Anda di halaman 1dari 10

PERAN GERAKAN MUSLIMAH DALAM KEBANGKITAN UMMAT

Pendahuluan
Membincangkan peran gerakan muslimah dalam kebangkitan umat seakan membuka
kembali catatan sejarah panjang perjuangan Islam. Sebagaimana diketahui, sejak Rasulullah saw
diutus untuk menyebarluaskan risalah Islam, para muslimah generasi awal telah terlibat secara
aktif dalam pergerakan dakwah bersama kaum muslimin lainnya untuk melakukan transformasi
sosial, mengubah masyarakat jahiliyah yang paganistik menjadi masyarakat Islam yang Rabbani.
Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah; melakukan
perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah-tengah masyarakat, hingga atas pertolongan
Allah akhirnya berhasil membangun masyarakat Islam yang agung di Madinah, yakni
masyarakat yang tegak di atas landasan aqidah dan hukum-hukum Islam.
Sejarah mencatat nama-nama besar semisal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra,
Sitti Fathimah Az-Zahra ra., Asma binti Abu Bakar ra., Sumayyah ra., Ummu Habibah binti Abu
Sufyan ra., Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah ra., Fathimah binti al-Khaththab ra., Ummu
Jamil binti al-Khaththab ra., Ummu Syarik ra., dan lain-lain yang semenjak bersentuhan dengan
Islam keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam. Tak satupun di antara
mereka yang mau –meski sejenak-- tertinggal dari satu peristiwapun, apalagi berlepas diri dari
tanggungjawab memperjuangkan dienul haq, seberapapun besarnya resiko yang harus mereka
hadapi. Sebagian dari mereka ada yang harus kehilangan harta, terpisah dari orang-orang yang
dicinta, bahkan rela ketikapun harus kehilangan nyawa. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan
bahwa merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang hakiki, yang
layak menjadi teladan pergerakan muslimah dari jaman ke jaman.
Di atas pilar-pilar inilah muslimah generasi sesudah mereka membangun kekuatan.
Hanya saja yang menjadi target perjuangan mereka tentu bukan lagi menegakkan sistem
kehidupan Islam, melainkan bagaimana berupaya mempertahankan eksistensinya agar kemuliaan
ummat tetap terjaga. Di masa Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah sesudahnya, peran
pergerakan muslimah dalam kancah kehidupan, termasuk dalam percaturan politik tercatat
demikian besar, baik dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, muhasabah (koreksi) terhadap
penguasa, bahkan dalam aktivitas jihad dan futuhat. Akan tetapi uniknya, pada saat yang sama,
merekapun ternyata berhasil mencetak generasi terbaik –generasi mujahid dan mujtahid- yang
mampu membangun peradaban Islam yang tinggi, yang mengalahkan peradaban-peradaban
lainnya di dunia dalam rentang waktu yang sangat panjang. Tak heran jika umat Islam pada
rentang tersebut betul-betul bisa tampil sebagai “khoiru ummah” .
Inilah sekelumit frasa sejarah mengenai keberadaan gerakan muslimah generasi Islam
awal. Sebuah gerakan yang sarat nilai-nilai Ilahiyah dan menjadi bagian pergerakan kolektif
(jama’ah) Islam. Kiprah nyata mereka ini justru telah menafikan ‘keyakinan’ dan sekaligus
‘kecurigaan’ sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Islam sama sekali tak memberi ruang
bagi kaum perempuan untuk berkiprah di tengah-tengah umat, turut serta membangun
masyarakatnya menuju kebangkitan yang hakiki.

Pasang Surut Gerakan Muslimah


Benar bahwa sepanjang rentang waktu itu, gerakan muslimah tidak selamanya berjalan
mulus dan terus eksis ke permukaan. Bahkan sejalan dengan kemunduran ummat, yang berakar
pada kian melemahnya apresiasi dan pemahaman mereka terhadap pemikiran-pemikiran Islam
yang jernih, baik dari sisi aqidah maupun syari’ahnya, gerakan muslimahpun mulai mengalami
pasang surut.
