Anda di halaman 1dari 4

PERILAKU YANG MERUSAK LINGKUNGAN

Mari kita lihat beberapa contoh dari pernyataan di atas, bagaimana perilaku manusia dirubah oleh kondisi
lingkungan hidupnya. Orang Indonesia pada umumnya jika dia berada di negaranya (atau di daerahnya
masing-masing) tak mau antri di dalam menunggu sesuatu, tak mau membuang sampah pada tempatnya,
tak mau menggunakan jembatan penyeberangan saat menyeberang jalan, tak mau menjadi pengemudi
yang santun di jalanan. Sehingga seringkali kita melihat situasi yang semrawut, sampah-sampah
berserakan, orang-orang menyeberang jalan tanpa aturan, kendaraan umum yang ugal-ugalan tak tau
aturan di dalam berlalu-lintas, sampah-sampah berserakan, cekcok dan rasa tak nyaman gara-gara tak
antri. Situasi ini sering kita lihat di kota-kota besar di Indonesia, seperti juga kota Manado saat ini. Situasi
lingkungan perkotaan yang terjadi di kota ini adalah hasil dari suatu akal sehat bersama yang cenderung
berbentuk aksi negatif. Kondisi tersebut sangat memalukan diri sendiri, apalagi dilihat oleh bangsa lain
yang sedang berkunjung ke daerah kita. Dan yang paling penting situasi ini membuat tak nyaman bagi
masyarakat kota ini yang masih mau mengikuti aturan.

mari kita lihat perilaku orang-orang Indonesia (umumnya), apabila berada di luar negara Indonesia,
seperti di negara tetangga Singapura (contoh). Mereka melakukan tindakan/aksi yang positif dimana
semuanya pada “nurut� atau patuh dengan situasi negara ini. Harus antri untuk menunggu apa saja
seperti menunggu taksi, antri di toko, dll, pokoknya semuanya mesti antri. Dilarang meludah di lantai,
dilarang buang sampah sebab akan dikenakan denda. Tak ada satupun orang Indonesia bahkan orang
Manado barangkali yang ingin mencoba di denda di Singapura (misalkan) gara-gara menyeberang
sembarangan atau meludah dan membuang sampah sembarangan. Selain mahal bayarannya, juga ada rasa
malu terhadap tuan rumah negara itu. Begitulah, perilaku orang-orang Indonesia (termasuk di dalamnya
orang dari Sulawesi Utara) yang dengan cepat beradaptasi membentuk perilaku yang baik mereka di
negara orang. Ternyata yang namanya orang Indonesia termasuk didalamnya orang Sulawesi Utara itu
umumnya bisa diajak teratur di negeri orang dan ini suatu yang sangat luar biasa (fantastik). Mengapa
demikian? Ya, pasti ada sesuatu yang membuat manusia-manusia itu melakukan perubahan-perubahan
tersebut. Menurut S. Kaplan dalam buku Psikologi Lingkungan (Sarwono, 1992) bahwa manusia itu pada
dasarnya adalah mahkluk yang berakal sehat (man is reasonable person). Sebagai makhluk berakal sehat,
maka ia selalu ingin menggunakan akal sehatnya, namun ia tidak selalu dapat melakukannya.

Hal ini bergantung pada faktor yang mempengaruhinya seperti situasi dan kondisi lingkungan. Masih
menurut S. Kaplan bahwa manusia sebagai makhluk berakal sehat berbeda dari manusia sebagai makhluk
rasional. Selanjutnya menurut Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (pakar psikologi) bahwa rasio tidak
bergantung pada situasi, sedangkan akal sehat bergantung pada situasi. Sebagai makhluk rasional,
misalkan manusia tahu apabila membuang sampah sembarangan, ia akan mengotori lingkungan dan hal
ini berlaku dimana saja dan kapan saja. Namun, jika manusia itu kebetulan sedang berada di tempat yang
memang sudah kotor dan penuh dengan sampah, akal sehatnya berkata bahwa tidak apalah ia menambah
sedikit sampah lagi di tempat itu daripada dia harus membawanya ke tempat sampah yang belum tentu
ada di sekitar tempat itu.

Apabila ia berada di suatu tempat yang memang terjaga kebersihannya, akal sehatnya akan mengatakan
bahwa tidak layak ia mengotori tempat itu walau hanya dengan setitik abu. Tempat sampah sudah tersedia
disitu sehingga manusia dengan akal sehatnya membuang sampah pada tempatnya.

