Anda di halaman 1dari 27

1

BUDAYA
R NUSANTARA

Arifa Yusuf Kurniawan (04)


Daniel Sinurat
Debby Prima Andriawan
Desy Rini Pratiwi
Rizky Arif Kurniawan
Romi Santika

2 G PAJAK
2

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat dan hidayatnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Kebudayaan
Aceh”. Makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah Budaya
Nusantara yang diajarkan oleh Bapak F.X. Dasuki.
Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
membantu kami baik langsung maupun tidak langsung sehingga makalah ini dapat diselesaikan
dalam waktu yang ditentukan. Tiada balasan yang setimpal yang diberikan oleh penulis selain ucapan
terima kasih dan harapan agar makalah ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Penulis menyadari bahwa karya makalah ini tidak luput dari kekurangan dan kelemahan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis tugas akhir ini bermanfaat bagi para pembaca
dan pihak yang berkepentingan.

Tangerang, 20 April 2011

Penyusun
3

DAFTAR ISI

A. LETAK GEOGRAFIS.............................................................................................................................4
B. SISTEM BUDAYA................................................................................................................................6
C. SISTEM SOSIAL...................................................................................................................................6
D. KEBUDAYAAN FISIK............................................................................................................................9
1) SISTEM RELIGI................................................................................................................................9
2) SISTEM ORGANISASI SOSIAL........................................................................................................10
3) SISTEM ILMU PENGETAHUAN.....................................................................................................13
4) BAHASA........................................................................................................................................14
5) KESENIAN.....................................................................................................................................15
 SASTRA.....................................................................................................................................15
 SENJATA TRADISIONAL.............................................................................................................16
 RUMAH TRADISIONAL..............................................................................................................16
 PAKAIAN ADAT.........................................................................................................................17
 TARIAN.....................................................................................................................................18
 MAKANAN KHAS......................................................................................................................20
 KESENIAN LAIN.........................................................................................................................21
6) MATA PENCAHARIAN.................................................................................................................22
7) TEKNOLOGI PEMBANGUNAN.....................................................................................................23
E. RANGKUMAN..............................................................................................................................23
4

KEBUDAYAAAN ACEH

A. LETAK GEOGRAFIS
Aceh yang sebelumnya pernah disebut dengan nama Daerah Istimewa Aceh (1959-
2001) dan Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009) adalah provinsi paling barat di Indonesia.
Aceh terletak di ujung pulau Sumatra antara 2’ – 6’ Lintang Utara dan 95’ – 98’ Lintang
Selatan, dengan kawasan seluas 57.365,57 km persegi atau 12,26% pulau Sumatera.
Aceh memiliki 119 pulau, 73 sungai besar, dan 2 buah danau.. Provinsi ini berbatasan
dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di
sebelah timur, dan Sumatra Utara di sebelah tenggara dan selatan.
Ibukota Aceh adalah Banda Aceh. Pelabuhannya adalah Malahayati-Krueng Raya, Sabang,
Lhokseumawe dan Langsa.
5

Gambar 1 Letak Geografis Provinsi Aceh

Sejak tahun 1999, Aceh telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang
mencapai 5 pemerintahan kota dan 18 kabupaten sebagai berikut:

Gambar 2 Kabupaten dan Kota di Aceh


6

1. Kabupaten Aceh Barat 13. Kabupaten Bireuen


2. Kabupaten Aceh Barat 14. Kabupaten Gayo Lues
3. Kabupaten Aceh Besar 15. Kabupaten Nagan Raya
4. Kabupaten Aceh Jaya 16. Kabupaten Pidie
5. Kabupaten Aceh Selatan 17. Kabupaten Pidie Jaya
6. Kabupaten Aceh Singkil 18. Kabupaten Simeulue
7. Kabupaten Aceh Tamiang 19. Kota Banda Aceh
8. Kabupaten Aceh Tengah 20. Kota Langsa
9. Kabupaten Aceh Tenggara 21. Kota Lhokseumawe
10. Kabupaten Aceh Timur 22. Kota Sabang
11. Kabupaten Aceh Utara 23. Kota Subulussalam
12. Kabupaten Bener Meriah