Pada fase tertentu, yakni ketika ‘pemikiran-pemikiran ekstrim’ seputar ‘fitnah kaum
wanita’ menjadi mainstream berpikir umat dalam membangun sistem interaksi sosial (an-nidzam
al-ijtima’iy) di antara mereka, peran para muslimah mulai terpinggirkan. Muslimah saat itu,
bukan saja telah kehilangan kesempatan untuk berkiprah ditengah-tengah umat sesuai dengan
batasan-batasan syari’at. Bahkan banyak dari hak dan kewajiban syar’i yang akhirnya tak bisa
tertunaikan; mencari ilmu, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mu’amalah di bidang
ekonomi/pengembangan harta, dan lain-lain. Praktis, pergerakan muslimahpun nyaris tak
terdengar.
Pada fase ini, gambaran peng-harem-an kaum perempuan di istana-istana para
penguasa, ‘pemenjaraan’ mereka di balik burdah dan hijab mutlak, pemingitan mereka di rumah-
rumah suaminya, justru kian menyeruak ke permukaan, seolah menjadi ‘budaya baru’ yang
terlegitimasi atas nama agama. Fase inilah yang kemudian digambarkan sebagai fase sejarah
buruk kaum perempuan muslim, dimana penindasan dan pemenjaraan kaum perempuan tidak
hanya berdampak pada kian teralienasinya hak dasar dan peran sosial politik mereka, tetapi lebih
jauh ternyata berdampak pada kian terpuruknya kondisi umat dengan lahirnya generasi ‘lemah’
tak berdaya dari rahim-rahim mereka. Akibatnya, sejak saat itu umat Islam terus mengalami
kemunduran. Dan tragisnya, penyebab munculnya kondisi buruk ini sedikit demi sedikit mulai
dinisbahkan pada Islam. Sehingga jadilah Islam sebagai pihak yang dipersalahkan!
Di sisi lain, ‘kebangkitan dunia Barat’ dengan sekularisme sebagai ruhnya, diakui
banyak pihak telah berimbas ke dunia Islam yang sedang sekarat. Dunia Islam mulai melihat
peradaban Barat sebagai peradaban yang lebih menjanjikan kemuliaan dan kebangkitan
dibandingkan Islam. Ide- ide semisal demokrasi, liberalisme, pluralisme, manfaatisme dan isme-
isme sekuleris lainnya tanpa ragu mereka ambil sebagai nyawa baru, bahkan sebagai tuhan-tuhan
baru. Sementara dalam konteks keperempuanan, ide feminisme yang juga merupakan derivasi
sekulerisme dan di negeri kelahirannya diklaim sebagai spirit bagi ‘bangkitnya kesadaran
eksistensial’ kaum perempuan, kemudian diadopsi mentah-mentah oleh sebagian kalangan
muslimah yang kadung kecewa dengan agama mereka yang kadung dicap ajaran 'kolot'.
Saat itulah gerakan muslimah kembali menggeliat. Tetapi kali ini gerakan muslimah
tampil dengan format dan nafas yang baru, yakni nafas ‘kekufuran’ yang ditawarkan
sekularisme. Tanpa tedeng aling-aling, mereka hujat agama sebagai biang ketidakadilan dan
kejumudan kaum perempuan, sehingga menurut anggapan mereka agama sudah saatnya didaur
ulang atau bahkan dipeti eskan. Lantas jargon ‘pembebasan perempuan’ pun mulai bergaung
demikian kencang di dunia Islam, mengalahkan seruan untuk segera menetapi kembali
‘keseimbangan pembagian peran’ yang sesungguhnya ditawarkan Islam namun selama ini
terabaikan.
Muslimah di era ini memang telah larut dalam euphoria pembebasan. Ibarat kran yang
lepas, muslimah saling berebut kesempatan melepas segala atribut dan pagar pembatas
kebebasan. Jilbab, perwalian, pewarisan, institusi perkawinan mulai dipertanyakan. Kesetaraan
tanpa bataspun menjadi sebuah impian, sementara peran ‘tradisional’ sebagai isteri dan ibu
berubah menjadi hal yang menakutkan. Disinilah sekulerisme memainkan peranan strategisnya:
dalam urusan kehidupan agama tak perlu diberi tempat. Karena bagi mereka agama hanyalah
layak menjadi sajian ‘pelengkap’ saat ritual perkawinan dan upacara penguburan dilangsungkan!
