Anda di halaman 1dari 17

KONSEP GADAI ( RAHN ) DALAM ISLAM

Oleh : Zaini Abdul Malik

Para pemikir barat dewasa ini ada yang berasumsi bahwa Islam
menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor
penghambat pembangunan ( an abstacle to economic growth ). Kesimpulan ini
agak tergesa-gesa, ini hampir dipastikan muncul akibat kesalahpahaman
terhadap Islam. Seolah-olah Islam hanya merupakan agama yang hanya
berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang
komprehensip dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah
pembangunan ekonomi serta pegadaian sebagai salah satu motor penggerak
roda perekonomian.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Ia sebagai khalifah yang
diberi amanah oleh Allah harus menjalaninya dengan cara yang baik. Oleh
karena itu di dalam dunia modern saat ini banyaknya persoalan yang dihadapi
menuntut kita untuk dapat menyelesaikannya baik pada tatanan personal
ataupun kolektif. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat membuat kita agar
dapat merespon serta mencarikan solusinya guna memenuhi kebutuhan kita
ataupun sebagai pengembangan usaha agar tidak tertinggal. Namun terkadang
kita mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kapital atau kesempatan guna
mengatasi masalah tersebut.
Kehadiran lembaga keuangan seperti Perbankan merupakan salah satu
solusi, tetapi terkadang prosedur dan proses yang palid terkesan mempersulit
kita serta kreditor guna memperoleh bantuan atau pinajaman di lembaga di
maksud. Terlebih lagi Perbankan Konvensional yang menggunakan sistem
bunga dalam aktivitasnya merupakan hal yang musytabihat dalam Islam.
Merespon persolan di atas selain Perbankan terdapat lembaga keuangan
lainnya yang dapat membantu serta mengatasi kebutuhan –kebutuhan individu
baik untuk konsumsi, usaha ataupun untuk yang lainnya. Selain kemudahan
serta prosesnya yang tidak berbelit-belit, maka seseorang dapat dengan mudah
memperoleh pinjaman dengan hanya memberikan barang sebagai jaminan yang
dapat digadaikan, makanya sangat tepat kiranya motto lembag pegadain ini
“mengatasi masalah tanpa masalah”.
Dalam makalah ini penulis mencoba menggali eksistensi gadai (rahn)
dalam persfekti Islam dengan berbagai permasalahannya serta mengkritisi
lembaga / jawatan pegadaian yang ada di bumi nusantara dalam sorotan
Syari’ah Islam. Permasalahan yang timbul kemudian adalah; Apa saja bentuk
barang-barang yang boleh dijadikan gadai, bolehkah si Rahin dan / atau al-
murtahin memanfaatkan al-marhun serta bagaimana status transaksi pada
jawatan pegadaian menurut Syari’ah Islam ?

Pengertian
Menurut bahasa ar-rahn adalah : berasal dari akar kata Rahana,
yarhanu, Rahnan, yang berarti: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-
Habsu, artinya; penahanan. Misalnya dikatakan: “Ni’matun Rahinah” (karunia
yang tetap dan lestari).1Dalam hukum positif disebut dengan barang jaminan,
agunan dan rungguhan.2
Menurut istilah gadai adalah perjanjian pinjam-meminjam dengan
menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.3
Ada beberapa defenisi ar-rahan yang dikemukakan para ulama fiqh :
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan4:
“Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat
mengikat”.

1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Darul Kitab al-Arabi, 1987) Vol.III, h.169,
Lihat Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ala Madzahib al Arba’ah (Beirut : Darul Qalam) Vol.II,
h. 305, lihat juga Wahbah Juhaili, al figh al Islami wa adilatuhu (Mesir : Darul Fikr) juz VI,
h.4607.
2
Subekti dan Tjitro Sudibio, Kitab UU Hukum Perdata, 1996 (Jakarta : Pradya
Paramita) h. 296.
3
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1991) h. 117.
4
ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shagir bi Syarah ash-Shawi (Mesir : Dar al-Ma’arif, t.th)
Jilid III, h..303
Ulama Hanafiyah mengatakan5:
“Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya”.
Adapun Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan dengan6
“Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa
membayar utangnya itu”.
Dari berbagai definisi di atas maka penulis berkesimpulan bahwa ar-
rahn adalah; menahan barang jaminan milik si peminjam –baik yang bersifat
materi atau manfaat tertentu-. Sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang diterima tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh
atau sebagian utangnya.