B. SISTEM BUDAYA

Awal Aceh dalam sumber antropologi disebutkan bahwa asal-usul Aceh berasal dari
suku Mantir (atau dalam bahasa Aceh: Mantee) yang mempunyai keterkaitan dengan
Mantera di Malaka yang merupakan bagian dari bangsa Mon Khmer (Monk Khmer).
Menurut sumber sejarah narasi lainnya disebutkan bahwa terutama penduduk Aceh
Besar tempat kediamannya di kampung Seumileuk yang juga disebut kampung Rumoh Dua
Blaih (desa Rumoh 12), letaknya di atas Seulimeum antara kampung Jantho dengan Tangse.
Seumileuk artinya dataran yang luas dan Mantir kemudian menyebar ke seluruh lembah Aceh
tiga segi dan kemudian berpindah-pindah ke tempat-tempat lain.

Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam
hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam
hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga
atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal ini
7

karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan menampilkan bentuk manusia atau binatang
sebagai ragam hias.

Aceh sangat lama terlibat perang dan memberikan dampak amat buruk bagi
keberadaan kebudayaannya. Banyak bagian kebudayaan yang telah dilupakan dan benda-
benda kerajinan yang bermutu tinggi jadi berkurang atau hilang.

C. SISTEM SOSIAL

Provinsi Aceh memiliki 13 suku asli, yaitu: Aceh, Gayo, Aneuk Jamee, Singkil, Alas,
Tamiang, Kluet, Devayan, Sigulai,Pakpak, Haloban, Lekon dan Nias.

Hasil sensus penduduk tahun 2000 menunjukkan hasil sebagai berikut: Aceh (50,32%),
Jawa (15,87%), Gayo (11,46%), Alas (3,89%), Singkil (2,55%), Simeulue (2,47%), Batak (2,26%),
Minangkabau (1,09%), Lain-lain (10,09%)

Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban dan Suku Julu.Suku
Aceh tersebar terutama di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh
Utara, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat,
Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Penduduk Aceh merupakan keturunan
berbagai suku, kaum, dan bangsa. Leluhur orang Aceh berasal dari Semenanjung Malaysia,
Cham, Cochin China, Kamboja.
Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama yaitu:

 Suku Aceh
 Suku Gayo
 Suku Alas
 Tamiang

Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh.
Orang Aceh yang mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan
kultural yang nampak nya banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau. Hal ini
8

mungkin karena nenek moyang mereka yang pernah bertugas diwilayah itu ketika berada di
bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan mereka berasimilasi dengan penduduk
disana.

Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di
kawasan Aceh Tengah dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan
pemeluk agama Islam yang kuat.

Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian,
arian, musik dan adat istiadat.

Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan
India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab
yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan
dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri Badjubier, Sungkar,
Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman.
Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin
campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya.
Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan
penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan
Hindu Tua (nama-nama desa yang diambil dari bahasa India, contoh: Indra Puri). Keturunan
India dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan
maka keturunan India cukup dominan di Aceh.
Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan
bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho, yang pernah singgah dan
menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama
Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara
Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut-pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai
pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa.
Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka
pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih
9

prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka
kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai
namanama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh
pun adalah warisan bangsa Persia (Banda/Bandar arti: Pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No
(pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan
nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah
dan berdagang di wilayah Lam No, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan
menetap di Lam No. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat
itu Lam No di bawah kekuasaan kerajaan kecil Lam No, pimpinan Raja Meureuhom Daya.
Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa
yang masih kental.
Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Marco Polo, Ibnu
Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.

D. KEBUDAYAAN FISIK

1) SISTEM RELIGI

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam.
Oleh sebab itu propinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya
"pintu gerbang" yang paling dekat antara Indonesia dengan tempat dari mana agama
tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan asli Aceh tidak hilang begitu saja,
sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat pengaruh dan berbaur
dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi tersebut
melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Di dalam kebudayaan tersebut
masih terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme.

