Anda di halaman 1dari 145

Berikut ini merupakan soal dan pembahasan UASBN SD/MI 2010 untuk mata

pelajaran Matematika. Ada 2 paket soal yang dibahas yaitu paket soal P1 dan
P2. Soal dan pembahasan ini sangat berguna untuk bahan belajar para siswa
menghadapi UASBN SD 2011.

Contoh soal dan pembahasan:


Berikut ini merupakan 3 buah contoh soal dari total 80 soal:

1. Hasil 39.788 + 56.895 – 27.798 adalah…


A. 68.875
B. 68.885
C. 68.975
D. 69.885

Jawaban:
39.788 + 56.895 – 27.798 = 96.683 – 27.798 = 68.885 (B)

Pengetahuan prasyarat Aturan Internasional operasi hitung campuran .

 urutan operasi hitung campuran: kuadrat, penarikan akar, kali, bagi,


tambah, kurang
 tambah dan kurang sama kuat, mana yang lebih depan dikerjakan terlebih
dahulu

 kali dan bagi sama kuat

1
 kuadrat dan penarikan akar sama kuat

 kali dan bagi lebih kuat dari tambah dan kurang

 kuadrat dan penarikan akar lebih kuat dari kali dan bagi

2. Hasil 22.176 : 22 × 28 = …..


A. 36
B. 504
C. 3.024
D. 28.224

Jawaban:
22.176 : 22 × 28 = 1.008 × 28 = 28.224 (D)

Pengetahuan prasyarat Aturan Internasional operasi hitung campuran .

 urutan operasi hitung campuran: kuadrat, penarikan akar, kali, bagi,


tambah, kurang
 tambah dan kurang sama kuat, mana yang lebih depan dikerjakan terlebih
dahulu.

 kali dan bagi sama kuat.

 kuadrat dan penarikan akar sama kuat

 kali dan bagi lebih kuat dari tambah dan kurang

 kuadrat dan penarikan akar lebih kuat dari kali dan bagi

3. Hasil dari –9 × [25 + (–23)] = …..


A. 432
B. 18
C. –18
D. –432

Jawaban:
–9 × [25 + (–23)] = –9 × 2 = –18 (C)

Pengetahuan prasyarat Aturan Internasional operasi hitung campuran .

 urutan operasi hitung campuran: kuadrat, penarikan akar, kali, bagi,


tambah, kurang
 tambah dan kurang sama kuat, mana yang lebih depan dikerjakan terlebih
dahulu

2
 kali dan bagi sama kuat

 kuadrat dan penarikan akar sama kuat

 kali dan bagi lebih kuat dari tambah dan kurang

 kuadrat dan penarikan akar lebih kuat dari kali dan bagi

Download Soal dan Pembahasan UASBN Matematika SD 2010:

1. Hewan disamping memiliki ciri khusus berupa . . .


a. hidup di tempat yang terang
b. bernapas dengan kulitnya
c. mempunyai kaki sebanyak 4 pasang
d. mempunyai sengatan

2. -Buaya -Komodo
-Harimau -Ular
hewan - hewan dibawah ini yang dapat dikelompokkan dengan hewan-hewan diatas
adalah .
a. beruang c. elang
b. monyet d. anjing

3. Tumbuhan disamping berkembang biak dengan


cara . . .
a. geragih
b. akar tinggal
c. setek batang
d. tunas muda

4. Hwan disamping berkembangbiak dengan cara beranak yang


mempunyai ciri-ciri . . .
a. menetaskan telurnya diluar tubuh induknya
b. embrio besar di dalam telur
c. bernapas dengan paru-paru
d. termasuk hewan herbivore

5. Buaya banyak diburu oleh manusia untuk diambil….


a. Bulunya c. Telurnya

3
b. Dagingnya d. Kulitnya

6. Di daerah Papua masih banyak masyarakat yang memanfaatkan bulu burung


Cendrawasih, sehingga populasi burung Cendrawasih makin berkurang. Masyarakat
Papua memanfaatkan bulu burung tersebut untuk . . .
a. persembahan kepada kepala suku
b. perhiasan dalam pernikahan
c. perhiasan kepala pada upacara adat
d. membuat pakaian adat

7. Tujuan didirikannya Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan adalah untuk….


a. Mengamati kehidupan Orang hutan
b. Mencegah kepunahan Orang Hutan
c. Melestarikan hutan Kalimantan
d. Mencegah kerusakan hutan Kalimantan

8. Pada gambar kerangka tubuh manusia di samping ini


tulang rusuk ditunjukkan oleh nomor….
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4

9. Bagian telinga yang ditunjukkan oleh nomor


3 berfungsi…
a. Menangkap bunyi atau suara
b. Meneruskan getaran
c. Menerima getaran bunyi atau suara
d. Mengatur tekana udara di telinga

10. Proses yang terjadi pada alat pernapasan yang diberi


tanda X adalah ….
a. Pertukaran Oksigen dan Karbondioksida X
b. Penyaringan dari debu atau kotoran
c. Meneruskan udara ke paru-paru
d. Penyaringan debu dan penyesuaian suhu

4
11. Perhatikan gambar alat percernaan makanan
berikut, bagian yang diberi tanda Y menghasilkan anzim ptialin
yang berfungsi…
a. Mengubah zat tepung menjadi zat gula
b. Menghancurkan lemak
c. Mengubah protein menjadi asam amino
d. Membunuh kuman penyakit

12. Sesuai gambar di samping. Urutan pada peredaran


darah kecil yang benar adalah ….
a. Jantung – Paru-paru – Jantung
b. Tubuh – Paru-paru – Jantung
c. Tubuh – Jantung – Paru- paru
d. Jantung – Tubuh – Jantung
13. Fungsi utama dari buah adalah ...
a. Menyerap zat-zat hara
b. Alat perkembangbiakan
c. Menyimpan cadangan makanan
d. Fotosintesis

14. Susu, daging, putih telur, dan kacang-kacangan terutama kedelai. Adalah bahan
makanan yang mengandung protein, manfaatnya bagi tubuh kita adalah…
a. Sumber tenaga
b. Cadangan makanan
c. Zat pengatur
d. Zat pembangun tubuh

15. Bibir pecah-pecah, gusi berdarah susah dan buang air besar adalah penyakit kekurangan
vitamin.
Cara mencegahnya adalah dengan mengkonsumsi vitamin…
a. A c. C
b. B d. D

16. Dibawah ini yang bukan merupakan contoh simbiosis mutualisme adalah . . .
a. Ikan badut dengan anemone laut
b. Lebah yang hinggap di bunga sepatu
c. kupu-kupu yang hinggap di bunga mawar
d. burung jalak dengan kerbau

17. Tumbuhan -> Tupai -> . . . . . -> Burung Elang


Pada rantai makanan diatas nama binatang yang tepat untuk melengkapi kotak yang
kosong adalah…
a. Kupu-kupu c. belalang

5
b. Ular d. burung pipit

18. Hewan yang sudah mati kemudian akan diuraikan oleh bakteri. Dalam rantai makanan,
bakteri berperan sebagai . . .
a. produsen c. Konsumen akhir
b. konsumen ke-4 d. pengurai

19. Hewan cumi-cumi memiliki alat tubuh berupa tentakel-tentakel yang berfungsi untuk….
a. Melindungi diri c. menangkap mangsa
b. Menyesuaikan diri d. berkembangbiak

20. Bentuk cakar hewan di atas yang ditunjukkan oleh gambar


berfungsi untuk….
a. Memanjat pohon
b. Mencengkeram mangsa
c. Berlari di tanah
d. Mengais makanan di tanah

21. Pada pagi hari di daun-daun tumbuhan banyak terdapat titik-titik air. Hal ini merupakan
perubahan
wujud benda yaitu….
a. Penguapan c. pembekuan
b. Pengembunan d. penyubliman

22. Kegiatan di bawah ini yang merupakan pemanfaatan perubahan wujud benda adalah….
a. Menjemur pakaian
b. Memasang kabel listrik
c. Nelayan berlayar malam hari
d. Membuat telur asin

23. Pada siang hari kabel listrik terlihat mengendur. Peristiwa ini menunjukkan bahwa….
a. Kabel listrik mengalami penyusutan
b. Karena panas kabel listrik memuai
c. Ukuran kabel listrik terlalu panjang
d. Tiang listrik terlalu berdekatan

24. Ketika kita berada di sekitar api unggun, tubuh kita terasa hangat. Peristiwa ini
menunjukkan
perpindahan panas secara….
a. Konveksi c. aliran

6
b. Konduksi d. radiasi

25. Perhatikan gambar di samping ini!


Bahan yang bersifat konduktor ditunjukkan oleh nomor….
a. 1 c. 3
b. 2 d. 4

26. Para nelayan mengeringkan ikan untuk membuat ikan


asin. Energi yang digunakan adalah….
a. Angin
b. Cahaya
c. Matahari
d. Panas bumi

27. Perhatikan gambar di samping!


Pensil yang berada di dalam gelas berisi air tampak bengkok. Hal
ini menunjukkan peristiwa…
a. Cahaya merambat lurus
b. Cahaya dapat dibiaskan
c. Cahaya dipantulkan
d. Cahaya dapat dibelokkan

28. Dibawah ini yang merupakan manfaat dari bunyi pantul adalah . . .
a. mendeteksi tumor dalam tubuh
b. mengukur kadar garam air laut
c. mendeteksi keretakan suatu logam
d. mengukur volume benda tak beraturan

29. Perhatikan gambar rangkaian listrik dibawah ini.


1
4 5
2

Jika Lampu nomor 2 dilepas, maka . .. .


a. lampu 1 dan 3 juga mati, sedangkan 4 dan 5 nyala
b. lampu 4 dan 5 mati, lampu 1 dan 3 menyala
c. Semua lampu akan mati

7
d. semua lampu akan tetap menyala

30. Energi alternatif yang dapat dijadikan bahan bakar kendaraan adalah…
a. Biosolar
b. Batubara
c. Panas bumi
d. Nuklir

31. Perhatikan gambar disamping,


Karena terpengaruh gaya gravitasi bumi, maka buah kelapa
tersebut akan . . .
a. melayang di udara
b. jatuh ke bawah
c. menggelinding pada batangnya
d. tetap diatas sampai diambil

32. Perhatikan gambar di samping!


Manakah pasangan yang tepat berdasarkan gambar
disamping ini…
a. a adalah letak beban
b. b adalah letak kuasa
c. c adalah titik tumpu
d. b adalah titik tumpu

33. Pesawat sederhana yang digunakan untuk menimba air adalah termasuk jenis . . .
a. Pengungkit c. bidang miring
b. Katrol d. roda berporos

34. Penggunaan minyak bumi sebagai satu-satunya bahan bakar kendaraan dapat
mempercepat habisnya cadangan minyak bumi kita. Cara yang tepat dilakukan untuk
menghemat minyak bumi adalah…
a. Sering bepergian naik kendaraan
b. Menggalakkan kegiatan bersepeda
c. Menggunakan taxi untuk bepergian
d. Memanfaatkan bis kota

35. Sumber daya alam yang banyak digunakan untuk membuat kabel listrik adalah….
a. Aluminium c. besi
b. Tembaga d. emas

36. Kegiatan manusia di bawah ini yang tergolong merusak kelestarian sumber daya alam
adalah…
a. Menangkap ikan dengan kail

8
b. mereboisasi hutan lindung
c. Mengambil karang untuk hiasan ukuarium
d. Membudidayakan ikan dengan keramba

37. Berikut ini adalah dampak buruk yang ditimbulkan oleh angin puting beliung, kecuali . . .
a. rumah warga porak poranda
b. pohon-pohon banyak yang tumbang
c. jatuhnya korban jiwa
d. air sungai menjadi meluap
38. Planet dalam tata surya yang memiliki ciri-ciri berwarna kemerah-merahan adalah
a. Venus c. Merkurius
b. Jupiter d. Mars

39. Pergerakan Bulan mengelilingi Bumi dapat menyebabkan terjadinya ….


a. Pergantian musim
b. Pasang surut air laut
c. Terjadinya angin darat dan angin laut
d. Siang dan malam

40. Jumlah hari pada sistem penanggalan Masehi adalah…


a. 366 hari
b. 365 hari
c. 355 hari
d. 354 hari

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

9
Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia kaya dengan potensi
alam yang indah yang pada daerah-daerah tertentu tidak ada tandingannya
di dunia ini. Karena itu, amatlah mendasar kalau kita mau mengembangkan
apa yang disebut ecotourism atau sekarang lebih dikenal dengan ekowisata.
Kepariwisataan merupakan salah satu dari sekian banyak gejala atau
peristiwa yang terjadi dimuka bumi yang timbul dari aktivitas manusia untuk
memenuhi kebutuhannya, yaitu kebutuhan untuk memenuhi kesenangan
hati, karena kegiatannya banyak mendatangkan keuntungan pada daerah
atau negara yang berusaha mengembangkan kegiatan pariwisata ini. Sektor
pariwisata merupakan salah satu sektor andalan kegiatan perekonomian
yang berorientasi pada perluasan lapangankerja dan kesempatan kerja.
Sejalan dengan usaha pemerintah dalam mencapai sasaran pembangunan.
Pengembangan sektor pariwisata saat ini mendapat perhatian serius karena

CITRA PARIWISATA MERAPI PASCA BENCANA

MELALUI KOMUNIKASI MASSA

10
I. LATAR BELAKANG

Lereng Merapi mempunyai banyak tempat tujuan wisata yang menarik. Namun,
letusan Merapi kali ini membuat sejumlah tempat wisata berhenti beroperasi.
Lereng Merapi memang sangat ideal untuk berwisata. Sebut saja soal hawa
dinginnya yang segar dan khas pegunungan. Jalannya bagus, lokasinya tidak terlalu
jauh dari kota Yogyakarta dan pemandangannya indah.

Status Merapi yang disebut-sebut sebagai gunung berapi paling aktif di dunia justru
membuatnya kian eksotis. Menantang untuk ditaklukkan. Sejak letusan besar pada
1930, Merapi praktis hanya “batuk-batuk” kecil. Kadang hanya “berdehem”. Dalam
siklus letusan 4-6 tahunan, ia hanya mengalami erupsi kecil selama satu-dua minggu
lalu kembali tidur.

Biasanya, erupsi tersebut tidak terlalu bahaya dan hanya menimbulkan luncuran
awan panas paling jauh 6 kilometer. Hal itu justru membuat tempat wisata di lereng
Merapi yang rata-rata berjarak sekitar 10 Km dari puncak Merapi menjadi sangat
khas.

Namun, situasinya agak berbeda pada tahun ini. Merapi meletus tak seperti pola-
pola sebelumnya. Meletus berurutan selama lebih dari tiga minggu dan tiga di
antaranya merupakan letusan cukup besar. Lahar panas dan awan panas pun
menerjang hingga mencapai jarak lebih dari 15 km. Meski tak terkena langsung,
sejumlah tempat wisata pun terkena imbasnya dan akhirnya berhenti beroperasi.

Salah satu tempat terkenal yang harus tutup sementara adalah The Tjangkringan.
Tempat usaha berkonsep vila dan spa yang didirikan pada 2005 tersebut memang
merupakan resor papan atas di lereng Merapi. Tarifnya rata-rata Rp1,985 juta per
malam. Paling murah Rp1,3 juta hingga paling mahal Rp14,4 juta per malam.

11
Sementara Kaliurang yang sebelumnya menjadi lokasi wisata terfavorit di Jogja.
Suasananya seperti kota mati. Tidak ada orang bahkan hewan sekalipun di sana.
Maklum, daerah itu (9 kilometer di barat daya puncak Merapi) jelas merupakan
zona terlarang. Vila dan hotel-hotel yang biasa digunakan untuk rapat dan outbound
tutup.

Masih banyak objek wisata yang ditutup sejak bencana meletus merapi. Termasuk
salah satunya Candi Borobudur yang terimbas abu vulkanik. Petugas kepurbakalaan
berusaha melindungi cagar budaya internasional tersebut dengan cara menutup
mencegah terjadinya korosi.

Untuk membangun pariwisata pasca meletusnya merapi, diperlukan berbagai upaya


yang serius dengan melibatkan sektor terkait, baik pembangunan fisik maupun
upaya yang terkait dengan citra kepariwisataan merapi.Sedanghkan konsekwensi
pembangunan fisik diperlukan biaya yang besar dan memakan waktu yang relatif
lama, upaya lain yang segera dan sangan urgen adalah pembangunan citra merapi
melaui komunikasi massa.

1.1. Permasalahan

- Bagaimana uapaya mengembalikan citra pariwisata merapi pasca bencana ?


- Upaya apa saja untuk mengembalikan citra pariwisata merapi melalui
komunikasi massa?
1.2. Tujuan Penelitian

- Untuk mengetahui upaya pengembalian citra pariwisata merapi pasca


bencana
- Untuk mengetahui langkah-langkah pengembalian citra pariwisata merapi
melalui komunikasi massa pasca bencana
1.3. Ruang Lingkup

12
Ruang lingkup dalam penelitian berguna untuk membatasi pada lingkup penelitian
yang jelas sesuai dengan variabel-variabel penelitian. Pentingnya ruang lingkup
adalah untuk membatasi pada bahasan penelitian sehingga lebih fokus dan tidak
melebar pada permasalahan diluar daripada penelitian. Sedangkan ruang lingkup
pada penelitian ini :

- Membatasi pada lingkup tentang upaya pengembalian citra pariwisata


merapi pasca bencana
- Membatasi pada lingkup langkah-langkah pengembalian citra pariwisata
merapi melalui komunikasi massa
1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan akan bermanfaat, untuk:

1. Digunakan Sebagai desiminasi ataupun model bagi daerah dalam


mengembangkan parwiwisata terkait dengan pengembalian citra pariwisata
merapi pasca bencana
2. Digunakan sebagai bahan masukan untuk penyusunan kebijakan yang
terkait dengan penelitian ini

1.5. Metode Penelitian

Metode pada penelitian ini dilakukan dengan telaah pustaka, Telaah yang
dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu
pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.
Telaah pustaka semacam ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau
informasi dari berbagai sumber pustaka yang kemudian disajikan dengan cara baru
dan atau untuk keperluan baru.

13
Dalam hal ini bahan-bahan pustaka itu diperlukan sebagai sumber ide untuk
menggali pemikiran atau gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk melakukan
deduksi dari pengetahuan yang sudah ada, sehingga kerangka teori baru dapat
dikembangkan, atau sebagai dasar pemecahan masalah.

Metode kajian pustaka yang diperoleh dari sumber sumber tertulis pada media
cetak maupun media elektronik ini, menjelaskan semua langkah yang dikerjakan
penulis sejak awal hingga akhir. Pada bagian ini dapat dimuat hal-hal yang berkaitan
dengan anggapan-anggapan dasar atau fakta-fakta yang dipandang benar tanpa
adanya verifikasi dan keterbatasan, yaitu aspek-aspek tertentu yang dijadikan
kerangka berpikir.

Analisis masalah pada penelitian ini, akan menghasilkan variabel dan hubungan
antarvariabel. Selanjutnya dilakukan analisis variabel dengan mengajukan
pertanyaan mengenai masing-masing variabel dan pertanyaan yang berkaitan
dengan hubungan antarvariabel. Analisis ini diperlukan untuk menyusun alur
berpikir dalam memecahkan masalah.

Lebih lanjut, metode ini didasarkan atas kajian teori dan khasanah ilmu, yaitu
paradigma, teori, konsep, prinsip,hukum, postulat, dan asumsi keilmuan yang
relevan dengan masalah yang dibahas.

II. GAMBARAN UMUM MERAPI

Peningkatan status dari "normal aktif" menjadi "waspada" pada tanggal 20


September 2010 direkomendasi oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan
Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta. Setelah sekitar satu bulan,
pada tanggal 21 Oktober status berubah menjadi "siaga" sejak pukul 18.00

14
WIB. Pada tingkat ini kegiatan pengungsian sudah harus dipersiapkan. Karena
aktivitas yang semakin meningkat, ditunjukkan dengan tingginya frekuensi
gempa multifase dan gempa vulkanik, sejak pukul 06.00 WIB tangggal 25
Oktober BPPTK Yogyakarta merekomendasi peningkatan status Gunung
Merapi menjadi "awas" dan semua penghuni wilayah dalam radius 10 km dari
puncak harus dievakuasi dan diungsikan ke wilayah aman.

Erupsi pertama terjadi sekitar pukul 17.02 WIB tanggal 26 Oktober.


Sedikitnya terjadi hingga tiga kali letusan. Letusan menyemburkan material
vulkanik setinggi kurang lebih 1,5 km dan disertai keluarnya awan panas yang
menerjang Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman dan
menelan korban 43 orang, ditambah seorang bayi dari Magelang yang tewas
karena gangguan pernafasan.

Sejak saat itu mulai terjadi muntahan awan panas secara tidak teratur. Mulai
28 Oktober, Gunung Merapi memuntahkan lava pijar yang muncul hampir
bersamaan dengan keluarnya awan panas pada pukul 19.54 WIB. Selanjutnya
mulai teramati titik api diam di puncak pada tanggal 1 November, menandai
fase baru bahwa magma telah mencapai lubang kawah.

Namun demikian, berbeda dari karakter Merapi biasanya, bukannya terjadi


pembentukan kubah lava baru, malah yang terjadi adalah peningkatan
aktivitas semburan lava dan awan panas sejak 3 November. Erupsi eksplosif
berupa letusan besar diawali pada pagi hari Kamis, 4 November 2010,
menghasilkan kolom awan setinggi 4 km dan semburan awan panas ke
berbagai arah di kaki Merapi. Selanjutnya, sejak sekitar pukul tiga siang hari
terjadi letusan yang tidak henti-hentinya hingga malam hari dan mencapai
puncaknya pada dini hari Jumat 5 November 2010. Rangkaian letusan ini serta
suara gemuruh terdengar hingga Kota Yogyakarta (jarak sekitar 27 km dari
puncak), Kota Magelang, dan pusat Kabupaten Wonosobo (jarak 50 km).

15
Hujan kerikil dan pasir mencapai Kota Yogyakarta bagian utara, sedangkan
hujan abu vulkanik pekat melanda hingga Purwokerto dan Cilacap. Pada siang
harinya, debu vulkanik diketahui telah mencapai Tasikmalaya, Bandung, dan
Bogor.

Bahaya sekunder berupa aliran lahar dingin juga mengancam kawasan lebih
rendah setelah pada tanggal 4 November terjadi hujan deras di sekitar puncak
Merapi. Pada tanggal 5 November Kali Code di kawasan Kota Yogyakarta
dinyatakan berstatus "awas" .

2.1. Vegetasi

Gunung Merapi di bagian puncak tidak pernah ditumbuhi vegetasi karena


aktivitas yang tinggi. Jenis tumbuhan di bagian teratas bertipe alpina khas
pegunungan Jawa, seperti edeweis jawa. Agak ke bawah terdapat hutan
bambu dan tetumbuhan pegunungan tropika.

Lereng Merapi, khususnya di bawah 1.000 m, merupakan tempat asal dua


kultivar salak unggul nasional, yaitu salak 'Pondoh' dan 'Nglumut'.

2.2. Rute pendakian

Gunung Merapi merupakan obyek pendakian yang populer. karena gunung ini
merupakan gunung yang sangat mempesona. Jalur pendakian yang paling
umum dan dekat adalah melalui sisi utara dari Sèlo, Kabupaten Boyolali, Jawa
Tengah, tepatnya di Desa Tlogolele. Desa ini terletak di antara Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu. Pendakian melalui Selo memakan waktu
sekitar lima jam hingga ke puncak.

Jalur populer lain adalah melalui Kaliurang, Kecamatan Pakem, Kabupaten


Sleman, Yogyakarta di sisi selatan. Jalur ini lebih terjal dan memakan waktu

16
sekitar 6-7 jam hingga ke puncak. Jalur alternatif yang lain adalah melalui sisi
barat laut, dimulai dari Sawangan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan
melalui sisi tenggara, dari arah Deles, Kecamatan Kemalang, Kabupaten
Klaten, Jawa Tengah.

