PERTEMUAN VI Gadai
PERTEMUAN VI Gadai
Para pemikir barat dewasa ini ada yang berasumsi bahwa Islam
menghambat kemajuan. Beberapa kalangan mencurigai Islam sebagai faktor
penghambat pembangunan ( an abstacle to economic growth ). Kesimpulan ini
agak tergesa-gesa, ini hampir dipastikan muncul akibat kesalahpahaman
terhadap Islam. Seolah-olah Islam hanya merupakan agama yang hanya
berkaitan dengan masalah ritual, bukan sebagai suatu sistem yang
komprehensip dan mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk masalah
pembangunan ekonomi serta pegadaian sebagai salah satu motor penggerak
roda perekonomian.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Ia sebagai khalifah yang
diberi amanah oleh Allah harus menjalaninya dengan cara yang baik. Oleh
karena itu di dalam dunia modern saat ini banyaknya persoalan yang dihadapi
menuntut kita untuk dapat menyelesaikannya baik pada tatanan personal
ataupun kolektif. Perkembangan ekonomi yang begitu pesat membuat kita agar
dapat merespon serta mencarikan solusinya guna memenuhi kebutuhan kita
ataupun sebagai pengembangan usaha agar tidak tertinggal. Namun terkadang
kita mendapatkan kesulitan dalam memperoleh kapital atau kesempatan guna
mengatasi masalah tersebut.
Kehadiran lembaga keuangan seperti Perbankan merupakan salah satu
solusi, tetapi terkadang prosedur dan proses yang palid terkesan mempersulit
kita serta kreditor guna memperoleh bantuan atau pinajaman di lembaga di
maksud. Terlebih lagi Perbankan Konvensional yang menggunakan sistem
bunga dalam aktivitasnya merupakan hal yang musytabihat dalam Islam.
Merespon persolan di atas selain Perbankan terdapat lembaga keuangan
lainnya yang dapat membantu serta mengatasi kebutuhan –kebutuhan individu
baik untuk konsumsi, usaha ataupun untuk yang lainnya. Selain kemudahan
serta prosesnya yang tidak berbelit-belit, maka seseorang dapat dengan mudah
memperoleh pinjaman dengan hanya memberikan barang sebagai jaminan yang
dapat digadaikan, makanya sangat tepat kiranya motto lembag pegadain ini
“mengatasi masalah tanpa masalah”.
Dalam makalah ini penulis mencoba menggali eksistensi gadai (rahn)
dalam persfekti Islam dengan berbagai permasalahannya serta mengkritisi
lembaga / jawatan pegadaian yang ada di bumi nusantara dalam sorotan
Syari’ah Islam. Permasalahan yang timbul kemudian adalah; Apa saja bentuk
barang-barang yang boleh dijadikan gadai, bolehkah si Rahin dan / atau al-
murtahin memanfaatkan al-marhun serta bagaimana status transaksi pada
jawatan pegadaian menurut Syari’ah Islam ?
Pengertian
Menurut bahasa ar-rahn adalah : berasal dari akar kata Rahana,
yarhanu, Rahnan, yang berarti: tetap dan lestari, seperti juga dinamai al-
Habsu, artinya; penahanan. Misalnya dikatakan: “Ni’matun Rahinah” (karunia
yang tetap dan lestari).1Dalam hukum positif disebut dengan barang jaminan,
agunan dan rungguhan.2
Menurut istilah gadai adalah perjanjian pinjam-meminjam dengan
menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.3
Ada beberapa defenisi ar-rahan yang dikemukakan para ulama fiqh :
Ulama Malikiyah mendefinisikannya dengan4:
“Harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan utang yang bersifat
mengikat”.
1
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut : Darul Kitab al-Arabi, 1987) Vol.III, h.169,
Lihat Abdurrahman al-Jaziry, al-Fiqh ala Madzahib al Arba’ah (Beirut : Darul Qalam) Vol.II,
h. 305, lihat juga Wahbah Juhaili, al figh al Islami wa adilatuhu (Mesir : Darul Fikr) juz VI,
h.4607.