Sebagian besar penduduk di Aceh menganut agama Islam. Dari ke 13 suku asli
yang ada di Aceh hanya suku Nias yang tidak semuanya memeluk agama Islam.
10

Agama lain yang dianut oleh penduduk di Aceh adalah agama Kristen yang
dianut oleh pendatang suku Batak dan sebagian warga Tionghoa yang kebanyakan
bersuku Hakka. Sedangkan sebagian lainnya tetap menganut agama Konghucu.

Selain itu provinsi Aceh memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi


yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar
warganya yang menganut agama Islam. Syariat Islam :

 berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
manusia, baik Muslim maupun non Muslim
 Sumber: Al-Qur'an (sumber hukum Islam yang pertama), Hadis (seluruh
perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad yang kemudian
dijadikan sumber hukum), Ijtihad (untuk menetapkan hukum Islam
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis)
Oleh sebab itu segala cabang kehidupan: politik, ekonomi, sosial budaya tidak boleh
berlawanan dengan ajaran Islam.

2) SISTEM ORGANISASI SOSIAL

Pola kehidupan masyarakat Aceh diatur oleh hukum adat yang berdasarkan

kaidah-kaidah hukum agama Islam. Adapun susunan masyarakat adalah sebagai

berikut :

 Golongan Rakyat Biasa; yang dalam istilah Aceh disebut Ureung Le (orang

banyak). Disebut demikian karena golongan ini merupakan golongan yang

paling banyak (mayoritas) dalam masyarakat adat Aceh.

 Golongan Hartawan; yaitu golongan yang bekerja keras dalam

mengembangkan ekonomi pribadi. Dari pribadi-pribadi yang sudah berada

itulah terbentuknya suatu golongan masyarakat. Karena keberadaannya


11

sehingga mereka menjelma menjadi golongan hartawan. Golongan ini

cukup berperan dalam soal-soal kemasyarakatan khususnya sebagai

penyumbang-penyumbang dana.

 Golongan ulama/cendikiawan; umumnya mereka berasal dari kalangan

rakyat biasa yang memiliki ilmu pengetahuan yang menonjol. Sehingga

mereka disebut orang alim dengan gelar Teungku. Mereka cukup

berperan dalam masalah-masalah agama dan kemasyarakatan.

 Golongan kaum bangsawan; termasuk didalamnya keturunan Sultan Aceh

yang bergelar “Tuanku” keturunan “Uleebalang” yang bergelar “Teuku”

(bagi laki-laki) dan “Cut” (bagi perempuan).

Selain pembagian susunan masyarakat tersebut di atas, sistem kesatuan

masyarakat Aceh, merupakan perwujudan dari beberapa buah keluarga inti, yang

menjadi suatu kelompok masyarakat; yang disebut “Gampong” (Kampung). Sistem

sosial pada masyarakat Aceh berpedoman pada keluarga inti. Setiap perbuatan yang

dilakukan sebuah keluarga inti akan memberi pengaruh kepada keluarga lainnya.

Dengan demikian hubungan antara satu keluarga inti dengan keluarga inti lainnya

cukup erat.

Dalam kehidupan masyarakat Aceh ada yang namanya hukum adat, yaitu

hukum yang bersendi kepada syariat Islam. Penerapan hukum adat dalam kehidupan

masyarakat Aceh tidak terlepas dari sendi-sendi agama Islam. Oleh karena itu adat dan

hukum tidak bisa dipisahkan seperi hadih maja, “Hukôm ngoen adat lagee zat ngoen

sifeut.”
12

Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini.
Dwi tunggal keuchik dan teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan
harmonisasi tersebut. Persoalan-persoalan hukum Islam dalam masyarakat
diselesaikan dengan sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam
penyelesaian konflik di desa.

Keuchik dan Teungku adalah orang yang dituakan di sampang/desa. Mereka


melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antar warga, bahkan
termasuk pidana sebelum diteruskan ke pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu di
desa (kampung). Demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga. Penyelesaian
sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui musyawarah. Bila
upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan. Masyarakat Aceh
memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian sengketa apa saja melalui
perdamaian.