Bahagiakah mereka? Bisa jadi di awal ya. Akan tetapi pada akhirnya sebagian dari
mereka tersentak kaget melihat kenyataan, bahwa feminisme ternyata hanya menjanjikan
kebahagiaan maya. Perempuan muslim bukan bertambah mulia, dan umatpun bukan semakin
berjaya. Kaum muslimah justru kian kehilangan jati diri, menjadi makhluk asing yang tak bisa
membangun harmoni dalam habitat kemanusiaannya sendiri. Sementara umat dan masyarakat
nyaris ambruk karena kehilangan pilar penyangga, setelah kaum perempuan mencampakkan
tabiat fitrinya sebagai pengayom dan penjaga generasi. Sebuah pengakuan yang jujur, ketika
seorang Danielle Crittenden, penulis buku bertajuk “What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why
Happiness Eludes The Modern Women” (1999) mengungkap hasil dari 10 tahun meneliti fakta
kehidupan perempuan modern di Amerika. Menurutnya, perempuan-perempuan itu ternyata tak
pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran
feminisme yang menurutnya tak lebih dari sekedar mitos. Betapa tidak, keberhasilan meraih
kesetaraan tanpa batas, ternyata harus mereka bayar dengan merebaknya kasus perceraian,
kesendirian dimasa tua, anak-anak bermasalah, persaingan yang melelahkan, yang seluruhnya
berarti ‘ketidakbahagiaan’.
Sayang, fakta rusaknya masyarakat dan kejujuran wanita barat akan ‘bullshitnya’
pemikiran feminisme ini tak lantas menyadarkan kaum muslimah di negeri-negeri Islam, bahwa
apa yang mereka harap dari gemerlapnya dunia Barat beserta ide yang ditawarkannya hanyalah
utopia belaka. Ketikapun muncul kesadaran, mereka tak sampai terhantarkan pada kesimpulan
bahwa kebahagiaan hakiki hanya akan terwujud dengan kembalinya mereka pada kehidupan
Islam. Pada taraf ini, mereka menganggap bahwa agama sudah terlanjur cacat. Sekulerisme rupa-
rupanya sudah demikian kuat tertancap, hingga agama tidak lagi mendapat tempat, dan tolok
ukur prestise maupun kebahagiaan pun tidak lagi bersandar pada ukuran-ukuran agama,
melainkan bersandar pada hal-hal yang bersifat fisik dan materil. Dengan frame inilah gerakan
muslimah terus menggeliat, berubah bentuk, berlari, akan tetapi tetap tanpa arah.

Gerakan Muslimah dan Potret Buram Umat Islam Kini


Ada satu kenyataan yang seharusnya dikritisi dengan akal jernih dan bening hati,
bahwa persoalan umat hari ini sesungguhnya bukan sekedar persoalan ketertindasan perempuan.
Kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, kebodohan, submission, mal nutrisi, dan seribu satu
persoalan lain yang selama ini oleh kalangan feminis diklaim sebagai ‘persoalan perempuan’
senyatanya tidak hanya menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Bahkan kita mau jujur mengakui,
justru inilah sesungguhnya potret keseluruhan wajah kita --umat Islam—pada hari ini!!!
Tentu saja, kesadaran akan kenyataan seperti ini semestinya tidak hanya dimiliki oleh
kaum perempuan, tetapi juga oleh umat Islam secara keseluruhan. Yakni bahwa saat ini, umat
memang sedang sakit! Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya perubahan dan kemajuan
juga tidak hanya menjadi milik kaum perempuan saja atau laki-laki saja, tetapi menjadi milik
semua komponen umat. Sebab jika tidak, maka yang akan terjadi adalah situasi blunder dan jalan
ditempat. Masing- masing berkutat menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri, tanpa mau
melihat bahwa sesungguhnya ada persoalan besar yang menjadi akar persoalan mereka secara
keseluruhan.