Landasan Syari’ah
Al-Qur’an

‫ااا ااا ا اا ا ا اا اا ا اا ااا‬


‫اااا ا ااا اا ااااا ا ا اا اا ا‬
‫ااا اا ااا ا ااا اا اا اا اااا ا‬
‫اا اااا اااا ا ااا ا اا ا ااا‬
‫اااا اا ااا اااا اا ا ااااا ا‬
‫ا ااا اا ا ااا ا اااا ا اا ا‬
‫اااااا اااا‬

5
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th)
Jilid V, h.339
6
Ibnu Qudamah, al-Mugni, (Riyadh : Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, t.th) Jilid IV, h.
226, Lihat Hasyiyah Asy Syarqawi, ‘Ala Tuhfatu Ath Thullab lil Anshori, t.th, Vol.II, h.
122,124.
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dalam keadaan bermuamalah tidak
secara tunai), sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (pemberi utang)...”
(al-Baqarah : 283)
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh dilakukan
ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hadir di tempat, asalkan barang
tersebut bisa langsung dipegang/dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh
pemberi piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan dapat
dipegang /dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung maka paling tidak
ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-
marhun (menjadi agunan hutang) seperti; apabila barang jaminan tersebut
sebidang tanah maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah tersebut.

Al-Hadits
 Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah saw membeli makanan dari seorang
Yahudi di Madinah dan menjaminkan kepadanya baju besi. (HR Bukhari
No.1926,Kitab al-Buyu’, dan Muslim)
 Anas r.a berkata, Raulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang
Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.
(HR Bukhari No.1927,Kitab al-Buyu’,Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah)
Para fuqaha berkonsensus bahwa peristiwa Rasul saw merahnkan baju
besinya itu, merupakan peristiwa rahn pertama kali dalam Islam yang
dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.
Abi Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada ternak
digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai)
karena ia telah mengeluatkan biaya (memelihara) nya. Apabila ternak itu
digadaikan, air sususnya yang deras boleh diminum (oleh orang yang
menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga) nya.
Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengeluatkan biaya
(perawatan) nya.” (HR Jama’ah kecuali Muslim dan Nasa’I, Bukhari
No.2329,Kitab ar-Rahn).
Abu Hurairah r.a berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda; barang yang
digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya.
Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian
(atau biaya). (HR Syafi’I dan Daruquthni).
Berdasarkan ayat dan hadits-hadits di atas, para ulama fiqh bersepakat
mengatakan bahwa akad ar-Rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan
yang terkandung di dalamnya dalam rangka memupuk hubungan antar sesama
manusia.7

