktu yang sangat cepat, proses ini akan menimbulkan panas
dan netron-netron baru. Panas yang berasal dari inti reaktor dialirkan ke sistem
pendingin primer, untuk kemudian dilewatkan pada alat penukar panas dan
selanjutnya panas dibuang ke lingkungan melalui sisten pendingin sekunder.

Adapun bagian-bagian terpenting dari reaktor seperti pelindung atau perisai,


elemen bahan bakar, elemen kendali dan moderator. Sedangkan jenis-jenis
pendingin pada reaktor nuklir antara lain reaktor nuklir dengan pendingin gas,
reaktor air biasa terdiri dari reaktor air mendidih dan reaktor air tekanan, selain
itu reaktor jenis reaktor air berat dan reaktor pembiak cepat.

PLTN di Indonesia akan menggunakan reaktor jenis PWR (a   


 

) karena teknologi reaktor ini banyak digunakan di seluruh dunia. Reaktor
jenis ini terdiri dari sebuah bejana yang penuh air yang diletakan bahan bakar
yang disusun dalam pipa-pipa yang dipasang berkelompok. Bahan bakar yang
dipakai adalah U-235 untuk menghasilkan panas yang akan memanaskan air.
Karena bejana terisi penuh, maka tidak terjadi uap melainkan tekanan tinggi yang
akan disalurkan ke penghasil uap untuk kemudian memutar turbin bagi
menghasilkan energi litrik. Selangkapnya seperti pada gambar 2.

Gambar-2 Skema reator airr tekan (a  


  
)

OOO ? OcO—c—

Masyarakat yang dimaksud adalah rakyat Indonesia yang memberikan pendapat


mengenai resiko maupun prospek keberadaan PLTN. Pendapat yang dikemukakan
merefleksikan persepsi tentang PLTN. Dalam konteks ini, mereka yang
memberikan tanggapan diambil atau diseleksi dari berbagai kalangan yakni para
cendekiawan dari perguruan tinggi, para politisi yang merepresentasikan
masyarakat banyak, para pegiat lingkungan hidup.

Pihak pemerintah maupun anggota masyarakat yang mendukung keberadaan


PLTN di Indoensia umumnya mendasari argumentasinya dengan beberapa alasan
utama antara lain keterbatasan energi fosil untuk pembangkitan tenaga listrik,
tingginya dampak lingkungan dari penggunaan energi fosil, minimnya resiko atau
keamamanan teknologi nuklir serta pembangunan PLTN relatif lebih ekonomis.

Anggota masyarakat yang kritis terhadap rencana pembangunan PLTN lazimnya


mempersoalkan resiko yang ditimbulkan.Adapun aspek-aspek yang menjadi
perhatian antara lain; kecelakaan reaktor, radiasi yang ditimbukan, limbah
radioaktif, dampak sosial dan proliferasi

     


Argumentasi pemerintah untuk mendukung PLTN didasari oleh fakta yang cukup
obyektif mengenai peningkatan kebutuhan energi listrik yang tidak sebanding
dengan ketersediaan energi listrik oleh PLN. Kebutuhan energi listrik di Indonesia
terus meningkat seiring dengan kemajuan pembangunan di sektor
industri,konstruksi, jasa dan domestik.

Pada tahun 1990 diprediksi tingkat pertumbuhan kebutuhan energi listrik di


Indonesi sekitar 8,2 % setiap tahunnya, kenyataannya ramalan tersebut jauh
berbeda dengan kenyataan bahwa di tahun 1992 kebutuhan energi listrik
Indonesia justru meningkat secara mengejutkan yakni 18% rata-rata setiap tahun.
Pada 2001, terjadi kenaikan permintaan listrik sebesar 6,4 persen, disusul
kemudian pada 2002 menjadi 12,8 persen. Diprediksi tahun 2010 mendatang
kenaikan permintaan rata-rata menjadi 7 persen setiap tahunnya sebagaimana
disajikan pada tabel-1 yang dikeluarkan oleh PT PLN.