Kesalahan kita selama ini, termasuk yang terjadi pada pergerakan muslimah adalah
selalu berpikir dan memandang masalah dengan paradigma kacamata kuda –yang ironisnya
kacamata itu kita pinjam dari PERADABAN Barat (bukan sekedar karena 'dari Barat')--; parsial,
dikotomik, individualistik dan tidak mendasar (tidak ideologis). Ketika melihat apa yang mereka
sebut dengan ’persoalan perempuan’ misalnya, mereka selalu melihat dari sudut pandang yang
sama: sudut pandang feministik, sudut pandang keperempuanan! bahwa ada masalah disparitas
gender disana, bahwa ada dominasi budaya patriarki disana, bahwa hanya perempuan yang harus
mengatas persoalan perempuan, dan sebagainya1. Padahal yang sesungguhnya terjadi –sekali
lagi—adalah, ini persoalan umat yang harus segera diselesaikan secara bersama-sama. Karena
bukankah perempuan dan laki-laki adalah bagian dari ummat?
Dengan demikian, persoalannya sekarang bukan bagaimana agar gerakan perempuan
berusaha memberdayakan perempuan, dengan sekedar misalnya mendorong mereka berperan
aktif seluas-luasnya di ranah publik, termasuk di dunia politik sehingga terbangun bargaining
yang sama kuat antara kaum perempuan dan laki-laki. Bukan pula sekedar berpikir bagaimana
mendekonstruksi bangunan budaya (dalam hal ini yang dimaksud adalah agama Islam) yang
dianggap terlalu memihak laki-laki hingga membuat kaum perempuan tersubordinasi. Karena
ternyata persoalan ketertindasan (perempuan), diskriminasi (perempuan), kemiskinan
(perempuan) dan sebagainya bukan sekedar persoalan perempuan versus laki-laki. Persoalan-
persoalan tadi ternyata hanyalah merupakan bagian kecil saja dari sedemikian banyak
problematika yang dihadapi umat, yang jika ditelusuri ternyata berpangkal pada akar yang sama
yakni rusaknya tatanan kehidupan yang diterapkan saat ini, bukan lantaran kultur patriarkat yang
mysoginik.
Tatanan hidup yang dimaksud tak lain adalah tatanan hidup sekuleristik yang tegak di
atas aqidah sekuler yang senyatanya kini sedang mengungkung kehidupan kaum muslimin
dimanapun. Aqidah ini menafikan peran Sang Khaliq dalam pengaturan kehidupan (fashlu ad-
diin ‘an al-hayaah) dan pada saat yang sama justru memberikan hak prerogratif pengaturan
kehidupan tersebut kepada manusia, sehingga manusia bertindak sebagai rabbul ‘aalamiin. Dari
aqidah rusak ini, wajar jika kemudian lahir sistem hidup yang rusak pula; sistem ekonomi
kapitalistik, tata sosial individualistic dan rancu, sistem politik opportunistik, sistem pendidikan
materialistik, tatanan budaya yang hedonistik, serta aturan-aturan cabang lainnya yang tak kalah
rusaknya dan kini terus memunculkan krisis multidimensi berkepanjangan.
Secara fakta, kerusakan ini adalah hal yang niscaya. Bagaimana bisa, manusia yang
serba lemah dan terbatas mampu membuat aturan kehidupan yang sempurna tanpa cacat, yang
mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi semua orang, sementara tentang hakekat
penciptaan dirinyapun mereka tidak tahu? Sedangkan secara aqidah, Allah SWT telah
mengingatkan kita, bahwa sepanjang manusia mengingkari hak Rubbubiyah Allah, maka
manusia akan terperosok pada kehidupan yang serba sempit lagi hina.
Firman Allah Ta’ala :
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan (syari’at)Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan
yang sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". (QS.
Thaha[20]:124)
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan
sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami
telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang
menghinakan“. (QS. Al-Mujadilah[58] : 5)
Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir mendasar yang tidak dimiliki perspektif
feministik; berpikir bahwa persoalan kita yang sedemikian banyak, ternyata berakar pada satu
soal saja, yakni persoalan ideologis; Ketiadaan sistem Islam. Selama persoalan ini tidak
terpecahkan, maka selama itu pula kita akan larut dalam krisis tak berkesudahan.