Taman Nasional Gunung Merapi adalah sebuah taman nasional (sering


disingkat TN) yang terletak di Jawa bagian tengah. Secara administrasi
kepemerintahan, wilayah taman nasional ini masuk ke dalam wilayah dua
propinsi, yakni Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Penunjukan kawasan TN Gunung Merapi dilakukan dengan SK Menhut


134/Menhut-II/2004 tanggal 4 Mei 2004. Tujuan pengelolaannya adalah
perlindungan bagi sumber-sumber air, sungai dan penyangga sistem
kehidupan kabupaten/kota-kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan
Magelang. Sementara ini, sebelum terbentuknya balai pengelola taman
nasional, TN G Merapi berada di bawah pengelolaan Balai KSDA
(Konservasi Sumber Daya Alam) Yogyakarta

2.3. Letak dan luas

Posisi geografis kawasan TN Gunung Merapi adalah di antara koordinat


07°22'33" - 07°52'30" LS dan 110°15'00" - 110°37'30" BT. Sedangkan luas
totalnya sekitar 6.410 ha, dengan 5.126,01 ha di wilayah Jawa Tengah dan
1.283,99 ha di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kawasan TN G Merapi tersebut termasuk wilayah kabupaten-kabupaten


Magelang, Boyolali dan Klaten di Jawa Tengah, serta Sleman di Yogyakarta.

2.4. Sejarah kawasan

17
Hutan-hutan di Gunung Merapi telah ditetapkan sebagai kawasan lindung
sejak tahun 1931 untuk perlindungan sumber air, sungai dan penyangga
sistem kehidupan kabupaten/kota Sleman, Yogyakarta, Klaten, Boyolali, dan
Magelang.

Sebelum ditunjuk menjadi TNG Merapi, kawasan hutan di wilayah yang


termasuk propinsi DI Yogyakarta terdiri dari fungsi-fungsi hutan lindung
seluas 1.041,38 ha, cagar alam (CA) Plawangan Turgo 146,16 ha; dan taman
wisata alam (TWA) Plawangan Turgo 96,45 ha. Kawasan hutan di wilayah
Jateng yang masuk dalam wilayah TN ini merupakan hutan lindung seluas
5.126 ha.

2.5. Topografi

Wilayah TN G Merapi berada pada ketinggian antara 600 - 2.968 m dpl.


Topografi kawasan mulai dari landai hingga berbukit dan bergunung-gunung.
Di sebelah utara terdapat dataran tinggi yang menyempit di antara dua buah
gunung, yakni Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di sekitar Kecamatan
Selo, Boyolali.

Di bagian selatan, lereng Merapi terus turun dan melandai hingga ke pantai
selatan di tepi Samudera Hindia, melintasi wilayah kota Yogyakarta. Pada
sebelum kaki gunung, terdapat dua bukit yaitu Bukit Turgo dan Bukit
Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata Kaliurang.

2.6. Jenis tanah

Jenis-jenis tanah di wilayah ini adalah regosol, andosol, alluvial dan litosol.
Tanah regosol yang merupakan jenis tanah muda terutama berada di wilayah
Yogyakarta. Bahan induk tanah adalah material vulkanik, yang berkembang

18
pada fisiografi lereng gunung. Jenis tanah andosol ditemukan di wilayah-
wilayah kecamatan Selo dan Cepogo, Boyolali.

2.7. Hidrologi

Wilayah Gunung Merapi merupakan sumber bagi tiga DAS (daerah aliran
sungai), yakni DAS Progo di bagian barat; DAS Opak di bagian selatan dan
DAS Bengawan Solo di sebelah timur. Keseluruhan, terdapat sekitar 27
sungai di seputar Gunung Merapi yang mengalir ke tiga DAS tersebut.

III. Citra Pariwisata Merapi Melalui Komunikasi Massa

( Tinjauan Pustaka )

Merapi (ketinggian puncak 2.968 m dpl, per 2006) adalah gunung berapi
bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di
Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi
Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di
sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Kawasan hutan
di sekitar puncaknya menjadi kawasan Taman Nasional Gunung Merapi sejak
tahun 2004. Gunung ini sangat berbahaya karena menurut catatan modern
mengalami erupsi (puncak keaktifan) setiap dua sampai lima tahun sekali dan
dikelilingi oleh pemukiman yang sangat padat. Sejak tahun 1548, gunung ini
sudah meletus sebanyak 68 kali. Kota Yogyakarta adalah kota besar terdekat,
berjarak sekitar 27 km dari puncaknya, dan masih terdapat desa-desa di
lerengnya sampai ketinggian 1700 m dan hanya 4 km jauhnya dari puncak.
Gunung Merapi adalah gunung termuda dalam rangkaian gunung berapi yang
mengarah ke selatan dari Gunung Ungaran. Gunung ini terletak di zona
Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Puncak
yang sekarang ini tidak ditumbuhi vegetasi karena aktivitas vulkanik tinggi.

19
Puncak ini tumbuh di sisi barat daya puncak Gunung Batulawang yang lebih
tua.

Pembentukan Gunung Merapi telah dipelajari dan dipublikasi sejak 1989 dan
seterusnya. Berthomier, seorang sarjana Prancis, membagi perkembangan
Merapi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah Pra-Merapi (sampai
400.000 tahun yang lalu), yaitu Gunung Bibi yang bagiannya masih dapat
dilihat di sisi timur puncak Merapi. Tahap Merapi Tua terjadi ketika Merapi
mulai terbentuk namun belum berbentuk kerucut (60.000 - 8000 tahun lalu).
Sisa-sisa tahap ini adalah Bukit Turgo dan Bukit Plawangan di bagian selatan,
yang terbentuk dari lava basaltik. Selanjutnya adalah Merapi Pertengahan
(8000 - 2000 tahun lalu), ditandai dengan terbentuknya puncak-puncak tinggi,
seperti Bukit Gajahmungkur dan Batulawang, yang tersusun dari lava andesit.
Proses pembentukan pada masa ini ditandai dengan aliran lava, breksiasi lava,
dan awan panas. Aktivitas Merapi telah bersifat letusan efusif (lelehan) dan
eksplosif. Diperkirakan juga terjadi letusan eksplosif dengan runtuhan
material ke arah barat yang meninggalkan morfologi tapal kuda dengan
panjang 7 km, lebar 1-2 km dengan beberapa bukit di lereng barat.
Karakteristik letusan sejak 1953 adalah desakan lava ke puncak kawah disertai
dengan keruntuhan kubah lava secara periodik dan pembentukan awan panas
(nuée ardente) yang dapat meluncur di lereng gunung atau vertikal ke atas.
Letusan tipe Merapi ini secara umum tidak mengeluarkan suara ledakan tetapi
desisan. Kubah puncak yang ada sampai 2010 adalah hasil proses yang
berlangsung sejak letusan gas 1969.

Letusan-letusan kecil terjadi tiap 2-3 tahun, dan yang lebih besar sekitar 10-15
tahun sekali. Letusan-letusan Merapi yang dampaknya besar tercatat di tahun
1006, 1786, 1822, 1872, dan 1930. Letusan besar pada tahun 1006 membuat
seluruh bagian tengah Pulau Jawa diselubungi abu, berdasarkan pengamatan
timbunan debu vulkanik. Ahli geologi Belanda, van Bemmelen, berteori

20
bahwa letusan tersebut menyebabkan pusat Kerajaan Medang (Mataram
Kuno) harus berpindah ke Jawa Timur. Letusan pada tahun 1872 dianggap
sebagai letusan terkuat dalam catatan geologi modern mencapai 3 sampai 4.
Letusan terbaru, 2010, diperkirakan juga memiliki kekuatan yang mendekati
atau sama. Letusan tahun 1930, yang menghancurkan tiga belas desa dan
menewaskan 1400 orang, merupakan letusan dengan catatan korban terbesar
hingga sekarang Letusan bulan November 1994 menyebabkan luncuran awan
panas ke bawah hingga menjangkau beberapa desa dan memakan korban 60
jiwa manusia. Letusan 19 Juli 1998 cukup besar namun mengarah ke atas
sehingga tidak memakan korban jiwa. Catatan letusan terakhir gunung ini
adalah pada tahun 2001-2003 berupa aktivitas tinggi yang berlangsung terus-
menerus. Pada tahun 2006 Gunung Merapi kembali beraktivitas tinggi dan
sempat menelan dua nyawa sukarelawan di kawasan Kaliadem karena terkena
terjangan awan panas.

Rangkaian letusan pada bulan Oktober dan November 2010 dievaluasi sebagai
yang terbesar selama 100 tahun terakhir, memakan korban nyawa lebih
daripada 100 orang (angka masih dapat berubah), serta menimbulkan
kerusakan obyek-obyek wisata disekitarnya. Oleh sebab itu penanganan
pemulihan pariwisata merapi telah menjadi perhatian serius dari berbagai
pihak yang berkepentingan, termasuk melalui komunikasi massa dengan
serangkaian kegiatan peliputan pemberitaan. Dimana ciri komunikasi massa
yaitu aktifitas komunikasi dengan menggunakan saluran media massa, para
pelaku yang terlibat didalamnya tidak secara langsung berhadapan, atau
bertatap muka. Lain dengan komunikasi intra personal memiliki ciri
komunikasi langsung antara dua atau lebih pihak-pihak yang berkomuniasi
untuk bertemu dan bertatap muka. Namun demkian komunikasi massa
memilki keunggulan dapat menyebar kepada khalayak yang lebih besar
dibanding komunikasi intra personal ( Rakhmat, 2001 ). Media massa juga

21
memiliki ciri tidak mengenal batas ruang maupun waktu. Dari segi pengaruh,
maka komunikasi massa mendapat pengaruh atau efek secara tidak langsung,
sebab pihak penyampai pesan pada media massa tidak mengetahui reaksi dari
audience seketika itu. Meskipun tidak langsung diketahui oleh penyampai
pesan (sumber), maka media massa bisa dikatakan akan mendapat umpan
balik positip, apabila isi pesan dapat menarik perhatian ( Depari, 1978 ).

Lebih lanjut citra pariwisata merapi pasca bencana, dapat dikatakan memiliki
perhatian dari kalangan pers. Aspek yang menjadi daya tarik bagi pers
(persuratkabaran), disamping faktual, keunikan lokal bernilai universal, dan aktual,
memiliki kecenderungan manarik bagi pers untuk mensosialisasikan citra pariwisata
merapi baik pers lokal, regional maupun pers nasional. Kecenderungan daya tarik
pariwisata merapi untuk pers lokal dan regional, karena pasca bencana merapi
tersebut telah menjadi topic of the day bagi publik. Faktor inilah yang bisa memiliki
kecenderungan pemberitaan terkait dengan merapi akan memenuhi aspek
pasarnya, yakni pembaca masyarakat di daerah Yogyakarta, sehingga memiliki
kecenderungan untuk dapat menaikan oplah pers yang bersangkutan. Bagi pers
nasional, merapi yang sudah memiliki nilai informasi universal berskala nasional,
dan bahkan internasional, memiliki aspek pembaca yang luas dan cukup potensial.
Unsur nilai informasi universal memiliki kecenderungan daya tarik bagi pers
nasioanal, dan menciptakan peluang pemberitaan yang menarik untuk pers.

Sedangkan bagi institusi radio citra pariwisata merapi dapat merupakan aplikasi
siaran yang bisa menyesuaikan aspek kehidupan informasi universal, termasuk
didalamnya aspek-aspek yang menjadi kebutuhan pendengarnya. Merapi bisa
diterjemahkan dalam program siaran radio yang enak didengar, program acara yang
familier, serta program acara radio yang bisa menciptakan imajinasi bagi
pendengarnya. Sifat radio yang familier diartikan pesan yang disampaikan radio
sangat akrab, intim, dapat menghibur, serta hangat. Misalanya terkait dengan siaran

22
yang memuat citra pariwisata menjadi nilai yang memiliki kandumgan human
interst bagi radio, maka informasi terkait denan merapi akan menjadi pesan yang
bisa mengundang daya tarik pendengarnya. Siaran radio hanya mengandalkan
suara, namun dengan kelemahannya ini sekaligus memiliki kekuatan, yakni dapat
menciptakan imajinasi pendengarnya. Siaran radio akan menciptakan imajinasi-
imajinasi yang tidak sama diantara para pendengarnya, hal ini berbeda dengan
media visual yang nyata menayangkan gambar, sehingga pemirsa televisi misalnya
tidak memiliki imajinasi seperti pendengar radio ( Subagjo, 1988 ). Kekuatan media
radio yang bisa menciptakan imajinasi tersebut, akan lebih menarik jika
mengudarakan program siaran terkait dengan citra pariwisata merapi pasca
bencana.

RANCANGAN (DESAIN ) RISET

Citra Pariwisata Merapi Pasca Bencana

Melalui Komunikasi Massa

LATAR BELAKANG METODOLOGI PENGATURAN


ADMINISTRASI

- Diperlukan pembangunan pariwiata


Di Merapi Pasca Bencana Sifat: Deskripsi -Waktu: Maret-
Oktober 2010

- Pengembalian citra pariwisata merapi - Studi Pustaka - Personal


(satu orang)
Melalui Komunikasi Massa - Biaya Rp. 10
juta

23
MASALAH PENELITIAN

- Bagaimana uapaya mengembalikan


citra pariwisata merapi pasca bencana ?

- Upaya apa saja untuk mengembalikan citra


pariwisata merapi melalui komunikasi massa?

TUJUAN

- Mengetahui upaya pengembalian citra HASIL YANG DIHARAPKAN


pariwisata merapi pasca bencana Tersusunnya bahan kebijakan
terkait dengan

- Mengetahui langkah-langkah upaya pengembalian citra


pariwisata merapi
pengembalian citra pariwisata pasca bencana melalui
komunikasi massa

merapi melalui media televisi pasca bencana

IV. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui buku-buku, brosur, laeflet,


maupun dokumen-dokumen lain yang diperoleh melalui internet.

24
V. Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian ini di Daerah Istimewa Yogyakarta.

VI.Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Untuk memperoleh keabsahan data dilakukan dengan beberapa cara.


dengan melakukan diskusi dengan para pejabat struktural dan pejabat
fungsional peneliti di lingkungan Litbang Kepariwisataan.

VII. KELUARAN

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan out put yang dapat bermanfaat
untuk pengembangan kepariwisataan , utamanya terkait dengan upaya yang
dilakukan untuk pengembalian citra pariwisata merapi pasca bencana melalui
komunikasi massa.

25
26
JADUAL KEGIATAN PENELITIAN

CITRA PARIWISATA MERAPI PASCA BENCANA MELALUI KOMUNIKASI MASSA

TAHUN 2011

Kegiatan
. April Mei Juni Juli Juli Agust Sept

Persiapan Penelitian
.

a. Pengumpulan informasi

b. Rancangan TOR

a. Seleksi dan evaluasi data dan informasi

b. Penyusunan TOR

c. Diskusi dan konfirmasi TOR

a. Pengumpulan data sekunder


.
b. Penafsiran data sekunder

c. Evaluasi dan analisis data

Penyusunan Laporan Akhir

27
.

Diskusi Intern Litbang


. Kepariwisataan

Penyempurnaan Laporan Akhir


.

Penggandaan Laporan Akhir


.

Penyerahan Laporan Akhir


.

DAFTAR PUSTAKA

Astrid, S. Susanto. 1997. Komunikasi Dalam Teori dan Praktek. Bandung:


Penerbit Bina Cipta.

28
Bungin, Burhan. 2007. Sosiologi Komunikasi. Jakarta : Penerbit Kencana
Prenada

Media Group.

Chamdani, Usman. 2005. Manfaat Model Komunikasi Terhadap Penerbitan

Majalah Kebudayaan Dan Pariwisata. Jakarta : Penerbit Puslitbang


Kepariwisataan

Chamdani, Usman. 2006. Publikasi Pariwisata di Radio. Jakarta: Penerbit

Puslitbang Kepariwisataan

Coleman dalam Rakhmat. 1985. Sosiologi Komunikasi Massa. Bandung:


Penerbit

Remaja Karya
Depari, Eduard. 1978. Komunikasi Dalam Pembangunan. Yogyakarta :
Penerbit Gajah Mada University Press.
Djohan, Rainingsih. 2007. Mengembangkan Media Komunikasi Berbasis

Masyarakat. Jakarta.: Penerbit Bappenas-UNDP

Hamidi. 2007. Metode Penelitian dan Teori Komunikasi. Malang : Penerbit


UPT

Universitas Muhammadiyah.

Rakhmat, Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung: Penerbit


Remaja Karya.

Ruslan, Rosady. 2006. Public Relations dan Komunikasi. Jakarta: Penerbit


PT.

Raja Grafindo Persada.

29
Suparnadi. 1985. Prinsip-Prinsip Komunikasi Media Cetak . Surakarta :
Penerbit Universitas Sebelas Maret.
Subagjo. 1988. Komunikasi Dalam Media Radio. Surakarta : Penerbit
Universitas Sebelas Maret

pembangunan kepariwisataan mempunyai dampak positif terhadap


pembangunan manusia seutuhnya. Selain untuk menciptakan lapangan
kerja, pembangunan pariwisata mampu menggalakkan kegiatan ekonomi.
Pengembangan pariwisata nusantara dilaksanakan sejalan dengan upaya

30
memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa, serta menanamkan jiwa,
semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam rangka lebih memperkokoh
persatuan dan kesatuan nasional, terutama dalam bentuk penggalakkan
pariwisata.

Dalam mengembangkan suatu daerah tujuan wisata harus


memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan
suatu daerah tujuan wisata. Faktor-faktor meliputi obyek dan daya tarik
wisata, prasarana wisata, sarana wisata, tata laksana/infrastruktur serta
kondisi dari masyarakat/ lingkungan.

Ekowisata merupakan sebuah solusi yang terbaik dalam upaya melestarikan


habitat biota laut melalui pemberdayaan masyarakat pesisir untuk
membudidayakan biota laut tersebut sebagai objek dan daya tarik wisata
bagi wisatawan minat khusus.
Ekowisata merupakan sebuah konsep pengembangan yang menge-
tengahkan konservasi, pendidikan, pemberdayaan komunitas, melalui
pengembangan lokasi sebuah obyek dan daya tarik wisata yang menarik
untuk dikunjungi wisatawan nusantara maupun mancanegara yang bertujuan
untuk mengagumi keindahan laut.
Kegiatan penelitian ini akan dilakukan dalam beberapa tahap, pada tahap
awal akan dilakukan identifikasi terhadap perangkat hukum berupa
peraturan-peraturan daerah maupun pusat yang terkait dengan upaya
konservasi kawasan pesisir, untuk menemukenali sudah adakah peraturan
yang mengatur pengembangan tersebut, dan bagaimana implementasinya di
lapangan, apa kendalanya dan sebagainya.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan
masalah yang dikaji dalam pola pengelolaan ekowisata berbasis komunitas di
kawasan pantai/pesisir.

31
1) Bagaimanakah mekanisme pemberdayaan masyarakat setempat da-
lam upaya mengajak mereka mendukung proses konservasi biota laut
2) Bagaimanakah mekanisme dan proses pengembangan ekowisata
berbasis komunitas di kawasan pantai/pesisir;
3) Bagaimanakah mekanisme pemberdayaan masyarakat setempat
dalam mendukung upaya konservasi dalam lingkup pengembangan
ekowisata berbasis pelestarian habitat biota laut di kawasan
pantai/pesisir.

1.3 Tujuan Penelitian


1) Menemukenali konservasi dan mekanisme pemanfaatan ekowisata
berbasis komunitas di kawasan pantai/pesisir sebagai tujuan dan
atraksi wisata, serta permasalahan yang timbul selama ini;
2) Menemukenali permasalahan dalam pelaksanaan pengembangan
ekowisata di kawasan pantai/pesisir dan upaya pelestarian,yang
terkait dengan pemberdayaan masyarakat.
3) Menemukenali mekanisme terkait pemberdayaan masyarakat sekitar,
untuk mendukung proses konservasi biota laut dan pengembangan
ekowisata berbasis pelestarian habitat biota laut di kawasan
pantai/pesisir.

1.4 Sasaran Penelitian


1) Terindentifikasinya aspek konservasi dan mekanisme pemanfaatan
ekowisata berbasis komunitas di kawasan pantai/pesisir sebagai
tujuan wisata dan atraksi wisata serta permasalahan yang timbul;
2) Teridentifikasnya upaya pemanfaatan dan pelestarian ekowisata
terkait pemberdayaan masyarakat di kawasan pantai/pesisir;
3) Teridentifikasinya mekanisme pemberdayaan masyarakat setempat
dalam mendukung konservasi untuk mengembangkan ekowisata
berbasis pelestarian biota lautkawasan pantai/pesisir.

32
4) Tersusunnya bahan untuk merumuskan kebijakan teknis sebagai arah
penyelenggaraan pariwisata berbasis komunitas di kawasan
pantai/pesisir yang mengacu pada upaya pelestarian, pemberdayaan
masyarakat dan sasaran yang efektif.

1.5 Metodologi Penelitian


1) Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang didukung wawancara
mendalam (indepth interview) serta pengamatan lapangan yang
berhubungan dengan komponen-komponen mekanisme pengelolaan atraksi
wisata, fasilitas wisata, aksesibilitas, promosi, kemitraan dan pemberdayaan
masyarakat. Wawancara mendalam dilakukan dengan informan terpilih yang
diharapkan dapat mendukung kedalaman analisis data secara deskriptif
yang diperoleh dengan metode survai.
Sementara untuk pengumpulan data menggunakan metode survei la-
pangan melalui wawancara mendalam dengan Observasi lapangan dilakukan
untuk mengamati kondisi fisik lokasi penelitian dengan melakukan pendataan
dan identifikasi untuk memastikan aspek-aspek pengelolaan apa saja yang
sudah dilakukan dan apa yang belum dilakukan terkait dengan mekanisme
pengelolaan ekowisata berbasis komunitas meliputi atraksi wisata, amenitas
(fasilitas), aksesibilitas, kemitraan, promosi serta pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan untuk mendapatkan data selain wawancara dan observasi
dilakukan penelusuran studi dokementasi terkait dengan deskripsi lokasi di
kawasan pantai/pesisir (letak, luas, iklim, topografi), data kependudukan,
mata pencarian, pendidikan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhu-
bungan dengan pengelolaan ekowisata berbasis komunitas, data jumlah pe-
ngunjung maupun literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian.

2) Metode Penentuan Informan


Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik
non probabilitas secara purposive sampling, artinya tidak semua populasi
memiliki kesempatan untuk dijadikan sampel yang meliputi kepala pengelola

33
Kawasan, unsur pemerintah, usaha masyarakat, dan masyarakat yang
terlibat dalam kegiatan kepariwisataan.

Pengambilan sampel tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa


mereka memiliki pemahaman yang luas tentang kondisi perkembangan yang
ada di lokasi Penelitian. Sedangkan sampel yang digunakan untuk me-
ngetahui profile, karakteristik dan pendapat wisatawan peneliti menggunakan
teknik pengambilan sampel secara accidental yaitu hanya wisatawan yang
ditemui pada saat penelitian berlangsung yang dijadikan sampel dalam
penelitian ini.