Masyarakat Aceh sangat menghormati penegakan keadilan, baik dalam


lingkungan keluarga, maupun penegakkan keadilan dalam penyelesaian perkara di
pengadilan. Pelaksanaan syariah Islam di Aceh merupakan keinginan rakyat Aceh yang
dilakukan dengan langkah-langkah strategis yaitu: dilakukan secara bertahap; tidak
dengan kekerasan; melalui peningkatan kesadaran dan kecerdasan; dalam konteks
hukum nasional Indonesia; menghadirkan rahmat dan peningkatan peradaban;
meningkatkan kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah; tanggung jawab bersama
pemerintah daerah dan masyarakat; hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam
sementara non-muslim dapat menundukkan diri.

Sistem kekerabatan
Orang Aceh menarik garis keturunan berdasarkan prinsip bilateral. Prinsip ini
menyebabkan tidak ada perbedaan istilah kekerabatan antara pihak laki-laki dan pihak
perempuan
13

Kelompok kekerabatan yang terkecil adalah keluarga batih yang terdiri dari
ayah,ibu dan anak- anak yang belum menikah. Namun bagi anak laki-laki sejak
berumur 6 tahun hubungannya dengan orang tua mulai dibatasi. Proses sosialisasi dan
enkulturasi lebih banyak berlangsung di luar lingkungan keluarga.
Proses sosialisasi yang demikian menyebabkan hubungan yang tidak terlalu
intim namun bukan berarti tidak saling menyayangi. Pola hubungan tersebut akhirnya
mendorong anak laki-laki untuk pergi merantau.

Struktur kemasyarakatan
• Gampông atau disebut kampung dalam bahasa Melayu,
• Mukim merupakan suatu system pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu
diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh.
• Nanggroë merupakan suatu system pemerintahan setingkat kabupaten Sagoë
yang dalam bahasa Melayu disebut Sagi, setingkat dengan provinsi.

3)SISTEM ILMU PENGETAHUAN

Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa


selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan
kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh
dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang
berkepanjangan dan penganaktirian dari RI, dengan sekian ribu sekolah dan institusi
pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan
siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang.

Aceh juga memiliki sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti

 Universitas Syiah Kuala


 IAIN Ar-Raniry
 Universitas Malikussaleh
 Politeknik Negeri Lhokseumawe
14

4) BAHASA
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia, termasuk
dalam rumpun bahasa Austronesia.
Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-
hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama.
Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa
Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna
sama. Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyaknya percampuran bahasa,
terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian
bahasa aslinya.
Orang Aceh mempunyai bahasa sendiri yakni bahasa Aceh, yang termasuk
rumpun bahasa Austronesia. Bahasa Aceh terdiri dari beberapa dialek, di antaranya
dialek Peusangan, Banda, Bueng, Daya, Pase, Pidie, Tunong, Seunagan, Matang, dan
Meulaboh, tetapi yang terpenting adalah dialek Banda. Dialek ini dipakai di Banda
Aceh. Dalam tata bahasanya, Bahasa Aceh tidak mengenal akhiran untuk membentuk
kata yang baru, sedangkan dalam system fonetiknya, tanda 'eu' kebanyakan dipakai
tanda pepet (bunyi e).
Dalam bahasa Aceh, banyak kata yang bersuku satu. Hal ini terjadi karena
hilangnya satu vocal pada kata-kata yang bersuku dua, seperti "turun" menjadi "tron",
karena hilangnya suku pertama, seperti "daun" menjadi "beuec". Di samping itu
banyak pula kata-kata yang sama dengan bahasa-bahasa Indonesia Bagian Timur.
Masyarakat Aceh yang berdiam di kota umumnya menggunakan bahasa
Indonesia sebagai pengantar, baik dalam keluarga maupun dalam kehidupan sosial.
Namun demikian, masyarakat Aceh yang berada di kota tersebut mengerti
dengan pengucapan bahasa Aceh. Selain itu, ada pula masyarakat yang
memadukan antara bahasa Indonesia dengan bahasa Aceh dalam berkomunikasi. Pada
masyarakat Aceh di pedesaan, bahasa Aceh lebih dominan dipergunakan dalam
kehidupan sosial mereka. Dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas
bahasa Aceh asli.
15