Beberapa contoh yang kita lihat di Singapura (salah satu negara contoh), lingkungan perkotaannya
memperhatikan akal sehat manusianya, dimana pemerintah negara ini sengaja menyediakan sarana-sarana
yang mendukung aturan-aturan yang mereka buat. Ada “zebra cross� yang kira-kira berjarak 100
meter melintas di jalan raya “Orchard Road� sebagai area tempat menyeberang untuk menunjang
disiplin bagi pejalan kaki. Ada tempat-tempat sampah yang disiapkan disana untuk menunjang aturan
kebersihan lingkungan. Ada ruang khusus bagi perokok baik di kotanya maupun di tempat-tempat pusat
keramaian untuk menunjang “saling menghormati orang lain� didalam mendapatkan hak udara
bersih. Ada tulisan “Please Queue�/silahkan antri dan ada lintasan khusus untuk itu. Ada jalan-
jalan khusus di “High way�/jalan tol-nya yang bertuliskan “Keep Left�/silahkan ambil jalur
kiri bagi truk-truk, dan jalur itu jelas bagi pengemudinya. Tidak ada satupun yang tidak “Keep
Left� sebab ada sanksi disana. Semua itu menunjang suatu kesepakatan bersama dalam berdisiplin.
Akal sehat mereka dilatih untuk melakukan aksi positif yang menguntungkan orang banyak.

Melatih memiliki kesadaran dan sportifitas apabila telah berbuat kesalahan atau penyimpangan terhadap
kesepakatan yang sudah disetujui. Satu contoh, ada teman saya (warganegara Singapura) yang sengaja
membayar sekian dollar Singapura yang dimasukkan pada satu kotak yang tersedia, sebab dia sadar sudah
melewati kecepatan kendaraan yang telah ditentukan oleh pemerintah negaranya dan ia harus membayar
denda. Dia tidak mau menunda membayarnya, sebab jika ia terlambat ia dengan mudah diketahui dan dia
akan mendapatkan sanksi lebih berat sebab nomor plat mobilnya sudah otomatis tercatat melalui kamera-
kamera yang terpasang di jalan raya. Tak heran, jika berkunjung di negara ini, polisi yang berkeliaran
hanya cukup dihitung dengan jari tangan saja, mungkin karena masyarakatnya kurang melakukan
pelanggaran.

Ada situasi fisik yang terlihat dan langsung mengatur gerak-gerik atau perilaku manusia-manusianya.
Saling percaya disana dan terlebih saling menghormati hak hidup orang lain dan hak mendapatkan
sumberdaya alam tercipta akibat lingkungan fisik yang teratur. Tidak ada yang main curang disana, yang
sengaja mencari-cari kesalahan masyarakat disana hanya untuk mendapatkan tambahan pendapatan kota
atau negara. Umumnya semuanya patuh, karena mereka sangat merasakan akibat kepatuhannya. Negara
dan kota mereka menjadi baik, tertata rapih, indah dan sehat. Tak heran jika mereka mendapatkan
predikat kebersihan “Mr. Clean of Asia�. Jadi ada aturan disana, ada sanksi bagi pelanggar aturan
dan semua itu (aturan & sanksi) di tunjang oleh kelengkapan fisik (sarana-sarana) lingkungan tersebut.

Kembali ke negara kita Indonesia atau langsung saja kita ke kota Manado (misalkan), kota kecil yang
semakin marak saja pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dan semakin marak pula pengrusakan
lingkungan dan pelanggaran-pelanggaran di berbagai sektor. Orang-orang yang patuh di negara orang
(seperti Singapura) yang baru pulang, kini berbondong-bondong melakukan pelanggaran, membuang
sampah dimana-mana, melakukan pengrusakan jalan-jalan raya melalui truk-truk yang mengangkut
tanah-tanah bakal urugan ke laut untuk keperluan usaha pribadinya, melanggar jam-jam angkut tanah
yang sudah disepakati (malam hari), dan melakukan tindakan-tindakan kompromi yang merugikan
masyarakat, merampas hak masyarakat terhadap sumberdaya alam, masyarakat menyeberang
sembarangan di jalan-jalan raya tanpa ada rasa takut, meludah di sembarangan tempat, buang air kecil di
sembarangan tempat (umumnya dilakukan kaum lelaki, maaf), sengaja mengotori depan rumah orang
dengan tumpukan sampah, parkir sembarangan di jalan raya yang mengakibatkan macet, mengotori
sungai-sungai dengan kotoran-kotoran ternak dan sampah, menebang pohon-pohon peneduh,
“menyegat� taksi dan kendaraan umum di sembarang tempat, merokok di ruang AC tak peduli apa
akibatnya bagi yang tidak merokok dan menghirup asapnya. Begitulah yang terjadi di kota Manado,
semuanya serba bisa dilakukan dan umumnya akal sehat masyarakatnyapun seolah menyetujui kondisi
ini. Tak ada aturan lagi rasanya.

