BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Luka Dekubitus
diri yang didefinisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak
berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). NPUAP (1989)
nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang
menggangu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dan fungsinya serta
jaringan.
Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan
aliran darah akibat obstruksi mekanika (Pires & Muller, 1991). Penurunan aliran
darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika adanya
warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien
besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan
16
Universitas Sumatera Utara
17
yang dibutuhkan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan
kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987).
Setelah periode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua
vasodilatasi lokal yang terlihat, respons tubuh normal terhadap kekurangan aliran
darah pada jaringan dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan
ujung jari dan hiperemia reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu
jam. Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan
sebagai respons dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga
merah. Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia
reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari satu jam hingga dua minggu
Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada
kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005). Tekanan menyebabkan penurunan suplai
darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan
terdapat hiperemia reaktif, atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah
efektif jika tekanan di kulit dihilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan.
Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi
17
Universitas Sumatera Utara
18
tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang
terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya
merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan
mengubah posisi.
tinggi terjadi dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak
Hal ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus. Pada pasien yang mengalami
cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian
sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan
kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien
bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu
merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang lebih baik. Selain
itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah
18
Universitas Sumatera Utara
19
menjadi bingung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang
yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya
friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya
mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu
pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus
merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang
dilakukan Plaiser et. al (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak
dan wajah yang diberikan oleh empat jenis penyangga leher yang beda dengan
subjek berada posisi telentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya
menutup kapiler. Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada
klien yang menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang
berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat ortotik lain
terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry
19
Universitas Sumatera Utara
20
antaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam,
a. Gaya Gesek
Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah
pararel terhadap permukaan tubuh (AHCPR, 1994). Gaya ini terjadi saat pasien
bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya di atas saat tempat tidur dengan cara
didorong atau digeser ke bawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika
terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan
tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan
tubuh. Tulang pasien bergeser ke arah kulit dan memberi gaya pada kulit
(Maklebust & sieggren, 1991). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan
dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi
nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran darah kapiler
akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap efek
gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya. Akhirnya
pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai ruang drainase dari area nekrotik.
Perlu diingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan jaringan bagian dalam dan
paling sering dimulai dari rangka tulang yang berada di bawah jaringan rusak.
Bryant et al (1992) mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa
disertai friksi.
20
Universitas Sumatera Utara
21
b. Friksi
Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan saat kulit digeser pada
permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHCPR, 1994). Tidak seperti
cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau
lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.
Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992).
Karena cara terjadi luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar
seprei “sheet burns” (Bryant et al, 1992). Cedera ini dapat terjadi pada pasien
gelisah, pasien yang gerakannya tidak terkontrol, seperti kondis kejang, dan
pasien yang kulitnya diseret daripada diangkat dari permukaan tempat tidur
bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai berikut: memindahkan klien
benda-benda di bawah siku dan tumit seperti pelindung dari kulit domba, penutup
kulit, dan membran transparan atau balutan hidrokoloid untuk melindungi kulit,
c. Kelembaban
pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981).
Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan
higienisnya sendiri, tergantung perawatan untuk menjaga kulit pasien tetap kering
21
Universitas Sumatera Utara
22
dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana
kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan
inkontinensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan drainase luka
menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan
pada pasien.
d. Nutrisi Buruk
jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi
sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena
penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis,
dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & Escheele, 1991). Pasien yang mengalami
tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991). Status nutrisi buruk
dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari
berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami
hipoalbuminenia (level albumin serum dibawah 3 g/100 ml) dan anemia (Natlo,
mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang level albumin serumnya dibawah
3 g/100 ml lebih berisiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan
dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et al, 1989; Hanan & Scheele,
22
Universitas Sumatera Utara
23
protein visceral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk
Level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid,
(Hanan & Scheele, 1991). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan
yang berada dibawahnya terhadap tekanan, friksi dan gaya gesek. Selain itu,
cedera jaringan.
Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal
karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton
& Litwalk,1991).
e. Anemia
f. Kakesia
kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti
23
Universitas Sumatera Utara
24
kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko
luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakeksia mengalami kehilangan
jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan.
g. Obesitas
kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari
vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada
h. Demam
tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan
mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton & Litwack,1991). Selain itu demam
sejenis vasopresor.
j. Usia
dekubitus yang terbesar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia
24
Universitas Sumatera Utara
25
perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecedrungan lansia yang lebih sering
berbaring pada satu posisi oleh karena itu immobilisasi akan memperbesar resiko
pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000). Menurut Pranaka (1999), ada
1. Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-
penyakit neurologik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh).
3. Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan
↓ Mobilitas
↓ Aktivitas Tekanan
↓ Persepsi sensori
Faktor ekstrinsik:
Perkembangan
↑ Kelembapan
luka dekubitus
↑ Gesekan
↑ Tenaga yang merobek
Faktor intrinsik:
↑ Nutrisi
Toleransi jaringan
↑ Umur
↑ Tekanan arteriolar
25
Universitas Sumatera Utara
26
(Stortts, 1988). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula
pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan
menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari
32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka
dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih
kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus
dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang
gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral
dan tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987). Efek tekanan
juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang
26
Universitas Sumatera Utara
27
karena adanya gravitasi (Berecek, 1975). Jika tekanan tidak terdistribusi secara
merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan
akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan.
adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali
dikemukakan oleh Shea (1975) sebagai suatu cara untuk memperoleh metode jelas
rusak (Maklebust, 1995). Luka yang tertutup dengan jaringan neukrotik seperti
eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut dibuang
dan kedalaman luka dekubitus dapat di observasi. Peralatan ortopedi dan braces
1992). Penting dicatat bahwa untuk setiap sistem tahapan ini menggunakan
defenisi yang berbeda. Oleh karena itu luka dekubitus yang sama dapat
digunakan.
Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga
kulit, seperti suhu, adanya pori-pori “kulit jeruk”, kekakuan atau ketegangan,
kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap
27
Universitas Sumatera Utara
28
(Maklebust & Seggreen, 1991). Bennett (1995) menyatakan saat mengkaji pasien
berkulit gelap, memerlukan pencahayaan yang sesuai untuk mengkaji kulit secara
akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah muncul
warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap,
yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut NPUAP (1995) ada
I. Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak
II. Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan atau dermis. Luka
superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang
dangkal.
III. Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik
yang mungkin akan melebar ke bawah tapi tidak melampaui fascia yang
berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam
sendi.
28
Universitas Sumatera Utara
29
dan debris berserat kuning diklasifikasikan dengan luka kuning, dan luka pada
fase penyembuhan aktif dan bersih disertai dengan granulasi berwarna merah
muda hingga merah dan jaringan epitel diklasfikasikan dengan luka merah. Luka
dapat memiliki warna yang bercampur contohnya 25% kuning dan 75% merah
(Krasner, 1995).
Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,
walaupun dapat juga terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008)
29
Universitas Sumatera Utara
30
anaerobik.
c. Septikemia.
d. Anemia.
e. Hipoalbuminemia.
f. Kematian.
tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberostis iskial (Meehan, 1994).
Menurut Bouwhuizen (1986) menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena luka
dekubitus adalah :
b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun
telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan
c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan
lutut.
dekubitus tidak terlepas pada kulit karena dekubitus mempunyai banyak faktor
30
Universitas Sumatera Utara
31
etiologi. Oleh karena itu, pengkajian awal pasien luka dekubitus memiliki
beberapa dimensi.
a. Ukuran Perkiraan
maka pasien harus dikaji risiko terjadi luka dekubitus (AHCPR, 1992). Pengkajian
resiko luka dekubitus harus dilakukan secara sistematis (NPUAP, 1989) seperti
b. Kehilangan sensorik
c. Gangguan sirkulasi
muntah.
g. Malnutrisi
h. Anemia
i. Infeksi
j. Obesitas
k. Kakeksia
31
Universitas Sumatera Utara
32
m. Lanjut usia
n. Adanya dekubitus
b. Warna pucat
c. Indurasi
tekanan:
a. Lubang hidung
b. Lidah, bibir
d. Selang drainase
e. Kateter foley
a. Skala Norton
b. Skala Gosnell
32
Universitas Sumatera Utara
33
c. Skala Barden
dekubitus.