Tabel-1 Kebutuhan Energi Listrik di Indonesia

  
  !!" !!# !!$ !!% !!& !!' !! ! !
 ( 
99,012 104,985 111,858 119,222 127,194 135,691 144,763 154,448 164,794
)*+
 ,

- 6.03 6.55 6.58 6.69 6.68 6.69 6.69 6.70

)-+
 
 
115,116 122,692 130,714 139,332 148,649 158,579 169,182 180,500 192,590
)*+
  
21,902 23,343 24,869 26,509 28,282 30,171 32,188 34,342 36,642
)c*+
O
 
27,503 28,356 29,356 30,529 31,578 31,601 31,608 31,566 31,380
.
(

Dari fakta-fakta ini pihak pemerintah menyakinkan bahwa pembangunan PLTN


merupakan salah satu solusi alternatif untuk penyediaan energi listrik. Keyakinan
ini dipekuat dengan kebijakan pemerintah untuk segera mungkin mengakhiri
ketergantungan kepada energi fosil yang menjadi bahan bakar dominan pada
pembangkit tenaga listrik di Indonesia. Batubara masih menduduki peringkat
tertinggi, yaitu 45 persen. Gas alam menduduki tingkat kedua, yakni 27 persen.
Sisanya dipasok dari energi minyak sebesar 13 persen dan energi terbarukan 15
persen.

Dengan penuh optimisme Soedyartomo Soentono, Kepala Badan Tenaga Nuklir


Nasional (BATAN) menyatakan bahwa energi nuklir berpotensi menekan
pemakaian listrik hingga 18 persen dan bahan bakar sampai 8 persen.

Selain itu, ketergantungan terhadap bahan bakar fosil memberikan dampak pada
polusi gas rumah kaca (terutama CO2) akibat pembakaran bahan bakar fosil.
Pemakaian energi nuklir sebagai sumber bahan bakar juga mampu mengurangi
polutan CO2 sampai 8 persen yang berarti PLTN dipresepsi sebagai sumber energi
yang ramah lingkungan.

Mengenai resiko kehadiran PLTN para pendukung PLTN nampaknya


mengabaikan resiko kecelakaan, bahkan dianggap lebih kecil kemungkinan
memakan korban dibandingkan dengan merokok. Untuk mendukung argumentasi
ini pemerintah melakukan berbagai kampanye di media cetak dan elektronik
dengan menampilkan pakar di bidang energi untuk mengedukasi masyarakat
mengenai keamanan penggunaan nuklir.

   
c ( 


Dari kelima aspek yang dikemukanan masyarakat seperti kecelakaan reaktor,


radiasi yang ditimbukan, limbah radioaktif, dampak sosial dan proliferasi. Faktor
kecelakaan reaktor paling banyak menjadi sorotan. Kecelakaan reaktor terjadi
akibat lenyapnya pendingin atau lost of coolant accident. Kecelakaan ini terjadi
karena karena hilangnya zat pendingin yang mengakibatkan suhu pada teras
reaktor meningkat dengan tajam sehingga kandungan dalam reaktor akan
dimuntahkan ke atmosfir. Hal ini akan mengakibatkan zat radioaktif akan
menyebar dalam radius yang cukup besar sehingga membahayakan mahluk hidup
yang ada dalam jarak jangkaun zat radioaktif tersebut.

Kecelakaan PLTN Cernobyl di Rusia salah satu bukti. Hal ini telah menjadi
momok bagi manusia seantero jagat yang memandang PLTN sebagai teknogi
laksana pisau bermata dua yang dapat mengancam keselamatan manusia
sewaktu-waktu. Belajar dari berbagai kelemahan penanganan PLTN, maka
sangatlah beralasan jika timbul keraguan akan kemampuan sumber daya insani
Indonesia dalam menangani teknologi yang memerlukan kecermatan dan
kedisiplinan yang tinggi.
Keraguan tersebut disampaikan oleh Prof.Dr.Rahardi Ramelan yang
mempertanyakan apa yang akan terjadi kalau musibah seperti banjir lumpur di
Sidoarjo yang disebabkan oleh keteledoran manusia terjadi pada PLTN tentu
akibanya sangat fatal melebihi apa yang terjadi di Sidoarjo. Kekuatiran serupa
disampaikan juga oleh pakar Fisika Nuklir Eksperimen, Dr Iwan Kurniawan
bahwa ³menangani dampak kebocoran lumpur panas Lapindo Brantas saja kita
belum mampu. Apalagi mengatasi penyebaran radiasi nuklir yang tidak kasat
mata dan sangat membahayakan masyarakat,´ Peringatan dini yang
disampaikan oleh mantan menteri sekaliber Prof Rahardi Ramelan dan Dr Iwan
Kurniawan tentu didasari oleh pengamatan yang seksama perihal mentalitas
manusia Indonesia dikaitkan kompetensi penanganan teknologi yang memiliki
resiko tinggi.