3) Metode Pengolahan Data


Data yang terkumpul kemudian diklasifikasi, diuraikan, diorganisir secara
sistematis kemudian diolah dengan metode deskriptif menggunakan proses
analisis data secara kualitatif sehingga diharapkan dapat menghasilkan
deskripsi mengenai fenomena yang berhubungan dengan pola pengelolaan
ekowisata berbasis komunitas yang lebih mendalam.
Data-data yang dianalisis berasal dari unsur-unsur pengamatan hasil
observasi dan wawancara yang berhubungan dengan variabel dan indikator-
indikator penelitian yaitu:
(1) Mekanisme konservasi biota laut yang sudah berjalan selama ini di lokasi
penelitian.
(2) Mekanisme pengelolaan atraksi ekowisata berbasis komunitas meliputi:
Keragaman atraksi wisata; kualitas dan keunikan daya tarik wisata;
(3) Mekanisme pengelolaan fasilitas ekowisata berbasis komunitas, meliputi:
Ketersediaan jenis fasilitas; kondisi dan kelengkapan fasilitas penunjang
untuk kebutuhan wi-satawan; kapasitas yang tersedia.
(4) Mekanisme pengelolaan aksesibilitas, meliputi; Sarana transportasi;
sarana jalan; kemudahan menjangkau.
(5) Kondisi lingkungan, ekonomi dan sosial-budaya;
(6) Mekanisme promosi ekowisata berbasis komunitas, meliputi;
Kemampuan SDM yang memadai; bagaimana bentuk promosi yang

34
digunakan; media yang digunakan dalam melakukan promosi; strategi
promosi.
(7) Mekanisme kemitraan, bentuk kerja sama yang dibangun oleh semua
pihak stakeholders; peranan atau tanggung jawab dari setiap pihak yang
terlibat; regulasi kelembagaan.
(8) Pemberdayaan masyarakat meliputi: a) program pemberdayaan masya-
rakat; b) pihak yang menyelenggarakan pelatihan, c) manfaat pelatihan
bagi masyarakat, d) pendampingan masyarakat, e) peranan pihak dalam
program pemberdayaan masyarakat.

4) Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di beberapa wilayah pantai/pesisir yang
mempumyai potensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata dengan
mengupayakan pelestarian sumberdaya laut, wilayah pesisir tersebut hampir
terdapat di seluruh pesisir indonesia dan ada 3 wilayah yang dianggap
mempunyai potensi pantai/pesisir untuk dijadikan kegiatan penelitian yaitu:
1. Provinsi Bangka Belitung;
2. Provinsi Jawa Tengah;
3. Provinsi Jawa Barat.
Tiga provinsi tersebut memiliki potensi pantai/pesisir yang sangat
banyak dan berpotensi untuk dilakukan penelitian, dikembangkan serta perlu
dilakukan pelestarian ekosistem sumberdaya lautnya.

1.6 Rancangan Riset


1) Konsep Dasar Ekowisata Pantai
Ekowisata, atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan ecotourism,
adalah suatu bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian
area yang masih alami (natural area), memberi manfaat ekonomi dan mem-
pertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat (Fandeli dan Mu-
khlison, 2000). Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya
merupakan bentuk gerakan konservasi yang dilakukan penduduk dunia.

35
Pada mulanya, ekowisata banyak dilakukan oleh pencinta alam yang me-
lakukan wisata dan menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan les-
tari. Selain itu, budaya masyarakat setempat juga tetap terjaga, dan yang
lebih penting lagi adalah bahwa pariwisata itu membawa manfaat ekonomi
bagi masyarakat setempat. Untuk tercapainya kelestarian alam dan
kelestarian budaya masyarakat dapat tetap terjaga, maka diperlukan
rancangan pelestarian konservasi alam yang berkelanjutan. Upaya tersebut
dapat terlaksana dengan melibatkan dan memberdayakan semua unsur
pemerintah, swasta maupun masyarakat, adapun rancangan dan keterlibatan
dapat dilihat pada Rancangan Riset Penelitian ini.

RANCANGAN RISET

P E ME -
R I N T AH

M AS YA-
S W AS T A L S M
R AK AT

P E N E LITI

Pengelolaan
Planning Ekowisata:
Organization (Atraksi, Fasilitas,
Actuating Aksesibilitas,
Controlling lingkungan, ekososbud,
promosi & kemitraan)

Penyediaan sarana wisata tirta adalah usaha penyediaan dan


pengelolaan prasarana dan sarana, serta jasa yang berkaitan dengan
kegiatan wisata tirta. Hal dapat dilakukan di laut, sungai, danau, rawa, dan
waduk, dermaga serta fasilitas olahraga air untuk keperluan olahraga
selancar air, selancar angin, berlayar, berperahu, menyelam dan memancing.
Dalam pelaksanaan suatu pengembangan wisata tirta, dalam hal ini
adalah wisata di laut baik itu di permukaan laut maupun di bawah permukaan
laut, perlu diperhatikan upaya untuk pelestarian ekosistem laut. Yang

36
dimaksud dengan ekosistem laut adalah seluruh wilayah laut yang terikat
dalam satu sistem, yaitu sistem ekologi, dimana untuk Indonesia meliputi
wilayah laut Indonesia seluas 62% dari luas wilayah keseluruhan (Tanjung,
1995).
Pada penelitian ini, penekanannya adalah pada wisata laut di tepian
daratan, atau lebih dikenal dengan wisata pantai, baik di atas maupun di
bawah permukaan laut. Kegiatan wisata di atas permukaan laut yang
berkaitan dengan pantai ini misalnya berselancar (Surfing), ski laut (Skiing),
memancing (Fishing), berlayar (Sailing) dan kegiatan yang dilakukan di dasar
laut seperti menyelam (Diving atau Snorkling).
Penetapan daya dukung lingkungan pantai menjadi sangat penting dalam
menentukan jumlah pengunjung wisata pantai. Daya dukung pantai ini
berbeda-beda satu sama lain, sangat tergantung pada macam pantai (Muddy
sandy atau Rocky beach). Bentuk pantai yang berbeda akan berbeda pula
kemampuan menerima pengaruh dari wisatawan demikian pula faktor
aktivitas wisatawan.
Secara umum telah terdapat kebijakan secara nasional yang sesuai
dengan SK Presiden Nomor 32 Tahun 1989, yang menetapkan lebar jalur
sepadan pantai. Dalam keputusan ini areal pantai di atas shoreline yaitu
selebar antara 150-200 meter dari Shoreline ke arah darat areal ini
ditetapkan sebagai kawasan lindung.
Ini berarti bahwa areal 150-200 meter ini menjadi public beach yang
melarang siapapun untuk membangun fasilitas wisata.
Kementerian Lingkungan Hidup juga telah membuat peraturan tentang baku
mutu lingkungan hidup (Kepmen Lingkungan Hidup No. 51 tahun 2004).
Pada pasal 5 dijelaskan bahwa: (1) daerah dapat menetapkan Baku Mutu Air
Laut sama atau lebih ketat dari Baku Mutu Air Laut yang telah ditetapkan
dalam Keputusan ini; (2) dalam hal daerah telah menetapkan Baku Mutu Air
Laut lebih longgar sebelum ditetapkannya Keputusan ini, maka Baku Mutu
Air Laut tersebut perlu disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-
lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya
Keputusan ini; (3) daerah dapat menetapkan parameter tambahan

37
disesuaikan dengan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan; (4) Apabila
daerah belum menetapkan Baku Mutu Air Laut, maka yang berlaku adalah
Baku Mutu Air laut seperti dimaksud dalam Lampiran Keputusan.
Selain itu pula, peraturan ini menjelaskan mengenai kewajiban Gubernur,
Bupati/Walikota untuk melaksanakan kegiatan pemantauan sekurang-
kurangnya 2 (dua) kali dalam setahun. Hal ini dilakukan guna mengetahui
kualitas air laut di daerah. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air laut,
Gubernur, Bupati/ Walikota menindaklanjuti dengan program pengendalian
pencemaran air laut.
Selain itu, untuk pengusahaan kegiatan wisata di lokasi yang menjadi
cagar alam, perlu ijin khusus berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.
446/Kpts-II/1996 tentang Tata Cara Permohonan Ijin Pengusahaan Hutan
Wisata, Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut.

2) Prinsip-prinsip Pengelolaan Ekowisata Pesisir


Wilayah pantai terdapat beberapa pembagian zona, ada bagian
perairannya dapat ditetapkan zona tide zone yang dipergunakan untuk
berbagai aktivitas. Zona yang dibatasi sampai sekitar 250 feet dari batas low
water level (Iwl) dapat dimanfaatkan untuk aktivitas berenang, berperahu dan
berperahu dengan kecepatan rendah yaitu 5 mil per jam. Apabila akan
melakukan kegiatan berwisata dengan perahu kecepatan sedang dapat dila-
kukan di perairan pantai sekitar 250-500 feet dari pantai. Di tempat yang
agak ke tengah ditetapkan zona yang disebut open water zone.
Zona ini dipergunakan untuk beraktivitas wisata yang berperahu dengan
kecepatan tinggi, area ini ditetapkan di luar 500 feet ke arah tengah laut
(Fandeli, 2002).
Pada umumnya kegiatan wisata bahari yang dilaksanakan oleh wisatawan
maupun oleh pengelola obyek wisata mempunyai potensi besar mempe-
ngaruhi biota perairan laut.
Beberapa kegiatan wisatawan dalam melakukan aktivitas berwisata terdapat
peralatan-peralatan yang dapat mencemari lingkungan pantai, misalnya saja
aktivitas ski air, perahu bermotor, dan lain-lain. Limbah yang dihasilkan dari

38
bahan bakar bermotor ini, dikhawatirkan akan mencemari lingkungan di
sekitar pantai. Salah satu biota laut, hewan benthic dan tanaman liana
biasanya mudah terpengaruh oleh tumpahan minyak. Selain itu, sampah pa-
dat yang dibuang sembarangan oleh wisatawan, pengelola obyek wisata ma-
upun warga sekitar pantai juga ikut mencemari lingkungan karena menge-
luarkan gas niethan dalam proses pembusukannya (Fandeli, 2002).
Berbagai macam kegiatan dapat dilakukan oleh wisatawan di areal pantai.
Kegiatan ini dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu:
(1) Surface activities, aktivitas wisata yang dilaksanakan di permukaan air
pantai. Aktivitas ini antara lain berperahu, ski air dan berselancar.
(2) Contact activities, aktivitas wisata yang dilaksanakan, dengan wisatawan
kontak langsung dengan air, aktivitas yang demikian antara lain
berenang, scuba diving, mandi dan snorkling.
(3) Littoral activities, aktivitas berwisata di daratan yang dilakukan oleh
wisatawan. Aktivitas berwisata alam yang banyak dilakukan adalah
berjemur di bawah sinar matahari, piknik dan berjalan-jalan santai
(Fandeli, 2002).

3) Ekowisata dan Pelestarian Alam


Salah satu bagian laut/pantai yang sering dijadikan objek wisata adalah
ekosistem terumbu karang. Wisatawan biasanya senang menikmati
keindahan keanekaragaman hayati terumbu karang dengan dua cara.
Pertama, pada perairan dangkal dengan menggunakan perahu yang
lantainya, atau bagian bawahnya, ada gelas kaca (glass-bottom boat). Di sini
wisatawan dapat melihat dari atas kapal apa-apa yang ada di bawah perahu,
tanpa perlu bersusah payah berenang dan menyelam. Kedua, dengan
menggunakan perlengkapan khusus menyelam, untuk tempat-tempat yang
dalam yang tidak mungkin dapat dilihat dengan perahu berlantai gelas yang
tembus pandang.
Berbagai kegiatan yang dilakukan oleh wisatawan dan masyarakat yang
didominasi kepentingan ekonomi semata banyak menimbulkan kerusakan
lingkungan ekosistem terumbu karang ini. Penambangan karang dengan

39
atau tanpa menggunakan bahan peledak berdampak pada rusak dan
kematian massal habitat hewan terumbu karang. Kegiatan pariwisata banyak
berpengaruh terhadap ekosistem ini. Wisatawan, terutama wisatawan
nusantara, banyak yang membawa atau membeli karang sebagai kenangan
dari berwisata.

Namun demikian, seringkali komersialisasi terumbu karang sebagai


obyek wisata bahari juga dapat membantu menyelamatkan ekosistem laut.
Hal ini amatlah wajar, karena yang dijual pada industri ini adalah keindahan
ekosistem di bawah laut, terutama terumbu karang dan biota laut lainnya
yang indah. Sehingga dengan adanya wisata bahari ini, diharapkan dapat le-
bih terjaga kelestarian alam bawah laut.
Kegiatan ekowisata dan adanya pemasukan pendapatan dari wisatawan,
diharapkan dapat dilakukan pelestarian terhadap lingkungan alam, keindahan
alam harus dijaga untuk generasi yang akan datang juga (nature.org).
Namun kegiatan pelestarian alam dan lingkungan ini tidak dapat terlaksana
tanpa dukungan dari warga masyarakat sekitar objek ekowisata, sehingga
tidak dapat dipisahkan antara ecotourism dan community-based tourism.

4) Permasalahan Pengelolaan Ekowisata Pantai


Berbagai bentuk aktivitas, terutama berbagai olah raga air yang dilaku-
kan di tepi pantai sangat disukai oleh wisatawan tetapi dengan begitu banyak
kegiatan yang dilakukan di sekitar pantai peralatan yang digunakan masih
sangat sederhana. Demikian pula untuk kegiatan penyelamatan apabila
terdapat bencana, seringkali kurang perhatian dan kepedulian dari Pemda
dalam pemenuhan peralatan untuk penyelamatan para korban kecelakaan
laut (laka laut). Sehingga, ketika terjadi musibah laut upaya penyelamatan
darurat terhadap para korban dinilai kurang optimal.
Selain itu, sampah menjadi masalah paling serius dalam mengembang-
kan potensi wisata bahari di Indonesia . Sejumlah kawasan wisata bahari
yang dahulu terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan karena daya tarik

40
biota dan taman lautnya, kini tercemari sampah dan limbah industri sehingga
wisatawan menjadi enggan untuk datang.
Degradasi pada ekosistem laut dapat menimbulkan pemandangan di
bawah permukaan laut menjadi tidak bagus lagi, degradasi laut dapat dise-
babkan oleh kerusakan habitat karena bencana alam, pencemaran
lingkungan, pengambilan sumber daya laut yang berlebihan, dan kegemaran
mengumpulkan benda dan organisme laut. Akibat lainnya adalah adanya
kecelakaan tanker dan kecerobohan pengoperasian perahu motor dan kapal,
yang menyebabkan terjadinya tumpahan minyak yang mengotori laut, dapat
merusak lingkungan bawah laut sehingga air laut menjadi tidak bersih lagi
dan pemandangan bawah laut pun menjadi tidak bagus.
Ekowisata merupakan bentuk wisata alam yang nyata-nyata memberikan
kontribusi pada upaya pelestarian. Kontribusi tersebut menurut Boo adalah:
menghasilkan dana bagi daerah yang diproteksi, menciptakan lapangan kerja
bagi komunitas di sekitar area yang diproteksi, memberikan pendidikan
tentang lingkungan kepada para pengunjung.
Sejumlah hal yang perlu dicermati antara lain:
(1) Ekowisata dan Peluang Kerja: potensi ekowisata menciptakan banyak
peluang kerja di kawasan-kawasan yang memang sangat
membutuhkan, mencegah tragedi peminggiran, penggusuran atau
marginalisasi dan migrasi yang terpaksa para orang muda yang
masuk dalam pasar kerja.
(3) Struktur Pendukung Pembangunan Pariwisata.
Komponen-komponen lain yang juga berpengaruh dalam
pembangunan kepariwisataan adalah infrastruktur dasar (Gunn 1994),
promosi dan pemasaran (Seaton & Bennet 1996) kebijaksanan dan
strategi kepariwisataan pemerintah (Jenkins, 1991) dan elemen-
elemen institusional seperti pendidikan, peraturan, kebijakan investasi
dan sumberdaya manusia (Inskeep, 1991).
(4) Fasilitas penunjang kepariwisataan digunakan wisatawan selama
mereka berwisata meliputi akomodasi, restoran, fasilitas hiburan dan
jasa-jasa lainnya (Cooper et al, 1993).

41
(5) Aksesibilitas sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan,
seperti yang dikemukakan Gunn (1994) bahwa akses merupakan
komponen kritikal yang menghubungkan pasar dengan daerah tujuan
wisata.
Bagian ini bisa menjadi semacam tambahan (extra) baik menaikkan
maupun menurunkan total tingkat kepuasaan wisatawan. Semakin
lama mereka tinggal semakin penting usaha restoran dan hotel yang
membentuk sebagian support system.
(6) Tidak ada tourist system tanpa publisitas. Promosi tidak hanya
menyajikan informasi umum tentang atraksi kawasan, namun juga
menciptakan ekspektasi dan fantasi sebuah atraksi harus dipenuhi.
(7) Tourist system ada di dalam realitas politk komunitas.
Paraprofesional di bdiang parwisatra akan lebih bijaksana apabila
tetap membuka open line dengan pembuata keputusan prinsip dalam
komunitas.
(8) Penduduk setempat merupakan bagian dari tourist system dalam dua
arah (cara). Penduduk lokal akan menjadi constant source of
potential year round customers for both attractions and its supporting
industries. Penduduk lokal dapat sebagai supplemental source of
information about area attractions and services.
(9) Pengembangan Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
Pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada
dasarnya adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan
mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan guna
meningkatkan mutu lingkungan hidup (Soeriatmaja, 1994).
Berdasarkan definisi di atas maka tampak adanya unsur perencanaan
yang baik ada unsur pengelolaan sumber daya alam yang baik dan
tujuan akhirnya dan sangat penting adalah meningkatkan kualitas
lingkungan hidup manusia dimana pembangunan tersebut
berlangsung.
Dalam hal ada suatu daerah yang miskin sumber daya alam, maka
kemungkinan pengembangan wisata pantai dapat merupakan salah

42
satu solusi. Sebab pada hakekatnya wisata memang tidak
membatasi diri pada ada tidaknya sumber daya alam, namun dengan
adanya suatu kekhasan di daerah tersebut, dapat pula diupayakan
penghasilan yang layak bagi penduduk setempat.
Ekotourism pada dasarnya adalah pola pengembangan kawasan
yang berorientasi pada keseimbangan antara alam dan manusia.
Manusia bisa memperoleh kepuasan menjelajahi alam, alam pun
memperoleh keuntungan dari kepedulian manusia. Proses
konservasi tidak akan berjalan secara baik apabila penduduk di
kawasan tersebut masih terus mengandalkan hidupnya pada hasil
sumber daya alam yang ada sehingga menjadi bentuk-bentuk
eksploitasi alam.
Proses konservasi kawasan melalui pembangunan pariwisata akan
menjadikan wawasan tersebut mandiri karena memperoleh dukungan
dana dari kunjungan wisatawan. Simbiosis antara wisatawan dan
alam akan bersifat mutualistis untuk kawasan itu sendiri maupun
untuk penduduk setempat, dan akan terus berlanjut.
Namun demikian, ekowisata tidak akan mampu sendiri
menyelamatkan ekosistem, ekowisata juga tidak mampu sendiri
memperbaiki kehidupan penduduk setempat, namun apabila
direncanakan dengan baik untuk menikmati hasil ekonomi dan
memaksimalkan keterlibatan penduduk setempat, maka ekotourism
adalah salah satu solusi terhadap masalah tersebut (Tensi Whelan,
ekotourism and its role in Sustainable development 1992).
Dilihat dari perkembangannya, ekowisata merupakan segmen wisata
yang relatif masih muda namun pertumbuhannya paling pesat dari
berbagai industri yang pernah kita kenal. Pelaku ekowisata banyak
yang cenderung menghabiskan lebih banyak waktunya di tempat
tujuan (per orang per hari) dibanding jenis wisatawan yang lain (Final
Report on the Feasibility Study for the Bloody Nature Project, Tobago,
prepared by Eco-engineering-Ecologistics, 1997).

43
Dengan demikian dari aspek lama tinggal (length of stay), mereka
mencatat lebih panjang dengan berakibat pengeluarannya jadi makin
besar. Dari aspek ini saja, kualitas konsumennya relatif lebih baik
dibanding kualitas wisatawan yang memiliki tujuan lainnya dilihat dari
sisi pengeluaran (spending) mereka lebih tinggi. Disamping itu,
peralatan-peralatan yang digunakan untuk menunjang aktivitas
mereka seperti alat selam, perahu-perahu khusus, perlengkapan
pendakian juga tidak murah, maka tidak dapat dipungkiri bahwa
ekowisata merupakan aktivitas wisata yang tergolong mahal.

5) Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat berarti meningkatkan kemampuan
masyarakat atau membangun potensi yang ada pada masyarakat untuk
membentuk individu dan masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat
merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh
kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang
dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang
dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan mereka.
Pada hakekatnya pemberdayaan merupakan penciptaan suasana yang
memungkinkan potensi masyarakat berkembang yang didasarkan pada
asumsi bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa memiliki daya.
Setiap masyarakat pasti memiliki daya akan tetapi kadang-kadang mereka
tidak menyadari, atau daya tersebut belum dapat diketahui secara eksplisit.
Oleh karena itu daya harus digali, dan kemudian dikembangkan sebagai
upaya untuk mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan
potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya sehingga
mengantarkan masyarakat pada proses kemandirian.
Didalam proses pemberdayaan masyarakat dalam mengelola ekowisata,
diperlukan langkah-langkah tertentu yang dapat dijadikan sebagai pedoman
yaitu pertama, tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku
sadar dan peduli terhadap pariwisata sehingga merasa membutuhkan
peningkatan kapasitas diri. Kedua, tahap transformasi kemampuan berupa

44
wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan
memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam
pembangunan pariwisata. Ketiga, tahap peningkatan kemampuan intelektual,
kecakapan ketrampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan ino-
vatif untuk mengantarkan pada kemandirian mengelola pariwisata.

1.7 Hasil Yang Diharapkan:


Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan dokumen rekomendasi
pengembangan ekowisata berbasis komunitas dan pelestarian sumberdaya
laut, antara lain meliputi:

1. Mengidentifikasi pengembangan objek wisata alam pesisir yang


memiliki daya tarik (1) keindahan alam, (2) Keindahan kehidupan
bawah air (biota laut), (3) Mengembangkan fasilitas wisata di pantai
untuk wisata laut. (3) Mengembangkan aktivitas budaya di kawasan
pesisir.
2. Melakukan edukasi kepada masyarakat sekitar pesisir (nelayan dan
warga lainnya) untuk selalu memelihara kesimbangan ekosistem
pesisir.
3. Meningkatkan kemampuan nelayan untuk membudidayakan ikan hias,
maupun biota laut, serta menangkap ikan yang dikonsumsi wisatawan.
Pengembangan ekowisata merupakan kegiatan yang perlu dilakukan
secara terus menerus untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam
upaya peningkatan kualitas lingkungan dan ekosistem di wilayah
pantai/pesisir di Indonesia.

