Anda di halaman 1dari 2

MELIRIK "AGROFORESTRY" KAKAO DI CIAMIS

Tuesday, 03 February 2009 23:06

Ciamis bagian selatan dikenal sebagai sentra produksi kakao rakyat di Jawa Barat. Areal
perkebunan kakao di wilayah ini menurut data Dinas Perkebunan Jabar tahun 2006 mencapai
13.363 hektare, dengan total produksi 3.464 ton.

Melihat potensi kakao yang cukup baik di wilayah ini, Perum Perhutani Unit III KPH Ciamis,
tertarik untuk melakukan pengembangan agroforestry (bisnis agro di areal kehutanan)
komoditas kakao melalui Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM).

Apalagi karena peluang pasar kakao cukup cerah. Namun, hasil produksi agrobisnis kakao
rakyat di Jabar masih belum dapat memenuhi kuota pesanan. Dalam kaitan itu PHBM tanaman
kakao di KPH Ciamis dimanfaatkan sebagai salah satu andalan pasokan produksi.

Ketua Asosiasi Petani Kakao Jabar Ujang Darsono mengatakan, pesanan pasokan kakao
rakyat ke sentra produksi di Ciamis baru terpenuhi 30 persen. Belum dihitung secara total dari
Jabar. Untuk memenuhi permintaan tersebut diperlukan tambahan produksi dari daerah
produsen kakao lainnya di Jabar, misalnya Garut dan Cianjur.

Menurut Ujang Darsono, tantangan terbesar usaha kakao rakyat di Jabar adalah belum cepat
terpenuhinya jumlah kuota pesanan dibandingkan dengan hasil produksi. Dicontohkan,
pesanan biji kakao kering dari sejumlah industri pengolah cokelat di Tangerang rata-rata 50 ton
kering. Sedangkan dari petani Ciamis baru terpenuhi 15 ton.

Menurut dia, jika usaha komoditas kakao rakyat di Ciamis dikembangkan melalui PHBM,
produksinya akan mendominasi pasokan total dari Jabar.

Soalnya, pasokan perusahaan perkebunan besar dari Jabar pun masih belum signifikan karena
mereka tak dominan mengusahakannya.

Para pembeli dari industri besar, terutama di sekitar Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bogor, dan
Bandung, tampaknya akan lebih memilih produk kakao rakyat di Jabar karena lebih efisien
dalam ongkos kirim.

Dengan catatan, kata Ujang, kualitas kakao rakyat di Jabar termasuk dari PHBM harus lebih
baik sehingga dapat lebih meningkatkan kepercayaan pasar. "Perlu bimbingan serius, agar
para petani kakao PHBM mampu menghasilkan produksi yang kualitasnya memenuhi syarat.
Terutama menyangkut penguasaan teknologi pascapanen untuk produksi biji kering karena dari
sini harga akan menentukan," katanya.

Soal pemasaran, menurut Ujang, saat ini sejumlah petani kakao di Jabar sedang memperkuat
posisi dengan merintis sistem pemasaran bersama.

Apalagi, kuota permintaan dari industri pengolah cokelat lokal pada 2009 diprediksi akan tetap
tinggi. Mengingat kakao termasuk produk pangan yang konsumennya banyak.

Kompromi teknis

1/2
MELIRIK "AGROFORESTRY" KAKAO DI CIAMIS
Tuesday, 03 February 2009 23:06

Sementara itu, Ketua Gabungan Pengusaha Perkebunan (GPP) Jabar-Banten H. Dede


Suganda Adiwinata menilai, pengusahaan komoditas kakao melalui PHBM cocok dilakukan di
hutan negara, di Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Cigugur, Cijulang, Ciamis selatan. Hal ini
berdasarkan petunjuk teknis baku bahwa karakteristik tajuk pohon jati akan mampu
menyeimbangkan kebutuhan pencahayaan tanaman kakao, baik saat musim kemarau maupun
musim hujan.

"Namun harus ada kompromi jarak tanam dan populasi antara tegakan utama pohon jati
dengan komoditas kakao. Perum Perhutani berkepentingan pada populasi penanaman pohon
jati dengan keperluan produksi tanaman kakao yang akan sangat bergantung kepada
penyinaran matahari untuk pembungaan," katanya.

Ia mengingatkan, pengusahaan tanaman kakao rakyat, termasuk di PHBM, harus dilakukan


dengan perencanaan yang akurat. Jangan sekadar mengejar target luas lahan. Pengusahaan
kakao rakyat melalui PHBM, agar diusahakan pada lahan-lahan kehutanan yang cocok,
sehingga kualitas hasilnya dapat diandalkan. (Kodar S./"PR") *** 

Sumber: Harian Pikiran Rakyat, Selasa 03 Februari 2009

2/2

Anda mungkin juga menyukai