Kesangsian senada disampaikan pula oleh wartawan senior dan sastrawan


Indonesia terkemuka yakni Moctar Lubis. Keberatan beliau selain masih belum
yakin dengan kemampuan manusia Indonesia. Beliau juga mempersoalkan
besarnya investasi yang dikeluarkan mulai dari membangun PLTN sampai
proses penutupan jika masa produktif PLTN berakhir (  ). Proses
penutupan PLTN pada setiap tahapannya perlu dilakukan secara cermat agar
tidak menimbulkan pencemaran radiasi nuklir. Masalah ini penting diangkat
karena telah menjadi anggapan umum seolah-olah pendanaan hanya terbatas
pada pembangunan dan pengoperasian serta pemeliharaan semata.

Faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah pengelolaan limbah radioaktif.


Limbah radioaktif perlu dikelola dengan cermat agar tidak memiliki resiko
jangka panjang. Gagasan alternatif untuk memasukan limbah radioaktif dalam
bejana-bejana besi untuk kemudian dimasukan kedalam laut, ditanam dalam
tambang garam atau menyediakan satu pulau terpencil yang tidak berpenghuni
untuk menyimpan.

Penanganan seperti ini belum dipastikan keamanannya dan memerlukan biaya


yang tidak sedikit. Fisikawan Prof.Dr. Liek wilarjo mensinyalir selain resiko
daur ulang, kalau tidak cermat, maka proses daur-ulang U-238 atau U-233 akan
menghasilkan Plutonium atau Pu-239 yang dapat dipakai sebagai bahan senjata
nuklir. Kemungkinan tersebut cukup rasional sehingga menimbulkan kecemasan
terjadi persaingan penggunaan senjata nuklir atau lebih parah lagi apabila senjata
nuklir tersebut dikuasai oleh para teroris. Kalau ini terjadi akan memberikan
dampak sosial dalam skala global.

Kalangan lembaga swadaya masyarakat yang direpresentasikan oleh Wahana


Lingkungan Indonesia (WAHLI) melalui kampanye-kampanye yang dilakukan,
tersingkap alasan mendasar dari penolakan terhadap PLTN, selain resiko yang
ditimbulkan, terbesit keraguan kepada kemampuan perusahaan partner yang
akan membangun PLTN. Terdapat catatan masa lampau yang kurang
memuaskan dari negara yang bersangkutan, yang mana keberadaan PLTN telah
menimbulkan persoalan yang cukup serius di negara asal. Kalangan LSM juga
menilai, pilihan PLTN bukan hal yang mendesak karena Indonesia memiliki
potensi energi primer dan energi alternatif yang relatif mencukupi untuk jangka
panjang, dibandingkan dengan resiko yang akan ditimbulkan oleh PLTN.

Anggota masyarakat lainnya seperti pimpinan DPRD di wilayah Pati dan Jepara
yang akan dibangun PLTN memiliki pandangan yang beragam yakni faktor
penguasaan teknologi yang belum sepenuhnya dikuasai dan bahaya yang
ditimbulkan,namun yang menarik adalah argumentasi mengenai ketergantungan
terhadap pihak asing yang menguasai teknologi nuklir,dengan demikian pihak
asing dapat mendikte kepentingannya terhadap Indonesia. Argumentasi ini
cukup beralasan karena bagaimanapun pihak asing yang memasok teknologi
nuklir akan berupaya untuk meraup keuntungan sebesar mungkin dengan
menciptakan ketergantungan. Kondisi seperti ini sudah menjadi dilema dari
upaya alih teknologi dari negara maju ke negara berkembang.