Tradisi bahasa tulisan ditulis dalam huruf Arab-Melayu yang disebut bahasa
Jawi atau Jawoe, Bahasa Jawi ditulis dengan huruf Arab ejaan Melayu. Pada masa
Kerajaan Aceh banyak kitab ilmu pengetahuan agama, pendidikan, dan kesusasteraan
ditulis dalam bahasa Jawi. Pada makam-makam raja Aceh terdapat juga huruf Jawi.
Huruf ini dikenal setelah datangnya Islam di Aceh. Banyak orang-orang tua Aceh yang
masih bisa membaca huruf Jawi.
Bahasa lain yang digunakan di Acah adalah Bahasa Gayo yang dituturkan di
kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur. Bahasa
Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas,
Aneuk Jamee yang merupakan dialek Bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet.

5) KESENIAN
Aceh merupakan kawasan yang sangat kaya dengan seni budaya galibnya
wilayah Indonesia lainnya. Aceh mempunyai aneka seni budaya yang khas seperti tari-
tarian, dan budaya lainnya.

SASTRA
* Bustanussalatin
* Hikayat Prang Sabi
* Hikayat Malem Diwa
* Legenda Amat Rhah manyang
* Legenda Putroe Nen
* Legenda Magasang dan Magaseueng

SENJATA TRADISIONAL
Rencong adalah senjata tradisional Aceh, bentuknya menyerupai huruf L, dan
bila dilihat lebih dekat bentuknya merupakan kaligrafi tulisan Bismillah. Rencong
termasuk dalam kategori dagger atau belati (bukan pisau ataupun pedang).
16

Gambar 3 Rencong

Selain rencong, bangsa Aceh juga memiliki beberapa senjata khas lainnya,
seperti Sikin Panyang, Klewang dan Peudeung oon Teubee.

RUMAH TRADISIONAL
Rumah tradisonal suku Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat ini bertipe
rumah panggung dengan 3 bagian utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama
dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi
tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya
yaitu rumoh dapu (rumah dapur).

Gambar 4 Rumoh Aceh

PAKAIAN ADAT
17

Pakaian adat Aceh dilengkapi dengan beberapa macam pernik yang biasa
selalu dikenakan pada acara-acara tertentu. Pernik-pernik tersebut antara lain:

 Keureusang (Kerosang /Bros) adalah perhiasan yang memiliki ukuran panjang 10


Cm dan lebar 7,5 Cm. Perhiasan dada yang disematkan di baju wanita (sejenis
bros) yang terbuat dari emas bertatahkan intan dan berlian. Bentuk
keseluruhannya seperti hati yang dihiasi dengan permata intan dan berlian
sejumlah 102 butir. Keureusang ini digunakan sebagai penyemat baju (seperti
peneti) dibagian dada. Perhiasan ini merupakan barang mewah dan yang
memakainya adalah orang-orang tertentu saja sebagai perhiasan pakaian harian.
 Patam Dhoe adalah salah satu perhiasan dahi wanita Aceh. Biasanya dibuat dari
emas ataupun dari perak yang disepuh emas. Bentuknya seperti mahkota. Patam
Dhoe terbuat dari perak sepuh emas. Terbagi atas tiga bagian yang satu sama
lainnya dihubungkan dengan engsel. Di bagian tengah terdapat ukuran kaligrafi
dengan tulisan-tulisan Allah dan di tengahnya terdapat tulisan Muhammad-motif
ini disebut Bungong Kalimah-yang dilingkari ukiran bermotif bulatan-bulatan
kecil dan bunga.
 Peuniti, Seuntai Peuniti yang terbuat dari emas; terdiri dari tiga buah hiasan
motif Pinto Aceh.
 Simplah merupakan suatu perhiasan dada untuk wanita. Terbuat dari perak
sepuh emas. Terdiri dari 24 buah lempengan segi enam dan dua buah
lempengan segi delapan. Setiap lempengan dihiasi dengan ukiran motif bunga
18