perawat pada pasien berisiko maka intervensi yang tepat diberikan untuk
b. Kulit
luka pada kulit klien. Klien gangguan neurology, berpenyakit kronik dalam waktu
lama, penurunan status mental, dan dirawat di ruang ICU, berpenyakit enkologi,
taktil pada kulit (Pires & Muller, 1991). Pengkajian dasar dilakukan untuk
menentukan karasterstik kulit normal klien dan setiap area yang potensial atau
dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher, atau peralatan
33
Universitas Sumatera Utara
34
Ketika hiperemia ada maka perawat harus mencatat lokasi, ukuran, dan
warna lalu mengkaji ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan
hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut agar pengkajian
ulang menjadi lebih mudah. Tanda peringatan dini lain yang menunjukkan
kerusakan jaringan akibat tekanan adalah lecet atau bintil-bintil pada area yang
menanggung beban berat tubuh dan mungkin disertai hiperemia. Pires & Muller
(1991) melaporkan bahwa tanda dini akibat tekanan yang sering diabaikan pada
klien yang tidak mengalami trauma adalah borok di area yang menanggung beban
berat badan. Semua tanda-tanda ini merupakan indikator dini gangguan integritas
kulit, tapi kerusakan kulit yang berada di bawahnya mungkin menjadi lebih
untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit
mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna kulit
normal pada klien berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi indurasi,
mencatat indurasi di sekitar area yang cedera dalam ukuran millimeter atau
sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu di sekitar kulit dan jaringan
Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh
yang paling sering berisiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring di tempat tidur
atau duduk di atas kursi maka berat badan terletak pada tonjolan tulang tertentu.
34
Universitas Sumatera Utara
35
Permukaan tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan
c. Mobilisasi
kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang
adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih terlindungi.
Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien
d. Status Nutrisi
data awal pada pasien berisiko gangguan integritas kulit (Breslow & Bergstrom,
1994; Water et al, 1994; Finucance, 1995;). Pasien malnutrisi atau kakeksia dan
berat badan kurang dari 90% berat badan ideal atau pasien yang berat badan lebih
dari 110% berat badan ideal lebih berisiko terjadi luka dekubitus (Hanan &
Scheele, 1991). Walapun persentase berat badan bukan indikator yang baik, tapi
jika ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin atau
protein total yang rendah, maka persentase berat badan ideal pasien dapat
35
Universitas Sumatera Utara
36
e. Nyeri
Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan
nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali menghitung
pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena luka dekubitus telah
dilakukan oleh Dallam et al (1995). Pada studi ini 59,1% pasien melaporkan
adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan skala urutan nyeri faces.
telah digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik yang disarankan
para peneneliti (Dallam et al, 1995) adalah menambah evaluasi tingkat nyeri
pengkajian ulang yang teratur untuk mengevaluasi efektifitas, dan bahwa program
2. Immobilisasi
kehilangan pergerakan total tetapi juga terjadi penurunan aktivitas dari normalnya.
36
Universitas Sumatera Utara
37
bergerak bebas yang disebabkan oleh kondisi dimana gerakan terganggu atau
dibatasi secara terapeutik (Potter & Perry, 2006). Menurut Garrison (2004)
keadaan immobilisasi adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari
anggota badan dan tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini
salah satunya disebabkan oleh berada pada posisi tetap dengan gravitasi berkurang
keadaan dimana pasien berbaring lama di tempat tidur, tidak dapat bergerak
Terdapat hubungan yang kuat anatara inkontinesia dan luka dekubitus (Exton &
Smith, 1987). Urine dapat menyebabkan maserasi dan ekskoriasi kulit, serta abrasi
superfisial akibat gesekan menjadi jauh lebih mudah terjadi. Malnutrisi tidak
1985).
Menurut Aziz (2006), secara umum kondisi yang di hadapi pasien, ada
37
Universitas Sumatera Utara
38
mengurangi tekanan.
keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak
a. Gangguan Muskuloskletal
38
Universitas Sumatera Utara
39
b. Gangguan Kardiovaskuler
a. Gaya Hidup
Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti oleh perilaku yang dapat
yang sehat.
mobilitasnya, misalnya seorang yang patah tulang akan kesulitan untuk mobilisasi
secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani operasi, karena adanya
rasa sakit yang menjadi alasan mereka cenderung untuk bergerak lebih lambat.
Ada kalanya pasien harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit
tertentu.
39
Universitas Sumatera Utara
40
c. Kebudayaan
d. Tingkat Energi
Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan orang
1. Tidak terbatas: Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa
bantuan.
