Anda di halaman 1dari 19

Salat berjamaah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Salat berjamaah merujuk pada aktivitas salat yang dilakukan secara bersama-sama. Salat ini dilakukan oleh minimal dua
orang dengan salah seorang menjadi imam (pemimpin) dan yang lainnya menjadi makmum.

Landasan Hukum

Berikut adalah landasan hukum yang terdapat dalam Al Qur'an maupun Hadits mengenai salat berjama'ah:

 Dalam Al Qur'an Allah SWT berfirman: "Dan apabila kamu berada bersama mereka lalu kamu hendak mendirikan
salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) bersamamu dan menyandang
senjata,..." (QS. 4:102).
 Rasulullah SAW bersabda: "Demi Dzat yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh aku bermaksud hendak menyuruh
orang-orang mengumpulkan kayu bakar, kemudian menyuruh seseorang menyerukan adzan, lalu menyuruh
seseorang pula untuk menjadi imam bagi orang banyak. Maka saya akan mendatangi orang-orang yang tidak ikut
berjama'ah, lantas aku bakar rumah-rumah mereka." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA).
 Dari Ibnu Abbas RA berkata: "Saya menginap di rumah bibiku Maimunah (isteri Rasulullah SAW). Nabi SAW
bangun untuk salat malam maka aku bangun untuk salat bersama beliau. Aku berdiri di sisi kirinya dan dipeganglah
kepalaku dan digeser posisiku ke sebelah kanan beliau." (HR. Jama'ah, hadits shahih).

Keutamaan

Adapun keutamaan salat berjama'ah dapat diuraikan sebagai berikut:

 Berjama'ah lebih utama dari pada salat sendirian. Rasulullah SAW bersabda: "Salat berjama'ah itu lebih utama dari
pada salat sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat." (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar RA)
 Dari setiap langkahnya diangkat kedudukannya satu derajat dan dihapuskan baginya satu dosa serta senantiasa
dido'akan oleh para malaikat. Rasulullah SAW bersabda: "Salat seseorang dengan berjama'ah itu melebihi salatnya di
rumah atau di pasar sebanyak dua puluh lima kali lipat. Yang demikian itu karena bila seseorang berwudhu' dan
menyempurnakan wudhu'nya kemudian pergi ke masjid dengan tujuan semata-mata untuk salat, maka setiap kali ia
melangkahkan kaki diangkatlah kedudukannya satu derajat dan dihapuslah satu dosa. Dan apabila dia mengerjakan
salat, maka para Malaikat selalu memohonkan untuknya rahmat selama ia masih berada ditempat salat selagi belum
berhadats, mereka memohon: "Ya Allah limpahkanlah keselamatan atasnya, ya Allah limpahkanlah rahmat
untuknya.' Dan dia telah dianggap sedang mengerjakan salat semenjak menantikan tiba waktu salat." (HR. Bukhari
dan Muslim dari Abu Huraira RA, dari terjemahan lafadz Bukhari).
 Terbebas dari pengaruh/penguasaan setan. Rasulullah SAW bersabda: "Tiada tiga orangpun di dalam sebuah desa
atau lembah yang tidak diadakan di sana salat berjama'ah, melainkan nyatalah bahwa mereka telah dipengaruhi oleh
setan. Karena itu hendaklah kamu sekalian membiasakan salat berjama'ah sebab serigala itu hanya menerkam
kambing yang terpencil dari kawanannya." (HR. Abu Daud dengan isnad hasan dari Abu Darda' RA).
 Memancarkan cahaya yang sempurna di hari kiamat. Rasulullah SAW bersabda: "Berikanlah khabar gembira orang-
orang yang rajin berjalan ke masjid dengan cahaya yang sempurna di hari kiamat." (HR. Abu Daud, Turmudzi dan
Hakim).
 Mendapatkan balasan yang berlipat ganda. Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa yang salat Isya dengan
berjama'ah maka seakan-akan ia mengerjakan salat setengah malam, dan barangsiapa yang mengerjakan salat shubuh
berjama'ah maka seolah-olah ia mengerjakan salat semalam penuh. (HR. Muslim dan Turmudzi dari Utsman RA).
 Sarana penyatuan hati dan fisik, saling mengenal dan saling mendukung satu sama lain. Rasulullah SAW terbiasa
menghadap ke ma'mum begitu selesai salat dan menanyakan mereka-mereka yang tidak hadir dalam salat berjama'ah,
para sahabat juga terbiasa untuk sekedar berbicara setelah selesai salat sebelum pulang kerumah. Dari Jabir bin
Sumrah RA berkata: "Rasulullah SAW baru berdiri meninggalkan tempat salatnya diwaktu shubuh ketika matahari
telah terbit. Apabila matahari sudah terbit, barulah beliau berdiri untuk pulang. Sementara itu di dalam masjid orang-
orang membincangkan peristiwa-peristiwa yang mereka kerjakan di masa jahiliyah. Kadang-kadang mereka tertawa
bersama dan Nabi SAW pun ikut tersenyum." (HR. Muslim).
 Membiasakan kehidupan yang teratur dan disiplin. Pembiasaan ini dilatih dengan mematuhi tata tertib hubungan
antara imam dan ma'mum, misalnya tidak boleh menyamai apalagi mendahului gerakan imam menjaga
kesempurnaan shaf-shaf salat. Rasulullah SAW bersabda: "Imam itu diadakan agar diikuti, maka jangan sekali-kali
kamu menyalahinya! Jika ia takbir maka takbirlah kalian, jika ia ruku' maka ruku'lah kalian, jika ia mengucapkan
'sami'alLaahu liman hamidah' katakanlah 'Allahumma rabbana lakal Hamdu', Jika ia sujud maka sujud pulalah kalian.
Bahkan apabila ia salat sambil duduk, salatlah kalian sambil duduk pula!" (HR. Bukhori dan Muslim, shahih).

Dari Barra' bin Azib berkata: "Kami salat bersama Nabi SAW. Maka diwaktu beliau membaca 'sami'alLaahu liman
hamidah' tidak seorang pun dari kami yang berani membungkukkan punggungnya sebelum Nabi SAW meletakkan
dahinya ke lantai. (Jama'ah)

 Merupakan pantulan kebaikan dan ketaqwaan. Allah SWT berfiman: "Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid
Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap mendirikan salat." (QS. 9:18).

Kriteria Imam

Kriteria pemilihan Imam salat tergambar dalam hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Abu Mas'ud Al-
Badri:

"Yang boleh mengimami kaum itu adalah orang yang paling pandai di antara mereka dalam memahami kitab Allah
(Al Qur'an) dan yang paling banyak bacaannya di antara mereka. Jika pemahaman mereka terhadap Al-Qur'an sama,
maka yang paling dahulu di antara mereka hijrahnya ( yang paling dahulu taatnya kepada agama). Jika hijrah
(ketaatan) mereka sama, maka yang paling tua umurnya di antara mereka".

Kehadiran Jama'ah Wanita di dalam Masjid

Wanita diperbolehkan hadir berjama'ah di masjid dengan syarat harus menjauhi segala sesuatu yang menyebabkan timbulnya
syahwat ataupun fitnah. Baik karena perhiasan atau harum-haruman yang dipakainya.

 Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kamu larang wanita-wanita itu pergi ke masjid-masjid Allah, tetapi hendaklah
mereka itu keluar tanpa memakai harum-haruman." (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Abu Huraira RA).
 "Siapa-siapa di antara wanita yang memakai harum-haruman, janganlah ia turut salat Isya bersama kami." (HR.
Muslim, Abu Daud dan Nasa'i dari Abu Huraira RA, isnad hasan).
 Bagi kaum wanita yang lebih utama adalah salat di rumah, berdasarkan hadits dari Ummu Humaid As-Saayidiyyah
RA bahwa Ia datang kepada Rasulullah SAW dan mengatakan: "Ya Rasulullah, saya senang sekali salat di belakang
Anda." Beliaupun menanggapi: "Saya tahu akan hal itu, tetapi salatmu di rumahmu adalah lebih baik dari salatmu di
masjid kaummu, dan salatmu di masjid kaummu lebih baik dari salatmu di masjid Umum." (HR. Ahmad dan
Thabrani).
 Rasulullah SAW bersabda: "Janganlah kalian melarang para wanita untuk pergi ke masjid, tetapi (salat) di rumah
adalah lebih baik untuk mereka." (HR. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar RA).
 Pengertian Shalat Jum'at, Hukum, Syarat, Ketentuan, Hikmah Dan Sunah Solat Jumat
 Tue, 01/01/2008 - 5:33pm — godam64
 A. Arti Definisi / Pergertian Shalat Jumat
 Sholat Jum'at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum'at dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah
khutbah.
 B. Hukum Sholat Jum'at
 Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam
negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah
wajib hukumnya.
 Dalil Al-qur'an Surah Al Jum'ah ayat 9 :
 " Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari jum'at, maka bersegeralah kamu
kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
 C. Syarat Sah Melaksanakan Solat Jumat
 1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan
pelaksanaan solat jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.
2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum'at adalah 40 orang.
3. Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua khutbah dari khatib.
 D. Ketentuan Shalat Jumat
 Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.
 E. Hikmah Solat Jum'at
 1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang
rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua,
muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.
 F. Sunat-Sunat Shalat Jumat
 1. Mandi sebelum datang ke tempat pelaksanaan sholat jum at.
2. Memakai pakaian yang baik (diutamakan putih) dan berhias dengan rapi seperti bersisir, mencukur kumis dan
memotong kuku.
3. Memakai pengaharum / pewangi (non alkohol).
4. Menyegerakan datang ke tempat salat jumat.
5. Memperbanyak doa dan salawat nabi.
6. Membaca Alquran dan zikir sebelum khutbah jumat dimulai.
 Hari Jum’at adalah hari penting bagi kaum muslim, dibandingkan dengan hari-hari yang lainnya. Mari simak hadits
Rasululloh SAW berikut.“Sebaik-baik hari adalah hari Jum’at, pada hari itulah diciptakan Nabi Adam, dan pada hari
itu dia diturunkan ke bumi, pada hari itu pula diterima taubatnya, pada hari itu pula beliau diwafatkan, dan pada hari
itu pula terjadi Kiamat. Pada hari itu ada saat yang kalau seorang muslim menemuinya kemudian shalat dan
memohon segala keperluannya kepada Allah, niscaya akan dikabulkan.” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai)
 Pada hari Jum’at pula dilakukan Jum’atan, ibadah khusus seminggu sekali yang wajib diikuti oleh kaum lelaki
muslim. Tentu saja ada dalilnya mengapa ibadah Jum’atan ini wajib dilakukan, yakni:
 a. Al Jumu’ah(62):9,“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan shalat pada hari
Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu
mengetahui.”
b. “Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan shalat Jum’at atau kalau tidak, Allah akan menutup hati
mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai.” (HR. Muslim)
c. “Sungguh aku berniat menyuruh seseorang (menjadi imam) shalat bersama-sama yang lain, kemudian aku akan
membakar rumah orang-orang yang meninggalkan shalat Jum’at.” (HR. Muslim)
d. “Shalat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu
hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit.” (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)
 Keutamaan sholat Jum’at dinyatakan dalam hadits berikut, Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasululloh SAW
bersabda, “Barangsiapa yang mandi Jumat seperti mandi junub kemudian berangkat (ke masjid), maka seolah-olah ia
berkurban unta. Barangsiapa yang berangkat pada saat yang kedua, maka seolah-olah ia berkurban lembu.
Barangsiapa yang berangkat pada saat ketiga, maka seolah-olah ia berkurban kibas yang bertanduk. Barangsiapa
yang berangkat pada saat yang keempat, maka seolah-olah ia berkurban ayam. Dan, barangsiapa yang berangkat pada
saat kelima, maka seolah-olah ia berkurban telur. Apabila imam keluar (naik mimbar), maka para malaikat
mendengarkan khutbah.” (HR Bukhari)
 Dengan demikian, nyatalah bahwa ibadah Jum’atan adalah kewajiban bagi kaum muslim terutama laki-laki yang
sudah baligh, sehat, dan bermukim (tidak sedang bepergian).
 Sumber : http://tausyiah275.blogsome.com/2009/11/28/kewajiban-jumatan/
 Kewajiban Sholat Jum’at

Azan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Azan (ejaan KBBI) atau adzan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya salat fardu.
Dikumandangkan oleh seorang muadzin setiap salat 5 waktu. Lafadz adzan terdiri dari 7 bagian:

1. Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 kali); artinya: "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"
2. Asyhadu alla ilaha illallah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah"
3. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah"
4. Hayya 'alash sholah (2 kali) "Mari menunaikan salat"
5. Hayya 'alal falah (2 kali) "Mari meraih kemenangan"
6. Ashshalatu khairum minan naum (2 kali) "Shalat itu lebih baik daripada tidur" (hanya diucapkan dalam azan Subuh)
7. Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 kali) "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"
8. Lailaha ilallah (1 kali) "Tiada sesembahan selain Allah"

Sejarah adzan dan iqamah

Adzan mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriah. Mulanya, pada suatu hari Nabi Muhammad SAW mengumpulkan para
sahabat untuk memusyawarahkan bagaimana cara memberitahu masuknya waktu salat dam mengajak orang ramai agar
berkumpul ke masjid untuk melakukan salat berjamaah. Di dalam musyawarah itu ada beberapa usulan. Ada yang
mengusulkan supaya dikibarkan bendera sebagai tanda waktu salat telah masuk. Apabila benderanya telah berkibar,
hendaklah orang yang melihatnya memberitahu kepada umum. Ada juga yang mengusulkan supaya ditiup terompet seperti
yang biasa dilakukan oleh pemeluk agama Yahudi. Ada lagi yang mengusulkan supaya dibunyikan lonceng seperti yang biasa
dilakukan oleh orang Nasrani. ada seorang sahabat yang menyarankan bahwa manakala waktu salat tiba, maka segera
dinyalakan api pada tempat yang tinggi dimana orang-orang bisa dengan mudah melihat ketempat itu, atau setidak-tidaknya
asapnya bisa dilihat orang walaupun ia berada ditempat yang jauh. Yang melihat api itu dinyalakan hendaklah datang
menghadiri salat berjamaah. Semua usulan yang diajukan itu ditolak oleh Nabi, tetapi beliau menukar lafal itu dengan
assalatu jami’ah (marilah salat berjamaah). (KYP3095) Lantas, ada usul dari Umar bin Khattab jikalau ditunjuk seseorang
yang bertindak sebagai pemanggil kaum Muslim untuk salat pada setiap masuknya waktu salat. Kemudian saran ini agaknya
bisa diterima oleh semua orang dan Nabi Muhammad SAW juga menyetujuinya.

[sunting] Asal muasal adzan berdasar hadits

Lafal adzan tersebut diperoleh dari hadits tentang asal muasal adzan dan iqamah:

Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid berkata sebagai berikut: "Ketika cara memanggil kaum muslimin untuk
salat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada seseorang sedang menenteng sebuah
lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang
begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja. Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya,
"Bahwa dengan membunyikan lonceng itu, kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan salat." Orang itu berkata
lagi, "Maukah kau kuajari cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata lagi dan kali ini dengan suara
yang amat lantang:

 Allahu Akbar Allahu Akbar


 Asyhadu alla ilaha illallah
 Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
 Hayya 'alash sholah (2 kali)
 Hayya 'alal falah (2 kali)
 Allahu Akbar Allahu Akbar
 La ilaha illallah

Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Nabi Muhammad.SAW, dan menceritakan perihal mimpi itu kepadanya,
kemudian Nabi Muhammad. SAW, berkata, "Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah disamping Bilal dan ajarilah dia
bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan seperti itu dan dia memiliki suara yang amat
lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal." Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar ia juga
menceritakannya kepada Nabi Muhammad, SAW.

[sunting] Asal muasal iqamah

Setelah lelaki yang membawa lonceng itu melafalkan adzan, dia diam sejenak, lalu berkata: "Kau katakan jika salat akan
didirikan:

 Allahu Akbar, Allahu Akbar


 Asyhadu alla ilaha illallah
 Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah
 Hayya 'alash sholah
 Hayya 'alal falah
 Qod qomatish sholah (2 kali), artinya "Salat akan didirikan"
 Allahu Akbar, Allahu Akbar
 La ilaha illallah

Begitu subuh, aku mendatangi Rasulullah SAW kemudian kuberitahu beliau apa yang kumimpikan. Beliaupun bersabda:
"Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang kau
mimpikan agar diadzankannya (diserukannya), karena sesungguhnya suaranya lebih lantang darimu." Ia berkata: Maka aku
bangkit bersama Bilal, lalu aku ajarkan kepadanya dan dia yang berazan. Ia berkata: Hal tersebut terdengar oleh Umar bin al-
Khaththab ketika dia berada di rumahnya. Kemudian dia keluar dengan selendangnya yang menjuntai. Dia berkata: "Demi
Dzat yang telah mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang dimimpikannya." Kemudian
Rasulullah SAW bersabda: "Maka bagi Allah-lah segala puji."

HR Abu Dawud (499), at-Tirmidzi (189) secara ringkas tanpa cerita Abdullah bin Zaid tentang mimpinya, al-
Bukhari dalam Khalq Af'al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibnu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan
Ahmad (16043-redaksi di atas). At-Tirmidzi berkata: "Ini hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh jamaah imam
ahli hadits, seperti al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan yang lainnya. Demikian diutarakan al-Albani dalam al-
Irwa (246), Shahih Abu Dawud (512), dan Takhrij al-Misykah (I: 650).

Adab adzan

Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama ialah:

1. muazin hendaknya tidak menerima upah dalam melakukan tugasnya;


2. muazin harus suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis;
3. muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan;
4. ketika membaca hayya ‘ala as-salah muazin menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kanan dan ketika membaca
hayya ‘ala al-falah menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kiri;
5. muazin memasukkan dua anak jarinya ke dalam kedua telinganya;
6. suara muazin hendaknya nyaring;
7. muazin tidak boleh berbicara ketika mengumandangkan azan;
8. orang-orang yang mendengar azan hendaklah menyahutnya secara perlahan dengan lafal-lafal yang diucapkan oleh
muazin, kecuali pada kalimat hayya ‘ala as-salah dan hayya ‘ala al-falah yang keduanya disahut dengan la haula wa
la quwwata illa bi Allah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah);
9. setelah selesai azan, muazin dan yang mendengar azan hendaklah berdoa: Allahumma rabba hazihi ad-da’wah at-
tammah wa as-salati al-qa’imah, ati Muhammadan al-wasilah wa al-fadilah wab’ashu maqaman mahmuda allazi
wa’adtahu (Wahai Allah, Tuhan yang menguasai seruan yang sempurna ini, dan salat yang sedang didirikan,
berikanlah kepada Muhammad karunia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan
untuknya [HR. Bukhari]). (KYP3095)

Menjawab azan

Apabila kita mendengar suara azan, kita disunnahkan untuk menjawab azan tersebut sebagaimana yang diucapkan oleh
muazin, kecuali apabila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah", "Hayya alal falah", dan "Ashshalatu khairum minan
naum" {dalam azan Subuh).