Rukun dan Syarat ar-Rahn


Para ulama fiqh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn.
Menurut Jumhur ulama rukun ar-rahn itu ada empat, yaitu; shiqat (lafaz ijab
dan qabul), orang yang beraqad (ar-Rahin dan al-Murtahin), harta yang
dijadikan agunan (al-Marhun), dan utang (al-marhun bih). Sedangkan Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ar-rahn itu hanya ijab dan qabul. Di
samping itu menurut mereka, untuk sempurna dan mengikatnya akad ar-rahn
ini, maka diperlukan al-qabdh oleh pemberi utang. Adapun kedua orang yang
melakukan akad, harta yang dijadikan agunan dan utang menurut ulama
Hanafiyah termasuk syarat-syarat ar-rahn bukan rukunnya.8
Syarat-syarat ar-rahn menurut ulama fiqh sesuai dengan rukun ar-rahn
itu sendiri yang meliputi9 :
7
Ibnu Qudamah, Ibid, h. 337
8
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000) h, 251
9
Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid (Beirut : Dar al-Fikr,
1978) Jilid II,h. 268
1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad adalah cakap bertindak
hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut jumhur ulama adalah orang
yang telah baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah
kedua belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup
berakal saja.
2. Syarat shiqat. Ulama Hanafiyah mengatakan dalam akad ar-rahn tidak
boleh dikaitkan dengan syarat tertentu atau dengan masa yang akan datang,
karena akad ar-rahn sama dengan akad jual beli. Apa bila akad itu
dibarengi dengan syarat tertentu atau dikaitkan dengan masa yang akan
datang maka syartnya batal, sedangkan akadnya sah. Adapun menurut
ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa apa bila syarat itu
adalah syarat yang mendukung kelancaran akad itu, maka syarat itu
dibolehkan namun apabila syarat tersebut bertentangan dengan tabi’at akad
ar-rahn maka syaratnya batal.
3. Syarat al-marhun, menurut para pakar fiqh yang meliputi: Pertama, barang
jaminan itu boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang. Kedua,
barang jaminan itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan. Ketiga, barang
jaminan itu jelas dan tertentu. Keempat, agunan itu milik sah orang yang
berhutang. Kelima, barang jaminan itu tidak terkait dengan hak orang lain.
Keenam, barang jaminan itu merupakan harta yang utuh, tidak bertebaran
dalam beberapa tempat dan. Tujuh, barang jaminan itu boleh diserahkan
materi maupun manfaatnya.
4. Syarat al-marhun bihi (utang), pertama; merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada orang tempat berutang, kedua; utang boleh dilunasi
dengan agunan itu, ketiga; utang tersebut jelas dan tertentu.