Dalam kerangka perjuangan mengembalikan sistem kehidupan Islam inilah seharusnya
gerakan muslimah bangkit dan bergerak mengambil peran. Yakni dengan cara bersinergi dengan
gerakan umat secara keseluruhan untuk melakukan perubahan yang bersifat mendasar. Gerakan
muslimah tidak boleh lagi terus berkutat pada persoalan-persoalan cabang (‘persoalan
perempuan’), karena selain hanya akan melalaikan umat dalam persoalan-persoalan yang parsial,
lebih dari itu justru akan kian mengukuhkan dominasi sistem kufur dalam kehidupan kaum
muslimin.
Gerakan Muslimah dan Tantangan Ke-Depan
Memang tidak mudah membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi
Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian. Apalagi hingga saat ini sekularisme masih
menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan
sekuler, sementara pemahaman ummat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Tak heran jika,
pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan
syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan
Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang
menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat.
ika kita tengok kembali ke belakang, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya tak jauh
berbeda dengan apa yang dialami kaum muslim generasi awal. Mereka --para aktivis gerakan
Islam yang terdiri dari kalangan shahabat dan shahabiyat ra-- dengan idealisme yang diembannya
menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Akan tetapi dengan
keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan
kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna,
Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak,
membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan
dengan ‘kekufuran’, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan
menggantinya dengan cahaya Islam.
Oleh karenanya, dari merekalah sepatutnya hari ini kita mengambil teladan, apa yang
harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena seperti yang sudah dijelaskan
di awal, merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang dipenuhi
dengan semangat ruhiyyah dan nilai-nilai Ilahiyyah. Mereka radiallahu ‘anhum, adalah generasi
terbaik yang dikader dan dibina langsung oleh Rasulullah Saw, suri tauladan terbaik. Sehingga
kita melihat bahwa kehidupan mereka juga senafas dengan kehidupan Rasulullah Saw, nafas
perjuangan li ilaa’i kalimatillah.
Berkaca dari sejarah itulah maka, kita melihat ada beberapa hal yang harus diluruskan
dari gerakan muslimah saat ini.
Pertama, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadikan aqidah dan hukum Islam
sebagai landasan gerak dan perjuangannya, bukan ide feminisme ataupun ide-ide lainnya yang
asumtif dan sekularistik. Harus diyakini, bahwa hanya dengan menjadikan aqidah dan hukum
Islamlah gerakan muslimah akan membawa berkah berupa kemuliaan umat yang hakiki dibawah
naungan ridha Illahi.
Kedua, pergerakan perempuan (muslimah) harus memiliki visi dan misi yang sama
dengan pergerakan kolektif (jama’ah) Islam, yakni bertujuan menegakkan kalimah Allah, dengan
cara membina dan menyebarkan pemikiran Islam yang jernih dan utuh (kaaffah) di tengah-
tengah umat, terutama di kalangan muslimah lainnya; juga melakukan pergolakan pemikiran dan
perjuangan politik, sehingga kesadaran akan rusaknya sistem kehidupan yang mengungkung
mereka saat ini dan keharusan kembali kepada sistem Islam akan tersebar menyeluruh di setiap
komponen umat, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian yang menjadi titik tekan
perjuangan gerakan perempuan --sebagaimana pergerakan umat secara umum--- ada pada tataran
strategis, bukan hanya pada tataran bagaimana memperjuangkan agar perempuan berada pada
posisi puncak pengambil kebijakan dengan dalih kesetaraan --karena Islam telah memberi
kedudukan yang setara di antara keduanya (QS. 49:13)--, melainkan berupaya agar perpektif
Islamlah yang menjadi landasan berpikir bagi para pengambil kebijakan dan pemegang
kekuasaan, sehingga dipastikan hanya perspektif inilah yang akan mewarnai setiap interaksi
masyarakatnya.