Bila muazin mengucapkan "Hayya alash shalah" atau "Hayya alal falah", disunnahkan menjawabnya dengan lafazh "La haula
wa la quwwata illa billahil 'aliyyil 'azhim" yang artinya "Tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah".

Dan bila muazin mengucapkan "Ashshalatu khairum minan naum" dalam azan Subuh, disunnahkan menjawabnya dengan
lafazh "Shadaqta wa bararta wa ana 'ala dzalika minasy syahidin" yang artinya "Benarlah engkau dan baguslah ucapanmu dan
saya termasuk orang-orang yang menyaksikan kebenaran itu".

Pustaka
 Ensiklopedia Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Kejadian dalam hadits tersebut terjadi di Madinah pada tahun pertama Hijriah atau 622 M.[1]

Kamis, 03 Juni 2010

asal mula adzan dan iqamah


Nama : Umi Salamah

Nim : D01208089

Kelas : B

Bahasan : Fiqih kelas 1 Mts semester

Standart Kompetensi : Melaksanakan tatacara azan, iqamah ,salat jamaah

Kompetensi Dasar : 1. Menjelaskan ketentuan azan dan iqamah

2. Menjelaskan ketentuan salat berjamaah

3. Menjelaskan ketentuan makmum masbuk

4. Menjelaskan cara mengingatkan imam yang lupa

5. Menjelaskan cara mengingatkan imam yang batal

6. Mempraktikkan azan, iqamah, dan salat jamaah

Indikator : 1. Menjelaskan ketentuan azan dan iqamah

2. Menjelaskan asal muasal adzan dan iqamat

3. Menjelaskan adzab adzan

4. Membaca doa setelahAdzan

5. Tata cara shalat berjama'ah

s6. Menyebutkan syarat syah menjadi imam.

7. Membedakan imam da ma’mum masbuq

8. Menyebutkan cara memberi tahu imam yang salah

9. Menyebutkan shalat berjamaah.

Materi : Adzan, Iqamah dan shalat jama’ah

Azan (ejaan KBBI) atau adzan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk memberitahu masuknya
shalat fardu. Dikumandangkan oleh seorang muadzin setiap shalat 5 waktu. Lafadz adzan terdiri dari 7
bagian:
1. Allahu Akbar, Allahu Akbar (2 kali); artinya: "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"

2. Asyhadu alla ilaha illallah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan selain Allah"

3. Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah (2 kali) "Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasul Allah"

4. Hayya 'alash sholah (2 kali) "Mari menunaikan shalat"

5. Hayya 'alal falah (2 kali) "Mari meraih kemenangan"


6. Allahu Akbar, Allahu Akbar (1 kali) "Allah Maha Besar, Allah Maha Besar"

7. Lailaha ilallah (1 kali) "Tiada sesembahan selain Allah"

Asal muasal adzan berdasar hadits


Lafal adzan tersebut diperoleh dari hadits tentang asal muasal adzan dan iqamah:
Abu Dawud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid berkata sebagai berikut: "Ketika cara memanggil
kaum muslimin untuk sholat dimusyawarahkan, suatu malam dalam tidurku aku bermimpi. Aku melihat ada
seseorang sedang menenteng sebuah lonceng. Aku dekati orang itu dan bertanya kepadanya apakah ia ada
maksud hendak menjual lonceng itu. Jika memang begitu aku memintanya untuk menjual kepadaku saja.
Orang tersebut malah bertanya," Untuk apa? Aku menjawabnya, "Bahwa dengan membunyikan lonceng itu,
kami dapat memanggil kaum muslim untuk menunaikan sholat." Orang itu berkata lagi, "Maukah kau kuajari
cara yang lebih baik?" Dan aku menjawab "Ya!" Lalu dia berkata lagi dan kali ini dengan suara yang amat
lantang:
· Allahu Akbar Allahu Akbar

· Asyhadu alla ilaha illallah

· Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah

· Hayya 'alash sholah (2 kali)

· Hayya 'alal falah (2 kali)

· Allahu Akbar Allahu Akbar

· La ilaha illallah
Ketika esoknya aku bangun, aku menemui Nabi Muhammad.SAW, dan menceritakan perihal mimpi
itu kepadanya, kemudian Nabi Muhammad. SAW, berkata, "Itu mimpi yang sebetulnya nyata. Berdirilah
disamping Bilal dan ajarilah dia bagaimana mengucapkan kalimat itu. Dia harus mengumandangkan adzan
seperti itu dan dia memiliki suara yang amat lantang." Lalu akupun melakukan hal itu bersama Bilal."
Rupanya, mimpi serupa dialami pula oleh Umar ia juga menceritakannya kepada Nabi Muhammad, SAW.

Asal muasal iqamah


Setelah lelaki yang membawa lonceng itu melafalkan adzan, dia diam sejenak, lalu berkata: "Kau
katakan jika shalat akan didirikan:
· Allahu Akbar, Allahu Akbar

· Asyhadu alla ilaha illallah

· Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah

· Hayya 'alash sholah

· Hayya 'alal falah

· Qod qomatish sholah (2 kali), artinya "Shalat akan didirikan"

· Allahu Akbar, Allahu Akbar

· La ilaha illallah
Begitu subuh, aku mendatangi Rasulullah SAW kemudian kuberitahu beliau apa yang kumimpikan.
Beliaupun bersabda: "Sesungguhnya itu adalah mimpi yang benar, insya Allah. Bangkitlah bersama Bilal dan
ajarkanlah kepadanya apa yang kau mimpikan agar diadzankannya (diserukannya), karena sesungguhnya
suaranya lebih lantang darimu." Ia berkata: Maka aku bangkit bersama Bilal, lalu aku ajarkan kepadanya dan
dia yang berazan. Ia berkata: Hal tersebut terdengar oleh Umar bin al-Khaththab ketika dia berada di
rumahnya. Kemudian dia keluar dengan selendangnya yang menjuntai. Dia berkata: "Demi Dzat yang telah
mengutusmu dengan benar, sungguh aku telah memimpikan apa yang dimimpikannya." Kemudian
Rasulullah SAW bersabda: "Maka bagi Allah-lah segala puji."
HR Abu Dawud (499), at-Tirmidzi (189) secara ringkas tanpa cerita Abdullah bin Zaid tentang mimpinya, al-
Bukhari dalam Khalq Af'al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibnu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan
Ahmad (16043-redaksi di atas). At-Tirmidzi berkata: "Ini hadits hasan shahih". Juga dishahihkan oleh jamaah imam
ahli hadits, seperti al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan yang lainnya. Demikian diutarakan al-Albani dalam al-
Irwa (246), Shahih Abu Dawud (512), dan Takhrij al-Misykah (I: 650)

Hukum Iqamah
Dalam pembahasan adzan terdahulu, kita telah mengetahui bahwa hukum iqamah adalah fardhu kifayah
dalam shalat berjamaah. Adapun untuk shalat sendiri, hukumnya mustahab (sunnah), dengan dalil sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫صلَّى َخ ْلفَهُ ِم ْن ُجنُوْ ِد هللاِ َما‬ َ ‫ فَإِ ْن أَقَا َم‬،‫صالَةُ فَ ْليَت ََوضَّأْ فَإِ ْن لَ ْم يَ ِج ْد َما ًء فَ ْليَتَيَ َّم ْم‬
َ ‫ َوإِ ْن أَ َّذنَ َوأَقَا َم‬،ُ‫صلَّى َم َعهُ َملَكَاه‬ ٍ ْ‫إِ َذا َكانَ ال َّر ُج ُل بِأَر‬
‚ِ َ‫ فَ َحان‬،‫ض قِ ٍّي‬
َّ ‫ت ال‬
‫الَ يُ َرى طَرْ فا َ ُه‬
“Bila seseorang berada di tanah yang tandus tidak berpenghuni lalu datang waktu shalat, ia pun berwudhu
dan bila tidak beroleh air ia bertayammum. Maka jika ia menyerukan iqamah untuk shalat akan shalat
bersamanya dua malaikat yang menyertainya. Jika ia adzan dan iqamah maka akan shalat di belakangnya
tentara-tentara Allah yang tidak dapat terlihat dua ujungnya.” (HR. Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah,
sanadnya shahih di atas syarat As-Sittah, kata Al-Imam Al-Albani rahimahullahu, Ats-Tsamarul Mustathab,
1/45)1

Adab adzan
Adapun adab melaksanakan azan menurut jumhur ulama ialah:
1. muazin hendaknya tidak menerima upah dalam melakukan tugasnya;

2. muazin harus suci dari hadas besar, hadas kecil, dan najis;

3. muazin menghadap ke arah kiblat ketika mengumandangkan azan;

4. ketika membaca hayya ‘ala as-salah muazin menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kanan dan ketika membaca
hayya ‘ala al-falah menghadapkan muka dan dadanya ke sebelah kiri;

5. muazin memasukkan dua anak jarinya ke dalam kedua telinganya;

6. suara muazin hendaknya nyaring;

7. muazin tidak boleh berbicara ketika mengumandangkan azan;

8. orang-orang yang mendengar azan hendaklah menyahutnya secara perlahan dengan lafal-lafal yang diucapkan oleh
muazin, kecuali pada kalimat hayya ‘ala as-salah dan hayya ‘ala al-falah yang keduanya disahut dengan la haula wa
la quwwata illa bi Allah (tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah);

9. setelah selesai azan, muazin dan yang mendengar azan hendaklah berdoa: Allahumma rabba hazihi ad-da’wah at-
tammah wa as-salati al-qa’imah, ati Muhammadan al-wasilah wa al-fadilah wab’ashu maqaman mahmuda allazi
wa’adtahu (Wahai Allah, Tuhan yang menguasai seruan yang sempurna ini, dan salat yang sedang didirikan,
berikanlah kepada Muhammad karunia dan keutamaan serta kedudukan yang terpuji, yang telah Engkau janjikan
untuknya [HR. Bukhari]). (KYP3095)
Membaca doa setelah Adzan
" ‫" اللهم رب هذه الدعوة التامة والصالة القائمة آت محمدا الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محمودا الذي وعدته‬

“Ya Allah Tuhan Pemilik seruan yang sempurna ini, dan shalat yang akan didirikan, karuniakanlah
kepada nabi Muhammad Saw. wasilah dan keutamaan dan tempatkanlah ia di tempat yang terpuji yang
telah Engkau janjikan.”