Pemanfaatan Barang Jaminan


Pada hakekatnya barang gadai (marhun) tidak boleh diambil
manfaatnya baik oleh rahin atau murtahin kecuali mendapt izin dari masing-
masing pihak yang bersangkutan. Sebab hak rahin terhadap marhun setelah
akad ar-rahn, tidak lagi penuh atau hak milik sempurna yang memungkinkan ia
melakukan perbuatan hukum atas barang tersebut. Adapun hak murtahin atas
marhun terbatas hanya pada sifat kebendaan tersebut, yang memiliki nilai tidak
pada guna atau pemanfaatan hasilnya.
Namun ketentuan demikian itu bertentangan dengan prinsip Islam
dalam hak milik dimana hak milik pribadi itu tidak mutlak tetapi berfungsi
sosial, sebab harta benda itu pada hakekatnya milik Allah ( lihat S. al-Nur, ayat
33) yang merupakan amanah Allah bagi orang yang memilikinya.
Untuk merespon persoalan di atas, ada baiknya dan tidak ada salahnya
jika kita mencoba menggali pendapat-pendapat para ulama fiqh mengenai hal-
hal yang berkaitan dengan : Pemanfaatan barang gadai baik oleh Rahin
maupun murtahin serta biaya yang dikenai atas marhun jika ada. Apakah
tanggung jawab Rahin / murtahin ?
Jumhur ulama fiqh,10selain ulama Hanabilah, berpendapat bahawa
pemegang barang jaminan (murtahin) tidak boleh memanfaatkan barang
jaminan itu, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Hak pemegang
barang jaminan terhadap barang itu hanyalah sebagai jaminan piutang yang ia
berikan, dan apabila orang yang berutang tidak mampu melunasi utangnya,
barulah ia boleh menjual atau menghargai barang itu untuk melunasi
piutangnya.Alasan jumhur ulama ini sebagaimana sabda Rasulullah saw :
“Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena
hasil (dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang itu)
menjadi tanggung jawabnya”.
Sebagian ulama Hanafiyah membolehkan murtahin memanfaatkan
barang jaminan itu atas izin rahin.11Ulama Malikiyah dan ulama
Syafi’iyah12berpendapat ; walaupun pemilik barang itu mengizinkannya,
murtahin tidak boleh memenfaatkan barang jaminan itu. Karena jika barang
jaminan itu dimanfaatkan, maka hasil pemanfaatan itu merupakan riba yang
dilarang syara’; sekalipun diizinkan dan diridhai rahin. Lebih lanjut menurut
mereka, ridha dan izin dalam hal ini lebih cenderung dalam keadaan terpaksa,
10
Ibid, h. 272
11
Ibid, h. 478
12
Imam asy-Syafi’I, al-Umm, (Beirut : Dar al-Fikr, 1981) Jilid III, h:147
karena khawatir tidak akan mendapatkan uang yang akan dipinjam itu.
Argumen ini sesuai dengan hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Baihaqi
dan Ibn Hibban di atas.
Persoalannya kemudian, apa bila yang dijadikan barang jaminan itu
adalah binatang ternak. Bagaimanakah statusnya ? Menurut sebagian ulama
Hanafiyah, al-murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak itu apa bila
mendapat izin dari pemiliknya.13Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan sebagian
Hanafiyah berpendirian bahwa apa bila hewan itu dibiarkan saja, tanpa diurus
oleh pemiliknya, maka al-murtahin boleh memanfaatkannya baik seizin
pemiliknya atau tidak karena membiarkan hewan terlantar, termasuk larangan
Rasulullah saw.
Selanjutnya, bagaimana halnya jika pemanfaatan barang gadai itu oleh
Rahin? dalam kasus ini, ulama fiqh juga berbeda pendapat. Ulama Hanafiyah
dan Hanabilah14 menyatakan pemilik barang boleh memanfaatkan miliknya
yang menjadi barang jaminan itu, jika diizinkan al-murtahin, mereka berprinsip
bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan menjadi tanggung jawab
orang yang memanfaatkannya. Hal ini sejalan dengan sabda Rasul yang
diriwayatkan al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban dari Abu Hurairah di atas.
Menurut ulama Syafi’iyah yang mangemukakan pendapat yang lebih
longgar dari pendapat ulama Hanafiyah dan Hanabilah di atas, karena apa bila
pemilik barang itu ingin memanfaatkan al-marhun, tidak perlu ada izin dari
murtahin. Alasannya, karena barang itu adalah miliknya dan seorang pemilik
tidak boleh dihalang-halangi untuk memanfaatkan hak miliknya. Akan tetapi,
pemanfaatan al-marhun tidak boleh merusak barang itu, baik kualitas maupun
kuantitasnya. Oleh sebab itu, apa bila terjadi kerusakan pada barang itu ketika
dimanfaatkan pemiliknya, maka pemilik bertanggung jawab untuk
itu.15Sebagaimana sabda Rasulullah saw :

13
Wahbah az-Zuhaili, al Fiqhal-Islam wa Adillatuh (Beirut : Dar al-Fikr, 1984) Jilid V,
h:256
14
Ibnu Qudamah, op.cit, h. 390
15
Nasrun Harun, op.cit, h. 259
“Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan
barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, pada
setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan
biayanya.” (HR Bukhari, Turmidzi dan Abu Dawud dari Abu
Hurairah).
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah
berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun, baik
diizinkan oleh murtahin atau tidak. Karena barang itu berstatus sebagai
jaminan utang, tidak lagi menjadi hak milik secara penuh.16
Menurut Fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fiqh dalam
menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun, baik oleh Rahin atau Murtahin
bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikatagorikan sebagai pemakan riba,
karena hakekat ar-rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa
imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.
Mengenai biaya penyimpanan/pemeliharaan barang gadai menurut
mayoritas ulama adalah menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbangan
(balance) terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaian.
Pendapat ini didasarkan kepada hadits Nabi riwayat al-Syafi’I, al-Atsar dan al-
Darulquthni dari Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far :
“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib
memikul bebannya (beban pemeliharaannya).17

Lembaga Pegadaian Konvensional Dalam Persfektif Islam


Pegadaian merupakan suatu institusi perkreditan dengan sistem gadai.
Lembaga sejenis ini pada awalnya berkembanag di Italia yang kemudian
dipraktekkan di wilayah-wilayah Eropa lainnya, seperti Inggris dan Belanda.
Di Indonesia sistem ini dikembangkan oleh Belanda (VOC) yang mempunyai
tugas memberikan pinjaman uang kepada masyarakat dengan jaminan gadai.