2
Subekti dan Tjitro Sudibio, Kitab UU Hukum Perdata, 1996 (Jakarta : Pradya
Paramita) h. 296.
3
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta : Gaya Media Pratama, 1991) h. 117.
4
ad-Dardir, Asy-Syarh ash-Shagir bi Syarah ash-Shawi (Mesir : Dar al-Ma’arif, t.th)
Jilid III, h..303
Ulama Hanafiyah mengatakan5:
“Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang)
yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran hak (piutang) itu, baik
seluruhnya maupun sebagiannya”.
Adapun Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikan dengan6
“Menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa
membayar utangnya itu”.
Dari berbagai definisi di atas maka penulis berkesimpulan bahwa ar-
rahn adalah; menahan barang jaminan milik si peminjam –baik yang bersifat
materi atau manfaat tertentu-. Sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang diterima tersebut memiliki nilai ekonomis, sehingga
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh
atau sebagian utangnya.
Landasan Syari’ah
Al-Qur’an
5
Ibnu Abidin, Radd al-Muhtar’ala ad-Durr al-Mukhtar, (Beirut : Dar al-Fikr, t.th)
Jilid V, h.339
6
Ibnu Qudamah, al-Mugni, (Riyadh : Maktabah ar-Riyadh al-Haditsah, t.th) Jilid IV, h.
226, Lihat Hasyiyah Asy Syarqawi, ‘Ala Tuhfatu Ath Thullab lil Anshori, t.th, Vol.II, h.
122,124.
“Dan jika kamu dalam perjalanan (dalam keadaan bermuamalah tidak
secara tunai), sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka
hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (pemberi utang)...”
(al-Baqarah : 283)
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa ar-rahn boleh dilakukan
ketika dalam perjalanan atau dalam keadaan hadir di tempat, asalkan barang
tersebut bisa langsung dipegang/dikuasai (al-qabdh) secara hukum oleh
pemberi piutang. Maksudnya, karena tidak semua barang jaminan dapat
dipegang /dikuasai oleh pemberi piutang secara langsung maka paling tidak
ada semacam pegangan yang dapat menjamin bahwa barang dalam status al-
marhun (menjadi agunan hutang) seperti; apabila barang jaminan tersebut
sebidang tanah maka yang dikuasai adalah surat jaminan tanah tersebut.
Al-Hadits
Aisyah r.a berkata bahwa Rasulullah saw membeli makanan dari seorang
Yahudi di Madinah dan menjaminkan kepadanya baju besi. (HR Bukhari
No.1926,Kitab al-Buyu’, dan Muslim)
Anas r.a berkata, Raulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang
Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.
(HR Bukhari No.1927,Kitab al-Buyu’,Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah)
Para fuqaha berkonsensus bahwa peristiwa Rasul saw merahnkan baju
besinya itu, merupakan peristiwa rahn pertama kali dalam Islam yang
dilakukan sendiri oleh Rasulullah saw.
Abi Hurairah r.a berkata bahwa Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada ternak
digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang yang menerima gadai)
karena ia telah mengeluatkan biaya (memelihara) nya. Apabila ternak itu
digadaikan, air sususnya yang deras boleh diminum (oleh orang yang
menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga) nya.
Kepada orang yang naik dan minum, ia harus mengeluatkan biaya
(perawatan) nya.” (HR Jama’ah kecuali Muslim dan Nasa’I, Bukhari
No.2329,Kitab ar-Rahn).
Abu Hurairah r.a berkata bahwasanya Rasulullah saw bersabda; barang yang
digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya.
Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian
(atau biaya). (HR Syafi’I dan Daruquthni).
Berdasarkan ayat dan hadits-hadits di atas, para ulama fiqh bersepakat
mengatakan bahwa akad ar-Rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan
yang terkandung di dalamnya dalam rangka memupuk hubungan antar sesama
manusia.7
13
Wahbah az-Zuhaili, al Fiqhal-Islam wa Adillatuh (Beirut : Dar al-Fikr, 1984) Jilid V,
h:256
14
Ibnu Qudamah, op.cit, h. 390
15
Nasrun Harun, op.cit, h. 259
“Hewan yang dijadikan barang jaminan itu dimanfaatkan sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan, dan susu dari kambing yang dijadikan
barang jaminan diminum sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, pada
setiap hewan yang dimanfaatkan dan diambil susunya (wajib) dikeluarkan
biayanya.” (HR Bukhari, Turmidzi dan Abu Dawud dari Abu
Hurairah).
Berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, ulama Malikiyah
berpendapat bahwa pemilik barang tidak boleh memanfaatkan al-marhun, baik
diizinkan oleh murtahin atau tidak. Karena barang itu berstatus sebagai
jaminan utang, tidak lagi menjadi hak milik secara penuh.16
Menurut Fathi ad-Duraini, kehati-hatian para ulama fiqh dalam
menetapkan hukum pemanfaatan al-marhun, baik oleh Rahin atau Murtahin
bertujuan agar kedua belah pihak tidak dikatagorikan sebagai pemakan riba,
karena hakekat ar-rahn dalam Islam adalah akad yang dilaksanakan tanpa
imbalan jasa dan tujuannya hanya sekedar tolong menolong.
Mengenai biaya penyimpanan/pemeliharaan barang gadai menurut
mayoritas ulama adalah menjadi tanggungan pemilik barang sebagai imbangan
(balance) terhadap haknya mengambil manfaat dari hasil barang gadaian.
Pendapat ini didasarkan kepada hadits Nabi riwayat al-Syafi’I, al-Atsar dan al-
Darulquthni dari Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far :
“Ia (pemilik barang gadai) berhak menikmati hasilnya dan wajib
memikul bebannya (beban pemeliharaannya).17
16
Ibid.
17
Sayyid Sabiq, op.cit, h. 189
Sejak itu bentuk usaha pegadaian telah mengalami beberapa kali perubahan
sejalan dengan perubahan-perubahan yang mengaturnya.
Pada awalnya pegadaian di Indonesia dilaksanakan oleh pihak swasta
kemudian oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda melalui staatsblad tahun
1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901 didirikan rumah gadai Pemerintah di
Sukabumi. Selanjutnya dengan staatsblad 1930 No.266 rumah gadai tersebut
mendapat status dinas pegadaian sebagai perusahaan negara dalam arti undang-
undang perusahaan Hindia Belanda (Lembaga Hindia Belanda 1927 No.419).18
Berdasarkan Keputusan Presiden No. 180 Tahun 1965 perusahaan Negara
Pegadaian diintegrasikan ke dalam urusan Bank sentral. Dan kemudian keluar
PP No.7 tahun 1969 perusahaan Negara Pegadaian diubah statusnya menjadi
Perusahaan Jawatan Pegadaian.19
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mendefinisikan gadai dengan :
Pasal 1150 KUHP, gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang
atas suatu barang bergerak yang diserahkan kepadanya oleh seseorang yang
berhutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil dari barang tersebut
secara didahulukan dari pada orang-orang berpiutang lainnya.20
Menurut aturan dasar pegadaian, barang-barang yang dapat digadaikan
di Lembaga itu hanyalah barang-barang bergerak (gadai dalam KUH Perdata
hanyalah berbentuk barang-barang bergerak),tentunya dengan beberapa
pengecualian21 :
1. Barang milik negara, seperti ; sepeda motor dinas, mesin tik dan lain-lain.
2. Surat utang, surat aksi, surat efek serta surat-surat beharga lainnya.
3. Hewan yang hidup dan tanaman.
4. Segala makanan dan benda yang mudah rusak.
5. Benda-benda yang kotor.
18
Dahlan Siamat, Manajemen Lembaga Keuangan (Lembaga Penerbitan FE UI, 1999)
Edisi II, h. 449
19
Suhrawardi, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 110
20
Subekti, op.cit, h. 297
21
Mariam Darus, Bab-bab Tentang Credietverband Gadai dan Fiducia (Bandung :
Alumni, 1987), h.73
6. Benda-benda yang untuk menguasai dan memindahkannya dari sutu tempat
ke tempat lain memerlukan izin.
7. Barang yang karena ukurannya besar, tidak dapat di simpan dalam gadaian.
8. Barang yang berbau busuk dan mudah merusak barang lain jika di simpan
bersama-sama.