Isilah Antara adzan dan Iqamah dengan dzikir


‫ " الدعاء ال يرد بين األذان واإلقامة " رواه أحمد والترمذي وأبو داوود‬: ‫قال صلى هللا عليه وسلم‬

“Do’a itu tidak akan tertolak diantara adzan dan iqamah”

Penjelasan: Do’a yang dilakukan pada waktu antara adzan dan iqamah itu terkabulkan. Dalam
artian, waktu ini adalah salah satu waktu yang mustajabah untuk berdo’a.2

Email: info@pesantrenvirtual.com; Website: www.pesantrenvirtual.com

Terdapat riwayat shahih dalam Shahih Muslim [Kitab al-Musafirin, Bab Jami' Shalat al-Lail, 1/515,
no. 748, pent.] dari Umar bin al-Khaththab y, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

‫ب لَهُ كَأَنَّ َما قَ َرأَهُ ِمنَ اللَّي ِْل‬ ُّ ‫صالَ ِة‬


َ ِ‫الظه ِْر؛ ُكت‬ َ ‫صالَ ِة ْالفَجْ ِر َو‬
َ َ‫َي ٍء ِم ْنهُ فَقَ َرأَهُ َما بَ ْين‬
ْ ‫َم ْن نَا َم ع َْن ِح ْزبِ ِه أَوْ ع َْن ش‬
"Barangsiapa tertidur dari hizbnya [Hizb adalah shalat, dzikir, wirid yang dilakukan oleh seseorang
secara rutin di waktu tertentu, pent.] atau dari sesuatu dari hizbnya, lalu dia membacanya di antara Shalat
Shubuh dan Shalat Zhuhur, maka ditulis untuknya pahala seperti dia memba-canya di malam hari." 3
Ketentuan waktu antara Adzan dan Iqamat

jikalau seseorang sendirian atau wanita yang shalat dirumahnya, maka yang terbaik adalah
mensegerakan shalat pada awal waktunya kecual isya’ dan dhuhur ketika sangat panas (agar diakhirkan).
(menunaikan) shalat sunnah qabliyah kemudian shalat wajib. Hal itu sebagaimana diriwayatkan Bukhori
(527) dan Muslim (85) dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:”Saya bertanya kepada
Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam: “Amal apakah yang paling disenangi Allah?”. (beliau) menjawab:
“Shalat pada waktunya”. Berkata (Ibnu Mas’ud):”Kemudian apa?”. Beliau menjawab:”Kemudian berbakti
kepda kedua orang tua. Berkata (Ibnu Mas’ud):”Kemudian apa?”. (Beliau) menjawab:”Jihad di Jalan Allah”.
Dan (berdasarkan) sabda Nabi Sallallahu’alaihi wasallam:”Ketika sangat panas, maka (tunggu) dingin
dengan shalat yaitu shalat dhuhur. Karena (sengatan) panas dari hembusan neraka Jahanam. HR.Bukhori
(537) dan Muslim (615). Dan apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata: Rasulullah
sallallahu’alaihi wasallam bersabda:”Kalau sekiranya tidak memberatkan bagi umatku, (pasti) akan saya
perintahkan kepada mereka mengakhirkan shalat isya’ sampai sepertiga malam atau pertengahannya”
HR.Turmudzi (167) dan dishohehkan oleh Al-Bany di shoheh Turmudzi
Sementara (berkaitan dengan) jama’ah (yang berada di dalam) masjid, maha hendaknya disana ada
waktu antara adzan dan iqamah (yang) cukup untuk bersuci, pergi ke masjid, dan menunaikan shalat (sunah)
rowatib. Syekh Sayyid Sabiq rahimahullah berkata di kitab “Fiqhus Sunnah” (1/100):”Diharapkan (ada)
renggang antara adzan dan iqamah waktu yang memungkinkan untuk persiapan (menunaikan) shalat dan
menghadirinya, karena adzan disyareatkan untuk seperti ini. Jikalau tidak (ada waktu renggang) maka akan
hilang faeadahnya. Dan hadits-hadits yang ada semakna ini semuanya lemah. Bukhori telah (membuat bab
khusus) dengan bab “Berapa (waktu) antara adzan dan iqamah” akan tetapi tidak (ada ketetapan) pastinya.
Ibnu Battol berkata:”Tidak ada ketetapan (untuk) itu, melainkan kemungkinan (telah memasuki) waktu adzan
dan berkumpulnya orang-orang (yang akan menunaikan) shalat”. Selesai. Ibnu Hajar rahimahullah
berkomentar dalam “Fathul Bari (2/162)” (memberi) catatan terhadap perkataan Imam Bukhori “Berapa
(waktu) antara adzan dan iqamah”: (Beleh jadi) beliau mengisyaratkan apa yang diriwayatkan oleh Jabir
sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wasallam berkta kepada Bilal:”Jadikanlah antara adzan dan iqamahmu
(waktu senggang) yang cukup (jikalau) orang makan telah selesai makannya, orang minum selesai minumnya
dan orang yang sakit perut selesai membuang hajatnya”. HR.Turmudzi dan Hakim akan tetapi sanadnya
lemah. Dan ia ada syahid (penguat) dari hadits Abu Hurairah, hadits Salman yang keduanya dikeluarkan oleh
Abu Syekh, dan dari hadits Ubay bin Ka’b yang dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam ziyadat
Musnad. Akan tetapi semuanya lemah. Seakan-akan beliau memberikan isyarat bahwa ketentuan (waktu)
seperti itu tidak (ada) ketetapan”. Selesai. Sykeh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah di tanya: “Apakah (ada)
Rasulullah sallallahu’alaih wasallam menentukan waktu (senggang) antara adzan dan iqamah?” Beliau
menjawab:”(Biasanya) Nabi sallallahu’alaihi wasallam (menunaikan) shalat pada awal waktu kecuali shalat
isya’ yang akhir. Maka beliau menunggu berkumpulnya orang-orang, kalau (beliau) melihat mereka telah
berkumpul disegerakan (shalat). Dan jikalau beliau melihat mereka lambat diakhirkan (shalat). Dan biasanya
beliau juga tinggal di rumah sampai muadzin datang untuk memberitahukan akan hadirnya (waktu shalat),
terkadang beliau keluar tanpa diberitahukan. Maka yang (sesuai) sunnah adalah mensegerakan semua waktu
shalat melainkan (shalat) isya’dan dhuhur di waktu panas. Akan tetapi (waktu) shalat yang mempunyai
sunnah rawatib seperti fajar dan dhuhur, hendaklah seseorang memperhatikan kondisis orang (lain) yang
memungkinkan untuk wudhu’ setelah adzan dan melaksanakan shalat rowatib ini”. Selesai Majmu’ Fatawa
Sykeh Muhammad Sholeh Al-Utsaimin (12/190). Kalau jama’ah (yang ada) di Masjid bersepakat
(menentukan) waktu tertentu untuk melaksanakan iqamah shalat atau ada arahana dari penanggung jawab
Auqof (Depag) agar terhindar dari perselisihan, maka (hal tersebut) tidak mengapa dan hendahnya
berkomitmen akan hal itu4.
Sholat Berjamaah
a. Hukum Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah itu adalah wajib bagi tiap-tiap mukmin, tidak ada keringanan untuk
meninggalkannya terkecuali ada udzur (yang dibenarkan dalam agama). Hadits-hadits yang merupakan dalil
tentang hukum ini sangat banyak, di antaranya:
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu , ia berkata,Telah datang kepada Nabi shallallaahu alaihi
wasallam seorang lelaki buta, kemudian ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, aku tidak punya orang yang bisa
menuntunku ke masjid, lalu dia mohon kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam agar diberi
keringanan dan cukup shalat di rumahnya.’ Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan
keringanan kepadanya. Ketika dia berpaling untuk pulang, beliau memanggilnya, seraya berkata, ‘Apakah
engkau mendengar suara adzan (panggilan) shalat?’, ia menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda, ‘Maka hendaklah
kau penuhi (panggilah itu)’.” (HR. Muslim)
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu ia berkata: ‘Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
bersabda, ‘Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh. Seandainya
mereka itu mengetahui pahala kedua shalat tersebut, pasti mereka akan mendatanginya sekalipun dengan
merangkak. Aku pernah berniat memerintahkan shalat agar didirikan kemudian akan kuperintahkan salah
seorang untuk mengimami shalat, lalu aku bersama beberapa orang sambil membawa beberapa ikat kayu
bakar mendatangi orang-orang yang tidak hadir dalam shalat berjama’ah, dan aku akan bakar rumah-
rumah mereka itu’.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Abu Darda’ radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam bersabda, ‘Tidaklah berkumpul tiga orang, baik di suatu desa maupun di dusun, kemudian di sana
tidak dilaksanakan shalat berjama’ah, terkecuali syaitan telah menguasai mereka. Maka hendaklah kamu
senan-tiasa bersama jama’ah (golongan yang banyak), karena sesungguhnya serigala hanya akan
memangsa domba yang jauh terpisah (dari rombongannya)’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, An-Nasai dan
lainnya, hadits hasan )
“Dari Ibnu Abbas , bahwasanya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda, ‘Barangsiapa
mendengar panggilan adzan namun tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya, ter-kecuali karena
udzur (yang dibenarkan dalam agama)’.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan lainnya, hadits shahih)
“Dari Ibnu Mas’ud radhiallaahu anhu, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam mengajari kami sunnah-sunnah (jalan-jalan petunjuk dan kebenaran) dan di antara sunnah-
sunnah tersebut adalah shalat di masjid yang dikuman-dangkan adzan di dalamnya.” (HR. Muslim)
b. Keutamaan Shalat Berjama’ah
Shalat berjama’ah mempunyai keutamaan dan pahala yang sangat besar, banyak sekali hadits-hadits
yang menerangkan hal tersebut di antaranya adalah:
“Dari Ibnu Umar radhiallaahu anhuma , bahwasanya Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam
bersabda, ‘Shalat berjama’ah dua puluh tujuh kali lebih utama daripada shalat sendirian.” (Muttafaq ‘alaih)
“Dari Abu Hurairah radhiallaahu anhu, ia berkata,’Bersabda Rasulullah shallallaahu alaihi
wasallam, ‘Shalat seseorang dengan berjama’ah lebih besar pahalanya sebanyak 25 atau 27 derajat
daripada shalat di rumahnya atau di pasar (maksudnya shalat sendi-rian). Hal itu dikarenakan apabila
salah seorang di antara kamu telah berwudhu dengan baik kemudian pergi ke masjid, tidak ada yang
menggerakkan untuk itu kecuali karena dia ingin shalat, maka tidak satu langkah pun yang dilangkahkannya
kecuali dengannya dinaikkan satu derajat baginya dan dihapuskan satu kesalahan darinya sampai dia
memasuki masjid. Dan apabila dia masuk masjid, maka ia terhitung shalat selama shalat menjadi penyebab
baginya untuk tetap berada di dalam masjid itu, dan malaikat pun mengu-capkan shalawat kepada salah
seorang dari kamu selama dia duduk di tempat shalatnya. Para malaikat berkata, ‘Ya Allah, berilah rahmat
kepadanya, ampunilah dia dan terimalah taubatnya.’ Selama ia tidak berbuat hal yang mengganggu dan
tetap berada dalam keadaan suci’.” (Muttafaq ‘alaih)5
http://trimudilah.wordpress.com/shalat/
Solat berjamaah adalah solat yang dilakukan secara bersama, dipimpin oleh yang ditunjuk sebagai
imamnya. Solat-solat yang bisa dikerjakan berjamaah adalah:

1. Solat Lima Waktu: Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya


2. Solat Jum’at
3. Solat Tarawih
4. Solat Ied Fitri dan ‘Idul Adha
5. Solat Jenazah
6. Solat Istisqa (Minta Hujan)
7. Solat Gerhana Bulan dan Matahari
8. Solat Witir
Cara Melakukan
Berniat dalam hati bahawa ia menjadi makmum atau iman. Adapun seseorang yang pada mulanya
solat sendirian, kemudian ada orang lain yang mengikuti di belakangnya, baginya tidak dituntut sebagai
imam.
Makmum tidak dibenarkan mendahului imam, baik tempat berdirinya maupun gerakannya selama
solat berjama’ah berlangsung. Makmum diharuskan mengikuti sikap/gerak imam, tidak boleh terlambat apa
lagi sampai tertinggal hingga dua rukun solat.
Apabila makmum menyalahi gerakan imam (sengaja tidak mengikutinya) maka putuslah arti jama’ah
baginya; dan ia disebut mufarriq.
Antara imam dan makmum harus berada dalam satu tempat yang tidak terputus oleh sungai atau
tembok mati kerana itu berjamaah melalui radio atau seumpamanya dalam jarak jauh, tidak memenuhi syarat
berjamaah.
Imam hendaklah orang yang berdiri sendiri, bukan orang yang sedang makmum kepada orang lain.
Selain itu, imam hendaklah seorang laki-laki. Perempuan hanya dibenarkan menjadi imam sesama
perempuan dan anak-anak.
Solat berjamaah hukumnya sunnah muakkad yaitu sunnat yang sangat dianjurkan. Perbedaan nilai
solat berjamaah, 27 kali lebih baik daripada solat sendirian (munfarid). Solat berjamaah paling sedikit adalah
adanya seorang imam dan seorang makmum.
Bila seseorang terlambat mengikuti solat berjamaah, hendaklah ia segera melakukan takbiratul
ihram, lalu berbuat mengikuti imam sebagaimana adanya. Bila imam sedang duduk, hendaklah ia duduk, bila
iamam sedang sujud iapun harus sujud; demikian seterusnya. Apabila imam sudah memberi salam,
hendaklah ia bangun kembali untuk menambah kekurangan raka’at yang tertinggal dan kerjakanlah hingga
raka’atnya memenuhi.
Ukuran satu rakaat solat ialah ruku’. Bila seseorang mendapatkan imam ruku dan dapat
mengikutinya dengan baik, maka ia mendapatkan satu rakaat bersama imam.
Rasulullah s a.w. bersabda: “Apabila seseorang di antara kamu mendatangi shalat, padahal imam
sedang berada daam suatu sikap tertentu, maka hendaklah ia berbuat seperti apa yang sedang dilakukan oleh
imam”. (HR Turmudzi dan Ali r.a. )
Hikmah Berjamaah
Solat berjamah mengandung faedah dan manfaat yang bervariasi sesuai dengan kepentingan umat
dan zaman. Melalui jamaah, silaturahmi antar umat, disiplin, dan berita-berita kebajikan dapan
dikembangkan dan disebarkan luaskan.
Rasulullah s a.w. bersabda: Solat berjamaah itu lebih utama nilainya dari solat sendirian, sebanyak
dua puluh tujuh derajat” (HR Bukhari dan Muslim).
Imam (Ikutan)
Imam adalah ikutan, demikian pengertiannya. Untuk menjadi seorang imam diperlukan beberapa
persyaratan yang mengikat. Misalnya memiliki usia yang lebih tua atau dituakan, memiliki pengetahuan
tentang Al Quran dan hadits Rasulullah s a.w., memiliki keindahan bacaan dengan ucapan yang fasih (kalau
di zaman Rasulullah s a.w., peribadi-peribadi yang lebih dahulu hijrah diperhatikan untuk menjadi imam.
Kerana imam adalah ikutan, maka pemilihan pribadi amat diperhatikan. Pro dan kontra yang
berlebihan atas seseorang imam kerana dosa besarnya yang menonjol, pasti akan membubarkan jamaah.
Adapun dalam kesalahan umum, maka semua manusia tidak suci dari dosa. Seorang yang biasa menjadi
imam, maka tidak ada salahnya untuk sewaktu-waktu ia berada di belakang imam yang lain. Walau dia
sendiri mungkin lebih baik dari imam yang bersangkutan.
“Dari Abdullah bin Masud, dia berkata: Rasulullah s a.w. bersabda: “Menjadi Imam dari suatu kaum
ialah mana yang lebih baik bacaan Al Qur’annya. Bila semuanya sama bagusnya, hendaklah imamkan mana
yang paling alim (banyak tahu) akan sunnah Rasul. Kalau semuanya sama alim tentang sunnah Rasul, maka
dahulukan mereka yang lebih dulu hijrah. Kalau mereka sama dahulu hijrah, maka iammkanlah mereka yang
lebih tua usianya” (HR Imam Ahmad dan Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud).
“Kalau mereka ada bertiga, hendaklah diimamkan seorang. Yang lebih berhak menjadi imam ialah
yang lebih banyak bacan (tahu tentang bacaan Al Qur’annya)”. (HR Imam Muslim, Ahmad dan Nasa’i
dengan sumber Abi Said Al-Khudry).
“Tidaklah halal bagi seorang mukmin yang imam kepada Allah s.w.t. dan hari akhir yang
mengimami sesuatu kaum kecuali atas izin kaum itu. Dan janganlah ia mengkhususkan satu do’a untuk
dirinya sendiri dengan meninggalkan mereka. Kalau ia berbuat demikian, berkhianatlah ia kepada mereka”.
(HR Abu Daud dari Abu Hurairah)
Keadaan Shaf
Solat salah satu ibadah yang menghubungkan peribadi kepada Allah s.w.t., dan juga mengatur
hubungan sesama manusia. Solat yang baik mendatangkan tamsil yang indah dan berguna.
Shaf yang baik akan menghemat tempat, merapikan barisan dan kesatuan jamaah serta
mendatangkan nilai tambah bagi ibadah itu sendiri, bahkan menjadi cermin disiplin kehidupan dan pergaulan.
Rasulullah s a.w. bersabda: “Aturlah shaf-shaf kamu dan dapatkanlah jarak antaranya, ratakanlah
dengan tengkuk-tengkuk”. (HR Imam Abu Dawud dan An Nasa’i disahihkan Ibnu Hibban dari Anan).
Sering orang mengira bahawa shaf yang baik adalah shaf yang dilakukan secara santai-lapang.
Tidaklah demikian sebenarnya.
Untuk Shaf yang Baru
Bila shaf terisi penuh, maka mulailah dengan shaf yang baru dari arah sebelah kanan. Bila yang
terbelakang hanya seorang diri, maka usahakanlah ia dapat masuk shaf yang sudah ada; atau tariklah seorang
anggota shaf yang ada untuk menemaninya (yang ditarik pasti mahu, andaikan ia mengerti tata tertibnya).
Shaf Kaum Wanita
Shaf kaum wanita sebaiknya terletak di belakang shaf kaum lelaki, sementara shaf anak-anak berada
di tengah; demikian bila dimungkinkan. Bila tidak, shaf makmum lelaki dan wanita bisa diatur secara sejajar;
atau mungkin tercampur sama sekali, bagaikan jamaah musim haji di masjidil Haram, Makkah. Shaf yang
bercampur baur sebenarnya kurang baik, bahkan mudah mengandung fitnah; sementara solat itu sendiri
mencegah kekejian dan kemungkaran, yang akan mendatangkan fitnah, apalagi jika melakukan solat.
Rasulullah s a.w. bersabda: “Sebaik-bauknya shaf kaum lelaki itu di depan, dan seburuk-buruknya
ialah di bagian belakangnya, dan sebaik-baiknya shaf kaum wanita itu ialah pada bagian akhirnya dan
sejelek-jeleknya ialah di bagian depannya”. (HR Imam Muslim dari Abu Hurairah).
Pengganti Imam
Bila solat berjamaah, sebaiknya orang yang di belakang imam adalah mereka yang merasa dirinya
siap sebagai pengganti, bila tiba-tiba imam mendapat halangan, umpamanya batal, jatuh sakit, lupa ingatan,
terlupa rukun dan sebagainya. Apabila seseorang solat di sebuah masjid di luar asuhan atau daerahnya
sendiri, maka dia tidak boleh langsung bertindak menjadi imam, kecuali bila diminta. Mungkin saja disana
sudah ada jadwal imam tetap. Begitu pula bila ia bertamu, kerana yang paling hak menjadi imam adalah tuan
rumah sendiri, kecuali bila ia diminta.
Imam Yang Arif
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah s a.w. bersabda: “Manakala seseorang di
antara kamu solat bersama-sama orang banyak, maka hendaklah ia meringankan (memendekkan) bacaan
surat atau ayat-ayatnya. Mungkin ada diantara jamaah yang tidak tahan lama berdiri, ada yang sakit, atau ada
yang sudah tua. Dan manakala seseorang dari kamu itu solat sendirian, maka silakan ia memanjangkan
bacaan sekehendaknya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Khutbah dipendekkan dan solat diperpanjang, demikian petunjuk Rasulullah s a.w. Di pejabat,
pekerja dibatasi oleh waktu, maka khutbah yang pendek sangat tepat dan bermanfaat. Khutbah yang seakan-
akan cerita bersambung, membosankan, akhirnya jama’ah berbual dan mengantuk 6.
Ringkasan
* Kalau solat di rumah, maka tuan rumah lebih berhak menjadi imam, kecuali tuan rumah
mempersilakannya.
* Orang yang bagus bacaan Al-Qurannya lebih diutamakan untuk menjadi imam.
* Bila solat telah berlangsung, mereka yang datang belakangan terus saja mengikuti imam yang sudah ada.
* Imam sedapatnya orang yang lebih disukai makmum, kerana iman itu dipilih untuk diikuti.
* Imam sahabat rawatib, sebaiknya oleh imam yang biasa ditetapkan, kecuali ada kesepakatan menunjuk
orang lain sebagai imam.
* Imam yang fasih lebih utama, sebagai halnya seorang yang dituakan, baginya amat layak menjadi imam
dalam solat.
* Imam itu bertanggung jawab atas makmumnya, kerana itu seorang imam harus tahu benar dengan
kedudukannya.
* Orang makmum yang tepat berada di belakang imam, hendaklah seorang yang amat tahu dalam masalah
ibadah yang sedang dilakukan. Mereka harus bertindak tepat pada saat imam batal, salah, lupa dan
sebagainya. Bila perlu ia berhak menggatikan imam, sekalipun imam berkebaratan atau tidak tahu tentang
kesalahannya.
* Seorang di belakang imam berlaku sebagai barometer, berhak meluruskan baris atau shaf di kanan dan
kirinya.
* Apabila selesai solat, imam segera duduk mengarah ke jamaah. Sebaiknya imam berdzikir secara pelan dan
kusyu, dan jamaahpun berdzikir atau berdoa sesuai kata hatinya; demikian yang terbaik.
* Bila imam berdoa, diaminkan atau tidak diaminkan, doa imam sudah membawa kepentingan jamaahnya 7.
Syarat sah menjadi imam

