Anda di halaman 1dari 6

Demam Reumatik – Rheumatic Fever

Demam reumatik merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai faringitis yang
disebabkan oleh Streptococcus group A beta-hemolyticus. Penyakit ini tidak pernah menyertai
infeksi kuman lain maupun infeksi streptokokus di tempat lain, misalnya di kulit (pioderma).
Penyakit ini juga cenderung berulang. Namanya reumatik, memberi kesan penyakit sendi, akan
tetapi pengaruhnya pada jantunglah yang membuatnya penting.

Klasifikasi demam reumatik akut sebagai penyakit infeksi sebenarnya tidak tepat.
Demam reumatik pascainfeksi streptokokus grup A hanya dapat terjadi pada individu tertentu
yang rentan. Penyakit ini timbul setelah masa periode laten sekitar 3 minggu; selama periode
tersebut, individu yang terkena benar-benar asimptomatis. Proses reumatik akan terungkap
sebagai reaksi radang non purulen yang melibatkan beberapa organ. Teori terakhir mengesankan
bahwa proses radang ini ditengahi oleh reaksi imonologis yang ditimbulkan oleh infeksi
streptokokus.

Epidemiologi

Diperkirakan hanya sekitar 3% dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik
akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis streptokokus yang tidak diobati.

Pelbagai penelitian menekankan hubungan antara kejadian demam reumatik dan derajat
manifestasi klinis faringitis streptokokus yang mendahuluinya. Walau hal ini pada umumnya
benar, namun kira-kira sepertiga kasus demam reumatik akut terjadi setelah faringitis ringan
yang hampir tanpa gejala. Serangan pertama demam reumatik akut terjadi paling sering antara
umur 6 dan 15 tahun. Demam reumatik jarang ditemukan pada anak di bawah umur 5 tahun.
Insiden demam faringitis lebih tinggi ditemukan pada orang dewasa dengan resiko tinggi
terhadap faringitis streptokokus, terutama anak usia sekolah. Perbedaan ras dan etnik juga
mengikuti pola insidensi demam reumatik, yakni pria dan/atau berkulit hitam > wanita dan/atau
berkulit putih.

Etiologi

Infeksi Streptococcus group A beta-hemolyticus pada tenggorokan selalu mendahului terjadinya


demam reumatik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulang. Obat anti-streptokokus
mula-mula sulfa, kemudian penisilin oral, akhirnya injeksi penisilin benzatin, telah menurunkan
serangan ulang dengan mencolok.

Untuk menyebabkan serangan demam reumatik, streptokokus grup A harus menyebabkan


infeksi pada faring, bukan hanya kolonisasi superficial. Infeksi ini dapat dibedakan dari
kolonisasi dengan munculnya respons antibody sekurang-kurangnya satu antigen streptokokus,
misalnya ASO.

Faktor yang penting untuk manifestasi klinis penyakit ini meliputi sifat organism, tempat
infeksi, serta predisposisi genetik. Streptococcus group A sp. pyogenes merupakan salah satu dari
20 serogrup streptococcus beta-hemolyticus (A sampai U) oleh klasifikasi Lancefield.

Patofisiologi

Streptococcus beta-hemolyticus dikenali oleh karena morfologi koloninya dan kemampuannya


untuk menimbulkan hemolisis pada plat agar darah kambing. Sel ini terdiri dari sitoplasma yang
dikelilingi oleh tiga lapisan membrane, yang disusun terutama dari tiga komponen. (1)
Komponen bagian dalam adalah peptidoglikan, yang memberi kekakuan dinding sel,
menimbulkan arthritis, serta reaksi nodular pada kulit binatang percobaan. (2) Komponen kedua
adalah polisakarida dinding sel, atau karbohidrat spesifik grup. Struktur imunokimia komponen
ini menetukan serogrupnya.

Karbohidrat grup A merupakan polimer polisakarida, yang terdiri dari pendukung utama
ramnose dengan rantai samping yang diakhiri ujung terminal N-asetilgluktosamin. Karbohidrat
ini terbukti memiliki determinan antigenic bersama dengan glikoprotein pada katup jantung
manusia. (3) Komponen ketiga terdiri dari mosaic protein yang dilabel sebagai protein M, R dan
T. Dari ketiga protein ini yang terpenting adalah protein M, yakni antigen spesifik tipe dari
streptococcus group A.