Masyarakat terkena sindrom “cuek� atau tak peduli lagi dengan sekelilingnya. Semua menjadi hal
yang biasa dan layak dilakukan. Mengapa demikian? Ya, karena yang ada di kota Manado hanyalah
aturan dan sanksinya yang “½ matang� atau kurang jelas dan tidak “membumi� dibuatnya
atau cenderung “asal ada saja�. Aturan-aturan tersebut belum ditunjang dengan pembentukan
lingkungan fisik, misalkan tidak adanya lokasi tempat menyeberang yang benar dan direncanakan, tidak
memiliki jembatan penyeberangan, tidak memiliki halte yang memadai yang dirancang dengan
perhitungan matang, tidak memiliki terminal yang terencana baik, tidak memiliki
“guidelines/penuntun� bagi pemanfaatan lahan kota Manado, tidak digunakannya aturan bagi
pengusaha lahan penimbunan pantai Manado dan tidak memiliki aturan-aturan yang siap dilaksanakan
atau “applicable’ bagi masyarakat kota ini. Tidak siknifikan sanksi langsung bagi masyarakat kota
ini (pemerintah, rakyat dan pelaku ekonomi) terhadap pelanggaran aturan-aturan yang ada . Semuanya
tidak teratur, itulah yang membentuk perilaku “cuek-bebek/tidak peduli sama sekali� masyarakat
kota ini terhadap lingkungan sekitarnya. Kalaupun ada yang peduli, seringkali menjadi orang aneh di
tempat ini, dan seolah orang yang peduli itu tak lagi memiliki akal sehat karena telah tertutup oleh akal
sehat orang yang tak peduli yang jumlahnya masih lebih banyak dibandingkan yang peduli.
Masyarakat membentuk dirinya melalui proses penyesuaian diri yang begitu hebatnya, sehingga situasi
yang semrawut ini membuatnya bisa hidup dan “survive� padahal kondisi fisik lingkungannya
sangat tidak sehat lagi. Berdasarkan teori bahwa manusia masih mempunyai kecenderungan untuk selalu
mengerti lingkungan dimana ini merupakan salah satu ciri utama manusia sebagai makhluk berakal sehat
(S. Kaplan dalam Sarwono 1992) maka kita masih mempunyai harapan untuk membenahi lingkungan
hidup kota Manado dan Sulawesi Utara.

Menurut Baker dalam buku Sarwono.W (1992) bahwa tingkah laku tidak hanya ditentukan oleh
lingkungan dan sebaliknya, melainkan kedua hal itu saling menentukan dan tidak dapat dipisahkan, teori
ini sering membuat kita bingung di dalam mengambil keputusan dimana kita akan memulai melakukan
pembenahan ibarat teori “ayam dan telur�, mana duluan. Teori yang sering berkonotasi
“mencari kambing hitam� didalam penyelesaian permasalahan.

Namun, tanpa melupakan siapa penyebab kerusakan lingkungan hidup di kota Manado dan bahkan di
Sulawesi Utara, mari kita menatap kedepan, mencari solusi, mencari “point�awal untuk memulai
pembenahan. Saya mengusulkan untuk memilih “point� memperbaiki lingkungan hidup saja dulu
daripada memilih memperbaiki perilaku. Di dalam pembenahan lingkungan hidup ini kita memilih sub-
lingkungan buatan (fisik) kota Manado saja, dimana tujuan kita adalah membenahi lingkungan fisik yang
dilengkapi oleh aturan-aturan dan sanksi yang akan memberikan perubahan perilaku (behaviour) seluruh
masyarakat penghuni kota ini.

Merubah perilaku masyarakat kota Manado maupun Sulawesi Utara yang pada umumnya tak hanya
patuh/“nurut�, menghormati aturan dan menjaga lingkungan hidup bangsa/negara orang lain, tetapi
juga melakukan sikap positif tersebut di negerinya sendiri. Berdasarkan pengamatan dibeberapa tempat,
di beberapa negara dan berdasarkan referensi serta teori-teori yang dibaca, bahwa membenahi lingkungan
tempat kita hidup merupakan hal yang tak sulit dibandingkan dengan membenahi atau
me�luruskan� langsung sifat atau perilaku masyarakatnya.

Jadi ayo! Marilah kita mulai bersepakat membenahi “point� lingkungan hidup kota Manado.
Saatnya kini, kita mesti mulai, jangan menunda lagi sebab kerusakan lingkungan hidup terus saja terjadi
yang tentunya bakal merusak perilaku masyarakat kita juga (saat ini dan masa datang).

Anda mungkin juga menyukai