Anda di halaman 1dari 2

ANAK JADI KOMODITAS BISNIS TELEVISI

dr Widodo Judarwanto SpA

Di penghujung tahun 2008, Global TV telah menayangkan Live Indonesia Kids Choice
Awards (IKCA) dari Balai Sarbini, Jakarta. Acara ini merupakan kali pertama yang diadakan
Nickledeon Indonesia, program yang hak siarnya dipunyai Global TV, di Indonesia bahkan di
Asia. IKCA merupakan satu-satunya penghargaan yang dipilih oleh anak-anak sehingga
mereka dapat menentukan siapa artis favorit, penyanyi favorit, pembaca acara atau special
Awarding. Sementara pemilihan untuk menjadi pemenang dilakukan dengan voting via SMS
serta mengisi formulir dari mobil IKCA yang berkeliling dari sekolah ke sekolah.

Malam itu terpilihlah artis wanita favorit adalah Cinta Laura, artis pria favorit Dude Herlino,
penyanyi wanita favorit Agnes Monica, penyanyi pria favorit Afgan, dan sebagainya. Bila
disimak lebih dalam makna dari acara tersebut seolah-olah memanfaatkan anak demi
kepentingan bisnis pertelevisian. Tragisnya lagi, pemanfaatan ini cenderung membawa
pendidikan dan pola hidup anak ke arah yang tidak sesuai perkembangan sesuai tahapan usia
anak.

Anak Jadi Komoditas Bisnis


Harus dimaklumi usia anak adalah bagian terbesar dari komposisi penduduk masyarakat
Indonesia. Usia anak termasuk pangsa pasar yang menjanjikan untuk kegiatan ekonomi
apapun di Indonesia termasuk bisnis televisi. Apalagi secara psikologis, perkembangan anak
masih belum mempunyai daya tangkal untuk membedakan baik buruknya informasi dan
acara yang dilihat di televisi. Dengan keterbatasan itu anak sangat mudah dikendalikan
emosi, perasaan dan pola pikirnya dengan suguhan dan tampilan yang glamour, menarik dan
menyentuh jiwanya. Lihat saja, beberapa anak mendesak orangtuanya untuk berganti susu
setelah tersugesti tayangan iklan susu di televisi. Hal inilah yang sering dimanfaatkan
berbagai pihak demi keuntungan bisnis semata. Pemanfaatan anak sebagai komoditas bisnis
ini menjadi ancaman yang besar bagi perkembangan anak bila stimulus dari tayangan televisi
itu tidak sesuai dengan perkembangan moral anak.
Boleh saja pihak penyelenggara mengatakan misi acara IKCA tersebut adalah untuk
memotivasi bakat dan minat anak. Tetapi bila dicermati tampaknya acara ini dikemas hanya
sekedar pemanfaatan potensi anak yang demikian besar bagi komoditas bisnis pertelevisian.
Bayangkan, dalam acara tersebut anak dipaksa memilih artis favorit yang setiap hari
berperanan sebagai pemain sinetron dengan cerita cinta, selingkuh dan berbagai tema yang
tidak sesuai perkembangan anak. Dalam acara itu anak digiring untuk memilih penyanyi
favorit yang setiap hari menyanyikan lagu percintaan dan tema putus cinta. Upaya ini bukan
saja memaksa anak untuk memilih sosok artisnya tapi sekaligus menggiring anak untuk
terlibat dalam acara bukan layak konsumsi anak. Maka tidaklah heran saat ini anak kadang
perkembangannya lebih cepat dari usianya. Berbeda dengan dahulu, anak saat usia 5-7 tahun
sudah mulai tanpa malu-malu menyebutkan kata pacar untuk teman sekelas yang dikagumi.

IKCA secara tiidak disadari adalah upaya menjadikan anak sebagai bahan komoditas bisnis
pertelevisian tanpa memperhatikan dampak lebih jauh terhadap perkembangan anak.
Sebenarnya banyak sekali upaya berbagai pihak di dalam iklan ataupun materi tayangan
televisi yang menjadikan anak hanya sebagai alat komoditas belaka.

Untuk itu orangtua harus cermat terhadap berbagai upaya yang dapat mengancam
kelangsungan hidup anak melalui tayangan televisi. Orangtua harus terus mengawasi tiada
henti serta membimbing bila melihat berbagai tayangan yang ada di televisi. Berbagai pihak
yang terkait termasuk lembaga sosial pemerhati anak, Komisi Penyiaran Indonesia, ataupun
berbagai pihak yang terkait harus terus memonitor dan memberikan sangsi apabila dalam
tayangan di televisi dapat mengorbankan hak anak yang dapat mengganggu perkembangan
anak. Bisnis pertelevisian harus terus tumbuh dan berkembang dengan meningkatkan kualitas
informasi dan pendidikan untuk anak. Jangan sebaliknya, menjadikan anak sebagai sarana
komoditas tanpa memperhatikan dampak yang dapat mengganggu perkembangan anak.

Provided by
DR WIDODO JUDARWANTO
SAVE INDONESIAN CHILDREN
Working together make a smoke-free homes and smoke-free zones for all children
Yudhasmara Foundation

JL TAMAN BENDUNGAN ASAHAN 5 JAKARTA PUSAT, JAKARTA INDONESIA


10210
PHONE : (021) 70081995 – 5703646
email : judarwanto@gmail.com

http://saveindonesianchildren.wordpress.com/

Anda mungkin juga menyukai