Argumentasi-argumentasi yang dikemukakan oleh anggota masyarakat yang


kritis, maka hampir semua sepakat bahwa resiko kecelakaan PLTN merupakan
faktor dominan yang mendasari penolakan terhadap kehadiran PLTN alasan
yang diekenukakan ketidaksiapan smber daya insani Indonesia yang dianggap
belum cakap dari segi penguasaan teknologi maupun mentalitas yang cendung
tidak disiplin dan teledor. Alasan ini diperkuat dengan fakta berbagai kecelakaan
yang marak terjadi di Indonesia saat ini seperti banjir lumpur PT Lapindo di
Jawa Timur, kecelakaan pesawat terbang, transportasi darat dan kapal laut yang
tenggelam atau terbakar.Semua kecelakaan tersebut berakar pada kelalaian
manusia atau R  .

O ? —

" ?Oc

1.? Prisip kerja PLTN serupa dengan pembangkit tenaga uap lainnya, yang berbeda
adalah energi fosil yang dibakar untuk menghasilan uap tekanan tinggi adalah
reaksi fisi dari uranium. Kelebihan dari PLTN dibandingkan PLTU berbahan
bakar fosil adalan PLTN lebih ramah lingkungan walaupun sangat berpotensi
resiko.
2.? Pertimbangan pemerintah atau anggota masyarakat yang meyakini prospek PLTN
di Indonesia berkisar pada argumentasi untuk mengatasi krisis energi di
Indonesia secara umum dan khususnya melepaskan ketergantungan penyediaan
energi listrik dari energi fosil, rendahnya resiko PLTN, biaya pembangunan yang
relatif murah dan ramah terhadap lingkungan.
3.? Presepsi yang terbangun dikalangan anggota masyarakat yang kritis terhadap
keberadaan PLTN meliputi resiko yang ditimbulkan oleh PLTN dengan faktor-
faktor antara lain kecelakaan reaktor, radiasi yang ditimbukan, limbah radioaktif,
dampak sosial dan proliferasi
4.? Penolakan masyarakat terhadap PLTN dominan didasari oleh persepsi mengenai
ketidaksiapan sumber daya insani Indonesia dalam menangani teknologi yang
beresiko tinggi yang memerlukan kecermatan dan kedisiplinan yang tinggi.

" ?

Mencermati tingginya resistensi masyarakat terhadap rencana pembangunan


PLTN dengan argumentasi yang substansitif dan rasional, maka pemerintah perlu
membuka dialog publik secara trasparan dan kalau perlu beri kesempatan pada
masyarakat untuk menentukan sikapnya lewat sebuah refrendum.

 /  0

1.? Aminuddin H.A., Persepsi dan Penerimaan Masyarakat terhadap PLTN, Elektro
Indonesia Edisi ke Tujuh, April 1997
2.? Aziz Ferhat, Perspektif Positif Energi Nuklir, Republika OL 26 Agustus 2006
3.? Falk. Jim, µKontroversi Nuklir dan Negara-Negara Berkembang¶, dalam Supardan
(Ed) O   
 PT BPK Gunung Mulia tahun 1991
4.? Jawa Pos, Pembangunan PLTN Harus Dihentikan, Potensi Energi Alternatif
Indonesia Masih Besar, Jawa Pos, Radar Semarang, Kamis, 01 Maret 2007
5.? Lubis Mochtar, µSiapa yang Melakukan Pilihan Teknologi¶, dalam Supardan (Ed)
O   
  PT BPK Gunung Mulia tahun 1991
6.? Sinar Harapan, Indonesia Butuh Energi Alternatif Ramah Lingkungan, Sinar
Harapan 19 Juni 2003
7.? Soedarsono Budi, µPilihan energi Nuklir, Prospek dan Keamanannya¶, dalam
Supardan (Ed) O   
 PT BPK Gunung Mulia tahun 1991
8.? Wilarjo, Liek ³ Refleksi etis-theologis atas Nanoteknologi dan Femtoteknologi´
dalam Soerarman (Ed), ! 
          (hal 95-
115). PT BPK Gunung Mulia tahun 1992
9.? WAHLI 2007, Penolakan Rencana Pembangunan PLTN di Indonesia (Muria dan
Madura).
http://www.walhi.or.id/kampanye/energi/pltn/tolk_nuklir_040304/
10.?---- 1997, Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif di Indonesia
Elektro Indonesia Edisi ke Enam , Februari 1997

Anda mungkin juga menyukai