Syarat Sah Manjadi Imam Dalam Shalat Berjama'ah

Sebelum memulai shalat dengan makmumnya, seorang imam setelah muazin selesai
mengumandangkan azan dan komat, maka imam berdiri paling depan dan menghadap makmum untuk
mengatur barisan terlebih dahulu. Jika sudah lurus, rapat dan rapi imam menghadap kiblat untuk mulai
ibadah sholat berjamaah dengan khusyuk.

Syarat Untuk Menjadi Imam Sholat Berjama'ah :


1. Lebih banyak mengerti dan paham masalah ibadah solat.
2. Lebih banyak hapal surat-surat Alquran.
3. Lebih fasih dan baik dalam membaca bacaan-baca'an salat.
4. Lebih senior / tua daripada jama'ah lainnya.
5. Tidak mengikuti gerakan shalat orang lain.
6. Laki-laki. Tetapi jika semua makmum adalah wanita, maka imam boleh perempuan.

Bacaan dua rokaat awal untuk sholat zuhur dan ashar pada surat Al-fatihah dan bacaan surat
pengiringnya dibaca secara sirran atau lirih yang hanya bisa didengar sendiri, orang lain tidak jelas
mendengarnya. Sedangkan pada solat maghrib, isya dan subuh dibaca secara jahran atau nyaring yang dapat
didengar makmum. Untuk shalat sunah jumat, idul fitri, idul adha, gerhana, istiqo, tarawih dan witir dibaca
nyaring, sedangkan untuk sholat malam dibaca sedang, tidak nyaring dan tidak lirih.

B. Syarat Sah Manjadi Ma'mum Dalam Shalat Berjama'ah


Syarat Untuk Menjadi Makmum Sholat Berjama'ah :
1. Niat untuk mengikuti imam dan mengikuti gerakan imam.
2. Berada satu tempat dengan imam.
3. Laki-laki dewasa tidak syah jika menjadi makmum imam perempuan.
4. Jika imam batal, maka seorang makmum maju ke depan menggantikan imam.
5. Jika imam lupa jumlah roka'at atau salah gerakan sholat, makmum mengingatkan dengan membaca
Subhanallah dengan suara yang dapat didengar imam. Untuk ma'mum perempuan dengan cara bertepuk
tangan.
6. Makmum dapat melihat atau mendengar imam.
7. Makmum berada di belakang imam.
8. Mengerjakan ibadah sholat yang sama dengan imam.
9. Jika datang terlambat, maka makmum akan menjadi masbuk yang boleh mengikuti imam sama
sepertimakmum lainnya, namun setelah imam salam masbuk menambah jumlah rakaat yang tertinggal. Jika
berhasil mulai dengan mendapatkan ruku' bersama imam walaupun sebentar maka masbuk mendapatkan satu
raka'at. Jika masbuk adalah makmum pertama, maka masbuk menepuk pundak imam untuk mengajak sholat
berjama'ah.

C. Posisi Imam Dan Makmum Sholat Jama'ah / Besama-Sama

1. Jika terdiri dari dua pria atau dua wanita saja, maka yang satu menjadi imam dan yang satu
menjadi makmum berada di sebelah kanan imam agak ke belakang sedikit.
2. Jika makmum terdiri dari dua orang atau lebih maka posisi makmum adalah membuat barisan sendiri di
belakang imam. Jika makmum yang kedua adalah masbuk, maka masbuh menepuk pundak mamum pertama
untuk melangkah mundur membuat barisan tanpa membatalkan sholat.
3. Jika terdiri dari makmum pria dan makmum wanita, maka makmum laki-laki berada dibelakang imam, dan
wanita dibalakang makmum lakilaki.
4. Jika ada anak-anak maka anak lelaki berada di belakang makmum laki-laki dewasa dan disusul dengan
makmum anak-anak perempuan dan kemudian yang terakhir adalah makmum perempuan dewasa.
5. Makmum bencong atau transeksual tetap tidak diakui dan kalau ingin sholat berjama'ah mengikuti jenis
kelamin awal beserta perangkat sholat yang dikenakan8.

Perbedaan imam na ma’mum masbuq

Perbedaan niat imam dan makmum

Fenomena yang sering menimbulkan pertanyaan di kalangan kaum muslimin Indonesia adalah
manakala seorang sholat sunnah sendiri, misalnya sholat sunnah ba'diyah, atau sholat fardlu sendiri kemudian
datanglah seseorang yang bermakmum kepadanya dengan menepuk pundak si mushalli pertama, sahkah
sholat seperti ini? Permasalahan ini dalam kitab fikih dibahas dengan judul perbedaan niat imam dan
makmum. Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara sholat seperti itu.