45
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) meru-


pakan suatu alat pembangunan masyarakat yang memperkuat kemampuan
masyarakat pesisir untuk mengelola sumber-sumber daya pariwisata sambil
memastikan keterlibatan mereka secara penuh. Dengan demikian karakter
pariwisata berbasis masyarakat adalah (1) bentuk pariwisata yang
memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan
terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata; (2) jika masyarakat
yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata namun juga
mendapat keuntungan; (3) menuntut pemberdayaan secara politis dan
demokratisasi serta distribusi keuntungan kepada kommunitas yang kurang
beruntung di pesisir (Beeton, 2006 dalam Keliwar, 2008).
Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism
development) memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi perhatian
pengembang pariwisata, yaitu :
(1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas
dalam industri pariwisata;
(2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap
aspek;
(3) mengembangkan kebanggaan komunitas;

46
(4) mengembangkan kualitas hidup komunitas;
(5) menjamin keberlanjutan lingkungan;
(6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal;
(7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran
budaya pada komunitas;
(8) menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia;
(9) mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas
yang berperan dalam menentukan prosentase pendapatan
(pendistribusian pendapatan) dalam proyek yang ada di komunitas.
Sepuluh prinsip dasar tersebut harus menjadi tumpuan, arah, dan
prinsip dasar dari pembangunan pariwisata agar keberlanjutannya
terjamin (Suansri, 2003).
Menurut Oka Yoeti (2000) dalam “ilmu wisata” ekowisata adalah “suatu
perjalanan untuk memenuhi keingintahuan (curiosity), mengagumi
(astonishing), menciptakan saling pengertian (understanding), tentang sistem
ecology keindahan alam (natural beauty), warisan budaya (cultural heritage),
adat istiadat masyarakat setempat (customs and traditions), serta
menghargai dan mengakui keberadaannya (appreciate).
Sementara menurut Lascurain, Tourism that involved travelling to
relativity undisturbed natural areas with the objective of admiring, studying
and enjoying the scenery and its wild plants and animals as well as any
cultural features found there. (Caballos – Lascurain, 1991).
Dari definisi tersebut, ekowisata mempunyai unsur–unsur antara lain: adalah:
Unsur (1) edukasi, (2) konservasi, (3) appresiasi, (4) understanding, (5)
sustainable, (6) enjoying, dan (7) kesejahteraan masyarakat lokal.
Menurut Syahril Amil (1988), ada 4 syarat yang harus diperhatikan di
dalam pengembangan ekowisata. 1) adanya proses belajar (learning
process) 2) adanya prinsip konservasi alam 3) pengembangan masyarakat
terutama masyarakat lokal 4) aktivitas yang populer dilakukan oleh
kebanyakan ekowisata adalah kegiatan seperti : menyaksikan sesuatu yang
unik tentang kehidupan suatu etnis tertentu, termasuk budaya dan seni
tradisional masyarakat setempat. Hiking, tracking, bird watching, nature

47
photography, wildlife safari, camping, mountain climbing, fishing, hunting,
rafting, canoing, diving, kayaking, botanical study merupakan sejumlah nama
kegiatan ekowisata (Whelan, 1991).
Tensie Whelan 1991 menggaris bawahi bahwa ekowisata adalah suatu
konsep inovatif yang mengkaitkan konsep konservasi dengan pembangunan
ekonomi setempat yang mampu memberikan alternatif selain cara-cara yang
bersifat eksploitatif. Konsep ekowisata sendiri pada dasarnya menolak
upaya-upaya pemanfaatan sumber daya alam untuk maksud-maksud
ekonomi yang bersifat eksploitatif.
Konsep ekowisata merupakan salah satu dari sekian banyak cara-cara
mengkonservasi yang bersifat mandiri dan rasional. Mandiri artinya mampu
menghidupi dirinya sendiri, rasional karena berdasarkan logika.
Menurut Keliwar 1, Pariwisata berbasis masyarakat (community-based
tourism) dan ekowisata berbasis masyarakat (community-based ecotourism)
merupakan dua bentuk pendekatan perencanaan pembangunan pariwisata
alternatif yang bersifat partisipatif, yang digunakan untuk menggambarkan
bentuk pariwisata yang mengenali dampak-dampak penting terhadap ling-
kungan, sosial – budaya dan ekonomi, yang disebabkan oleh kegiatan
pariwisata, terutama pariwisata yang bermanfaat bagi masyarakat lokal.
Hal ini diperkuat oleh Wood yang menyatakan bahwa konsep
ekowisata mengandung unsur edukatif yang membuahkan sikap apresiatif
dan menjauhi sikap destruktif. Keterlibatan penduduk dalam perusakan
lingkungan dikarenakan penduduk setempat justru sering merusak
lingkungan mereka sendiri untuk menunjang kebutuhan hidup mereka sehari-
hari.
Tujuan dasar dari pengembangan ekowisata antara lain adalah (1)
Lahirnya kesadaran akan pentingnya upaya konservasi. (2) Penyelamatan
sumber daya alam dan lingkungan hidup. (3) Peningkatan tingkat kehidupan
secara finansial maupun sosial penduduk setempat. (4) Peningkatan
apresiasi pengunjung terhadap suatu daerah tujuan wisata.

1
Said Keliwar, Pola Pengelolaan Ekowisata berbasis Komunitas di TN Gunung Halimun-Salaj

48
Australian Tourism Commission (ATC) menyatakan ekowisata adalah
salah satu upaya mengajak wistawan pergi ke alam dan meningkatkan
pemahaman mereka terhadap warisan alam dan budaya tanpa harus
mendegradasi mereka. Ekowisata secara teoritis memberikan dampak positif
dari berbagai dimensi : lingkungan, sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu
ekowisata dipandang sebagai pedang bermata dua. Eco berasal dari kata
Oikos artinya rumah tangga. Kata eko bisa dikaitkan dengan ekonomi bisa
dengan ekologi – kata ekonomi dan ekologi sudah banyak dikenal orang.
Ekowisata menyiratkan ilmu pengetahuan (scientific), keindahan
(esthetic) atau pendekatan filosofi, meskipun pelaku ekowisata tidak
diharuskan menjadi profesional scientist, artst or philipospher. Dengan
demikian, ekowisata pada dasarnya memfokuskan diri pada pengalaman
personal wisatawan di kawasan alam yang dikunjungi, yang dapat mengarah
pada pemahaman dan penghargaan yang lebih baik terhadap lingkungan
tersebut.
Dalam ekowisata terintegrasi kesempatan bagi wisatawan untuk memahami
kawasan alam yang mereka kunjungi dan sekaligus memperoleh
pengalaman darinya.
Ekowisata merupakan bentuk wisata alam yang nyata-nyata memberikan
kontribusi pada upaya pelestarian. Kontribusi tersebut menurut Boo (1998)
adalah: (1) menghasilkan dana bagi daerah yang diproteksi. (2) menciptakan
lapangan kerja bagi komunitas di sekitar area yang diproteksi. (3)
memberikan pendidikan tentang lingkungan kepada para pengunjung.
Ekowisata menciptakan banyak peluang kerja di kawasan-kawasan yang
memang sangat membutuhkan, mencegah tragedi peminggiran,
penggusuran atau marginalisasi dan migrasi yang terpaksa para orang muda
yang masuk dalam pasar kerja.
Sedangkan ekowisata berbasis masyarakat (community-based tourism)
merupakan salah satu bentuk ekowisata yang lebih spesifik dan sebagai alat
untuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, sama
seperti pariwisata berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal memiliki
kontrol terhadap pengembangan dan pengelolaan sehingga banyak

49
memperoleh manfaat baik secara ekonomi, pendidikan, sosial budaya,
kesehatan maupun manfaat terhadap konservasi lingkungan alam dari
pengembangan ekowisata berbasis masyarakat ini.
Ekowisata berbasis komunitas penting sebagai alat proteksi terhadap dam-
pak lingkungan, sosial, budaya dan keberlanjutan pembangunan ekowisata
harus antara lain:
a. mampu menekan dampak negatif terhadap sumber daya alam daerah
yang dilindungi;
b. melibatkan semua stakeholders (institusi pemerintah, indusri pariwisata
swasta seperti tour operator, pengelola, wisatawan ekowisata, LSM, ma-
syarakat, konsultan) dalam proses perencanaan, pengembangan,
implementasi dan monitoring;
c. menghormati kebudayaan dan tradisi lokal;
d. meningkatkan pendapatan yang wajar kepada komunitas lokal dan
stakeholders lainnya;
e. memberikan pendapatan bagi konservasi dan daerah-daerah yang di-
lindungi; dan
f. mendidik semua stakeholder tentang peranan mereka masing-masing da-
lam konservasi (Drumm & Moore, 2005).
Dengan demikian, ekowisata berbasis masyarakat merupakan komponen
logis dari pembangunan yang berkelanjutan, memerlukan pendekatan
berbagai disiplin, perencanaan yang cermat baik secara fisik maupun
manajerial dan arahan serta peraturan yang tegas untuk menjamin
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Hanya melalui keterlibatan lintas
sektoral dari semua stakeholder ekowisata berbasis masyarakat akan dapat
benar-benar mencapai sasarannya.
Untuk mewujudkan pembangunan ekowisata berbasis masyarakat dalam
peningkatan perekonomian masyarakat lokal maka upaya yang harus
dilakukan adalah melalui program pemberdayaan masyarakat itu sendiri yang
dilakukan dengan membangun kemampuan yang dimiliki masyarakat
(Community Capacity Building) tetapi belum diberdayakan, menurut World
Bank capacity building terdiri dari:

50
(1) Pengembangan sumber daya manusia; training, rekruitmen, ma-
najerial dan teknis yang berbasis kepada masyarakat (Community-
Based Training);
(2) Keorganisasian, yaitu pengaturan struktur, proses, sumber daya dan
gaya manajemen;
(3) Jaringan kerja (network), berupa koordinasi, aktifitas organisasi,
fungsi network, serta interaksi formal dan informal;
(4) Lingkungan organisasi, yaitu aturan (rule) dan undang-undang
(legislation) yang mengatur pelayanan publik, tanggung jawab dan
kekuasaan antara lembaga, kebijakan yang menjadi hambatan bagi
development tasks, serta dukungan keuangan dan anggaran;
(5) Lingkungan kegiatan lebih luas lainnya, meliputi faktor-faktor politik,
ekonomi dan situasi-kondisi yang mempengaruhi kinerja.
Didalam proses pemberdayaan masyarakat dalam mengelola ekowisata, di-
perlukan langkah-langkah tertentu yang dapat dijadikan sebagai pedoman
yaitu:
(1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar
dan peduli terhadap pariwisata sehingga merasa membutuhkan
peningkatan kapasitas diri.
(2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan,
kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan
keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam
pembangunan pariwisata.
(3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan ketrampilan
sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk
mengantarkan pada kemandirian mengelola pariwisata.
Selain itu kehidupan sosial budaya masyarakat yang masih kuat
memegang tradisi nenek moyang yang masih kuat diantaranya upacara adat,
bentuk arsitektur rumah, pembuatan gula aren, pembuatan produk
cinderamata, aktifitas pertanian dan sebagainya.
Potensi atraksi wisata tersebut kemudian menjadi modal untuk pendorong
pengelolaan ekowisata yang berbasis kepada masyarakat di Lokasi

51
penelitian. Namun sampai saat ini pelaksanaan pengelolaan potensi tersebut
belum dilakukan secara maksimal untuk ekowisata. Hal-hal yang menjadi
permasalahan dalam pengelolaan ekowisata berbasis komunitas adalah :
(2) kurangnya kerjasama antar pihak yang berkepentingan (stakeholders)
dalam pengelolaan ekowisata berbasis komunitas terutama menyangkut
atraksi, fasilitas (amenitas), aksesibilitas dan promosi;
(3) regulasi yang masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah
tentang pengelolaan kawasan pantai/pesisir;
(4) kurangnya program pemberdayaan masyarakat tentang kepariwisataan;
(5) data dan informasi yang belum lengkap untuk pengelolaan kawasan
pantai/pesisir.
Pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) merupakan
suatu alat pembangunan masyarakat yang memperkuat kemampuan ma-
syarakat pesisir untuk mengelola sumber-sumber daya pariwisata sambil
memastikan keterlibatan mereka secara penuh. Dengan demikian karakter
pariwisata berbasis masyarakat adalah (1) bentuk pariwisata yang
memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan
terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata, (2) jika masyarakat
yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata namun juga
mendapat keuntungan, (3) menuntut pemberdayaan secara politis dan
demokratisasi serta distribusi keuntungan kepada kommunitas yang kurang
beruntung di pesisir (Beeton, 2006 dalam Keliwar, 2008).
Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community-based
tourism development) memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi
perhatian pengembang pariwisata, yaitu :
(1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas
dalam industri pariwisata;
(2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek;
(3) mengembangkan kebanggaan komunitas;
(4) mengembangkan kualitas hidup komunitas;
(5) menjamin keberlanjutan lingkungan;
(6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal;

52
(7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya
pada komunitas;
(8) menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia;
(9) mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas dan
berperan dalam menentukan prosentase pendapatan (pendistribusian
pendapatan) dalam proyek yang ada di komunitas. Sepuluh prinsip dasar
tersebut harus menjadi tumpuan, arah, dan prinsip dasar dari pem-
bangunan pariwisata agar keberlanjutannya terjamin (Suansri, 2003).

Wilayah pantai/pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah


peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya
alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun, karakteristik laut
tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu.
Kebijakan pemerintah yang sektoral dan bias daratan, akhirnya menjadikan
laut sebagai kolam sampah raksasa. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan
kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan
pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok
profesi paling miskin di Indonesia.

Kekayaan sumberdaya laut tersebut menimbulkan daya tarik bagi


berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi
untuk meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pantai/pesisir,
meliputi pulau-pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi
ekosistem pesisir tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang
lamun, berikut sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di
dalamnya. Akan tetapi, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai
mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an, fenomena degradasi
biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju
kerusakan sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang
mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan
estuari (muara sungai).

53
Rusaknya ekosistem mangrove, terumbu karang, dan estuari
berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan
serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah
asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener, dan produktivitas tangkap
udang.

Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang


terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan
sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan
daya dukung lingkungannya. Sehingga persoalan yang mendasar adalah
mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak efektif
untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang
dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non-hayati
disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor
yang menyebabkan kerusakannya.

Secara normatif, kekayaan sumberdaya pesisir dikuasai oleh Negara


untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat, memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa
mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Ironisnya, sebagian
besar tingkat kesejahteraan masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir
justru menempati strata ekonomi yang paling rendah bila dibandingkan
dengan masyarakat darat lainnya.

Selama ini, kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah


pantai/pesisir hanya dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang
didukung UU tertentu yang menguntungkan instansi sektor dan dunia usaha
terkait. Akibatnya, pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil cenderung
eksploitatif, tidak efisien, dan sustainable (berkelanjutan). Banyak faktor-
faktor yang menyebabkan ketidakefektifan pengelolaan sumberdaya pesisir
ini, antara lain ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya,
ketidakpastian hukum, serta konflik pengelolaan. Ambiguitas pemilikan dan
penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai tempat.

54
Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access
property), tetapi berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan
No. 6/1996, dinyatakan sebagai milik pemerintah (state property). Namun,
ada indikasi di beberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi
pemilikan pribadi (quasi private proverty). Di beberapa wilayah pesisir atau
pulau masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat
(common property).

Perbedaan penerapan konsep pemilikan dan penguasaan sumberdaya


ini mendorong ambiguitas atau ketidakjelasan siapa yang berhak untuk
mengelolanya. Hal ini mendorong berbagai stakeholder untuk
mengeksploitasi sumberdaya wilayah pesisir ini secara berlebihan, kalau
tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, dan tidak ada insentif
untuk melestarikannya, sehingga terjadi the tragedy of commons yang baru.

Pada dasarnya, hampir di seluruh wilayah pesisir Indonesia terjadi


konflik-konflik antara berbagai pihak yang berkepentingan. Masing-masing
mempunyai tujuan, target, dan rencana untuk mengeksploitasi sumberdaya
pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana tersebut mendorong
terjadinya konflik pemanfaatan dan konflik kewenangan.

Ada juga kecenderungan Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan


daerah berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli
daerah. Pengaturan demikian, telah dan akan melahirkan “ketidakpastian”
hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan
wilayah pesisir. Berdasarkan hasil review terhadap perundang-undangan dan
konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan
pengelolaan wilayah pantai/pesisir, maka dijumpai beberapa permasalahan
hukum yang krusial, yaitu:

 Konflik antar Undang-Undang;


 Konflik antara UU dengan Hukum Adat;
 Kekosongan Hukum; dan

55
 Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah
pantai/ pesisir dan laut.

Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan


bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9).
Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan
bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan
propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.

Konflik antara UU dengan hukum adat terjadi pada persoalan status


kepemilikan sumberdaya alam di wilayah pesisir. Di dalam UU No. 6/1996
tentang Perairan Indonesia Pasal 4, status sumber daya alam perairan
pesisir dan laut, secara substansial, merupakan milik negara (state property).
Sebaliknya, masyarakat adat mengklaim sumber daya di perairan tersebut
dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat
yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia.

Ketidak pastian hukum yang terjadi pada bidang penguasaan/pemilikan


wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam UU No. 5/1960
terjadi Ketentuan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) hanya diatur sebatas
pemilikan/ penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang, ada
ketentuan tentang Hak Pemeliharaan dan Penangkapan Ikan di dalam UU
ini, tetapi baru sekadar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.

Ketiga masalah krusial tersebut, bermuara pada ketidakpastian hukum,


konflik kewenangan, dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik
sumberdaya pesisir. Ketiga masalah tersebut merupakan suatu kesatuan,
sehingga solusi yuridisnya pun harus terpadu melalui undang-undang baru
yang mengintegrasi pengelolaan wilayah pesisir.

2.1 Pulau pulau Kecil

56
Pulau-pulau kecil memiliki karakteristik dan tingkat kerentanan yang
berbeda dibandingkan dengan pulau besar. Namun, demikian selama ini
pengetahuan mengenai karakteristik pulau-pulau kecil sangat minim.
Sehingga pengelolaan, pola pembangunan, dan regulasi disusun sama
dengan cara pandang kita terhadap pengelolaan pulau besar (mainland).
Sebagian besar dari pulau-pulau tersebut merupakan pulau-pulau kecil yang
memiliki kekayaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
(environmental services) yang sangat potensial untuk pembangu-nan
ekonomi.

Batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:

1. Pulau yang ukuran luasnya kurang atau sama dengan 10.000 km2,
dengan jumlah penduduknya kurang atau sama dengan 200.000
orang;
2. Secara ekologis, terpisah dari pulau induknya (mainland island),
memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk
sehingga bersifat insular;
3. Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang
tipikal dan bernilai tinggi;
4. Daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil, sehingga
sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut;
5. Dari segi sosial, ekonomi, dan budaya, masyarakat pulau-pulau
bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Keragaman hayati, sumberdaya perikanan, dan nilai estetika yang


tinggi merupakan nilai lebih ekosistem pulau-pulau kecil. Di sinilah ekosistem
dengan produktivitas hayati tinggi, seperti terumbu karang, padang lamun
(sea grass), rumput laut (sea weeds) dan hutan bakau (mangrove)
ditemukan. Selain itu, pulau-pulau kecil ini juga memberikan jasa-jasa
lingkungan yang tinggi nilai ekonomisnya dan sekaligus sebagai kawasan
berlangsungnya kegiatan kepariwisataan.

57
Pada sisi yang lain, pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerentanan yang cukup
tinggi, khususnya menyangkut ketersediaan air yang rendah dan resiko erosi
(penenggelaman). Oleh karena itu, pilihan pembangunan pulau-pulau kecil
merupakan gabungan dari 2 sisi ini. Kegiatan yang bersifat ekstraktif
(eksploitatif), seperti pertambangan, industri yang rakus konsumsi air, dan
sebagainya, merupakan pilihan yang harus dihindari. Aktifitas ekstraktif justru
cenderung hanya mengeksploitasi satu jenis sumberdaya lain, dan
mengabaikan/merusak sumberdaya lain yang beragam. Negara-negara yang
telah maju dalam mengelola pulau-pulau kecilnya, di antaranya Fiji,
mengandalkan pariwisata dan budidaya perikanan berbasis masyarakat
sebagai strategi pembangunannya.

2.2 Pengelolaan Pesisir dan Laut, Kunci Kedaulatan NKRI

Wilayah pesisir dan laut merupakan kawasan tempat berinteraksinya


berbagai kekuatan yang nerasal dari daratan dan lautan. Interaksi yang
terjadi menentukan karasteristik suatu wilayah pesisir dan lautan termasuk
mencerminkan kedaulatan suatu Negara yang mempunyai kebudayaan
bahari.

Interaksi wilayah pantai/pesisir dan laut mempengaruhi kondisi sumberdaya


dan lingkungan di wilayah tersebut melalui aktifitasnya yang dilakukan baik di
daratan, kawasan perairan pesisir maupun kawasan laut. Sebagai agen yang
baik dan aktif, peranan manusia sangatlah penting dalam menentukan
keseimbangan interaksi antara berbagai kekuatan asal daratan maupun
lautan. Peranan manusia tercermin dari pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan yang dilakukan.

Berkenaan dengan hal tersebut diatas maka perlu adanya pendekatan


terpadu dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan, baik dari segi
keterpaduan disiplin ilmu yang multidisiplin, kegiatan kemaritiman yang
arahan dan tujuan lebih ditekankan kepada kegiatan sektoral barlandaskan
konsep kedaulatan kebaharian. Kedaulatan atau dalam bahasa asing disebut

58
“Souvereignity” bermakna kekuasaan tertinggi suatu negara yang mana di
dalam negara tersebut tidak dihinggapi adanya kekuasaan lain. Asal mula
suatu negara ada atau timbul karena adanya kebutuhan keinginan manusia
yang beraneka macam.

Keserakahan untuk menguasai kawasan kepulauan negara lain seperti


halnya kepulauan Indonesia selalu terlintas dalam benak berbagai negara
perbatasan bilamana hal itu memungkinkan untuk dilakukan, hal ini didasari
akan lemahnya kebijakan pemerintah Indonesia dalam mengaplikasikan
segudang atau bahkan lebih rencana pemberdayaan pengelolaan
sumberdaya laut dan pesisir kepulauan Indonesia yang begitu melimpah.
Jika ditinjau dari segi Geografis Indonesia sebagai negara bahari
(archipelagic state), mempunyai luas wilayah yang membentang mulai dari
95’ sampai dengan 141’ BT dan di antara 60’ LU dan 110’ LS, sedangkan
luas wilayah perairan Indonesia tercatat mencapai kurang lebih 7,9 juta km2
(termasuk Zona Ekonomi Eksklusif/ZEE), dengan panjang garis pantai
95.181 km. Potensi sumberdaya kelautan yang adalah salah satu pilar
penopang dari sekian pilar penopang pembangunan adalah potensi
sumberdaya pulau-pulau kecil yang berjumlah 17.504, dengan rincian 9.634
pulau belum memiliki nama.

Perlu disadari bahwa pulau-pulau kecil yang sebagian besar terletak pada
bagian batas luar perairan Indonesia dan yang belum bernama tersebut
memiliki sumber kekayaan pesisir dan laut yang teramat sangat melimpah,
selain itu sejauh peninjauan saya, keberadaan pulau-pulau kecil pada lintas
garis batas kepulauan Indonesia pada bagian terluar masih kurang di
perdulikan oleh pemerintah sebagai penguasa pengambil kebijakan. Saya
teringat akan kasus lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan yang telah direbut
oleh negara tetangga Malaysia. Jika dikaji dari aspek ekonomi, bangsa ini
telah mengalami kerugian yang tidak dapat di hitung baik dari segi kerugian
akan sumberdaya hayati perairan pesisir dan laut, maupun dari segi luasan
wilayah. Perubahan garis pantai yang secara jelas mengandung makna

59
bahwa dengan hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan memberikan arti penting
dalam perubahan luasan wilayah teritorial kawasan laut Indonesia.

Tidak hanya demikian seperti yang telah disebutkan di atas, jika kita mau
untuk berkata jujur pada diri kita sendiri dan pada bangsa ini, dengan
hilangnya pulau Sipadan dan Ligitan telah memberikan jawaban bagi negara
lain yakni betapa lemahnya Kedaulatan Negara Kita, disini sebenarnya letak
“Lemahnya Kunci Kedaulatan Negara Kita”. Kita sebagai bangsa yang besar
dan yang memiliki sumber kekayaan alam laut yang begitu melimpah perlu
melakukan berbagai tindakan preventif dalam mengatasi tindakan-tindakan
negara lain yang sengaja ingin merampas akan kedaulatan negara ini
selangkah demi selangkah.

Sejalan dengan pernyataan di atas untuk tidak pernah terjadi lagi akan
pengalaman pahit oleh bangsa ini, maka pemerintah sudah seharusnya
melakukan pengelolaan dan pendayagunaan sumberdaya pulau-pulau kecil
yang berada di bagian terluar kepulauan Indonesia. Pengelolaan dan
pendayagunaan sumberdaya pulau-pulau kecil perlu dilakukan melalui
pendekatan kesejahteraan (prosperity) dan kedaulatan (souvereignity)
dengan mempertimbangkan tiga aspek utama yaitu keberadaan secara terus
menerus (continuous presence) di pulau tersebut, penguasaan secara efektif
(effective occupation) yaitu aspek administrasi, perlindungan dan pelestarian
ekologis (maintenance and ecology preservation).