dan daun serta permata merah di bagian tengah. Lempengan-lempengan


tersebut dihubungkan dengan dua untai rantaiSimplah mempunayi ukuran
Panjang sebesar 51 Cm dan Lebar sebesar 51 Cm..
 Subang Aceh, Subang Aceh memiliki Diameter dengan ukuran 6 Cm. Sepasang
Subang yang terbuat dari emas dan permata. Bentuknya seperti bunga matahari
dengan ujung kelopaknya yang runcing-runcing. Bagian atas berupa lempengan
yang berbentuk bunga Matahari disebut “Sigeudo Subang”. Subang ini disebut
juga subang bungong mata uro.
 Taloe Jeuem, Seuntai tali jam yang terbuat dari perak sepuh emas. Terdiri dari
rangkaian cincin-cincin kecil berbentuk rantai dengan hiasan be4ntuk ikan (dua
buah) dan satu kunci. Pada ke dua ujung rantai terdapat kait berbentuk angka
delapan. Tali jam ini merupakan pelengkap pakaian adat laki-laki yang
disangkutkan di baju.

TARIAN
Provinsi Aceh yang memiliki setidaknya 10 suku bangsa, memiliki kekayaan
tari-tarian yang sangat banyak dan juga sangat mengagumkan. Beberapa tarian yang
terkenal di tingkat nasional dan bahkan dunia merupakan tarian yang berasal dari
Aceh, seperti Tari Rateb Meuseukat dan Tari Saman.

Tarian Suku Aceh

 Tari Laweut
 Tari Likok Pulo
 Tari Pho
 Tari Ranup Lampuan
 Tari Rapai Geleng
 Tari Rateb Meuseukat
 Tari Ratoh Duek
 Tari Seudati

Kata seudati berasal dari bahasa Arab syahadati atau syahadatain , yang
berarti kesaksian atau pengakuan. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa
kata seudati berasal dari kata seurasi yang berarti harmonis atau kompak.
19

Seudati mulai dikembangkan sejak agama Islam masuk ke Aceh. Penganjur


Islam memanfaatkan tarian ini sebagai media dakwah untuk mengembangkan
ajaran agama Islam. Tarian ini cukup berkembang di Aceh Utara, Pidie dan
Aceh Timur. Tarian ini dibawakan dengan mengisahkan pelbagai macam
masalah yang terjadi agar masyarakat tahu bagaimana memecahkan suatu
persoalan secara bersama. Pada mulanya tarian seudati diketahui sebagai
tarian pesisir yang disebut ratoh atau ratoih, yang artinya menceritakan,
diperagakan untuk mengawali permainan sabung ayam, atau diperagakan
untuk bersuka ria ketika musim panen tiba pada malam bulan purnama

 Tari Tarek Pukat

Tarian Suku Gayo

 Tari Saman

Tari Saman adalah sebuah tarian suku Gayo yang biasa ditampilkan untuk
merayakan peristiwa-peristiwa penting dalam adat. Syair dalam tarian Saman
mempergunakan bahasa Arab dan bahasa Gayo. Selain itu biasanya tarian ini
juga ditampilkan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam
beberapa literatur menyebutkan tari Saman di Aceh didirikan dan
dikembangkan oleh Syekh Saman, seorang ulama yang berasal dari Gayo di
Aceh Tenggara.
20

Gambar 7 Tari Saman

 Tari Bines
 Tari Didong
 Tari Guel
 Tari Munalu
 Tari Turun Ku Aih Aunen

Tarian Suku Lainnya

 Tari Ula-ula Lembing


 Tari Mesekat

MAKANAN KHAS
Aceh mempunyai aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai
itik, kari kambing yang lezat, Gulai Pliek U dan meuseukat yang langka. Di samping itu
emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol Sabang yang dibuat
dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal
Peukan Bada, Aceh Besar juga bisa jadi andalan bagi Aceh.
21

Gambar 8 Kue Timphan

Gambar 9 Mie Aceh


22

Gambar 10 Bebek Bakar.

Gambar 11 Kari Kambing

KESENIAN LAIN

 Dabol, suatu kesenian yang dimainkan oleh beberapa orang dengan menggunakan
gendrang atau rapat. Dalam kesenian ini terpadu unsure seni musik, seni suara
dan seni tari
 Rantak kudo adalah suatu bentuk pertunjukan kesenian yang dimainkan oleh
beberapa orang. Dalam bentuk kesenian ini terbatu unsure seni suara dan seni
23

tari. Badam piang juga merupakan suatu bentuk kesenian yang dimainkan oleh
beberapa orang.
 Pencak adalah bentuk seni beladiri yang dimainkan oleh 2 orang yang saling
bertarung.
 Pelintau adalah juga bentuk seni beladiri yang dimainkan oleh 2 orang yang saling
bertarung dengan menggunakan kayu sebagai senjata.
 Jampen adalah suatu bentuk seni musik tradisional yang perkakasnya dibuat dari
kayu dan kulit kambing serta suling dan tali dawai.

