Pertemuan Kedua
R. Widya Setiabudi S., S.IP.,S.Si.,MT.
Lenny Puspadewi, S.IP., M.Si.
Jurusan Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Padjadjaran, Bandung
2009
Perspektif Dalam Memandang
Int. Regimes
Realism vs Liberalism (Neoliberal
Institutional)
Diawali dengan pandangan terhadap konflik
dan kerjasama internasional
Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional adalah bentuk interaksi
yang dilakukan antara negara-negara ataupun
melibatkan aktor non-negara yang menyadari
kesalingtergantungan yang mengelilingi mereka
Terjadi konsultasi antar aktor-aktor dan dapat
terbentuk perjanjian formal serta institusi-
institusi bagi konsultasi itu (Lentner, 1974: 87)
Konsep kerjasama (cooperation) seringkali
disamakan dengan konsep harmoni (harmony)
Menurut Keohane, kerjasama harus dibedakan
dengan harmoni.
Harmoni menunjuk kepada situasi di mana kebijakan-
kebijakan para aktor (dalam mengejar kepentingan pribadi
mereka tanpa memperhatikan yang lain) secara otomatis
memfasilitasi pencapaian tujuan-tujuan pihak lain. Ketika
harmoni yang terjadi, maka kerjasama tidaklah penting. Ia
bahkan bisa berbahaya ketika individu-individu tertentu
berkonspirasi untuk mengeksploitasi yang lain (Keohane,
1984: 51).
Kerjasama terjadi ketika aktor-aktor menyesuaikan tingkah
laku mereka terhadap preferensi-preferensi aktual ataupun
yang diantisipasi oleh aktor lain, melalui sebuah proses
koordinasi kebijakan (Lindblom, 1965: 51-2).
Kerjasama merupakan sebuah objek yang sukar untuk
dipahami dan sumber-sumbernya memiliki banyak
segi dan saling bertalian
Oleh karena itu, sangatlah tidak mudah, atau dalam
bahasa Keohane ’impossible’, untuk
menginvestigasinya dengan tindakan ilmiah yang
ketat
Hal inilah yang nampaknya menjadi alasan bagi
Keohane untuk menempatkan pertimbangan moral
pada posisi penting (Lindblom, 1965: 10).
Kerjasama dalam Sistem Internasional yang
Anarki: Realisme dan Neo-liberal Institusionalisme
Menurut Axelrod dan Keohane untuk mencapai
kerjasama dalam sistem yang anarki memang
merupakan hal yang sulit karena tidak adanya
pemerintahan bersama untuk menjalankan peraturan
dan dengan standar masyarakat domestik, institusi
internasional lemah di dalam anarki
Kecurangan dan muslihat merupakan hal yang lumrah
dalam kerjasama dengan sistem yang anarki. Pada
beberapa situasi, kerjasama terjadi ketika aktor
menyesuaikan perilaku mereka untuk menghadapi atau
mengantisipasi aktor lainnya (Axelrod, 1984 : 226)
Dalam sebuah penelitian yang mengangkat tema
kerjasama internasional, salah satu pertanyaan yang
perlu dijawab adalah “bagaimana kerjasama konsisten
dengan sistem internasional yang anarki?”
Pertanyaan ini telah coba dijawab oleh Seyom Brown,
meski argumennya juga dapat digunakan untuk
menjelaskan kerjasama dalam kacamata realis
Dalam politik internasional di mana negara menjadi aktor
utama dan preferensi nasional dianggap sebagai wilayah
kedaulatan negara, kerjasama merupakan hasil kebetulan
perhitungan rasional negara-negara tentang bagaimana
mencapai kepentingannya
Tidak ada pihak yang lebih tinggi dari negara yang dapat
menekannya untuk memilih suatu tindakan tertentu
(Brown, 1992: 28-32).
Apa yang hendak dikatakan dalam hal ini adalah bahwasanya
negara merupakan aktor yang selfish, berbeda dengan
anggapan kaum neo-liberal institusionalis yang meskipun
menganggap negara juga sebagai aktor rasional, tetapi
kerjasama dipandang sebagai tindakan ‘kebersamaan’ untuk
mencapai kepentingan bersama (common interest), sehingga
dikatakan negara mengejar absolute gains
Oleh karena itu, Brown membantu menjawab pertanyaan
mengenai relevansi sistem anarki dengan kerjasama
internasional sebatas bagaimana sistem yang anarki tidak
menghambat negara untuk menciptakan kerjasama
Kaum neo-liberal institusionalis meyakini bahwa kerjasama
bukanlah sebuah kebetulan, melainkan tindakan yang disadari
untuk mencapai tujuan bersama dan institusi internasional ada
sebagai salah satu cara memfasilitasi kerjasama internasional.
Memang tidak semua institusi internasional memfasilitasi
kerjasama pada tatanan global, tetapi hampir seluruh bentuk
kerja sama internasional dituangkan dalam sebuah bentuk
institusi (Keohane, 2004: 44).
Realisme
Kaum realis menganggap negara sebagai sebuah
aktor yang bersifat unitaris dan rasional
Negara dikatakan sebagai sebuah aktor yang unitaris
karena setiap keputusan yang diambil oleh para pemimpin
sebuah negara atau birokrat yang ada di dalam sebuah
negara dianggap sebagai keputusan negara tersebut
Sedangkan negara dianggap sebagai aktor yang rasional
dikarenakan negara mampu untuk mempertimbangkan
beberapa alternatif tindakan untuk mencapai tujuan yang
diinginkannya, dengan merujuk pada kapabilitas yang
dimilikinya
Realisme (cont.)