9. Benda yang hanya beharga sementara atau yang harganya naik turun
dengan cepat sehingga sulit ditaksir oleh pejabat gadai.
10. Benda yang digadaikan oleh seseorang yang mabuk, atau tidak dapat
memberikan keterangan tentang barang yang digadaikannya.
Dalam prakteknya barang-barang yang lazim diterima oleh jawatan
pegadaian adalah barang-barang seperti; emas, permata, jam, sepeda, kain
sutera atau barang-barang lain yang berharga. Peminjaman uang pada jawatan
pegadaian itu dikenakan bunga. Besarnya suku bunga selalu mengalami
perubahan dan disesuaikan dengan kondisi perekonomian. Di bandingkan
dengan Perbankan suku bunga pada jawatan pegadaian relatif lebih besar,
sebab perhitungan bunga pada jawatan pegadaian di hitung per 15 hari. Dengan
demikian apabila pembayaran dilakukan pada akhir hari ke-16, maka bunga
yang harus dibayarkan sudah dua kali lipat. Demikian seterusnya setiap 15
hari.
Berbeda dengan Bank, pegadaian sebagai Lembaga Keuangan tidak
diperkenankan menghimpun dana secara langsung dari masyarakat. Perum ini
memiliki sumber dana sebagai berikut :
1. Modal sendiri.
2. Penyertaan modal pemerintah.
3. Pinjaman jangka pendek dari Bank.
4. Pinjaman jangka panjanag yang berasal dari KLBI.
5. Dari masyarakat melalui penerbitan obligasi.
Kegiatan penyaluran uang oleh pegadaian kepada masyarakat dilakukan
atas dasar hukum gadai. Besarnya jumlah uang pinjaman yang disalurkan
sangat dipengaruhi oleh golongan barang jaminan yang telah ditetapkan
berdasarkan ketentuan direksi Perum Pegadaian. Pinjaman yang diberi
digolongkan berdasarkan tingkat sewa modal dan jangka waktu pinjaman
menjadi lima ( 5 ) golongan sebagai mana dijelaskan tabel berikut :
GOL Pinjaman yang Jangka Sewa Maksimun
diberikan Waktu Modal per sama modal
15 hari
A 5.000 s/d 40.000 4 bulan 1,25 % 10 %
22
Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (Jakarta : Lembaga
Studi Agama dan Filsafat, 1999), h.
23
Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek (Jakarta : Gema Insani Press,
2001) h.130
Petugas
Penaksir
RAHIN Penetapan Uang
Pinjaman : 89% - 89% X
Nilai Taksir
PROSES GADAI DALAM JAWATAN PEGADAIAN
KONVENSIONAL
Kasir
Murtahin Rahin
Pegadaian
Marhun
Jaminan
Kesimpulan
Pada prinsipnya gadai dalam perfektif Islam ataupun Konvensional
merupakan barang jaminan yang bertujuan untuk memberikan keamana uang
milik si pemberi pinjaman. Barang gadai tersebut haruslah merupakan barang
yang mempunyai nilai ekonomis. Kekuasaan barang gadai berpindah dari
pemilik ke penerima gadai ketika terjadi akad.
Perbedaan rahn dengan gadai biasa, dalam tataran aplikasi adalah unsur
bunga yang dikenal denga istilah sewa modal pada sistem gadai konvensional
dan ditetapkan sejak awal terjadinya akad. Masalah bunga merupakan
persoalan yang tidak kunjung selesai dan selalu menjadi perdebatan antara ahli
fiqh Islam. Akan tetapi dewasa ini telah terjadi pergesaran yang sangat berarti
dengan berdirinya Lembaga-lembaga keuangan syari’ah seperti Perbankan
Syari’ah.
Selanjutnya, kita berharap akan lahir pula lembaga-lembaga keuangan
lainnya yang berbasis syari’ah sebagai salah satu motor perekonimian bangsa.
Demikianlah makalah ini disajikan, semoga bermanfaat adanya dan
merupakan konstribusi baru bagi khazanah keilmuan kita. Amiin…
REFFERENSI