6) MATA PENCAHARIAN

 Mata pencaharian pokok orang Aceh adalah bertani di sawah dan ladang, dengan
tanaman pokok berupa padi, cengkeh, lada, pala, kelapa, dan lain-lain. Masyarakat
yang bermukim di sepanjang pantai pada umumnya menjadi nelayan.
 Sebagian besar orang Alas hidup dari pertanian di sawah atau ladang, terutama
yang bermukim di kampung (kute). Tanam Alas merupakan lumbung padi di
Daerah Istimewa Aceh. Di samping itu penduduk beternak kuda, kerbau, sapi, dan
kambing, untuk dijual atau dipekerjakan di sawah.
 Mata pencaharian utama orang Aneuk Jamee adalah bersawah, berkebun, dan
berladang, serta mencari ikan bagi penduduk yang tinggal di daerah pantai. Di
samping itu ada yang melakukan kegiatan berdagang secara tetap (baniago), salah
satunya dengan cara menjajakan barang dagangan dari kampung ke kampung
(penggaleh).
 Mata pencaharian pada masyarakat Gayo yang dominan adalah berkebun,
terutama tanaman kopi.
 Matapencaharian utama orang Tamiang adalah bercocok tanam padi di sawah
atau di ladang. Penduduk yang berdiam di daerah pantai menangkap ikan dan
membuat aran dari pohon bakau. Adapula yang menjadi buruh perkebunan atau
pedagang.
24

7) TEKNOLOGI PEMBANGUNAN

Pada tahun 1963 dengan terjadinya perubahan kondisi sosial politik dan
keamanan Aceh Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh dengan keputusan Nomor 36
tanggal 23 Mei 1963 membatalkan Keputusan PDMD untuk Daerah Istimewa Aceh
sebagaimana tersebut diatas dan dengan Keputusan yang sama membentuk BKPD
yang selanjutnya disingkat dengan akronim BKPD Dista. Dua tahun setelah itu, dengan
berpedoman pada Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1964 BKPD dilebur.
Bersamaan dengan peleburan tersebut Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh
mengeluarkan Keputusan Nomor 089/1967 tanggal 15 Oktober 1967 untuk
membentuk badan baru bernama BP3D sebagaimana telah disebut dimuka. BP3D
tidak berumur panjang karena setahun kemudian gubernur meleburnya menjadi
badan baru bernama Badan Perencana Pembangunan Aceh (BPPA) atau sering juga
disebut Aceh Development Board (ADB). Pembentukan ADB ditetapkan dalam
Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh Nomor 53/II/1968 tanggal 26 Juni
1968.
Melalui surat keputusan Gubernur ini, Badan Perencanaan Pembangunan Aceh
lahir dengan struktur organisasi, tatakerja, kedudukan, dan fungsi untuk menyikapi
pelaksanaan pembangunan daerah secara menyeluruh. Badan ini tidak hanya sebagai
badan pembantu gubernur dalam memberi pertimbangan menyusun perencanaan
pembiayaan dan pembangunan daerah, bahkan menjadi satu-satunya badan yang
memiliki kewenagan megkoordinasikan seluruh kegiatan perencanaan pembangunan
dalam Provinsi Daerah Instimewa Aceh. Profesor A. Majid Ibrahim yang saat itu
menjabat Rektor Universitas Syiah Kuala ditunjuk menjadi pimpinan dengan jabatan
Ketua Pimpinan Harian Badan Perencanaan Pembangunan Aceh.