Adanya protein M pada permukaan streptokokus menghambat fagositosis; hambatan


tersebut dinetralkan oleh antibody terhadap protein M, yaitu antibody spesifik tipe. Dari
permukaan keluar bentuk menyerupai rambut merupakan lapisan fimbriae yang tersusun oleh
asam lipoteikoat. Komponen ini penting dalam perlekatan (adherence) streptokokus terhadap sel
epitel. Beberapa strain streptokokus grup A, terutama yang ditemukan dari demam reumatik,
mempunyai kapsul mukoid yang terdiri dari asam hialuronat. Kapsul tersebut hanya kadang-
kadang ada, kemungkinan karena hidrolisis oleh hialuronidase yang dihasilkan selama masa
pertumbuhan mikroorganisme.

Disamping hialuronidase, streptokokus grup A juga menghasilkan sejumlah enzim


ekstraselular, termasuk dua hemolisin atau streptolisin (tipe S yang stabil pada oksigen dan O
yang labil pada oksigen). Hemolisin bekerja pada sel darah merah dan menyebabkan hemolisis di
sekitar koloni streptokokus. Kebanyakan streptokokus grup A menghasilkan toksin eritrogenik
yang menyebabkan ruam pada kulit dan skarlatina; streptokinase yang berfungsi sebagai
activator sistem fibrinolitik nikotianmid adenine dinikleotidase; proteinase; amylase dan
esterase. Empat isoenzim DNAse (A, B, C, D) dihasilkan dalam jumlah yang berbeda-beda oleh
strain yang berbeda. Isoenzim DNAse B dihasilkan oleh streptokokus grup A yang tersebar
dimana-mana.

Pengelepasan enzim streptokokus ke dalam pejamu pada waktu terjadi infeksi


merangsang pembentukan antibodi, kecuali streptolisin S, yang pada manusia tidak imunogenik.
Uji antibodi streptokokus didasarkan pada imunogenitas produk. Dalam uji ini, serum diuji untuk
mendeteksi antibody neutralisasi terhadap satu atau lebih enzim. Kenaikan titer antibody lebih
dari normal atau kenaikan titer yang bermakna antara serum akut dan konvalesens bukti infeksi
sebelumnya.

Kerentanan Pejamu

Penelitian epidemiologis menunjukan bahwa hanya sebagian kecil (2 sampai 3%) yang
menderita faringitis streptokokus  menderita demam reumatik, tetapi angka kejadian penderita
demam reumatik adalah 50%. Hal ini memberi kesan adanya kerentanan pejamu terhadap
demam reumatik akut.

Penelitian mutakhir memberikan tambahan bukti. Pemeriksaan fenotip Human Leucocyt


Antigen (HLA) terhadap demam reumatik menunjukan hubungan alloantigen sel B spesifik,
dikenal dengan antibodi monoclonal, dengan status reumatikus. Penelitian lain menunjukan
insiden petanda HLA tinggi pada pasien demam reumatik. Antigen HLA-DR4 dan HLA-DR2
masing-masing lebih sering terdapat pada pasien demam reumatik ras kaukasoid dan kulit hitam
dibandingkan pada populasi sehat; hal ini mendukung konsep predisposisi genetik pada demam
reumatik.

Pathogenesis

Satu hal yang telah pasti, yakni streptokokus tidak berpindah dari tenggorokan ke jantung atau
sendi; semuanya terbukti steril, yang tersebar dalam sirkulasi adalah exotoxin dari bakteri
tersebut.

Banyak ahli yang berpendapat bahwa kerentanan genetik terhadap demam reumatik
berhubungan dengan hipereaktivitas terhadap antigen streptokokus. Satu-satunya bukti
dilaporkan oleh Dudding dan Ayoub bahwa respons berlebih terhadap karbohdrat streptokokus
grup A pada pasien penyakit katup reumatik. Respon yang berlebih terhadap antigen
streptokokus juga dikaitkan dengan pewarisan petanda HLA-DR2 atau HLA-DR4. Pengamatan
ini terutama menarik karena respon imun terhadap antigen binatang terbukti berada di bawah
kendali genetik.

Mekanisme Cedera Jaringan

Beberapa peneliti menunjukan bahwa streptolisin bersifat toksik pada sel miokard yang dibiakan
in vitro. Namun konsep ini gagal menjalaskan keterlibatan organ lain dan masa laten 3 minggu
antara infeksi akut dengan gejala klinis.