2. Agak terbatas: Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan
40
Universitas Sumatera Utara
41
maka setiap sistem tubuh akan beresiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari
gangguan tersebut tergantung pada umur pasien, dan kondisi kesehatan secara
keseluruhan, serta tingkat immobilisasi yang dialami. Ada tujuh perubahan yang
a. Sistem Integumen
seperti abrasi dan luka dekubitus. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada
immobilisasi terjadi gesekan, tekanan, jaringan bergeser satu dengan yang lain,
dan penurunan sirkulasi darah pada area yang tertekan, sehingga terjadi iskemia
pada jaringan yang tertekan. Kondisi yang ada dapat diperburuk lagi dengan
b. Sistem Kardivaskuler
perubahan utama yaitu hipotensi, ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan
pembentukan thrombus.
41
Universitas Sumatera Utara
42
c. Sistem Respirasi
ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh permukaan paru.
d. Sistem Perkemihan
kondisi normal urine mengalir dari pelvis renal masuk ke ureter lalu ke bladder
yang disebabkan adanya gaya gravitasi. Namun pada posisi terlentang, ginjal dan
ureter berada pada posisi yang sama sehingga urine tidak dapat melewati ureter
dengan baik (urine menjadi statis). Akibatnya urine banyak tersimpan dalam
pelvis renal. Kondisi ini resiko tinggi terjadinya infeksi saluran kemih dan batu
ginjal.
e. Sistem Muskuloskletal
akibat dari kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktifitas sehingga
42
Universitas Sumatera Utara
43
juga dapat menyebabkan pemendekan serat otot dan gangguan mobilisasi sendi.
f. Sistem Neurosensoris
saraf pada bagian distal dari gips. Hal tersebut dapat menyebabkan pasien tidak
dapat menggerakkan bagian anggota tubuh yang distal dari gips, mengeluh terjadi
sensasi yang berlebihan atau berkurang dan timbul rasa nyeri yang hebat.
g. Perubahan Perilaku
terjadi bertahap.
Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan
pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang dirawat di
rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan derajat
kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis maupun oleh
penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang ingin
43
Universitas Sumatera Utara
44
tentang hal-hal yang berkaitan dengan diagnosa yang tepat (Edward, 1992). Untuk
menentukan apakah penurunan lama hari rawat itu meningkatkan efisiensi atau
kontrak pulang dan (normal) hari keluar dan menentukan lama rawat. Ada dua
tanggal.
dikenal istilah yang lama dirawat (LD) yang memiliki karakteristik cara
menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode
menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari rumah sakit, hidup maupun
mati) dengan tanggal masuk rumah sakit. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk
dan keluar pada hari yang sama – lama dirawatnya dihitung sebagai 1 hari dan
Pasien yang belum pulang atau keluar belum bisa dihitung lama dirawatnya
(Indradi, 2007).
44
Universitas Sumatera Utara
45
mengalami luka dekubitus di rumah sakit terjadi pada minggu pertama sampai
minggu ke dua salama di rawat (Cooney & Reuler, 1991). Menurut Kadir (2007)
luka dekubitus terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan. Sabandar
(2008) mengatakan tanda-tanda luka dekubitus terjadi akibat posisi pasien yang
terhambat lebih dari 2 – 3 jam, maka kulit akan mati yang dimulai pada lapisan
kulit paling atas (epidermis). Daniel et al (1981) menyatakan bahwa iskmia primer
terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi sesuai dengan kenaikan besar
mmHg – 33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila
tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh
bila pasien immobilisasi pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas
kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60–70 mmHg dan di
daerah tumit mencapai 30–45 mmHg. Keadaan ini dapat menimbulkan perubahan
degeneratif secara mikroskopik pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit
sampai tulang. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut
tidak hilang setelah tekanan dihilangkan. Pada tahap dini ini, tidak terlihat
nekrosis karena permukaan kulit masih utuh. Iskemia dan nekrosis sudah terjadi
45
Universitas Sumatera Utara
46
pada lapisan subkutis, tetapi baru terlihat setelah beberapa hari berupa kulit yang
kemerahan dan mengelupas sedikit, kemudian terlihat suatu defek kulit. Terjadi
minggu atau 10 hari, luas nekrosisi ini mencapai tulang atau fasia di dasarnya.
Nekrosis sudah terjadi pada hari pertama, hanya batas kulit pada waktu itu belum
jelas, umumnya luas nekrosis di lapisan subkutis lebih luas daripada permukaan
kulit.
46
Universitas Sumatera Utara