Ketiga aspek utama tersebut akan dapat dilaksanakan apabila pemerintah


dalam hal ini bertindak sebagai penguasa tunggal dalam pengambil
kebijakan dapat bekerja sama baik dengan pemerintah daerah, aparat
penegak hukum, aparat pengawasan pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, para
swasta maupun para lembaga swadaya masyarakat dalam hal ini para
nelayan juga dilibatkan serta para institusi baik pemerintah maupun swasta
dan para mahasiswa.

60
Sejalan dengan hal tersebut, untuk merealisasikan berbagai aspek seperti
yang telah disebutkan diatas, perlu adanya kebijakan dan program kerja yang
bersifat operasional dengan kerjasama secara sinergis lintas sektor ke arah
peningkatan kualitas lingkungan pesisir dan laut dan pulau-pulau kecil yang
meliputi Penataan ruang pesisir, laut dan pulau-pulau kecil termasuk produk
hukumnya (PP, Perda, dll), Meningkatkan kualitas lingkungan dan
produktivitas sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, Konservasi
meliputi, perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan ekosistem pesisir dan
laut serta keanekaragaman hayati laut. Kebijakan ini perlu juga dijabarkan ke
dalam implementasi dengan beberapa program kegiatan kebaharian seperti,
1) pengembangan dan perumusan kebijakan umum yang berkaitan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan laut secara berkelanjutan, 2)
penataan pantai/pesisir laut dan pulau-pulau kecil yang diarahkan pada
sinkronisasi dan integrasi penataan daerah dan nasional, 3) pengembangan
dan pengelolaan kawasan konservasi laut dan pengembangan konservasi
jenis dan genetik biota laut langka dan ekosistem lainnya.

Dengan adanya langkah-langkah kebijakan seperti yang telah disebutkan


diatas diharapkan dapat turut membantu dalam perwujudan pengokohan
‘Kedaulatan” Negara ini, sehingga permasalahan Pulau Sipadan dan Ligitan
tidak terjadi lagi.

2.3 Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem yang sangat unik,


merupakan sumber daya alam yang sangat potensial. Di Indonesia, hutan
mangrove yang luasnya sekitar 4.25 juta ha Departemen Kehutanan, 1992),
atau kurang lebih 25% luas hutan mangrove di dunia (ISME, 1992), dan
terbesar di seluruh wilayah Indonesia, berperan penting bagi kelangsungan
hidup manusia, baik dari segi ekonomis, sosial maupun lingkungan.
Disamping mendukung keanekaeagaman flora dan fauna dari komunitas
terestis akuatik, dan berfungsi lindung bagi keberlangsungan berbagai proses
ekologis, hutan mangrove telah dimanfaatkan dalam skala komersial

61
terutama untuk gelondongan sebagai bahan baku pulp/kertas, rayon dan
arang. Saat ini, kerusakan dan degradasi hutan mangrove merupaka
fenomena umum di berbagai negara, terutama di negara-negara yang
berkembang. Kerusakan hutan ini terutama disebabkan oleh konversi
mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi (industri, pertambangan dan lain-
lain) yang tidak berlandaskan asas kelestarian serta kegiatan eksploitasi
yang tidak terkendali. Adanya konversi hutan mangrove ini menyebabkan
semakin menyusutnya luas hutan mangrove Indonesia Indonesia yaitu
tinggal sekitar 4.25 juta ha (Departemen Kehutanan, 2002). Bahkan menurut
PHPA dan AWB (2004) diperkirakan luas hutan mangrove tinggal 3.24 juta
ha. Pembangunan kehutanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pembangunan nasional yang diarahkan untuk memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestariaanya.
Kegiatan pengelolaan sumber daya alam dan ekosistemnya, termasuk hutan
mangrove diselenggarakan atas dasar pola kebijaksanaan yang tertuang
dalam Strategi konservasi Alam Indonesia berisi prinsip-prinsip sebagai
berikut:
(1) perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dan menjamin
terpeliharanya proses ekologis bagi kelangsungan pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat;
(2) pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah dengan
menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi
kepentingan umat manusia;
(3) pelestarian pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya dengan
mengatur dan mengendalikan cara-cara pemanfaatan yang lebih
bijaksana, sehingga diperoleh manfaat yang optimal dan berkesi-
nambungan.

2.4 Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove

Di dalam pengelolaan hutan mangrove tersebut dijumpai berbagai


permasalahan:

62
1) Terbatasnya data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mendukung kemanfaatan yang lestari, perlindungan dan rehabilitasi;
2) Belum jelasnya tata ruang wilayah pesisir dan tata guna mangrove
yang mengakibatkan banyak terjadi tumpang tindih kepentingan
peruntukan lahan dalam pemanfaatan hutan mangrove;
3) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang mantap dari perundang-
undangan yang telah ada sebagai dasar pengelolaan hutan mangrove
secara lestari;
4) Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove.

2.5 Prinsip prinsip Dasar Pengelolaan

1) Save it, mengamankan ekosistem hutan mangrove dengan


melindungi genetik, spesies dan ekosistemnya secara keseluruhan;
2) Study it, mempelajari ekosistem hutan mangrove yang meliputi
biologi, komposisi, struktur, distribusi dan kegunaannya;
3) Use it, memanfaatkan ekosistem hutan mangrove secara lestari dan
seimbang.

2.6 Kebijaksanaan Umum Pengelolaan

Hutan mangrove merupakan sumber daya alam yang dapat


diperbaharui dan merupakan aset nasional, sehingga pengelolaan hutan
mangrove dilakukan dengan mempertibangkan kepentingan nasional;
1) Perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan hutan mangrove
didasarkan pada tata ruang kawasan pantai yang disusun
berdasarkan karakteristik, kesesuaian dan keperwakilan
keanekaragaman genetik, spesies dan kosistemnya;
2) Pengelolaan hutan mangrove dengan fungsi lindung diselenggarakan
dengan tujuan utama untuk meningkatkan fungsi pengaturan tata air,
pencegahan instrusi air laut, polusi, dan perlindungan terhadap
angin,abrasi pantai, banjir dan mempertahankan habitat biota akuatik
dan biota terestrial.

63
3) Pengelolaan hutan mangrove dengan fungsi untuk pelestarian
diselenggarakan dengan tujuan utama menjaga kemurnian, kekhasan
dan keunikan keanekaragaman genetik, spesies dan ekosistem hutan
mangrove;
4) Rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan untuk memulihkan dan
meningkatkan fungsi lindung, fungsi pelestarian dan fungsi produksi;
5) Inventarisasi, penelitian dan pengembangan serta evaluasi sumber
daya hutan ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu.
Penelitian dilakukan dalam rangka menggali dan mengembangkan
sumber daya hutan mangrove untuk mendukung peningkatan fungsi
lindung, pelestarian dan pemanfaatannya;
6) Pemanfaatan hutan mangrove untuk fungsi produksi diselenggarakan
dengan memanfaatkan dan meningkatkan potensi dan produksi
secara optimal dengan memperhatikan kelestarian sumber daya dan
kelayakan pengusahaanya;
7) Kegiatan perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan hutan mangrove
diupayakan dapat menampung dan terintegrasi dengan kepentingan
dan hak masyarakat sekitar, dengan tujuan agar masyarakat dapat
merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove sehingga dapat
meningkatkan tanggung jawab dan peran serta dalam perlindungan,
pelestarian dan pemanfaatan hutan mangrove secara lestari;
8) Pengelolaan hutan mangrove merupakan bagian dari pengembangan
daerah pesisir secara keseluruhan sehingga selalu
mempertimbangkan kepentingan dan manfaat yang lebih luas,
dengan tetap mengutamakan peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan menjamin kepentingan manusia secara berkelanjutan.

2.7 Program Kegiatan

Program kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:


1) Memantapkan dan menyempurnakan komitmen pemerintah,
kebijakan dan peraturan perundangan.

64
2) Penetapan pedoman pelaksanaan pengelolaan hutan mangrove
secara terkoordinasi.
3) Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, sarana dan prasarana.
4) Meningkatkan fungsi koordinasi dan kelembagaan.
5) Melakukan pelaksanaan penyusunan struktur tata ruang dan
penetapan peruntukan kawasan hutan mangrove sesuai dengan
fungsinya.
6) Meningkatkan peranserta masyarakat
7) Meningkatkan pendapatan Negara
8) Meningkatkan pemantauan, pengendalian dan Pengawasan
implementasi pengelolaan hutan mangrove dengan melakukan:
(1) kajian terhadap pelaksanaan dan peraturan yang ada;
(2) penyusunan, penetapan dan penyempurnaan, peraturan;
(3) peningkatan pengawasan dan pengendalian pelaksanaan;
(4) secepatnya menyusun pedoman secara terkoordinasi:
(5) melakukan pendidikan dan latihan;
(6) menyediakan sarana, prasarana dan jenjang karir yang
memadai;
(7) memantapkan ruang lingkup dan tanggung jawab:
(8) secepatnya menyusun secara terkoordinasi struktur tata ruang
kawasan hutan mangrove sesuai dengan fungsinya;
(9) melakukan inventarisasi dan pemetaan potensi sumberdaya
alam hutan mangrove;
(10) penataan batas kawasan yang telah ditetapkan dalam struktur
tata ruang.
(11) menumbuhkan kembangkan kesadaran masyarakat tentang
arti penting hutan mangrove.
(12) memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha
dengan meningkatkan diversifikasi pemanfaatan hutan
mangrove;
(13) mendorong peningkatan mutu pengelolaan produk hutan
mangrove;

65
(14) menyusun dan/atau menyempurnakan sistem informasi
pengelolaan hutan mangrove yang terpadu dan menyiapkan
kriteria yang diperlukan dalam rangka pemantauan,
pengendalian dan pengawasan.

2.8 Perlindungan dan Pelestarian


1) Mengamankan kawasan lindung hutan mangrove dari segala bentuk
gangguan dan kerusakan.
2) Mempelajari potensi sumberdaya hutan mangrove.
3) Meningkatkan fungsi dan peran kawasan lindung hutan mangrove
secara optimal bagi kepentingan masyarakat:
(1) melanjutkan penataan batas;
(2) pembinaan tenaga untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan
dan dedikasi, melalui: .pendidikan formal .pendidikan non formal
penataran .pembinaan aparat keamanan
(3) mengadakan studi analisa mengenai dampak lingkungan (AMDAL)
(4) meningkatkan sistem konservasi tanah dan air pada satuan-satuan
DAS
(5) membuatkan pedoman pelaksanaan pengamanan kawasan
lindung hutan mangrove melakukan studi evaluasi tipe ekosistem
dan kekhasan biota serta manfaatnya untuk menetapkan statusnya
dengan memantapkan pembinaan kawasan lindung sesuai dengan
fungsinya; b.meningkatkan fungsinya lindung pada hutan bakau
rakyat; c.menyiapkan masyarakat (desa binaan) dalam rangka
pengembangan persepsi dan peranserta masyarakat terhadap
hutan mangrove.
2.9 Pengembangan
Dalam melakukan pengembangan kawasan diperlukan beberapa
upaya penyediaan sarana dan prasarana kegiatan program:

66
1) Mengamankan, menertibkan dan mengelola data, informasi beserta
saran dan prasarana penelitian sehingga menjamin kegiatan program
pengembangan hutan mangrove melalui a) pengembangan
sumberdaya manusia agar lebih profesional dan berloyalitas tinggi, b)
memperbaiki sistem manajemen yang berkaitan dengan tata cara
dokumentasi dan penyebaran hasil penelitian dan pengembangan, c)
pengembangan sarana dan prasarana fisik dalam rangka pengamanan
data dan informasi, d) pengembangan kelembagaan dalam rangka
pengamanan data dan informasi, e) membentuk satuan tugas dalam
rangka peyebarluasan dan pengamanan data dan informasi.
2) Mempelajari prospek pemanfaatan produk ataupun komponen
ekosistem hutan mangrove serta produk-produk penelitian yang telah
ada.
3) Tindakan pemanfaatan produk-produk penelitian mengacu kepada
pengembangan (hasil-hasil penelitian), sehingga semaksimal mungkin
dapat member manfaat dan nilai tambah kepada masyarakat sekitar,
para peneliti, pembangunan Indonesia, a) mengidentifikasi dan
mengungkapkan perikehidupan, lingkungan sumberdaya hutan
mangrove dan ekosistemnya, meliputi karakter dan struktur ekosistem,
keanekaragaman hayati, persebaran, pertumbuhan, dan zonasi hutan
mangrove, dampak negatif berbagai bahan pencemar dan ekploitasi
hutan mangrove, silvikultur hutan mangrove serta komponen-
komponen yang terkandung di dalam bagian pohon hutan mangrove
atau ekosistemnya, serta manfaatnya bagi manusia, b) melakukan
studi tentang pemanfaatan bagi masyarakat terhadap hujtan mangrove,
c) mengembangkan sarana dan prasarana fisik penunjang kegiatan
penelitian pengembangan, d) penetapan kelembagaan penelitian dan
pengembangan tentang sumberdaya hutan mangrove :
(1) mengikutsertakan masyarakat sekitar dengan tujuan memanfaat-
kan hasil-hasil pengembangan dan turut melestarikan hutan
mangrove yang dapat di dukung oleh pemerintah dan swasta,
khususnya LSM;

67
(2) mengoptimalkan pemanfaatan hasil-hasil penelitian sehingga aspek-
aspek perlindungan, pelestarian dan pemantapan terjamin
kelestariannya.

2.10 Pemanfaatan dan Rehabilitasi


1) Penetapan kawasan hutan mangrove yang layak untuk dieksploitasi
dengan mempertimbangkan; keadaan ekosistem, habitat, jenis
penyusun, potensi dan regenerasi, keadaan lingkungan serta pemetaaan
hutan mangrove sesaui dengan skala yang diperlukan;
2) Penetapan batas dan penetapan jalur hijau pada kawasan hutan
mangrove yang akan dieksploitasi; kelayakan dan kelestarian
pengusahaan;
3) Alokasi pemanfaatan kawasan budidaya mangrove untuk berbagai
kepentingan:
(1) Memantapkan koordinasi tata cara konversi dan pengelolaan hutan
mangrove
(2) Pembinaan dan pengembangan peranserta masyarakat terhadap
pengelolaan hutan mangrove.
(3) Mengamankan hutan mangrove dari bahaya kerusakan.
(4) Mengembangkan sistem silvikultur hutan mangrove yang paling
optimal bagi pengusahaan;
(5) Mengembangkan metode pengolahan produk hutan mangrove
yang berorientasi pada pemanfaatan yang maksimal dari produk
hutan mangrove, efisien dan mempunyai nilai tambah tinggi;
(6) Menghimpun data dan informasi tentang kawasan hutan mangrove
yang perlu direhabilitasi dan inventarisasi potensi sumberdaya
hutan mangrove serta melakukan analisis kelayakan pengusahaan
hutan mangrove yang terpadu berdasarkan data yang dikumpul-
kan, dengan: a) mengembangkan proses dan prosedur konversi
dan pengelolaan hutan mangrove melalui tim koordinasi
pemerintah daerah, b) menyebarluaskan informasi tentang

68
kegunaan dan pentingnya hutan mangrove pada masyarakat, c)
meningkatkan pendidikan dan keterampilan masyarakat sekitar
sehingga mempunyai alternatif pendapatan, d) meningkatkan
kegiatan rehabilitasi hutan mangrove yang mengalami degradasi,
e) mengembangkan pilot percontohan tentang pelaksanaan sistem
silvikultur hutan mangrove; f) melakukan evaluasi terhadap sistem
silvikultur yang ada, g) menyusun petunjuk teknis yang menunjang
sistem silvikultur hutan mangrove, h) mengembangkan diversifikasi
pemanfaatan berbagai jenis vegetasi hutan mangrove, i) mengem-
bangkan sistem informasi manfaat non konvensional hutan
mangrove, j) mengembangkan sistem informasi geografis (GIS)
hutan mangrove untuk keperluan rehabilitasi dan, k) mengem-
bangkan metode rehabilitasi hutan mangrove yang efektif dan
efisien;
(7) Menentukan dan mengawasi tata tebangan yang memungkinkan
terbentuknya kelestarian potensi dan pengusahaan dengan, a)
melakukan pengamatan setiap pertumbuhan dari berbagai jenis
pada berbagai perlakuan, b) menyempurnakan metode penentuan
potensi tegakan dengan menggunakan tabel volume;
(8) Meningkatkan pembinaan dan pengawasan pada bekas areal
tebangan dan reboisasi pada kawasan hutan mangrove yang
kurang produktif;
(9) Meningkatkan pembinaan terhadap industri yang memanfaatkan
bahan baku mangrove dengan lebih beragam dan mempunyai nilai
tambah dengan menghasilkan jumlah limbah yang dapat ditolerir;
(10) Mendorong usaha/kegiatan masyarakat sekitar dalam memanfaat-
kan anekaragam hutan mangrove agar lebih mampu meningkatkan
kehidupannya. Dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan
mangrove untuk, a) penentuan tata tebangan dan penyempurnaan
sistem pengawasannya, b) menyempurnakan sistem insentif bagi
aktivitas reboisasi dan rehabilitasi pada kawasan hutan mangrove
yang kurang produktif atau mengalami kerusakan, c) meningkatkan

69
peranserta mansyarakat dalam penghijauan hutan mangrove, d)
mengembangkan sistem insentif dan meningkatkan pengawasan
bagi industri dengan bahan baku dan keluaran yang lebih beragam
dan mempunyai nilai tambah. Hal yang sama diberikan pada
industri padat karya yang memperhatikan kelestarian lingkungan
dengan, a) mendorong dan memasyarakatkan konsep bapak
angkat terhadap industri di sekitar hutan mangrove bagi kegiatan/
perusahaan kecil masyarakat setempat, sehingga tidak
mengganggu keberadaan dan kelestarian hutan mangrove, b)
mengenalkan dan mengembangkan kegiatan usaha yang bisa dan
mampu dikelola oleh masyarakat setempat, misalnya konsep
agroforestri.

2.11 Aspek Hukum Pengelolaan Jalur Hijau Pantai


Daya guna dan batas lebar jalur hijau hutan mangrove telah diatur
dalam Keppres No.32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung.Pasal 1
butir 6 berbunyi: Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai
yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi
pantai. Pasal 14 berbunyi: Kriteria sepadan pantai adalah daratan sepanjang
tepian yang lebarnya proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantai
minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah barat.
Dalam pasal-pasal tertentu terdapat dua istilah, yaitu sempadan pantai dan
kawasan pantai. Sempadan pantai berfungsi melindungi kawasan pantai,
berarti berfungsi sebagai jalur penyangga (buffer) antara kawasan pantai dan
kawasan interland. Lebar sempadan pantai diukur dari titik pasang tertinggi
ke arah darat. Dengan demikian secara tersirat titik pasang tertinggi menjadi
batas antara Sempadan Pantai dan Kawasan Pantai.
Pasal 26 berbunyi:
Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan mangrove dilakukan untuk
melestarikan hutan mangrove untuk membentuk ekosistem hutan mangrove
dan tempat berkembangbiaknya berbagai biota laut disamping sebagai per-

70
lindungan pantai dan pengikisan air laut serta pelindungan usaha budidaya di
belakangnya.
Pasal 27 berbunyi:
Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-
rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis
surut terendah ke arah darat.
Pasal 40 ayat (1) berbunyi:
Selambat-lambatnya 2 tahun setelah Keppres ini ditetapkan, setiap Pemda
Tk. I sudah harus menetapkan Perda penetapan kawasan lindung, dan
segera sesudah itu Pemda Tk.II menjabarkan lebih lanjut bagi daerah
masing-masing.
1) Langkah Tindak Pengelolaan Jalur Hijau Pantai
Penetapan jalur hijau pantai bermangrove sesuai dengan Keppres
32/1990 perlu dilaksanakan dengan memperhatikan kondisi pantai setempat.
Sebab pada kenyataannya terdapat pesisir (pantai) memiliki kondisi tidak
memungkinkan untuk kehadiran mangrove atau fungsi mangrove memang
sudah tidak diperlukan. Kondisi ini harus tetap dipertahankan tetapi sudah
harus siap pula untuk dikembangkan guna kepentingan pencadangannya
untuk mengakomodasi aspek konvensi
kepentingan pembangunan jangka panjang. Dalam rangka implementasi
Keppres tersebut maka langkah-langkah yang dapat dilaksanakan:
(1) Pembentukan suatu Tim Teknis interkem (Kemenhut cq. Ditjen PHPA,
Ditjen RRL, Ditjen Intag, Perum Perhutani; Kementan cq. Ditjen
Perikanan, Kemdagri cq. Ditjen Pembangunan Daerah; LIPI cq. Komisi
Ekosistem Mangrove (MAB); Perguruan Tinggi ; Bakorsurtanal; Badan
Pertanahan Nasional dan Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
dalam jalur hijau pantai mangrove. Tugas Utama Tim Teknis tersebut
yakni :
 Meningkatkan koordinasi antara instansi di Tingkat Nasional dalam
impelementasi Keppres No.32/1990 khususnya dalam penetapan
dan pelaksanaan jalur hijau pantai;

71
 Membuat petunjuk teknis terhadap tata cara penetapan jalur hijau
pantai mangrove sesuai dengan Keppres 32/1990, sekaligus
memberikan asistensi kepada setiap pemerintah daerah dalam hal
pelaksanaannya;
 Memberikan asistensi kepada pemerintah daerah dalam pembentu-
kan Tim Teknis Daerah dalam pengelolaan jalur hijau pantai
mangrove di daeah masing-masing. Dan secepatnya membuat SK
Gubernur atau Perda (Tk.I dan Tk.II) untuk menindaklanjuti
pelaksanaan dari Keppres 32/1990;
 Membantuk memecahkan setiap permasalahan dalam implementasi
jalur hijau pantai mangrove, akibat hal tersebut tidak dapat di atasi
oleh Tim Teknis di Tingkat Daerah;
 Menetapkan lokasi "prioritas rehabilitasi/penanganan hutan
mangrove" (ke dalam klasifikasi kritis atau super kritis).
(2) Pembuatan dengan segera "Peta Khusus tentang Jalur Hijau Pantai
Mangrove", sesuai dengan ketetapan (rumus) dalam Keppres 32/1990,
dengan skala operasional secara berurutan dengan lokasi prioritas,
seperti pesisir (pantai) Utara Jawa, Pantai Timur Sumatera, (Pantai)
Kalimantan timur, Kalimantan Selatan dan Pantai di Sulawesi Selatan.
Karena hal tersebut merupakan dasar utama dalam implementasi di
lapangan oleh pemerintah setempat.
Teknis penetapan lebar jalur hijau pesisir (pantai) adalah sebagai
berikut.
➪ Pesisir (pantai) yang memenuhi syarat untuk jalur hijau ialah areal
ekosistem mangrove yang sudah dikonversi untuk keperluan lain,
pesisir (pantai) yang berlumpur dan pesisir (pantai) yang tidak
digunakan untuk kepentingan lain, seperti untuk pelabuhan
pendaratan, pemukiman, pariwisata dan yang berada di luar kawasan
konservasi yang telah ditetapkan berdasarkan SK Menteri
Pertanian/Menteri Kehutanan (suaka alam, cagar alam, suaka
margasatwa, taman nasional;