16
Ibid.
17
Sayyid Sabiq, op.cit, h. 189
Sejak itu bentuk usaha pegadaian telah mengalami beberapa kali perubahan
sejalan dengan perubahan-perubahan yang mengaturnya.
Pada awalnya pegadaian di Indonesia dilaksanakan oleh pihak swasta
kemudian oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui staatsblad tahun
1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901 didirikan rumah gadai Pemerintah di
Sukabumi. Selanjutnya dengan staatsblad 1930 No.266 rumah gadai tersebut
mendapat status dinas pegadaian sebagai perusahaan negara dalam arti undang-
undang perusahaan Hindia Belanda (Lembaga Hindia Belanda 1927 No.419).18
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1965 perusahaan Negara
Pegadaian diintegrasikan ke dalam urusan Bank sentral. Dan kemudian keluar
PP No.7 tahun 1969 perusahaan Negara Pegadaian diubah statusnya menjadi
Perusahaan Jawatan Pegadaian.19
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mendefinisikan gadai dengan :
Pasal 1150 KUHP, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang
atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang
berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil dari barang tersebut
secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya.20
Menurut aturan dasar pegadaian, barang-barang yang dapat digadaikan
di Lembaga itu hanyalah barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata
hanyalah berbentuk barang-barang bergerak),tentunya dengan beberapa
pengecualian21 :
1. Barang milik negara, seperti ; sepeda motor dinas, mesin tik dan lain-lain.
2. Surat utang, surat aksi, surat efek serta surat-surat beharga lainnya.
3. Hewan yang hidup dan tanaman.
4. Segala makanan dan benda yang mudah rusak.
5. Benda-benda yang kotor.

18
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan (Lembaga Penerbitan FE UI, 1999)
Edisi II, h. 449
19
Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 110
20
Subekti, op.cit, h. 297
21
Mariam Darus, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai dan Fiducia (Bandung :
Alumni, 1987), h.73
6. Benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari sutu tempat
ke tempat lain memerlukan izin.
7. Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat di simpan dalam gadaian.
8. Barang yang berbau busuk dan mudah merusak barang lain jika di simpan
bersama-sama.
9. Benda yang hanya beharga sementara atau yang harganya naik turun
dengan cepat sehingga sulit ditaksir oleh pejabat gadai.
10. Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat
memberikan keterangan tentang barang yang digadaikannya.
Dalam prakteknya barang-barang yang lazim diterima oleh jawatan
pegadaian adalah barang-barang seperti; emas, permata, jam, sepeda, kain
sutera atau barang-barang lain yang berharga. Peminjaman uang pada jawatan
pegadaian itu dikenakan bunga. Besarnya suku bunga selalu mengalami
perubahan dan disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Di bandingkan
dengan Perbankan suku bunga pada jawatan pegadaian relatif lebih besar,
sebab perhitungan bunga pada jawatan pegadaian di hitung per 15 hari. Dengan
demikian apabila pembayaran dilakukan pada akhir hari ke-16, maka bunga
yang harus dibayarkan sudah dua kali lipat. Demikian seterusnya setiap 15
hari.
Berbeda dengan Bank, pegadaian sebagai Lembaga Keuangan tidak
diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat. Perum ini
memiliki sumber dana sebagai berikut :
1. Modal sendiri.
2. Penyertaan modal pemerintah.
3. Pinjaman jangka pendek dari Bank.
4. Pinjaman jangka panjanag yang berasal dari KLBI.
5. Dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.
Kegiatan penyaluran uang oleh pegadaian kepada masyarakat dilakukan
atas dasar hukum gadai. Besarnya jumlah uang pinjaman yang disalurkan
sangat dipengaruhi oleh golongan barang jaminan yang telah ditetapkan
berdasarkan ketentuan direksi Perum Pegadaian. Pinjaman yang diberi
digolongkan berdasarkan tingkat sewa modal dan jangka waktu pinjaman
menjadi lima ( 5 ) golongan sebagai mana dijelaskan tabel berikut :
GOL Pinjaman yang Jangka Sewa Maksimun
diberikan Waktu Modal per sama modal
15 hari
A 5.000 s/d 40.000 4 bulan 1,25 % 10 %