Kepada Badan Perencanaan Pembangunan Aceh, pemerintah daerah kemudian


membebankan enam hal, yaitu :
25

1. Penyusunan Pola dasar pembangunan daerah yang didasarkan kepada sistem


prioritas;
2. Menyusun rencana pembangunan lima tahunan daerah;
3. Menyusun anggaran belanja tahunan untuk kepentingan pembangunan dan
anggaran untuk masing-masing proyek yang akan dilaksanakan;
4. Melaksanakan berbagai survei untuk kepentingan perumusan program
pembangunan yang lebih rasional atau realistis;
5. Melaksanakan berbagai studi kelayakan untuk proyek-proyek yang akan dibangun
oleh perusahaan-perusahaan swasta;
6. Menjadi penasihat pemerintah daerah dalam soal ekonomi keuangan.

Berkat peran Badan Perencanaan Pembangunan Aceh yang secara nyata dan signifikan
berhasil memacu pembangunan Daerah Istimewa Aceh melalui perumusan kebijakan
pembangunan daerah, maka pada perkembangannya Presiden Republik Indonesia
memandang perlu meningkatkan status menjadi salah satu komponen dalam
lingkungan organisasi pemerintah daerah. Peningkatan status ini dilakukan melalui
surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1973. Keputusan
Presiden ini ditindaklanjuti Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia
Nomor 142 Tahun 1974 yang mempertegas pedoman pembentukan, penyusunan
organisasi, tata kerja, kedudukan, wewenang dan tanggung jawab Badan Perencanaan
Pembangunan Aceh. Sebagai pelaksana Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 1973 yo Keputusan Dalam Negeri Nomor 142/1974, Gubernur Kepala
Daerah Istimewa Aceh lalu mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 393/1975. Dengan
surat keputusan ini gubernur secara resmi mengganti nama Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Seiring dengan peningkatan status, maka fungsi Badan Perencanaan Pembangunan


Daerah juga bertambah tidak hanya terbatas pada tugas-tugas perencanaan daerah
26

tetapi juga mengcakup tugas-tugas pengendalian operasional. Kecuali bertugas secara


teknis, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah juga mengoordinir dan
mengintegrasikan usaha penyusunan rencana dan program kerja pembangunan
daerah serta melakukan pengendalian operasional kegiatan-kegiatan pembangunan
daerah.

Dalam jangka mendesak, strategi yang diperlukan dalam percepatan


pembangunan Aceh adalah diperlukan fokus peningkatan sumber daya manusia
sebagai modal dasar dalam mendukung peningkatan data saing wilayah secara
berkelanjutan; diperlukan fokus pada peningkatan kinerja pengelolaan perekonomian
dan keuangan daerah, melalui penguatan daya saing sekaligus dorongan dalam
penciptaan nilai tambah, pendapatan perkapita Provinsi NAD berada di peringkat 6 di
tingkat nasional, sementara PDRB dengan migas dan nonmigas berada di peringkat 10
dan 14 secara nasional; dan diperlukan fokus pada pengurangan kemiskinan dan
peningkatan kesempatan kerja, dengan jumlah penduduk miskin yang masih sekitar
26,65% dan jumlah pengangguran 9,84%.

Beberapa langkah strategis yang perlu diperhatikan bersama dalam


mendukung upaya percepatan pembangunan Aceh, dalam jangka pendek hingga
jangka menengah adalah 1) Penuntasan rekonstruksi pasca-tsunami dan penyelesaian
proses integrasi damai pasca-MoU Helsinski perlu dijadikan prioritas penanganan
dalam jangka pendek dan menengah oleh Pemerintah Aceh; 2) Pemantapan
pelaksanaan otonomi khusus diharapkan akan mendongkrak perekonomian rakyat
dan meningkatkan peran masyarakat dalam pembangunan daerah, melalui
optimalisasi sumber penerimaan daerah yang dimungkinkan melalui Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, termasuk memaksimalkan
pengelolaan kawasan khusus yang memiliki nilai strategis nasional, khususnya
Kawasan Sabang; dan 3) Pengelolaan kekayaan daerah dan pelaksanaan kewenangan
hendaknya memperhatikan prosedur, standar, mekanisme dan norma-norma yang
27

telah ada dalam sistem pemerintahan Aceh sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006.

E. RANGKUMAN
Halooo apa kabarrr?

Anda mungkin juga menyukai