72
➪ Lebar jalur hijau pesisir (pantai) ditetapkan dari garis air surut
terendah ke arah darat atau dari batas tanggul tambak ke arah laut
dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Lebar jalur hijau = 130 X rata-rata tunggang air pasang purnama (tidal
range) X 1 meter. Pada jalur hijau pesisir (pantai) yang telah
ditetapkan tetapi belum ada tanamannya, maka harus ditanami. Jenis
yang ditanam sebaiknya dari jenis yang ada setempat.
2) Tata Guna Hutan Mangrove
Penataan ruang berasaskan: pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi,
selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Sedangkan salah satu tujuan
penataan ruang adalah : Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang
kawasan lindung dan kawasan budidaya dan mewujudkan perlindungan
fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap
lingkungan.
Dengan mengacu kepada asas dan tujuan penataan ruang tersebut,
maka penataan ruang kawasan mangrove berdasrkan fungsi kawasan yang
meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Dalam perencanaan tata guna ruang mangrove, harus dilakukan dengan
mempertimbangkan: keserasian, keselarasan, dan keseimbangan fungsi
budidaya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi, dan sosial budaya
serta aspek pengelolaan secara terpadu berbagai sumberdaya, fungsi dan
estetika lingkungan dan kualitas ruang yang ada.
Sesuai Pasal 20 Ayat (2) Undang-undang No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang, tersurat bahwa penetapan kawasan lindung dan kawasan
budidaya termasuk didalamnya kawasan mangrove adalah merupakan
bagian dari Rencana Tata Ruang Nasional dimana penetapannya dengan
Peraturan Pemerintah, sedangkan arahan pengelolaan kawasan lindung dan
budidaya kawasan mangrove dilakukan melalui Rencana Tata Ruang Daerah
Tk. I ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dengan demikian tata guna ruang mangrove yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budidaya yang ditetapkan melalui Peraturan

73
Pemerintah akan menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan
daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan
kawasan mangrove. Hal itu berarti bahwa tata guna mangrove perlu adanya
kesepakatan pemanfaatan melalui Komisi Tata Ruang Nasional, untuk
membagi kawasan tersebut menjadi daerah preservasi, daerah
pembangunan dan daerah konservasi. Melalui inventarisasi kebutuhan lahan
bagi instansi-instansi terkait yang tertuang dalam bentuk "Peta Kesepakatan
Tata Guna Mangrove" (Kemhut, Kemtan, Kemhub, Kemtrans, dll), di
kawasan mangrove, guna pemanfaatan sektor, pertambakan, hak
pengusahaan hutan, pertanian pasang surut, permukiman transmigrasi, dan
lain-lain.
3) Sumberdaya Manusia
Sesuai dengan kebijakan Pemerintah mengenai kelestarian lingkungan
hiudp, aspek sumberdaya manusia dalam pengelolaan hutan mangrove di
Indonesia merupakan salah satu aspek yang perlu ditingkatkan peranannya
secara aktif, hal itu dijabarkan dalam bentuk:
(1) Mengikutsertakan masyarakat di sekitar hutan mangrove sebagai mitra
sejajar dalam mengelola hutan mangrove, sehingga:
➪ Pemanfaatan lahan lebih produktif.
➪ Pendapatan masyarakat lebih meningkat.
➪ Keamanan hutan meningkat.
➪ Keberhasilan reboisasi dan rehabilitasi hutan mangrove.
➪ Peningkatan perbaikan kualitas lingkungan.
➪Terdapat hubungan yang harmonis antara aparat pemerintah dengan
masyarakat di sekitar hutan mangrove.
(2) Peningkatan koordinasi dengan instansi yang terkait baik pemerintah
maupun swasta;
(3) Mendorong agar masyarakat kelompok tani hutan (KTH) mangrove
dapat memanfaatkan KUD yang sudah ada khususnya KUD yang
mengurusi hasil pertambakan.
(4) Pendidikan dan latihan kelompok tani hutan (KTH)

74
BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum

Perkembangan paradigma pengelolaan lingkungan dalam


pengembangan wisata diupayakan tetap mengutamakan kelestarian
lingkungan, namun di satu sisi juga dapat meningkatkan perekonomian
masyarakat. Ekowisata atau ecotourism menjadi suatu bentuk wisata
berwawasan lingkungan yang dari hari ke hari semakin mendapat perhatian
dari masyarakat dunia, terutama oleh negara-negara berkembang (Yoeti,
2000: 24; Lindberg dalam Primack et.al, 1998: 8). Hal ini dikarenakan,
ekowisata lebih menekankan pada pemanfaatan sumber-sumber lokal untuk
konservasi, pendidikan atau pembelajaran, dan pemberdayaan masyarakat
setempat dalam upaya peningkatan ekonomi lokal (Linderg dan Hawkins
dalam Parnwell dan Bryant, 1996: 241; McIntosh, et.al, 1995: 369; Fandeli
dan Muklison, 2000: 5; Boo dalam Hadinoto, 1996: 171). Penekanan tersebut
menarik perhatian negara-negara berkembang terutama negara yang
memiliki daerah alami untuk mengembangkan ekowisata, karena daerah
tujuan ekoturis merupakan daerah-daerah yang dapat menghindarkan
mereka dari kejenuhan kehidupan rimba beton, kemewahan, dan modernitas,
seperti di kota atau negara-negara maju.

Berkembangnya ekowisata juga dikarenakan ekowisata tidak hanya


mengutamakan keuntungan ekonomi semata tetapi juga ikut menjaga
keseimbangan, kelangsungan, dan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya

75
alam untuk masa kini dan mendatang. Sarana dan prasarana yang dibangun
untuk mengembangkan ekowisata harus memberikan nilai-nilai berwawasan
lingkungan dan menggunakan bahan-bahan di sekitar obyek walau terlihat
sederhana. Keaslian dapat dipertahankan, karena masyarakat sekitar
kawasan mampu mengelola dan mempertahankan kelestarian alam dengan
sendirinya tanpa mengada-ada. Keaslian alam dan lingkungan masyarakat
tersebut menjadi nilai jual ekowisata. Bahkan setiap aktivitas yang dilakukan
ekoturis senantiasa diupayakan untuk menyadarkan mereka terhadap
pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, namun dari aktivitas-aktivitas
ekowisata tetap akan ada aktivitas yang menimbulkan dampak yang
merugikan.

Dampak lingkungan yang ditimbulkan dapat bervariasi sekalipun berada


dalam satu obyek, seperti pengembangan ekowisata di Taman Nasional
Belize, Afrika. Pengembangan ekowisata ini telah menimbulkan perubahan
terhadap lingkungan, seperti perubahan guna lahan milik masyarakat Belize
menjadi lebih dimanfaatkan sebagai lahan pertanian khusus habitat monyet
hawler hitam, munculnya gangguan habitat flora dan fauna akibat aktivitas
ekoturis dan pemandu yang kurang memahami lokasi dan makna ekowisata,
serta adanya peningkatan perekonomian masyarakat Belize (Harwich et.al
dalam Lindberg dan Hawkins, 1993: 177-183).
Studi ini menduga bahwa aktivitas yang dilakukan oleh pelaku
ekowisata, produk perencanaan dan sistem pengelolaan ekowisata, serta
kondisi sarana dan prasarana dapat memengaruhi terjadinya intensitas
dampak lingkungan yang berbeda. Aktivitas pelaku ekowisata yang
cenderung bersikap bebas tanpa merasa memiliki alam, seperti ekoturist
yang sengaja maupun tidak menginjak terumbu karang, masyarakat lokal
yang mengambil mangrove secara berlebihan untuk kebutuhan sehari-hari
membuat souvenir, membuang sampah sembarangan, serta tidak adanya
pemandu yang dapat memberi pemahaman mengenai kawasan dapat
menimbulkan kerusakan ekosistem lingkungan alam. Berkembangnya
fasilitas pengunjung, seperti hotel, motel, dan homestay juga berpengaruh

76
terhadap kerusakan lingkungan apabila bangunan-bangunan tersebut tidak
memiliki sistem pembuangan dan pengolahan limbah yang baik, serta pem-
bangunannya tidak memperhatikan fungsi peruntukkan lahan kawasan,
seperti merombak hutan bakau menjadi lahan terbangun yang mengakibat-
kan terganggunya ekosistem perairan laut.

Penelitian mengenai pengembangan ekowisata berbasis komunitas di


kawasan pesisir/pantai menarik untuk dilakukan, dapat diketahui dengan
pasti kekuatan-kekuatan apa yang bekerja, sehingga memengaruhi
lingkungan fisik di kawasan ekowisata. Penelitian dilakukan di 3 (tiga)
provinsi yang memiliki kawasan pesisir yaitu :

1. Propinsi Bangka Belitung (Pantai Tinggi, Pantai Matras, Tanjung


Pesona);
2. Jawa Barat lokasi penelitian pantai Pangandaran;
3. Jawa Tengah lokasi penelitian Pulau Karimunjawa, Taman Nasional
Karimunjawa Kabupaten Jepara.
3.2 Provinsi Bangka Belitung

Wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (kemudian disingkat


“Babel”) secara administratif terbagi dalam 6 kabupaten dan 1 kota yaitu
Kabupaten Bangka (2.950,68 km2), Kabupaten Bangka Barat (2.820,61
km2), Kabupaten Bangka Tengah (2.155,77 km2), Kabupaten Bangka
Selatan (3.607,08 km2), Kabupaten Belitung (2.293,69 km2), Kabupaten
Belitung Timur (2.506,91 km2), dan Kota Pangkalpinang (89,40 km2).
Untuk mengefektifkan dan memperlancar penyelenggaraan pemerin-
tahan di kabupaten/kota, secara administratif dibagi ke dalam kecamatan,
desa, dan kelurahan. Jumlah kecamatan sebanyak 36, jumlah desa
sebanyak 267 dan jumlah kelurahan sebanyak 54.
VISI
Terwujudnya Provinsi Kepulauan Babel yang aman, damai, sejahtera, adil,
demokratis dan berdaya saing global dalam wadah negara kesatuan
Republik Indonesia
MISI

77
1. Membangun komitmen bersama pemerintah, masyarakat untuk
menciptakan iklim kondusif, dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

2. Meningkatkan kualitas sumber daya insani masyarakat melalui


penguatan sektor pendidikan, kesehatan, olahraga, seni dan budaya
daerah/nasional serta pembinaan generasi muda.

3. Meningkatkan kapasitas pengayoman dan pelayanan publik baik


kepada masyarakat pada umumnya maupun pelayanan investasi dalam
segala sektor dengan menerapkan sekurang-kurangnya standard
pelayanan minimum (SPM) dan secara bertahap mengupayakan
penguatan kapasitas melalui pengaplikasian E-Government di lingkungan
Pemerintah Provinsi Kepulauan Babel termasuk Kabupaten/Kota.

4. Meningkatkan kapabilitas infrastruktur, dalam rangka mendukung


pembangunan ekonomi masyarakat dan penguatan kapasitas infrastruktur
yang berkaitan dengan investasi seperti bandara, pelabuhan laut,
kawasan industri, pembangkit tenaga listrik, telekomunikasi, instalasi air
bersih, rumah sakit, dan perbankan.

5. Menciptakan lapangan kerja dan lapangan berusaha, dalam rangka


meningkatkan income perkapita dan daya beli masyarakat melalui
penguatan terhadap 6 (enam) sektor unggulan daerah, yaitu : kelautan
dan perikanan, pariwisata, pertanian, pertambangan, perindustrian,
perdagangan dan jasa, serta menciptakan tenaga kerja siap pakai dan
berdaya saing sebagai salah satu komoditas daerah yang siap dipasarkan
ke lingkup domestik, regional dan global.

6. Memperhatikan masalah lingkungan hidup sebagai salah satu asas


dalam mengambil keputusan publik pada semua sektor pembangunan
sekaligus melakukan upaya rehabilitasi, reklamasi dan refungsionalisasi

78
terhadap lahan-lahan kritis menjadi lahan produktif dengan melibatkan
pemerintah, swasta dan masyarakat secara terpadu dan bersinergi.

7. Meneruskan penyusunan Peraturan-Peraturan Daerah (Perda)


sebagai penjabaran dari aturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagai dasar penetapan kebijakan publik dari Pemda yang legitimate
serta melakukan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen baik
di lingkup internal pemerintahan maupun masyarakat.

8. Melaksanakan program pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui


penguatan kapasitas lembaga ekonomi rakyat seperti Usaha Mikro, Kecil,
Menengah (UMKM) Dan Koperasi untuk menciptakan sentra-sentra
pembangunan produk unggulan wilayah pedesaan/kecamatan/kabupaten/
kota sesuai dengan kultur dan potensi wilayah.

9. Meningkatan kapabilitas aparatur pemerintah untuk menciptakan


Good governance dan Clean government secara tersistem dan
menyeluruh dengan melakukan gerakan bersama dalam pemberantasan
KKN berbasis kultur dan agama. melakukan penerapan prinsip reward
and punishment dalam rangka meningkatkan rasa tanggung jawab dan
kebanggaan profesionalisme dengan tidak mengenyampingkan jiwa
pengabdian sebagai “abdi negara” dan semangat patriotisme sebagai
bagian anak bangsa yang senantiasa berupaya melestarikan semangat
kejuangan 17 Agustus 1945. Penegakan hukum (Law enforcement)
dilakukan secara konsisten dan konsekuen tanpa pandang bulu,
menyeluruh “tidak tebang pilih” berdasarkan kepada peraturan dan per
undang-undangan yang berlaku baik di lingkungan pemerintahan maupun
masyarakat pada umumnya.

10. Melakukan upaya pembangunan infrastuktur pada proyek-proyek


strategis dalam rangka meningkatkan daya saing regional dan global
melalui pengupayaan pembangunan International entry port (pelabuhan
samudera) di Belitung yang dilengkapi dengan kawasan Free Trade Zone

79
atau sekurang-kurangnya Bounded Zone sekaligus melakukan penguatan
infrastruktur di tingkat Regional entry port (pelabuhan nusantara) di Babel
serta meningkatkan status bandara Pangkal Pinang untuk dapat
mengakomodasi jalur penerbangan internasional dengan route Singapura-
Bangka-Bali (Sibaba) sekaligus memperkuat jalur penerbangan regional
yang menghubungkan secara rutin Jakarta-Bangka, Jakarta Belitung,
Jakarta-Bangka-Belitung, Batam-Bangka-Belitung-Palembang serta
mengupayakan percepatan realisasi belitung sebagai etalase kelautan
dan merintis konsep pengembangan Zona Karimata (Karimata Growth
Zone).
3.2.1 Iklim dan Topografi
Kepulauan Babel memiliki iklim tropis yang dipengaruhi angin musim
yang mengalami bulan basah selama tujuh bulan sepanjang tahun dan bulan
kering selama lima bulan terus menerus. Keadaan alam Provinsi Kepulauan
Babel sebagian besar merupakan dataran rendah, lembah dan sebagian
kecil pegunungan dan perbukitan. Ketinggian dataran rendah rata-rata ±50
mdpl dan ketinggian daerah pegunungan antara lain untuk gunung Maras
mencapai 699 meter, Gunung Tajam Kaki ketinggiannya ± 500 mdpl.
Sedangkan daerah perbukitan Bukit Menumbing tingginya ±445 mdpl, dan
Bukit Mangkol berketinggian ± 395 mdpl.
3.2.2 Letak Geografis
Provinsi Kepulauan Babel terletak pada 104°50’ - 109°30’ BT dan
0°50’- 4°10’ LS, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
➪ Sebelah Barat Selat Bangka;
➪ Sebelah Timur Selat Karimata;
➪ Sebelah Utara Laut Natuna dan;
➪ Sebelah Selatan Laut Jawa.
Wilayah Provinsi Babel terbagi menjadi wilayah daratan dan wilayah laut,luas
total mencapai 81.725,14 km2, luas daratan ± 16.424,14 km2 (20,10%) dari
total wilayah, serta luas laut ± 65.301 km2 (79,90%) dari total luas wilayah.
Wilayah Administrasi dan Geografi Provinsi Bangka Belitung

80
Luas Wilayah Jumlah Keca- Jumlah Kelu-
Kab/Kota
(Km2) Penduduk matan Desa rahan
Bangka 2.950,88 256.224 8 60 9

Bangka Barat 2.820,61 152.296 5 53 4

Bangka
2.155,77 138.261 4 39 1
Tengah

Bangka
3.607,08 153.874 5 45 3
Selatan

Belitung 2.293,69 134.819 5 40 2

Belitung Timur 2.506,91 88.633 4 30 0

Pangkal-
89,40 150.668 5 0 35
pinang

Total 16.424,14 1.074.775 36 267 54

3.2.3 Wilayah Pembangunan


Pembangunan Provinsi Babel berdasarkan pada tujuan Pembangun-
an nasional melalui pendekatan konsep pembangunan daerah. Adapun
konsentrasi pembangunan ditinjau menurut kabupaten/kota sebagai berikut.
1) Kabupaten Bangka dengan ibukota Sungailiat, berkonsentrasi pada
pembangunan dan pengembangan di bidang perdagangan dan jasa,
industri, pariwisata, perkebunan dan pertambangan;
2) Kabupaten Bangka Barat dengan ibukota Muntok, berkonsentrasi pada
pembangunan di sektor pertanian, perkebunan, pertambangan, industri
pengolahan dan perdagangan;
3) Kabupaten Bangka Tengah dengan ibukota Koba yang berkonsentrasi
pada pembangunan sektor perkebunan dan pertambangan;
4) Kabupaten Bangka Selatan dengan ibukota Toboali berkonsentrasi pada
pengembangan di sektor pertambangan, pertanian, perkebunan dan
perikanan laut serta perdagangan;
5) Kabupaten Belitung dengan ibukota Tanjungpandan merupakan wilayah
pengembangan sektor perdagangan dan jasa, pertanian, pariwisata,
industri pengolahan dan perikanan laut;

81
6) Kabupaten Belitung Timur dengan ibukota Manggar merupakan wilayah
pengembangan sektor industri pengolahan, pertanian dan perkebunan,
perikanan laut serta sektor pertambangan;
7) Kota Pangkalpinang merupakan ibukota provinsi dan merupakan wilayah
pengembangan sektor industri pengolahan, perdagangan dan jasa serta
pariwisata.

3.2.4 Kependudukan
Jumlah penduduk Provinsi Babel pada tahun 2006 adalah 1.074.775
jiwa (Hasil Sensus 2006) menunjukkan peningkatan 1,19% dari tahun 2000
sebesar 899.095 jiwa (Hasil Sensus 2000). Laju pertumbuhan penduduk
Provinsi Babel menurut kabupaten/kota pada periode tahun 1990/2000,
pertumbuhan tertinggi di Kabupaten Bangka sebesar 1,06%, Kota Pangkal-
pinang 1,03%, dan Kabupaten Belitung 0,59%. Tingkat kepadatan penduduk
Provinsi Babel sebesar 64 orang per km2. Tingkat kepadatan menurut
kabupaten/kota, Kota Pangkalpinang memiliki tingkat tertinggi yaitu 1.683

82
orang per km2, sementara Kabupaten Belitung Timur memiliki tingkat ke-
padatan terendah yaitu 35 orang per km2.
Jumlah Penduduk di Provinsi Bangka Belitung
Penduduk
Kab/Kota Rumah Tangga Jumlah
Laki-laki Perempuan

Bangka 62.832 134.081 122.143 256.224


Bangka Barat 38.944 80.219 72.077 152.296
Bangka Tengah 33.216 71.410 66.851 138.261
Bangka Selatan 36.320 79.902 73.972 153.874
Belitung 34.832 68.816 66.003 134.819
Belitung Timur 22.896 45.115 42.518 88.633
Pangkalpinang 35.872 77.226 73.442 150.668

JUMLAH 264.912 557.769 517.006 1.074.775

Sumber : Bangka Belitung Dalam Angka 2007

3.2.5 Tenaga Kerja


Menurut data tahun 2006 jumlah penduduk Kepulauan Babel dengan
usia ≥15 tahun atau yang termasuk Penduduk Usia Kerja (PUK) sebanyak
751.386 jiwa (69.91%). Sebesar 62.37% dari PUK termasuk dalam penduduk
angkatan kerja (bekerja dan/atau mencari kerja) dan selebihnya (37.63%)
adalah penduduk bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga,
lainnya).
Penduduk usia kerja dilihat dari sektor lapangan pekerjaan, bahwa 28.80%
penduduk usia kerja yang bekerja di sektor pertanian, 30.60% di sektor
pertambangan dan sektor perdagangan 16.10%.
3.2.6 Sosial Budaya
Penduduk Babel pada awalnya merupakan suku laut, namun dalam
perjalanan sejarah panjang telah membentuk proses kulturisasi dan
akulturasi. Suku laut sendiri berasal dari berbagai pulau, seperti dari Belitung
berlayar dan menghuni pantai-pantai di Malaka. Sementara mereka yang
sudah berasimilasi menyebar ke seluruh Tanah Semenanjung dan pulau-
pulau di Riau. Kemudian kembali dan menghuni Pulau Babel. Sedangkan

83
mereka yang tinggal di Riau Kepulauan berlayar ke Bangka. Kemudian
datang kelompok orang Laut dari Pulau Sulawesi dan Kalimantan. Pada
gelombang berikutnya, mulai dikenal adanya Suku Bugis, mereka datang dan
menetap di Bangka, Belitung dan Riau. Lalu datang pula orang dari Johor,
Siantan yang Melayu, campuran Melayu-Cina, dan juga asli Cina, berbaur
dalam proses akulturasi dan kulturisasi. Kemudian masuk pula suku Minang-
kabau, Jawa, Banjar, Kepulauan Bawean, Aceh dan suku lain yang sudah
lebih dulu melebur. Sehingga menjadi suatu generasi “Orang Melayu Bangka
Belitung”.
Bahasa yang dominan digunakan di Provinsi Babel adalah bahasa
Melayu yang juga disebut sebagai bahasa daerah. Namun seiring dengan
keanekaragaman suku bangsa, bahasa lain yang digunakan antara lain
bahasa Mandarin dan bahasa Jawa.
Penduduk Kepulauan Babel merupakan masyarakat yang agamis dan men-
junjung tinggi kerukunan antar umat beragama. Dilihat dari agama yang
dianut, penganut/pemeluk agama Islam menempati persentase tertinggi
(86.91%), agama Budha (7.83%), agama Kristen Protestan (2.70%), agama
Katolik (2.45%), dan agama Hindu (0.11%). Sementara jumlah peribadatan,
yakni Masjid, Mushola dan Langgar 1.258 buah, Gereja Protestan 87 buah,
Gereja Katholik 30 buah, Vihara 48 buah, dan Centiya 11 buah.
3.2.7 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
Produk domestik regional bruto (PDRB) merupakan salah satu
indikator penting untuk mengetahui kondisi perekonomian di suatu wilayah
untuk periode tertentu dalam satu tahun. Tahun 2006, PDRB atas dasar
harga berlaku di Provinsi Babel, migas sebesar Rp. 15.856.661 juta
sementara PDRB tanpa migas Rp. 15.302.737 juta. Apabila dibandingkan
dengan tahun sebelumnya menunjukkan peningkatan dimana pada tahun
2005 PDRB atas dasar harga berlaku dengan migas adalah Rp. 14.189.082
juta dan PDRB tanpa migas Rp. 13.566.837 juta. Demikian juga, PDRB atas
dasar harga konstan 2000 baik dengan migas maupun tanpa migas
menunjukkan peningkatan.

3.2.8 Pertumbuhan Ekonomi

84
Perkembangan PDRB atas dasar harga konstan merupakan salah
satu indikator penting untuk melihat seberapa besar pertumbuhan ekonomi di
suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk mengevaluasi hasil-hasil pembangunan. Laju pertumbuhan
ekonomi Provinsi Babel dengan migas pada tahun 2006 sebesar 3,48%, dan
pertumbuhan ekonomi tanpa migas adalah sekitar 4,54%. Nilai PDRB atas
dasar harga konstan 2000 pada tahun 2005 dengan migas adalah
Rp. 8.706.800 juta, untuk tahun 2006 meningkat menjadi Rp. 9.009.891 juta,
sementara tanpa migas Rp. 8.769.569 juta.