B 40.000 s/d 150.000 4 bulan 1.75 % 14%

C 151.000 s/d 500.000 4 bulan 1.75 % 14%

D 510.000 s/d 2.500.000 4 bulan 1.75% 14%

E 2.600.000 s/d 24 bulan 27 flat/bln 14 %


20.000.000

Persoalannya kemudian adalah bagaimanakah kedudukan akad yang


dilakukan Lembaga Pegadaian ini dalam persfektif Syari’ah Islam ?
Apa bila dibandingkan dengan ketentuan gadai yang ada dalam
Syari’ah Islam, sebagaimana uraian di atas, akad dengan jawatan pegadaian
(menggunakan sistem bunga) hal ini tidak sejalan dengan syari’at Islam, sebab
akad (selalu dalam bentuk meminjam uang) yang dilaksanakan sejajar dengan
qiradh yang melahirkan kemanfaatan, sedangkan qiradh yang melahirkan
kemanfaatan dipandang riba.
Namun demikian ada yang berpendapat, perjanjian gadai yang diadakan
pada jawatan pegadaian sama halnya dengan perjanjian pinajam meminjam
uang (kredit) dengan perbankan. Sedangkan mengenai hukum pinjam
meminjam uang para ahli hukum Islam berbeda pendapat.
Adapun pendapat-pendapat para ahli hukum Islam tentang hukum
bunga yang berlaku pada dunia perbankan dapat dikatagorikan kepada :
1. Sebahagian ahli berpendapat bahwa hukum bunga Bank adalah haram,
alasannya karena bunga Bank tersebut sama dengan riba.
2. Pendapat yang kedua mengatakan bahwa hukum bunga Bank tersebut di
bolehkan, sebab menurut pandangan mereka dalam era perekonomian
dewasa ini seseorang tidak dapat dipisahkan dengan dunia perbankan.
Adapun yang menjadi argumen mereka ialah kondisi sekarang yang
dipandang sebagai kondisi darurat.
3. Pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank milik negara merupakan
masalah musytabihat, sedangkan bunga Bank milik swasta dipandang sama
dengan riba. Pendapat ini sesuai dengan keputusan Majelis Tarjih
Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoardjo.22
Maka jika jawatan pegadaian itu disamakan kedudukannya dengan
lembag Perbankan, maka status hukum bunga pada lembaga Pegadaian tersebut
sama seperti halnya status bunga lembaga Perbankan sebagaimana diuraikan di
atas. Di mana ada pendapat yang mengatakan bunga Bank sama demnga riba,
ada yang berpendapat dibolehkan dengan syarat situasi dan kondisi yang
darurat, dan karena Jawatan Pegadaian itu adalah lembaga milik pemerintah
serta sangat kecil kemungkinan untuk rugi maka bunga pada lembaga ini
dipandang sebagai sesuatu yang musytabihat. Pembahasan lebih detail
mengenai status bunga Bank dan Riba, akan dibahas pada materi selanjutnya
yang berbicara khusus mengenai hal tersebut.
Sebagai solusi atas Lembaga Pegadaian Kaonvensional yang identik
dengan bunga, maka perlu adanya suatu Lembaga sejenis yang menggunakan
sistem Islami. Lembaga ini sebenarnya tidak begitu asing di dunia modern ini
karena telah ada beberapa negara yang telah mendirikan Lembaga Pegadaian
Syari’ah, dengan akad rahn. Perbedaannya dengan Lembaga Pegadaian biasa,
dalam rahn nasabah tidak dikenakan bunga; yang dipungut dari nasabah adalah
biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran.
Menurut Syafi’I Antonio,23perbedaan utama antara biaya rahn dan
bunga pegadaian adalah dari sifat bunga yang bisa berakumulasi dan berlifat
ganda, sedangkan biaya rahn hanya sekali dan ditetapkan dimuka.
Berikut ini bisa dibedakan proses gadai dalam pegadaian konvensional
dan proses gadai dalam pegadaian syari’ah :