Periode laten tersebut menimbulkan dugaan bahwa cedera jaringan pada demam reumatik
ditengahi oleh sistem imun. Bukti perumusan ini disajikan mula-mula oleh Kaplan dkk. yang
menunjukan bahwa determinan antigenik dimiliki secara bersama antara komponen-komponen
streptokokus grup A dengan jaringan miokardium. Konsep antigenic mimicry memberikan kesan
bahwa antibody dihasilkan oleh infeksi streptokokus melawan antigen bakteri yang memberi
reaksi silang dengan jaringan pejamu.

Penelitian menunjukan bahwa komponen streptokokus yang lain memiliki reaktivitas


bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat
streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membrane protoplas streptokokus dan jaringan
saraf subtalamus serta nuclei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilago artikular.
Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan organ multiple
pada demam reumatik.

Data mutakhir menunjuk pada sitoktosisitas yang ditengahi oleh sel sebagai mekanisme
alternative untuk cedera jaringan. Penelitian menunjukan bahwa limfosit darah perifer pasien
dengan karditis reumatik akut adalah sitotoksik terhadap sel miokardium yang dibiakan in vitro,
dan bahwa serum penderita demam reumatik mengahapuskan pengaruh sitotoksik tersebut. Ini
member kesan bahwa antibodi yang bereaksi silang dapat mempunyai pengaruh protektif dalam
pejamu tersebut. Sekarang hipotesis yang paling banyak dipercaya adalah bahwa mekanisme
imunologik, humoral atau selular, menyebabkan cedera jaringan pada demam reumatik.

Patologi

Proses patologis pada demam reumatik melibatkan jaringan ikat atau jaringan kolagen. Meskipun
proses penyakit adalah difus dan dapat mempengaruhi kebanyakan jaringan tubuh, manifestasi
klinis terutama terkait dengan keterlibatan jantung, sendi, dan otak. Ruam kulit mencerminkan
terdapatnya vaskulitis yang mendasari, yang mungkin ada pada setiap bagian tubuh dan yang
paling sering mengenai pembuluh darah yang lebih kecil. Pembuluh darah ini menunjukan
proliferasi sel endotel. Nodul subkutan jarang ditemui pada demam reumatik akut; kalaupun ada,
nodul ini ditemukan pada pasien dengan penyakit katup kronik, terutama stenosis mitral.

Keterlibatan jantung pada demam reumatik dapat mengenai setiap komponen


jaringannya. Proses radang selama karditis akut paling sering terbatas pada endokardium dan
miokardium, namun pada pasien dengan miokarditis berat, pericardium dapat juga terlibat.
Berbeda pada penyakit kolagen lain seperti LES atau arthritis rheumatoid juvenile, pada demam
reumatik jarang ditemukan parikarditis tanpa endokarditis atau miokarditis. Perikarditis pada
pasien reumatik biasanya menyatakan adanya pankarditis atau perluasan proses radang.

Eksaserbasi – Reccurent (Kekambuhan)

AHA (1988) melaporkan bahwa serangan reumatik pada setiap infeksi streptokokus pada anak-
anak menurun sebanyak 11% selama 1-5 tahun sesudah serangan pertama demam reumatik.
Kekambuhan akan berkurang tergantung pada lamanya serangan terakhir. Faktor lain yang
mempengaruhi kekambuhan ini sangat tergantung pada reaksi imun dengan infeksi streptokokus
yang dibuktikan dengan meningkatnya titer ASTO. Umumnya serangan demam reumatik
dibuktikan juga dengan ditemukannya streptokokus group A strain rematogenik.

Prognosis

Demam reumatik tidak akan kambuh bila infeksi streptokokus diatasi. Prognosis sangat baik bila
karditis sembuh pada saat permulaan serangan akut demam reumatik. Prognosis memburuk bila
gejala karditisnya lebih berat, dan ternyata demam reumatik akut dengan payah jantung akan
sembuh 30% pada 5 tahun pertama dan 40% setelah 10 tahun.

Sumber :

Price, S.A & Wilson, L.M. (2006). Patofisiologi : konsep klinis dasar proses – proses
penyakit,vol. 1, 6th edition.Jakarta: EGC.

Sastroasmoro, S., Madiyono, B. (1994). Buku Ajar Kardiologi Anak. Jakarta : IDAI

Sudoyo,et al. (2009). Ilmu penyakit dalam. Jakarta : Interna Publishing

Sumarwo, S., Poerwo S., dkk. (2008). Buku ajar infeksi dan pediatri tropis, 2nd ed. Jakarta : Bag.
Ilmu Kesehatan Anak FKUI.

Levinson, W. (2004). Review of medical microbiology and immunology, International Edt. New
York : McGraw Hill – LANGE.

Anda mungkin juga menyukai