1) Struktur Ekonomi
Perekonomian di Provinsi Babel tahun 2006 ditopang oleh sektor
primer dan sektor sekunder. Sektor primer meliputi sektor pertanian dan
sektor pertambangan dan penggalian yang mempunyai kontribusi cukup
besar masing-masing sebesar 18,69%, dan 21,32%..Sedangkan pada sektor
sekunder yaitu sektor industri memberikan kontribusi terbesar pada PDRB
Provinsi Kepulauan Babel sebesar 22,37%, dan sektor listrik, gas dan air
bersih serta sektor bangunan masing-masing memberikan kontribusi sebesar
0,68% dan 5,45%. Untuk sektor tersier yaitu sektor perdagangan, hotel dan
restoran, angkutan dan komunikasi, lembaga keuangan dan jasa-jasa
mempunyai kontribusi sebesar 31,49%.
2) PDRB per Kapita
PDRB per kapita merupakan salah satu ukuran indikator kesejahteraan
penduduk dan sering digunakan untuk mengukur tingkat kemakmuran
penduduk di suatu wilayah. Pada tahun 200, PDRB perkapita penduduk
berdasarkan harga berlaku di wilayah ini sebesar Rp. 17.895.016,56
sedangkan tahun 2008 naik menjadi Rp. 21.720.598.
3.2.9 Infrastruktur dan Fasilitas Jasa Publik
Infrastruktur penunjang kegiatan perekonomian di Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung secara umum cukup memadai antara lain telah tersedianya
pasar dan pusat-pusat perbelanjaan/pertokoan. Pasar terbagi atas atas pasar
besar dan pasar kecil (tradisional).

85
Sarana telekomunikasi memegang peranan penting dalam
mendorong percepatan arus informasi. Pelayanan telekomunikasi di provinsi
Babel meliputi pengiriman surat, kargo, telepon, dan facsimile. Ada 3 provider
seluler yaitu Telkomsel, Excelcomindo, Indosat.
Sistem kelistrikan yang dimiliki terdiri dari dua sistem yaitu sistem dari
PT. PLN, PT. Timah, Tbk, dan PT. Koba Tin. Sistem kelistrikan PT. PLN
(persero) di wilayah usaha Babel antara lain : sistem Bangka memiliki 6
(enam) pusat PLTD milik sendiri dan beberapa pembangkit dengan sistem
sewa, sementara Belitung memiliki 2 (dua) pusat PLTD.
Transportasi darat merupakan salah satu faktor penting dalam
memperlancar kegiatan perekonomian. Dari 3.193,36 km panjang jalan di
Kepulauan Babel, 16,62% jalan negara, 16,26% jalan provinsi dan 67,12%
jalan kabupaten.
Aksesiblitas laut menjadi transportasi yang strategis bagi Babel
sebagai provinsi kepulauan untuk berinteraksi dengan provinsi lain. Fasilitas
pelabuhan sebanyak 8 (delapan) buah, terdiri atas 3 (tiga) pelabuhan khusus
barang dan 5 (lima) pelabuhan penumpang. Enam dari delapan pelabuhan
tersebut berada di Pulau Bangka dan sisanya di Pulau Belitung. Transportasi
air yang bergerak di Kepulauan Babel, yakni perusahaan PELNI dan
perusahaan swasta. Jalur pelayaran dari Provinsi Babel tujuan, Jakarta,
Palembang, Tanjung Pinang, Surabaya, dan Pontianak.
Transportasi udara merupakan sarana transportasi alternatif selain
transportasi darat dan air. Di Babel ada 2 (dua) pelabuhan udara yaitu
bandara Depati Amir di Pulau Bangka dan HAS. Hanandjoeddin di Pulau
Belitung. Umumnya maskapai penerbangan yang beroperasi seperti,
Sriwijaya Air, Batavia Air, Lion Air, Adam Air Kartika Air dan Riau Air Lines.
a. Fasilitas Jasa Publik
1) Pendidikan
Untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi penyediaan sumber daya
manusia, tersedia sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan yang
tersebar di 6 (enam) kabupaten dan 1 (satu) kota baik pendidikan formal
maupun non formal terdiri atas: 166 Taman kanak-kanak, 779 Sekolah

86
Dasar, 30 Madrasah Ibtidaiyah, 147 SMP, 42 Madrasah Tsanawiyah, 60
SMU, 39 SMK, 22 Madrasah Aliyah, 49 pesantren dan 11 perguruan tinggi.
Tersedia juga balai latihan kerja (BLK) untuk memenuhi kebutuhan tenaga
kerja di bidang industri dan tersedia pula sarana pendidikan untuk menunjang
tenaga terampil di bidang pelayanan kesehatan.
2) Rumah Sakit

Fasilitas dan kualitas pelayanan kesehatan yang baik menjadi tuntutan


utama dalam menjaga kesehatan masyarakat. Provinsi Babel memiliki rumah
sakit sebanyak 12 unit terbagi menjadi 7 rumah sakit umum pemerintah, 4
rumah sakit umum swasta dan 1 rumah sakit jiwa. Untuk puskesmas
sebanyak 192 unit terbagi dalam puskesmas 48 unit dan puskesmas
pembantu 163 unit. Dari fasilitas kesehatan tersebut terdapat tenaga medis
yang terdiri dari 205 dokter umum, 37 dokter ahli, 46 dokter gigi, 1.172 orang
tenaga kesehatan dan 392 orang bidan. Sarana penunjang kesehatan seperti
apotek dan pedagang besar farmasi di provinsi ini sebanyak 49 apotek dan 6
pedagang besar.
3) Bank
Untuk menunjang pelayanan transaksi keuangan bagi masyarakat dan
dunia usaha tersedia fasilitas perbankan baik swasta maupun pemerintah.
Selain perbankan juga terdapat kantor penyedia jasa asuransi baik milik
pemerintah dan swasta.

b. Potensi Investasi
1) Sektor Perikanan & Kelautan
Sektor perikanan di Provinsi Babel didominasi oleh perikanan laut
karena lokasi daerah ini secara geografis dikelilingi oleh lautan dan selat.
Selain sumber daya laut, daerah ini juga memiliki potensi untuk budidaya air
tawar dan payau. Potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan
Kepulauan Babel yang memiliki luas ± 65.301 km2 sebesar ± 400ribu ton/
tahun dengan nilai ekonomis Rp. 2.Triliun lebih. Jumlah produksi untuk tahun
2006 adalah 122.841,6 ton (24,59% dari potensi produksi) dengan nilai
produksi Rp. 1 triliun lebih (49,47% dari potensi nilai ekonomis). Jenis ikan

87
dominan antara lain: Tenggiri, Tongkol, Kembung, Layang, Selar, Tembang,
Kakap, Kerapu, Bawal Hitam, Bawal Putih, Kerisi, Ekor Kuning, Udang
Windu, dan Udang Putih.
Di samping potensi sumber daya perikanan tangkap tersebut,
Kepulauan Babel yang memiliki panjang pantai ± 1.200 km dan ± 251 buah
pulau-pulau kecil merupakan wilayah yang sesuai untuk usaha budidaya laut
seperti ikan Kerapu, Teripang, Rumput laut dan kerang-kerangan. Luas areal
untuk budidaya laut seluas 120.000 Ha dengan potensi produksi 1.200.000
ton. Pada tahun 2006 produksi budidaya laut hanya sebesar 17,78 ton
(0.07% dari potensi produksi).
Selain sumberdaya perikanan laut Kepulauan Babel memiliki potensi
lahan budidaya air payau (tambak) dan air tawar (kolong). Dengan panjang
pantai 1.200 km potensi lahan untuk budidaya tambak mencapai 250.000 Ha
dengan potensi produksi 100.000 ton. Pada tahun 2006 produksi budidaya
air payau hanya sebesar 153.55 ton (0.07% dari potensi produksi).
Untuk budaya perikanan air tawar, potensi lahan yang dimiliki mencapai
1.602 Ha yang terdiri dari dari perairan kolong, sungai dan kolam dengan
potensi produksi 16.000 ton. Pada tahun 2006 produksi budidaya air tawar
hanya sebesar 751.24 ton (0.07% dari potensi produksi).
2) Sektor Pertanian & Kehutanan
Potensi lahan Kepulauan Babel masih berpeluang besar pengembang-
an kawasan pertanian. Sebagai contoh terdapat lahan yang tidak diusahakan
sebesar 6% dari potensi yang ada, dan ada lahan lainnya yang juga belum
dimanfaatkan sebesar 23%. Artinya upaya pengembangan pembangunan
pertanian masih sangat dimungkinkan melalui perluasan areal tanam.
3) Subsektor Tanaman Pangan dan Holtikultura
Pengembangan pertanian pada subsektor tanaman pangan dan holti-
kultura diarahkan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Keter-
sediaan pangan di Kepulauan Babel saat ini hanya bisa mencukupi 9,36%
dari kebutuhan pangan yang ada, selebihnya masih dipasok dari luar.
Padahal potensi lahan yang ada bisa untuk meningkatkan ketersediaan
pangan yang ada. Untuk itu upaya yang dilakukan sebagai tindakan preventif

88
adalah dengan perluasan areal tanam dan intensifikasi lahan, akselerasi
terhadap penyediaan pangan di Kepulauan Babel dengan penggunaan paket
teknologi dan penanganan pasca panen. Begitu pula dengan subsektor
holtikultura pencapaian pembangunannya diarahkan kepada pengembangan
kawasan dengan memfokuskan kepada pengelolaan komoditi spesifik lokasi
seperti pengembangan kawasan buah Manggis di Kabupaten Belitung dan
Kabupaten Bangka, pengembangan kawasan buah durian di Kabupaten
Bangka Barat, kawasan buah jeruk di Kabupaten Bangka Selatan dan
Bangka Tengah.
4) Subsektor Perkebunan
Kontribusi PDRB terbesar ketiga Kepulauan Babel disumbangkan
Sektor Pertanian dan Kehutanan ± 18,69% (data 2006) setelah sektor
industri pengolahan ± 22,37% dan sektor pertambangan dan penggalian
± 21,32%. Hal ini juga diikuti dengan perkembangan volume ekspor Belitung
tahun 2005 yang menempatkan sektor pertanian dan kehutanan khususnya
komoditi Lada dan Karet pada urutan kedua perkembangan ekspor setelah
Timah. Lada Putih (Muntok White Pepper) yang merupakan komoditi
unggulan perkebunan sudah terkenal di pasaran dunia dengan cakupan
produksi sebanyak 20.000–35.000 ton/tahun, begitu pula dengan per-
kembangan perkebunan Kelapa sawit dengan luas ± 136.400 Ha memiliki
keunggulan komparatif bagi perkembangan pembangunan pertanian di
Kepulauan Babel. Dalam perkembangannya, subsektor perkebunan
menetapkan fokus pengembangan kepada tiga komoditi utama yaitu Lada,
Karet, dan Kelapa Sawit.
5) Subsektor Pertanian
Sektor peternakan juga mendapat perhatian khusus karena kebutuh-
an daging hingga saat ini masih dipasok dari luar daerah. Oleh karena itu,
Dinas Pertanian dan Kehutanan melakukan program utama pengembangan
subsektor peternakan untuk memenuhi kecukupan daging. Upaya yang
dilakukan dengan meningkatkan populasi ternak dan pembibitan sapi melalui
pola penggemukan sapi. Pada subsektor peternakan juga memfokuskan

89
pengembangan peternakan pada dua fokus utama ternak yaitu Sapi Potong
dan Ayam Buras.

Visit Babel
Dasa Bhakti Era EMAS sebagai Misi Daerah
Untuk mengoperasionalisasi visi ke 5 substansi tersebut maka disusun misi
pembangunan daerah yang hendak dicapai pada periode tahun 2007-2012,
terdiri dari 10 tujuan yang disebut Dasa Bhakti Era EMAS, yaitu :
1) Menciptakan Iklim Kondusif dengan melibatkan seluruh komponen
masyarakat.
2) Meningkatkan kualitas Pendidikan masyarakat.
3) Meningkatkan kualitas Kesehatan masyarakat.
4) Meningkatkan penciptaan Lapangan Kerja sekaligus mengentaskan
kemiskinan.
5) Meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
6) Meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur jalan, jembatan,
dermaga, bandara, Rumah Sakit, Permukiman, Listrik dan Perbankan.
7) Meningkatkan kapasitas Aparatur Pemda untuk menciptakan Good
Governance yang berbasis e-government.
8) Meningkatkan produksi dan produktifitas sektor-sektor unggulan daerah:
Kelautan, Pertambangan dan Energi, Perindustrian dan Perdagangan,
serta Perbankan dan Penanaman Modal.
9) Menciptakan Pemerintahan yang bersih dan berwibawa (Clean dan
Clear Government).
10) Melaksanakan proyek-proyek pembangunan yang strategis baik sebagai
kontinuitas dari proyek-proyek yang telah didesain maupun proyek-
proyek strategis yang baru seperti :
a) Membangun Bandara Depati Amir sebagai bandara internasional
b) Membangun Route Penerbangan dari LN langsung ke Babel
c) Membangun dermaga laut internasional di Pulau Belitung
d) Membangun kawasan ekonomi khusus (KEK)

90
e) Membangun Kota Baru Air Anyir yang didesain sebagai sebuah kota
modern
f) Membangun rumah sakit umum daerah (RSUD) provinsi Kelas B
g) Melaksanakan event-event Nasional dan Internasional
h) Melanjutkan pembangunan jalan lingkar Bangka dan Trans Bangka
Selatan
Mengalir dari Dasa Bhakti Era EMAS tersebut maka dirancang salah
satu agenda Nasional yang akan dilaksanakan di Kepulauan Babel yaitu :
Visit Bangka Belitung Archipelagic yang disingkat Visit Babel Archi 2010
adalah salah satu program unggulan berbasis pada sektor Pariwisata yang
didukung oleh kekuatan sektor-sektor pembangunan lainnya secara terpadu,
terarah dan berkesinambungan, sehingga mampu memberikan pelayanan
yang optimal dalam rangka menerima kunjungan wisatawan baik domestik
terlebih mancanegara ke Kepulauan Babel. Diharapkan dengan adanya
upaya tersebut akan memicu dan memacu pembangunan sektor pariwisata
berkeunggulan kompetitif pada tataran regional dan global. Sebagai out
come yang diharapkan adalah sektor Pariwisata dapat memberikan
kontribusi yang cukup besar pada percepatan pertumbuhan ekonomi
daerah/nasional, terciptanyan lapangan kerja dan lapangan berusaha, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui 3-Pro (Pro-Growth, Pro-Job
dan Pro-Poor)
3.2.10 Obyek Kunjungan Andalan
Objek wisata yang ada di Kepulauan Babel, antara lain : 

91
1) Wisata Bahari Pantai Tanjung Pesona

Pantai ini terletak di Desa Rambak, Kecamatan Sungailiat. Berjarak 9


km dari kota Sungailiat. Pantai ini berada ditengah antara pantai Teluk Uber
dan pantai Tikus. Pantai ini memiliki panorama laut lepas, diatas tanjung
bebatuan yang besar. Pantai ini telah dilengkapi fasilitas wisata, dengan
klasifikasi hotel berbintang tiga.Pantai Tanjung Pesona.
Pantai Parai Tenggiri Wisata Bahari – Kabupaten Bangka

Pada awalnya, masyarakat sungailiat menyebut pantai ini sebagai pantai


Hakok, kemudian sebagai pantai Tenggiri. Pantai Parai Tenggiri merupakan
pantai paling indah dideretan pantai timur Pulau Bangka. Sejak masih disebut
Hakok, pantai ini merupakan kawasan yang paling digemari untuk dikunjungi
oleh masyarakat setempat. Bebatuan yang banyak terdapat di pantai ini,
seperti dekorasi alam yang memesona. Pantai ini memiliki sebauh resort

92
dengan hotel bintang 4 yakni Parai beach resort, dan merupakan satu-
satunya kawasan tujuan wisata pantai bertaraf internasional yang patut
dibanggakan dipulau bangka. Hampir semua fasilitas tersedia, mulai dari
akomodasi, restauran, bar and grill, café, kolam renang, bahkan sport and
leisure.

Di ujung kiri pantai, terdapat sebuah gugusan bebatuan yang di tata


dengan apik dan di namakan Rock Island. Pada malam hari, pengunjung
dapat bersantai sambil menikmati hidangan lezat dan minuman bar, sambil
mendengarkan deburan ombak yang menerpa bebatuan tanpa henti.

Akses menuju ke sana melalui sebuah jembatan dengan penerangan lampu


di sepanjang tepi kanan dan kirinya. Pengunjung dapat berjalan kaki menuju
ke Rock Island sambil menikmati pemandangan laut dan riakan ombak.

93
2) Pantai Matras Wisata Bahari - Kabupaten Bangka

Pantai Matras yang terletak di Desa Sinar Baru dan berjarak tempuh
lebih kurang 20 km dari kota Sungailiat ke arah utara, mempunyai akses
yang sangat mudah karena terdapat fasilitas jalan aspal yang mulus dan
lebar. Semua jenis kendaraan dapat memasuki pantai hingga ke bibir pantai
yang berpasir putih dan landai sepanjang 5 km dari ujung selatan hingga
semenanjung di ujung utara. Pantai ini dilatar belakangi pepohonan kelapa
dan aliran sungai alami, hingga sering disebut sebagai Pantai Surga.

94
3) Pantai Tikus Wisata Bahari – Kabupaten Bangka

Pantai tikus terletak di Desa Rebo Kelurahan Kenanga, Kecamatan


Sungailiat. Pantai ini masih alami, cukup menarik untuk dikunjungi. Bentuk
pantainya yang cekung, berpasir putih nan halus, yang sangat memikat
wisatawan untuk datang berkunjung lagi.

4) Pantai Pasir Padi Wisata Bahari - Kota Pangkalpinang

Pantai Pasir Padi berjarak 7 Km dari Pangkalpinang ibu kota Provinsi


Kepulauan Bangka Belitung. Pantai Pasir Padi ini merupakan satu-satunya
kawasan wisata paling ramai yang dikunjungi masyarakat kota

95
Pangkalpinang. Pantai Pasir Padi memiliki karakteristik pantai berpasir putih
dengan laut biru tenang. di pantai ini sinar pagi sang surya memancar indah
setiap hari, sehingga banyak wisatawan baik dari daerah sekitar, dari
berbagai daerah diluar pulau Bangka, bahkan dari mancanegara,
mengunjungi pantai pasir padi.
Keunikan Pantai Pasir Padi yang memiliki garis pantai sepanjang 100 hingga
300 m adalah ombak yang tenang dan kontur pasir yang padat, putih dan
halus. Oleh sebab itu, pantai ini nyaman untuk pejalan kaki bahkan dapat di
lalui oleh kendaraan bermotor roda empat maupun roda dua.
Pantai yang mempunyai pemandangan alam yang sangat indah ini berada
tidak jauh dari Pulau Punan, yang dapat dikunjungi dengan berjalan kaki
ketika air laut surut. Selain itu, juga terdapat Pulau Semujur dan Pulau
Panjang yang berada sekitar 2,5 Km di perairan Pasir Padi.
Pantai kunjungan wisata yang paling digemari oleh semua tingkat usia ini
sangat nyaman untuk mandi atau berjemur, karena kehangatan air lautnya,
dan ketenangan ombaknya. Banyak kelompok pengunjung yang sengaja
datang untuk bermain bola kaki di pantai. Bagi pemuda yang mempunyai
sifat dinamis pantai ini merupakan surga untuk mengadu ketangkasan dan
kecepatan bersepeda motor. Bahkan Ikatan Motor Indonesia (IMI) sering
menggelar balapan sepeda motor, sebagai penyaluran jiwa dinamis anak-
anak muda penggemar kebut-kebutan di jalan raya. Menjelang senja banyak
pengunjung datang sekedar untuk menikmati udara sore dan menyaksikan
kemeriahan Pantai Pasir Padi. Pantai Pasir Padi sering menjadi tempat
penyelenggara acara keagamaan seperti pechun dan acara-acara lainnya.
Untuk menunjang sektor pariwisata Pantai Pasir Padi, sejumlah
akomodasi yang berupa hotel berbintang, dengan fasilitas lengkap, seperti
restoran, dan ruang konferensi, pameran dan lain-lain, tersedia. Selain itu
warung-warung tradisional yang menyajikan berbagai hidangan laut
menambah variasi akomodasi pantai itu.

96
5) Pantai Tanjung Pendam

Pantai Tanjung Pendam berada di pusat kota Tanjungpandan.


Menjelang senja kita dapat menyaksikan pemandangan yang menakjubkan
saat matahari kembali keperaduannya, dimana terlihat sinarnya yang
beraneka ragam. dibagian depan pantai ini terdapat pulau Kalamoa. Pantai
ini sudah dikemas oleh PEMDA setempat sedemikian rupa sehingga menjadi
taman tepi pantai yang nyaman bagi warga kota. Bagi pengunjung dari kota
Tanjungpandan, maupun pengunjung dari luar pulau Belitung, tidak ada
pantai terdekat yang seindah, karena pantai Tanjung Pendam menyajikan
panorama yang spektakuler dengan sunset-nya. Panorama paling indah
terjadi ketika sang surya turun berlahan ke dalam laut, dengan latar depan
sebuah kapal keruk yang terus beroperasi, tanpa terdengar suara, kecuali
hingar bingar musik dari kios di ujung kiri pantai ini. Ditambah lagi dengan
adanya bangkai perahu kandas dilaut, dengan latar depan pohon-pohon
cemara, semua ini memperindah panorama.

97
6) Pantai Tanjung Tinggi

Pantai Tanjung Tinggi adalah pantai yang di apit oleh dua


semenanjung. Pantai Tanjung Tinggi, yang berjarak lebih kurang 2 Km dari
Pantai Tanjung Kelayang, merupakan sebuah pantai yang dapat melahirkan
"misteri". Pengunjung seolah-olah berada dikawasan yang penuh dengan
khayalan. Pantai ini berbentuk teluk kecil sepanjang lebih kurang 100 m,
berpasir putih bersih dengan tebaran bebatuan granit yang tersusun indah. Di
ujung bagian timur, terdapat tumpukan bebatuan yang salah satu celahnya
membentuk sebuah "lorong" yang dapat dilalui. Udara di lorong batu itu
sangat sejuk, serasa diruang berpendingin-udara. Di seberang pantai ini juga
telah dibangun "The Villa Lor in Tanjung Tinggi" dengan fasilitas yang
lengkap yang merupakan cikal bakal resort terbesar di Kepulauan Bangka
Belitung.

98
7) Terumbu Karang Batu Malang – Kabupaten Belitung

8) Kampung Nelayan Tanjung Binga


Desa Nelayan Tanjung Binga terletak di pesisir pantai yang
menghadap ke pulau Lengkuas. Masih berada di Kecamatan Sijuk, Desa
Nelayan Tanjung Binga berjarak + 20 km dari Tanjungpandan. Pantai
Tanjung Binga dengan kehidupan nelayan pesisir yang sangat kental
merupakan daya tarik utama, daya tarik pendukung adalah keindahan alam
bawah laut dan pantai-pantai lainnya yang ada di kawasan ini seperti
Tanjung Tinggi, Tanjung Kelayang, Bukit Berahu dan pulau-pulau kecil
disekitarnya, seperti pulau Burung dan pulau Lengkuas. Fasilitas akomodasi
penyewaan perahu-perahu nelayan memudahkan wisatawan melakukan
kegiatan menyelam atau melancong ke pulau-pulau kecil dilepas pantai.
Pengembangan Kawasan Wisata Utama (KWU) Budaya pesisir di pantai
Tanjung Binga, sesuai dengan sasaran pasar wisatawan lokal dan regional
khususnya untuk kegiatan rekreasi pantai dan wisatawan minat khusus
Budaya, baik wisman maupun Wisnus, termasuk wisman kapal pesiar. oleh
karena itu pengembangannya perlu dibarengi dengan fasilitas pendukung
yang memadai bagi wisatawan. Fasilitas akomodasi yang cukup tersedia di
kawasan ini perlu ditingkakan kualitas dan pelayanannya dengan tetap
mempertimbangkan daya dukung lingkungan. 