22
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta : Lembaga
Studi Agama dan Filsafat, 1999), h.
23
Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press,
2001) h.130
Petugas
Penaksir
RAHIN Penetapan Uang
Pinjaman : 89% - 89% X
Nilai Taksir
PROSES GADAI DALAM JAWATAN PEGADAIAN
KONVENSIONAL
Kasir

GADAI DALAM PEGADAIAN SYARI’AH


Marhum bih
Pembiayaan

Murtahin Rahin
Pegadaian

Marhun
Jaminan
Kesimpulan
Pada prinsipnya gadai dalam perfektif Islam ataupun Konvensional
merupakan barang jaminan yang bertujuan untuk memberikan keamana uang
milik si pemberi pinjaman. Barang gadai tersebut haruslah merupakan barang
yang mempunyai nilai ekonomis. Kekuasaan barang gadai berpindah dari
pemilik ke penerima gadai ketika terjadi akad.
Perbedaan rahn dengan gadai biasa, dalam tataran aplikasi adalah unsur
bunga yang dikenal denga istilah sewa modal pada sistem gadai konvensional
dan ditetapkan sejak awal terjadinya akad. Masalah bunga merupakan
persoalan yang tidak kunjung selesai dan selalu menjadi perdebatan antara ahli
fiqh Islam. Akan tetapi dewasa ini telah terjadi pergesaran yang sangat berarti
dengan berdirinya Lembaga-lembaga keuangan syari’ah seperti Perbankan
Syari’ah.
Selanjutnya, kita berharap akan lahir pula lembaga-lembaga keuangan
lainnya yang berbasis syari’ah sebagai salah satu motor perekonimian bangsa.
Demikianlah makalah ini disajikan, semoga bermanfaat adanya dan
merupakan konstribusi baru bagi khazanah keilmuan kita. Amiin…
REFFERENSI

Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ala Madzahib al Arba’ah, Beirut : Darul


Qalam, Vol.II
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan Lembaga, Penerbitan FE UI,
1999, Edisi II
Ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shagir bi Syarah ash-Shawi, Mesir : Dar al-Ma’arif,
t.th, Jilid III.
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Jakarta : Lembaga
Studi Agama dan Filsafat, 1999
Hasyiyah Asy Syarqawi, ‘Ala Tuhfatu Ath Thullab lil Anshori, .t.th, Vol.II
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar, Beirut : Dar al-Fikr,
t.th., Jilid V
Ibnu Qudamah, al-Mugni, Riyadh : Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, t.th, Jilid
IV
Ibnu Rushd, Bidayah al Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut : Dar al-
Fikr, 1978, Jilid II
Imam asy-Syafi’I, al-Umm, Beirut : Dar al-Fikr, 1981, Jilid III
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 1991
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah,Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut : Darul Kitab al-Arabi, 1987, Vol.III
Subekti dan Tjitro Sudibio, Kitab UU Hukum Perdata, 1996, Jakarta : Pradya
Paramita
Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2000
Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Jakarta : Gema Insani
Press, 2001
Wahbah az-Zuhaili, al Fiqhal-Islam wa Adillatuh, Beirut : Dar al-Fikr, 1984
Jilid V

Anda mungkin juga menyukai