Pendapat pertama adalah madzhab syafi'i mengatakan bahwa sah sholat jamaah dengan perbedaan
niat imam dan makmum secara mutlak. Jadi meskipun imam sholat sunnah dan makmum sholat fardlu, imam
sholat dhuhur dan makmum sholat ashar, imam sholat ada' dan makmum sholat qadla, semuanya sah, asalkan
format sholat imam dan makmum sama. Kalau formatnya beda, maka tidak sah, seperti misalnya imam
sholat gerhana dan makmum sholat isya', maka tidak diperbolehkan. Madzhab Syafi'I ini merupakan
madzhab yang paling longgar.

Pendapat kedua adalah madzhab Maliki yang mengatakan tidak sah sholat imam dan makmum yang
berbeda niatnya, secara mutlak. Mereka yang sholat fradlu tidak boleh bermakmum dengan imam yang
sholat sunnah, begitu makmum sholat dhuhur tidak sah bila imamnya sholat selain fardlu. Ini pendapat paling
ketat.

Pendapat ketiga adalah madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa boleh orang sholat sunnah di
belakang imam yang sholat fardlu tapi tidak sebaliknya. Begitu juga tidak sah sholat makmum yang berbeda
dengan sholat imamnya meskipun sama-sama fardlu.

Dalil-dalil:
Dalil pendapat pertama adalah:

1. Hadist riwayat Syafi'I dari Abu Bakrah bahwa Rasulullah s.a.w. keluar untuk mendamaikan satu
persengketaan di Bani Sulaim, lalu beliau membagi sahabatnya menjadi dua kelompok, kemudian beliau
sholat mengimami dengan kelompok satu, kemudian sholat lagi mengimami dikelompok kedua.
Diriwayatkan itu sholat maghrib.

Sangat jelas pada hadist tersebut bahwa Rasulullah mengimami kelompok kedua, padahal beliau
telah sholat di kelompok pertama. Berarti sholat Rasulullah sunnah dan sholat makmum fardlu.

2. Hadist riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Suatu hari Muadz sholat bersama
Rasulullah s.a.w. lalu ia datang ke kaumnya lalu ia mengimami kaumnya sholat Isya' dengan membaca surat
Baqarah, lalu seorang lelaki keluar dari jamaah dan menyelesaikan sendiri sholatnya. Orang-orang pun
menegurnya "Apakah anda orang manafik?", iapun menjawab"Tidak, aku akan adukan masalah ini kepada
Rasulullah". Sesampai kepada Rasulullah, orang itu berkata "Wahai Rasulullah, kami orang-orang bekerja
siang, Muzdz telah mengimami kami sholat Isya' telah larut dan membaca surat Baqarah". Ketika Rasulullah
mendengar cerita itu, ditegurnya Muad'z "Apakah angkau orang yang suka membuat fitnah? Mengapa tidak
kau baca surat Sabbihis dan Wallaili Idza Yaghsyaa".

Hadist ini juga menunjukkan perbedaan sholat imam dan makmum, dimana Muadz telah sholat Isya
bersama Rasulullah lalu menjadi imam di kaumnya. Bagi Muadz sholat sunnah dan bagi kaumnya sholat
fardlu.

3. Hadist riwayat Ahmad dll. Suatu hari Rasulullah s.a.w. sholat bersama sahabatnya, selesai salam
datanglah seorang lelaki ketinggalan lalu ia hendak sholat sendiri, lalu Rasuullah bersabda "Siapa yang mau
bersedekah dengan orang ini dengan berjamaah dengannya".

Hadist ini juga menunjukkan sahnya sholat meskipun dengan perbedaan niat antara makmum dan
imam.

Imam Syafi'I menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa perbedaan niat
sholat antara imam dan makmum tidak membatalkan sholat jamaah.

Dalil pendapat kedua dan ketiga:

1. Hadist diriwayatkan Bukhari dan Muslim dll. Rasulullah s.a.w. bersabda "Sesungguhnya dijadikan
imam untuk diikuti, ketika ia takbir maka takbirlah, ketika ruku' maka ruku'lah ketika sujud sujudlah, ketika
ia sholat berdiri maka berdirilah …

Hadist tersebut menegaskan bahwa makmum harus mengikuti imam, perbedaan niat makmum
menunjukkan sikap tidak mengikuti imam, maka tidak sah sholatnya.

2. Hadist riwayat Ashabus Sunan dari Barra' bin Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda "Janganlah kalian
berbeda, maka berbedalah hati kalian, sesungguhnyaAllah dan MalakatNya mendoakan para mushalli di shaf
pertama".

Hadist ini melarang berbeda dalam melakukan sholat, baik pada shaf maupun niat, maka perbedaan
niat imam dan makmum menjadikan sholat tidak sah.

Imam Abu Hanifah nampak mencoba menggabung hadist-hadist di atas secara tekstual, bahwa hanya
makmum sholat sunnah boleh mengikuti imam yang sholat fardlu seperti yang dicontohkan dalam hadist.

Bagi pengikut madzhab Syafi'I, ketika sholat sendiri kemudian merasa ada makmum yang datang
mengikutinya, hendaknya ia tidak menunggu makmum tersebut, misalnya dengan memperpanjang bacaan
dlsb, tapi hendaknya ia konsentrasi penuh dengan sholatnya 9

CARA MEMBERITAHU IMAM YANG SALAH


Saudaraku sesama muslim, sidang pembaca yang terhormat, kembali AL-Fakir berdakwah (lewat
tulisan) kali ini sesuai judul artikel religius ini tersebut diatas. Namun sebelum membahas materi, ingin saya
mengingatkan bahwa dalam shalat berjama’ah ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya
persoalan Imam, cara menegur Iman (sebab bukan mustahil seorang Imam dalam melaksanakan tugasnya
bisa saja berlaku khilaf bukan ?), cara mengganti Imam dan apa syarat-syarat tertentu bagi seorang makmum
menurut yang diajarkan syariat? Kenapa? Karena yang akan kita bahas kali ini adalah masalah yang ada
kaitannya dan tidak terlepas dari pengertian yang namanya shalat berjama’ah. Sementara shalat berjama’ah
itu sendiri mempunyai keistimewaan yaitu lebih baik 27 (dua puluh tujuh) derajad dari shalat sendiri.

• Sesuai Hadist Nabi SAW :

”Dari Ibnu Umar r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Shalat berjama’ah itu lebih baik daripada shalat
sendiri dengan 27 (dua puluh tujuh) derajad.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baiklah, Sekarang kita mulai dengan pembahasan kita. Siapa yang disebut Imam? Imam adalah orang yang
memimpin shalat, baik shalat wajib (fardhu) maupun shalat sunnat (mafilah). Imam akan selalu diikuti gerak-
geriknya dalam shalat oleh Jama’ah yang lain. Untuk menjadi seorang Imam harus mempunyai syarat-syarat
diantaranya seperti berikut ini :

· Sehat akalnya

· Lebih fasih bacaannya.

• Sesuai sabda Rasulullah SAW :

”Jika bertiga maka hendaklah mereka dijadikan Imam salah seorang dari mereka, dan yang lebih berhak
diantara mereka untuk menjadi Imam adalah orang yang lebih fasih bacaannya.” (HR. Muslim)

c. Harus laki-laki jika salah satu makmumnya terdapat laki-laki (tidak boleh perempuan menjadi Imam laki-
laki)
d. Yang lebih tua umurnya dan atau lebih tampan wajahnya.

• Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW :

”Jika mereka sama bacaannya maka pilihlah yang lebih tua dan jika umurnya sama mereka pilihlah diantara
mereka yang lebih tampan (ganteng) wajahnya.” (HR. Baihaqi)

Saudaraku, ada orang-orang yang tidak boleh dijadikan Imam. Siapa-siapa saja mereka itu ?
1. Perempuan bagi makmum laki-laki

2. Banci bagi makmum laki-laki

3. Banci bagi makmum banci

4. Perempuan bagi makmum banci

5. Orang yang pandai membaca Al-Qur’an menjadi makmum kepada orang yang tidak dapat membaca Al-Qur’an.

Sebagai manusia, Imam dalam shalat dapat saja berlaku khilaf dalam melaksanakan tugasnya. Untuk itu
didalam syariat Islam sudah diatur tata cara bagaimana menegur Imam dan tata cara menegurnya adalah
sebagai berikut:

1. Apabila Imam dalam melakukan gerakan shalat salah maka makmum berkewajiban memperbaiki
kesalahannya.
2. Cara memperbaiki kesalahan, untuk laki-laki dengan mengucapkan Subhanallah, sedangkan makmum
perempuan dengan cara : bertepuk tangan (yakni memukulkan tangan kanannya ketangan kiri bagian atas)
Kemudian bagiamana kalau sekiranya didalam shalat berjama’ah, Imam secara tidak sengaja mengalami hal
yang membatalkan shalat, maka makmum yang dibelakangnya (berdiri dibelakang Imam) maju kedepan
sebagai pengganti Imam dalam memimpin shalat sampai shalat selesai.

• Perhatikan riwayat yang diceritakan Said bin Mansyur dari Abu Razin yang artinya: ”Pada suatu hari Ali
bin Abu Thalib sedang shalat, tiba-tiba keluar darah dari hidungnya. Kemudian ia (Sayyidina Ali bin Abi
Thalib) segera menarik tangan seorang makmum dibelakangnya maju kedepan untuk menggantikannya.”
(Dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam Oleh: Drs. Ahmad Syafi’i Mufid, M.A.)