Ketiga, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadi bagian yang bersinergi dengan
pergerakan kolektif Islam. Karena sebagaimana diketahui, para aktivis da’wah dimasa Rasulullah
Saw, baik laki-laki maupun perempuan, dibina dan bergerak dengan mengikutitanzhim tertentu
yang langsung berada di bawah komando Rasulullah Saw sebagai pemimpin gerakan. Dengan
demikian, pergerakan muslimah tidak harus menjadi pergerakan tersendiri yang terpisah dari
pergerakan laki-laki, karena hal ini hanya akan menyulitkan koordinasi dan memperlemah
kekokohan barisan perjuangan membangkitkan umat. Di samping itu, jika saat ini kita melihat
bahwa gerakan-gerakan perempuan yang ada cenderung terpisah dari gerakan umat secara
keseluruhan, ini karena mereka memang berangkat dari asumsi-asumsi yang bercorak
individualistik, termasuk ketika memandang masalah yang menimpa perempuan sebagai masalah
perempuan. Sementara itu, Islam memiliki perspektif yang khas dan universal, dimana setiap
permasalahan yang muncul akan dipandang sebagai masalah manusia, tidak dibedakan sebagai
masalah laki-laki saja atau perempuan saja yang harus menjadi tanggungjawab seluruh umat, dan
harus dipecahkan dengan pemecahan yang sama yakni dengan Islam. Sistem Islam inilah yang
akan memberi pemecahan yang holistic, tuntas dan sempurna, serta akan menjamin keadilan dan
kebahagiaan bagi seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, karena sistem ini
berasal dari Dzat yang menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang Maha adil
dan Maha Sempurna. Dengan perspektif inilah, gerakan perempuan Islam menjadi bagian
gerakan kolektif umat yang berjuang untuk mewujudkan sistem ini di tengah-tengah masyarakat

Keempat, disamping harus memiliki kejelasan fikrah (konsep/pemikiran) dan thariqah


(tatacara merealisasikan pemikiran), serta ikatan yang shahih di antara para aktivisnya,
pergerakan perempuan (muslimah) --sebagaimana juga pergerakan jama’ah Islam yang menjadi
induknya-- harus memiliki wawasan politik global, dalam arti memiliki kesadaran bahwa umat
Islam di dunia adalah umat yang satu, dan harus menjadi umat yang satu, baik secara pemikiran
maupun secara politis. Sehingga perjuangan pergerakan muslimah tidak boleh terbatasi oleh
sekat-sekat imajiner bernama negara, melainkan lebur dalam aktivitas pergerakan muslimah dan
umat Islam lainnya yang berjuang di seluruh pelosok bumi mewujudkan satu kepemimpinan
politis yang menerapkan Islam atas seluruh umat.
Kelima, gerakan perempuan (muslimah) harus bersifat politis, yakni mengarahkan
perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah-tengah masyarakat
sesuai aturan Islam. Termasuk ke dalam konteks ini adalah mengarahkan upaya pemberdayaan
politik perempuan pada target optimalisasi peran dan fungsi kaum perempuan sebagai pencetak
dan penyangga generasi. Dengan demikian arah pemberdayaan tidak semata focus pada
optimalisasi peran publik saja (sebagaimana perpektif feministic yang mendikotomiskan sektor
publik dan domestik) melainkan mengarah pada upaya optimalisasi seluruh peran perempuan,
baik di sektor publik maupun domestik sesuai tuntunan syariah. Pada tataran praktis, hal ini
dilakukan dengan cara membina pemikiran dan pola sikap mereka dengan Islam, agar terbentuk
muslimah berkepribadian Islam tinggi, disamping mengarahkan mereka agar memiliki kesadaran
politik Islam yang juga tinggi. Yakni dengan memahamkan mereka akan hukum-hukum Islam
yang berkaitan dengan pengaturan umat, serta mendorong mereka agar senantiasa mengikuti
perkembangan peristiwa politik dalam dan luar negeri mereka, karena kesadaran politik Islam
yang dimaksud adalah mereka memahami dan meyakini bahwa pemeliharaan urusan-urusan
umat (politik dalam maupun luar negeri) harus diatur dengan syari’at Islam. Dengan cara inilah
kaum muslimah dipastikan akan mampu mendidik generasi pemimpin yang berkepribadian Islam
mumpuni, cerdas dan berkesadaran politik tinggi. Dan jika ini berhasil, maka bisa dipastikan
kepemimpinan dunia akan kembali ke tangan umat Islam, sebagaimana yang dulu pernah terjadi
di masa-masa awal kebangkitan Islam, dimana dipastikan pada saat itu, kehidupan yang ideal
dan membahagiakan akan dirasakan oleh seluruh umat, tidak hanya kaum laki-laki saja, tapi juga
perempuan. Insya Allah
Wallahu a’lam bi ash-shawwab

Anda mungkin juga menyukai