Kaum realis memahami bahwa ada beberapa masalah yang
menghalangi pembuatan keputusan, seperti informasi yang
kurang, ketidakpastian tindakan negara lain, bias dan
kesalahpahaman persepsi mengenai keadaan sistem internasional
Tetapi, kaum realis menganggap bahwa para pembuat keputusan
sudah mempertimbangkan masalah-masalah tersebut dan
berusaha untuk mencapai keputusan yang terbaik demi mencapai
tujuan negara.
Selanjutnya, kaum realisme berasumsi bahwa isu yang menjadi
fokus perhatian negara adalah isu mengenai keamanan nasional
Negara berusaha untuk memaksimalkan apa yang disebut sebagai
kepentingan nasional, di mana negara terkadang merasa perlu untuk
menggunakan paksaan untuk mendapatkannya. Dengan kata lain, negara
berusaha untuk mendapatkan keinginan mereka. (Viotti dan Kauppi,
1999: 55)
Selain memusatkan perhatiannya pada negara, kaum realis juga
memusatkan perhatiannya pada power dan power politik
Bagi kebanyakan kaum realis, perjuangan untuk mendapatkan
power merupakan inti dari hubungan internasional
John Mearsheimer mengatakan bahwa negara besar (great
power) berusaha untuk selalu mencari kesempatan untuk
memperoleh power melebihi lawannya. Tujuannya adalah
untuk menjadi hegemon
Ketika suatu negara berhasil mencapai posisi tersebut, hal itu
akan menjadi status quo power bagi mereka
Tindakan negara yang berusaha untuk meningkatkan power
dan menjadi hegemoni didasarkan pada keadaan yang ada
dalam sistem internasional.
Sistem internasional yang ada memaksa negara untuk mencari
kesempatan untuk memaksimalkan power mereka dalam
menghadapi negara lainnya.
Sistem internasional adalah anarki.
Anarki yang dimaksud bukan berarti kacau
Sistem internasional terdiri dari negara-negara yang independen yang tidak memiliki
kewenangan terpusat di atas mereka
Kedaulatan, dalam kata lain, berada di tangan negara karena tidak ada badan tertinggi
yang memimpin dalam sisten internasional. Atau dengan kata lain tidak ada
pemerintah di atas pemerintah.
Negara besar menginginkan kapabilitas militer ofensif, yang memberikan mereka
kemampuan untuk menyakiti dan memungkinkan untuk saling menghancurkan
satu sama lain.
Power militer suatu negara biasanya diidentikkan dengan persenjataan yang
dimilikinya.
Negara tidak dapat memastikan hal apa yang menjadi pusat perhatian negara lain.
Pusat perhatian suatu negara dapat berubah secara cepat, jadi negara lain tidak dapat
memastikannya apakah kebijakan negara tersebut bersifat mengancam atau
mendukung dalam memandang negara lain tersebut.
Survivalitas merupakan tujuan utama dari negara besar.
Secara spesifik, negara berusaha untuk mempertahankan integritas wilayah mereka dan
juga kewenangan mereka secara politik terhadap wilayah tersebut
Survivalitas mendominasi motivasi suatu negara karena sekali suatu negara
ditaklukkan oleh negara lain, mereka tidak lagi memiliki kewenangan untuk
memaksakan tujuan mereka kepada negara lain.
Negara besar adalah aktor yang rasional.
Mereka menaruh perhatian mereka pada kondisi lingkungan eksternal dan mereka
memikirkan strategi untuk dapat bertahan dalam kondisi tersebut. (Mearsheimer, 2001:
30-31)
Pendekatan Neo-Liberalisme Institusional
Constitutional institutions
Fundamental institutions
Issue-specific institutions atau ’regimes’
Constitutional institutions
Institusi konstitusional meliputi aturan-aturan dan
norma-norma utama masyarakat internasional, yang
tanpanya masyarakat yang terdiri dari negara-negara
berdaulat tidak akan ada
Bentuk institusi konstitusional yang paling umum
dikenal adalah norma kedaulatan, yang mengatakan
bahwa di dalam negara kekuasaan dan otoritas
tersentralisasi dan bersifat hirarkis, sementara di luar
negara tidak ada otoritas yang lebih tinggi
Norma kedaulatan didukung oleh sejumlah norma
pendukung, seperti hak penentuan nasib sendiri dan
norma non-intervensi.
Fundamental institutions
Institusi fundamental berpijak diatas pondasi institusi
konstitusional
Institusi fundamental merepresentasikan norma-norma dan
praktek-praktek dasar yang diterapkan oleh negara untuk
memfasilitasi ko-eksistensi dan kerjasama di bawah kondisi
internasional yang anarki
Institusi ini meliputi praktek-praktek dasar yang dicapai oleh
negara ketika mereka berusaha untuk mengkolaborasikan atau
mengkoordinasikan tingkah laku mereka
Di dalam sistem internasional modern, praktek-praktek institusi
fundamental ini di antaranya meliputi multilateralisme dan
hukum internasional yang bersifat kontraktual.
Issue-specific institutions (’regimes’)
Institusi isu spesifik atau rezim merupakan institusi
internasional yang paling nyata dan jelas dari semua
institusi internasional yang ada
Ia merupakan seperangkat aturan, norma, dan prosedur
pengambilan keputusan yang diformulasikan negara-
negara untuk menentukan siapa yang menjadi aktor-
aktor yang sah dan tindakan apa yang sah dalam suatu
domain tertentu kehidupan internasional
Contoh rezim diantaranya Nuclear Non-Proliferation
Treaty, Framework Concention on Global Climate
Change, Ottawa Convention on Anti-Personnel
Landmines, dan International Convenant on Civil and
Political Rights.