Sementara makmum adalah orang yang mengikuti Imam dalam shalat. Makmum dalam shalat berjama’ah
hendaknya memiliki perasaan senang dan ikhlas kepada Imam. Untuk menjadi seorang makmum maka
diperlakukan syarat-syarat tertentu diantaranya seperti berikut :

1. Makmum wajib niat mengikuti Imam dan Iman disunnahkan berniat menjadi Imam.

• Perhatikan Hadist Nabi SAW :


”Sesungguhnya syahnya sesuatu perbuatan tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari)

2. Makmum harus mengikuti segala gerak shalat yang dikerjakan oleh Imam, seperti rukuk dan kembali dari
rukuk, dengan cara melihat Imam langsung atau melihat makmum yang ada didepannya.

• Perhatikan pula Hadist Muttafaqun ’Alaih ini :

”Rasulullah SAW bersabda : ”Bahwasanya dijadikannya seorang Imam adalah untuk diikuti maka apabila dia
bertakbir, bertakbirlah dan jika rukuk, rukuklah.” (HR. Muttafaqun ’Alaih.)

3. Tidak boleh mendahului Imam atau melambatkan diri dari dua rukun Fi’li (perbuatan).

4. Laki-laki tidak syah mengikuti Imam perempuan

5. Berada disuatu lingkungan tempat yang sama dan tidak ada batas yang menghalangi antara Imam dan
Makmum.

6. Makmum dan Imam hendaklah dalam satu tempat, misalnya dalam satu Masjid atau Mushola, meskipun
ini bukan termasuk syarat Jama’ah, tetapi hukumnya sunnat karena makmum perlu mengetahui gerakan
Imam di depan.

7. Makmum jangan mendahului Imam atau memperlambat diri dengan gerakan shalat Imam, seperti Imam
belum takbir makmum sudah takbir atau Imam sudah sujud makmum baru rukuk.

8. Makmum dengan Imam hendaklah sama-sama shalatnya, apabila shalat Ashar dengan shalat Ashar.
Namun, hal itu untuk mencari keutamaan jama’ah. Tetapi jika tidak bersamaan dengan orang yang shalat
maktubah (shalat fardhu), maka tidak boleh mengikuti (menjadi makmum) dengan orang yang sedang shlat
mafilah (sunnat).

Seperti orang yang sedang shalat Ba’diyah Isya tidak boleh diikuti oleh orang yang akan shalat fardhu. Cara
memberitahukan bahwa kita sedang shalat sunnat agar tidak diikuti oleh orang yang akan shalat fardhu
adalah dengan menghentakkan tangan kanan kita dan kalau melihat kode (hentakan tangan) tersebut
hendaknya orang yang berniat menjadi makmum itu mengurungkan niatnya mengikuti untuk (bermakmum)
kepadanya. Begitu juga orang yang shalat fardhu tidak boleh mengikuti (menjadi makmum) kepada orang
yang sedang shalat gerhana atau shalat jenazah karena aturannya tidak sama.
Tetapi sebagian Ulama berpendapat orang yang sedang shalat sunnat (misalnya shalat Ba’diyah Isya, dll)
boleh diikuti oleh orang yang berniat akan shalat fardhu karena aturannya sama. Misalnya kita sedang shalat
sunnat (Ba’diyah Maghrib) tiba-tiba pundak (bahu) kita dicolek (sebagai tanda) seseorang akan mengikuti
shalat (menjadi makmum) dengan shalat kita, boleh saja dan kita tidak usah (tidak perlu) memberi kode
dengan cara menghentakkan tangan kanan kita. Wallahu a’lam bishawaab!.
9. Makmum tidak boleh mengikuti Imam jika Wudhu Imam tersebut sudah batal atau berhadast, seperti
Imam yang buang angin (kentut) atau Imamnya bukan orang Islam.

10. Makmum yang datang terlambat atau masbuk sementara Imam sudah rukuk atau sujud, maka makmum
masbuk membaca takbiratul ihram dengan niat mengikuti Imam.

Selanjutnya makmum masbuk mengikuti apa yang sedang dikerjakan oleh Imam. Jika Imam sudah duduk
tawaruk (bersimpuh) waktu bertasyahud atau duduk Iftirasy makmum mengikutinya tanpa membaca Al-
Fatihah sebab bacaan Al-Fatihah bagi makmum masbuk sudah ditanggung oleh Imam.

• Perhatikan Sabda Rasulullah SAW :

”Jikalau kamu datang untuk shalat dan kami sedang sujud maka sujudlah, tetapi jangan dimasukkan
hitungan. Barangsiapa yang mendapat rukuk berarti ia mendapatkan shalat.” (HR. Abu Daud)

Saudaraku, dengan perkataan lain bahwa kalau makmum masbuk dapat mengikuti rukuk bersama-sama
Imam walaupun makmum belum sempat membaca Al-Fatihah, makmum masbuk itu mendapat satu raka’at.
Sebaliknya makmum masbuk kalau tertinggal rukuk bersama Imam maka apabila Imam salam, ia berdiri lagi
untuk menyelesaikan raka’atnya yang tertinggal.

Sidang pembaca, ketika saya menulis artikel ini (saya beserta keluarga sedang berlibur di luar Jakarta) ada
yang bertanya kepada saya (Seorang anak muda, yang belakangan saya tahu dia seorang aktivis masjid dan
siswa kelas III salah satu SMU Negeri Unggulan): ”Ustad, saya mau tanya.” katanya kepada saya : ”Kasus
ini baru kira-kira dua minggu lalu saya alami, saya shalat berjama’ah di Masjid dan mula-mula sih shalat
berjalan baik artinya bacaan fatihah Imam bagus, bacaan suratnya bagus, tu’maninahnya juga baik bahkan
rukun dan sunnat-sunnatnya shalat dikerjakan dengan baik oleh Imam di raka’at pertama. Hanya saja baru
pada raka’at kedua Imam berlaku khilaf, pada waktu Imam duduk diantara dua sujud, setelah sujud kedua
semestinya Imam duduk untuk tahiyat (tasyahud) awal, tetapi Imam lupa dan langsung berdiri tegak,
makmum yang melihat ini spontan mengucap Subhanallah. Imam yang mendengar peringatan ini, sadar akan
kesalahannya dan cepat-cepat duduk lagi untuk tahiyat (tasyahud) awal. ”Saya, Ustad.” kata anak muda itu
kepada saya: ”Ketika melihat Imam yang sudah berdiri, kemudian duduk lagi saya berpendapat Imam sudah
batal shalatnya dan saya munfarid (saya niat keluar dari berjama’ah, pisah dari Imam) saya shalat sendiri
sampai selesai (mengucap salam) : ”Tindakan saya itu salah atau benar ustad ?

Kemudian apakah saya yang sempat mengikuti shalat bersama Imam (berjama’ah) di raka’at pertama itu
masih mendapat berjama’ah (mendapat pahala 27 (dua puluh tujuh) derajat atau hanya mendapat ganjaran 1
(satu) derajat saja. Dan makmum yang mengikuti Imam dan Imam sebelum shalat melakukan sujud sahwi,
bagaimana itu Ustad ?”

Saya menjawab : ”Tindakan kamu munfarid itu benar dan Imam yang keliru. Dan karena kamu sempat
berjama’ah dan mendapat satu raka’at di raka’at pertama maka Allah SWT tidak menghilangkan pahala
berjama’ah kamu, itu artinya kamu tetap mendapat ganjaran pahala yang 27 (dua puluh tujuh) derajat.
Sedangkan shalat Imam dan makmum yang mengikuti Imam tetap tidak syah (batal) walaupun Imam
melakukan sujud sahwi sekalipun dan shalat mereka harus di ulang.”

Saudaraku sesama muslim, sidang pembaca yang terhormat. Kenapa saya membenarkan tindakan anak muda
itu ? Dan kenapa saya mengatakan Imam yang keliru dan shalat mereka tidak syah (batal) dan mereka harus
mengulang shalat? Sidang pembaca, didalam shalat ada syarat, rukun dan ada sunnat-sunnat shalat yaitu
sunnat Ab’adl dan sunnat Hai’at. Kasus anak muda tadi, berdiri tegak didalam shalat fardhu adalah rukun
sedangkan duduk Iftirasy untuk tasyahud awal hukumnya adalah sunnat Hai’at. Jadi Imam dalam kasus ini
sudah mendahulukan yang sunnat daripada yang rukun dan menjadilah shalatnya batal dan meskipun Imam
melakukan sujud sahwi, tetap shalatnya tidak syah dan harus diulang shalatnya. Tinggal lagi bagaimana cara
memberitahukannya itu (kepada Imam dan makmum) memang memerlukan kebijaksanaan serta kearifan
agar tidak menimbulkan kegaduhan (fitnah). Yang utama harus diberitahukan kepada mereka apapun
resikonya, sesuai ajaran agama : Sampaikan yang hak walaupun pahit.
10
Saudaraku, sampai disini saya sudahi dakwah saya (lewat tulisan) semoga bermanfaat, terima kasih atas
segala perhatian dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan. Wa’afwa minkum wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
•••
(Bahan-bahan (materi) diambil dan dikutip dari Pendidikan Agama Islam oleh: Drs. Ahmad Syafi’i Mufid,
M.A.Dkk., dari buku Catatan Taklim Penulis dan buku Risalah Tuntunan Shalat Lengkap oleh: Drs. Moh.
Rifai.)
•••
* Tulisan (artikel) Religius ini dapat anda temukan pada website H. Sunaryo A.Y. dengan alamat :
http://hajisunaryo.co.nr

299

Anda mungkin juga menyukai