99
Obyek sejarah yang ada di darat seperti tempat pembuangan Soekarno di
Gunung Menumbing dan Wisma Ranggam Muntok, Tugu Perjuangan
Pahlawan 12, Tugu Perjuangan Tanjung Berikat, Napak Tilas Perjuangan
Depati Barin dan Depati Amir, serta di laut seperti kapal-kapal tenggelam
yang berada di perairan Bangka Belitung.

9) Wisata Agama : Islam, Khatolik, Konghucu dan Budha


1. Wisata Lingkungan
2. Wisata Budaya/Adat :Perang Ketupat, Rebo Kasan, Mandi Belimau,
dll
3. Wisata Alam/Hutan : Air Panas Pemali dan di tempat-tempat lainnya,
pendakian Gunung Maras.
4. Wisata Kuliner : Berbagai jenis makanan.
5. Wisata Kebun/Agro Tourism : Kebun sawit, Kebun Lada dan kebun-
kebun lainnya.

3.2.11 Event-event Kegiatan


1) Pekan Pameran Pembangunan dan Investasi
2) Pengadaan Kegiatan Seminar/Lokakarya Nasional
3) Pasar Malam dan Hiburan Masyarakat
4) Pentas Musik Kaula Muda
5) Pentas Musik Jazz
6) Pertemuan Bisnis dan Investasi

Sarana dan Prasarana yang harus disiapkan


(1) Mempersiapkan obyek-obyek wisata andalan yang ada di seluruh
wilayah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
(2) Infrastruktur jalan dan jembatan, terutama yang menghubungkan objek-
objek wisata.
(3) Sistem transportasi dari bandara dan pelabuhan laut yang ada ke
objek.objek wisata.

100
(4) Telah siap membangun hotel-hotel berbintang 3/4/5 sebanyak tiga
buah dengan kapasitas kamar minimal 500 kamar didukung oleh
hotel/resort berbintang 1 atau 2 serta melati yang memiliki daya
tampung lebih dari 500 kamar.
(5) Jembatan Baturusa II dan III serta Jalan Lingkar Timur Bangka yang
menghubungkan kota Pangkalpinang – Sungailiat lewat pantai timur
telah selesai.
(6) Konsentrasi hotel-hotel tidak hanya di wilayah perkotaan tetapi juga di
sepanjang pantai timur Bangka tersebut.
(7) Jalan Lingkar Kota Pangkalpinang sudah terbangun sehingga
memperpendek jarak dari Bandara ke objek-objek wisata dan hotel-
hotel serta menghindari traffic jam.
(8) Rute pesawat terbang tidak hanya dari Jakarta-Pangkalpinang,
Jakarta-Tanjung Pandan dan Palembang-Pangkalpinang-Tanjung
Pandan, tetapi telah meluas dari Singapura-Pangkalpinang, Singapura-
Pangkalpinang-Jakarta, Singapura-Pangkalpinang-Denpasar, atau dari
Kuala Lumpur-Pangkalpinang.
(9) Mengusahakan penerbangan siang/sore hari untuk Jakarta-Tanjung
Pandan.
(10) Kesenian dan budaya daerah terus digali dan dikembangkan sebagai
bagian dari ciri khas atau identitas daerah yang bisa dijual sebagai
tontonan menarik.
(11) Sanggar-sanggar kesenian terus dibina dan diperkuat serta jadikan
sebagai bagian dari profesi para seniman.
(12) Budaya daerah/nasional dikembangkan, acara-acara adat digali,
dikembangkan dan dikemas sebagai objek-objek tontonan yang
menarik dan berkesan.
(13) Persiapan gedung-gedung kesenian dan budaya yang representatif
perlu dibangun pada lokasi-lokasi yang strategis dan sesuaikan dengan
tata ruang kabupaten/kota.
(14) Promosi pariwisata terus digencarkan sejak dini dengan melibatkan
seluruh komponen pemangku kepentingan baik pemerintah,

101
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, pihak
investor/swasta maupun masyarakat.
(15) Dinas Pariwisata Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagai leading
sector Agenda Visit Babel Archi 2010 dengan melakukan Koordinasi,
Integrasi, Sinkronisasi dan Sinergi (KISS) dengan dinas-dinas lainnya
di lingkungan Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
sekaligus mengintensifkan KISS dengan Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata di Jakarta secara rutin demikian juga melakukan upaya
kemitraan dengan Pemerintah Kabupaten/Kota secara terus menerus,
serta mengikutsertakan lembaga-lembaga independen dan swadaya
masyarakat, pelaku-pelaku bisnis, pengamat pariwisata/seni/budaya
serta tokoh-tokoh masyarakat termasuk didalamnya tokoh-tokoh
pemuda.

Persiapan Infrastruktur
(1) Jalan Negara yang menghubungi ibu-ibu kota kabupaten dan kota
dalam keadaan baik (beraspal hotmix/beton, lebar cukup atau minimal
7 m, saluran drainase baik, damija bersih dan pohon peneduh yang
terpelihara).
(2) Jalan-jalan provinsi yang menghubungkan ibu kota kabupaten dan kota
serta yang menghubungkan kota-kota kecamatan/objek wisata dalam
keadaan baik (beraspal hotmix/beton, lebar cukup atau minimal 6 m,
saluran drainase baik, damija bersih dan pohon peneduh yang
terpelihara).
(3) Jalan-jalan Kabupaten/Kota yang menghubungkan kota kecamatan dan
desa/dusun serta jalan yang menuju obyek-obyek wisata dalam
keadaan baik (beraspal hotmix/lapen, dengan lebar minimal 4,5 m,
saluran drainase baik, damija bersih dan pohon peneduh yang
terpelihara).
(4) Jembatan-jembatan yang ada di lintas jalan negara, provinsi dan
kabupaten/kota harus dibangun dari konstruksi beton atau konstruksi
baja dengan lebar menyesuai dengan lebar jalan.

102
(5) Jalan Lingkar Timur Bangka yang menghubungkan kota Pangkalpinang
dengan Sungailiat selesai dibangun secara bertahap sampai tahun
2010 sepanjang 20 lebih km dengan konstruksi sol semen dan hotmix,
lebar 1x7 m (Pangkalpinang-Sungailiat).
(6) Jembatan Baturusa II secara simultan di bangun di dekat muara Sungai
Baturusa berdekatan dengan TPI yang ada dengan panjang bentangan
700 m dan lebar 7 m dilengkapi dengan jalur pejalan kaki di sebelah kiri
dan kanan jembatan masing-masing selebar 1,5 m dengan desain
secara khusus yaitu dengan estetika/rangka bangun yang menarik
serta ketinggian dari permukaan air sungai sedemikian rupa sehingga
keberadaan jembatan ini tidak akan mengganggu lalu lintas kapal laut.
(7) Bersamaan dengan itu pula direncanakan Jembatan Baturusa III untuk
menghubungkan wilayah Air Anyer dengan Desa Selindung dan
kemudian jalan pendekat menuju jalan Lingkar Kota Pangkalpinang.
(8) Jalan Lingkar kota Pangkalpinang harus segera diselesaikan sebelum
tahun 2010 karena diperkirakan pada saat ini volume dan frekuensi
kendaraan yang berada di Pangkalpinang sudah cukup banyak,
mengingat pelebaran jalan di dalam kota saat ini sangat sulit dan
menghadapi banyak tantangan dari masyarakat yang terkena rencana
penggusuran.
(9) Jalan-jalan di dalam kota Kabupaten/kota harus sudah cukup baik
(dalam arti kata kondisi jalan baik, lebar cukup, saluran drainase baik,
damija bersih dan pohon peneduh serta jalur-jalur taman yang
terpelihara
(10) Saluran-saluran sungai yang melintasi kota-kota Kabupaten/Kota harus
bersih dan terawat dengan baik, khusus untuk Sungai Rangkui di kota
Pangkalpinang akan direncanakan secara khusus sehingga kondisi
airnya mengalir dan bersih (tidak terdapat tumpukan sampah), indah
dipandang serta dapat menjadi salah satu objek wisata kota.
(11) Sepanjang pinggir Sungai Baturusa terutama disepanjang kawasan
Pelabuhan Pangkalbalam sampai ke muara di bangun talud dan pada

103
muara sungai tersebut sudah harus dimulai desain dan pembangunan
breakwater.
(12) Disepanjang sungai Baturusa mulai dari rencana lokasi jembatan
Baturusa III menyusuri bibir sungai di buat jalan setapak dengan lebar
minimal 3 m, dilengkapi dengan jalur taman selebar minimal 10 m, dan
jalan raya sejajar pantai tersebut sampai ke bagian muara sungai.
(13) Memperlebar jalan-jalan Negara menjadi 2 jalur dengan lebar masing-
masing 7 m dilengkapi dengan jalur pemisah selebar minimal 1 m,
trotoar selebar 1,5 m dan saluran drainase dengan lebar dan dalam
yang cukup di setiap ibu-ibu kota kabupaten, sebagaimana yang telah
dibangun di Kota Sungailiat dilengkapi dengan jalur taman dan pohon
peneduh.
(14) Memelihara kebersihan dan lingkungan kota untuk mempertahankan
status Kota Adipura Pangkalpinang, Sungailiat dan Tanjung Pandan
serta tercipta lagi kota-kota adipura lainnya di 4 ibu kota kabupaten
yang lainnya (Muntok, Manggar, Koba dan Toboali).
(15) Penanaman pohon peneduh dan lampu-lampu taman didesain
sedemikian rupa agar dapat menciptakan suasana yang asri baik pada
siang hari maupun malam hari.
(16) Pada tahun 2010 nanti diharapkan listrik diharapkan tidak menjadi
masalah, telah terpasang power plant dengan total daya lebih dari 75
MW dalam keadaan baik.
(17) Jaringan listrik telah terhubung baik oleh PLN sendiri maupun
Pemerintah provinsi/Kabupaten bekerjasama dengan PLN sampai ke
pelosok dusun, terutama ke kawasan wisata, hotel-hotel dan sarana
pariwisata lainnya.
(18) Disepanjang jalan di dalam kota, di desa dan di dusun sudah terpasang
lampu-lampu jalan serta lampu-lampu hias yang menerangi taman-
taman kota yang ada.
(19) Tidak terjadi lagi pemadaman listrik baik pada siang hari maupun
malam hari dengan alasan teknis apapun.

104
 Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung dengan tipe B sudah mulai dioperasikan dengan
kemampuan dasar untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat pada umumnya.
(20) RSUD tersebut dilengkapi dengan ruang-ruang Emergency, WIP, dan
Special Care (untuk penyakit malaria).
(21) RSUD tersebut dilengkapi pula dengan ruangan Hyperbaric (pressure
chamber) untuk mengakomodasi kemungkinan kecelakaan pada saat
menyelam.
(22) Kerjasama antara RSUD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan
rumah-rumah sakit swasta yang ada di Jakarta maupun di Luar
Negeri sangat diharapkan untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang prima sekaligus sebagai daya tarik pariwisata.
(23) Lokasi RSUD tersebut dicarikan pada suatu lokasi di tepi pantai
dengan luas yang cukup dan mudah di capai dari kota Pangkalpinang
dan kota-kota lainnya di Pulau Bangka. Lebih disenangi dekat dengan
pelabuhan laut dan udara sehingga memudahkan untuk dicapai
pasien-pasien yang berasal dari Pulau Belitung dan pulau-pulau
sekitarnya.
(24) Penyediaan air bersih perkotaan dan pedesaan serta di kawasan
wisata merupakan persoalan yang urgen untuk dilaksanakan segera.
Prioritas penanganan air bersih dengan menerapkan teknologi
mutakhir diakomodasikan untuk daerah perkotaan dan kawasan
pengembangan industri serta pariwisata. Dengan memanfaatkan
sumber-sumber air berasal dari kolong – kolong bekas penambangan
timah yang ada disekitar kota-kota dan kawasan industri/pariwisata.
(25) Drinkable water merupakan goal penyiapan air bersih pada masa
depan yang secara bertahap diupayakan secara dini.Sedangkan air
bersih di daerah pedesaan terus diupayakan untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dan sekaligus untuk menggalakkan
wisata desa seperti forest tourism dan agro tourism.

105
(26) Pada tahun 2010 runway Bandara Depati Amir sudah selesai
diperpanjang mencapai 2.500 m dengan lebar 45 m sehingga telah
dapat didarati oleh pesawat-pesawat berbadan lebar seperti Boeing
737-500, Air Bus dan tipe-tipe pesawat yang lainnya.
(27) Pembangunan apron dan terminal baru yang lebih representatif yang
dilengkapi dengan minimal 4 buah karbarata untuk melayani
penumpang domestik dan mancanegara segera diselesaikan sebelum
agenda Visit Babel Archi 2010 ini, dan terminal tersebut dilengkapi
pula dengan mal dan hotel.
(28) Bandara Hannandjoedin Tanjungpandan juga diperpanjang
dilebarkan sesuai dengan kebutuhan agar dapat di darati oleh
pesawat-pesawat yang lebih besar.
(29) Bandara-bandara perintis mulai didesain terutama untuk kota Toboali
dan Manggar.
(30) Persiapan pelabuhan-pelabuhan laut Pangkalbalam, Belinyu, Muntok,
Sadai, Tanjungpandan, Manggar.
(31) Rute-rute pelayaran kapal-kapal cepat yang melayani penumpang
perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya baik dari Palembang-
Muntok, Pangkalpinang-Tanjungpandan, Manggar-Ketapang,Sadai-
Jakarta, Pangkalbalam-Jakarta dan Tanjungpandan-Jakarta,
Pangkalpinang-Batam.
(32) Pelabuhan Belinyu disandari oleh kapal-kapal Pelni,
(33) Pelabuhan Jelitik Sungailiat dipersiapkan mampu untuk menampung
kapal-kapal niaga sekaligus penumpang dengan kapasitas yang
terbatas.

Dukungan Kabupaten/Kota
Pemerintah Kabupaten dan Kota menyesuaikan perencanaan pembangunan
pariwisatanya menjelang agenda visit BABEL 2008 sesuai dengan potensi
dan kemampuan dana masing-masing.

106
Adanya kerja sama yang baik dengan membangun KISS yang harmonis
antara Pemerintah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan Kabupaten-
Kabupaten / Kota serta antar Kabupaten/Kota untuk meningkatkan
kemampuan dan kinerja daerah guna menyongsong agenda visit Babel
Archi-2010 tersebut.

(1) Dukungan Politik


Dukungan politik diharapkan dari DPR/DPD RI, Pemerintah Pusat, DPRD
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Kabupaten/Kota dilingkup Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, Para Elite Politik, Lembaga Swadaya
Masyarakat, Para Ulama, Seniman dan Budayawan, Tokoh Adat, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Pemuda, Para Pemerhati Pariwisata/lingkungan, Instansi
Vertikal dan Para Investor/Swasta.

(2) Dukungan Pendanaan

Pendanaan bersumber dari Dana APBN,  APBD, BUMN/BUMD dan Swasta.


Dana APBN bersumber dari kementerian terkait seperti Departemen PU,
Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen
Perhubungan,Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Pertanian,
Departemen Kehutanan, dan lainnya.

(3) Dukungan Lainnya

Dukungan penuh dari pemerintah pusat dengan penerbitan Instruksi


Presiden (Inpres) untuk me mendidik semua stakeholder tentang peranan
mereka masing-masing dalam konservasi (Drumm & Moore, 2005).
 legitimate agenda ini sebagai agenda Nasional tahun 2010.

 Kehadiran Presiden RI/Wakil Presiden RI dalam upacara


pembukaan /penutupan agenda ini.

 Kehadiran menteri-menteri Kabinet Indonesia Bersatu dalam event-


event yang digelar.

107
 Dukungan dari menteri Luar Negeri bersama dengan Kantor-Kantor
Perwakilan RI/Kedutaan Besar RI/Konsulat Jendral RI/Konsulat RI
dalam kaitannya dengan memberikan bantuan guna mempermudah
dan melancarkan administratif serta hubungan kerjasama dengan pihak
pemerintah/swasta di negara-negara yang terlibat langsung maupun
tidak langsung dengan pelaksanaan agenda ini.

 Dari pihak swasta dalam dan Luar Negeri yang sifatnya tidak mengikat
dan terutama ada bertendensi politik.

3.2 PANGANDARAN, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT

Rencana Pemekaran Kabupaten Pangandaran meskipun saat ini


masih dalam proses dan rencananya akan diresmikan pada tahun 2011,
tentunya Kabupaten Ciamis yang merupakan induk dari Kabupaten
Pangandaran harus mulai mempersiapkan langkah-langkah ke depan untuk
melirik alternatif pendapatan daerah yang lain selain dari Pangandaran.
Seperti yang sudah kita ketahui, bahwa Pangandaran merupakan sumber
pendapatan asli daerah (PAD) dari potensi wisata Kabupaten Ciamis yang
terbesar disamping potensi-potensi daerah lainnya yang dimiliki oleh
Kabupaten Ciamis. Tiap tahun Pangandaran dikunjungi sekitar 300.000
orang, dua persen di antaranya adalah wisatawan asing dan Pangandaran
menyumbangkan sekitar Rp 1 miliar terhadap pendapatan asli daerah
Kabupaten Ciamis. Dalam tiga tahun terakhir, PAD Pangandaran mencapai
3 persen per tahun. Tak mengherankan, kawasan ini menjadi salah satu
sumber pendapatan daerah yang cukup diperhitungkan. Sumbangan PAD
itu terancam hilang bila Kabupaten Pangandaran resmi berdiri.
Kabupaten Ciamis selama ini memiliki beberapa obyek wisata
unggulan, antara lain Pantai Pangandaran, Batu Hiu, Batu Karas, dan
Cukang Taneuh (Green Canyon) di kawasan Pangandaran. Dua lainnya
adalah Karangkamulyan, yaitu tempat peninggalan Kerajaan Galuh, dan
Situ Lengong di Panjalu. Tentunya apabila Kabupaten Pangandaran nanti
resmi berdiri, Kabupaten Ciamis hanya memiliki dua unggulan obyek wisata

108
yaitu Karangkamulyan dan situ Lengkong Panjalu. Oleh karena itu, mau
tidak mau pemerintah daerah Kabupaten Ciamis harus mengupayakan
obyek wisata alternatif lainnya yang ada di Kabupaten Ciamis pasca
Kabupaten Pangandaran terbentuk.
Selain dari sektor Pariwisata, Kabupaten Ciamis pasti akan
kehilangan potensi hasil lautnya. Mengingat Pangandaran dan daerah di
pesisir lainnya seperti Cimerak, Parigi, dan Cijulang merupakan daerah
teritorial Kabupaten Ciamis yang berada di wilayah pantai. Otomatis pasca
Kabupaten pangandaran terbentuk, Kabupaten Ciamis tidak akan memiliki
wilayah pantai lagi. Tiap tahun diperkirakan tak kurang dari 1.560 ton ikan
dengan nilai 18 Miliar diperoleh dari para Nelayan di Pangandaran.

Wilayah Kab. Pangandaran yang meliputi sembilan puluh desa yang terdiri
dari sepuluh kecamatan, yaitu Kecamatan Padaherang, Kecamatan
Mangunjaya, Kecamatan. Kalipucang, Kecamatan Pangandaran,
Kecamatan Sidamulih, Kecamatan Parigi, Kecamatan Cigugur, Kecamatan
Cijulang, Kecamatan Cimerak, dan Kecamatan Langkaplancar merupakan
kecamatan-kecamatan yang mempunyai potensi alam yang meyakinkan.
Misalnya di Kecamatan Langkap Lancar, potensi hasil hutan yang dimiliki
Kecamatan ini sangat melimpah dengan wilayahnya yang rata-rata
pegunungan, dan juga kecamatan ini merupakan komoditas pertanian dan
perkebunan, selanjutnya di Kecamatan Mangunjaya yang merupakan
daerah lumbung padi, dan kecamatan-kecamatan lainnya yang mempunyai
potensi hasil alam tersendiri sesuai dengan karakter daerahnya.
Tentunya setelah Kabupaten Pangandaran terbentuk Ciamis tidak hanya
kehilangan PAD dari sector pariwisata, pertanian, dan perikanan saja, akan
tetapi dari sektor peternakan, budaya, dan sebagainya. Oleh karena itu hal
yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis yaitu
mempunyai suatu strategi yang jitu untuk mencari alternatif PAD yang lain
yang dimiliki oleh Kabupaten Ciamis dengan mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya alam yang dimiliki oleh kabupaten Ciamis dan mendorong
terciptanya pertumbuhan ekonomi penduduk.

109
.Kawasan Pantai Pangandaran merupakan salah satu objek wisata andalan
Kabupaten Ciamis dan Provinsi Jawa Barat. Bahkan, kawasan yang berada
di Pantai Selatan Jawa ini masuk dalam agenda kunjungan wisata Indonesia
tahun 2009 Karena itu, pemerintah daerah melalui Dinas Pariwisata dan
Budaya setempat, terus membenahi dan melengkapi berbagai fasilitas
penunjang kawasan wisata Pantai Pangandaran.
Pengunjung dapat menikmati panorama alam Pantai Pangandaran
yang indah dan hamparan landai pasir putih pantainya yang memesona. Dua
bukit yang mengapit Pantai Pangandaran membuat angin berhembus pelan
dan riak ombak lautnya relatif kecil, sehingga pengunjung nyaman
melakukan berbagai aktivitas, seperti berenang menggunakan ban,
berperahu mengelilingi semenanjung, memancing, bersantai di pantai, atau
sekadar mencerap keindahan alamnya dari pondok-pondok wisata yang
banyak terdapat di kawasan tersebut. Selain itu, pengunjung dapat melihat
terbit dan terbenamnya matahari dari tempat yang sama.
Bagi pengunjung yang ingin menyelam, di kawasan ini terdapat taman
laut dengan aneka fauna dan flora lautnya yang indah. Jalan di sekitar pantai
ini sudah beraspal mulus, sehingga memudahkan pengunjung yang ingin
mengelilingi kawasan tersebut dengan kendaraan bermotor atau sepeda. Bila
malam tiba, pengunjung tetap akan merasa nyaman berada di Pantai
Pangandaran, karena kawasan tersebut telah dilengkapi dengan lampu
penerangan yang memadai.
Setiap akhir pekan, biasanya digelar pertunjukan seni tradisional Jawa Barat.
Selain itu, pada bulan-bulan tertentu digelar berbagai event, seperti hajat laut
nelayan Pangandaran pada bulan Maret, nyiar lumar pada bulan Juni, festival
layang-layang internasional (Pangandaran International Kite Festival) pada
bulan Juli, karnaval perahu hias pada bulan Agustus, lomba memancing
pada bulan September, wisata lintas alam dan off road pada bulan Oktober,
dan pesta perayaan tahun baru pada bulan Desember.

Kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Pangandaran merupakan hutan

110
sekunder tua yang berumur antara 50 – 60 tahun mendominasi kawasan
TWA Pangandaran. Selebihnya adalah sisa-sisa hutan primer yang tidak
luas dan terpencar letaknya, serta sedikit hutan pantai.
Pohon-pohon di hutan sekunder tua di dalam kawasan TWA Pangandaran
memiliki ketinggian rata-rata antara 25 – 35 m,
dengan jenis-jenis yang dominan diantaranya
Laban (Vitex pubescens). Ki segel (Dillenia
excelsa) dan marong (Cratoxylon formosum),
juga terdapat beberapa jenis pohon
peninggalan hutan primer seperti Pohpohan
(Buchania arborescens), Kondang (Ficus
variegata), dan Benda (Disoxyllum
caulostachyllum). Pohon-pohon tersebut
umumnya ditandai oleh tumbuhnya jenis
tumbuhan liana dan epifit.
Hutan pantai hanya terdapat di bagian timur dan barat kawasan. Ditumbuhi
pohon formasi Barringtonia, seperti Butun (Barringtonia aseatica), Ketapang
(Terminalia catappa), Nyamplung (Callophyllum inophyllum) dan Waru Laut
(Hibiscus tiliaceus).

Dengan berbagai ragam floranya, kawasan  taman wisata alam Pangandaran


merupakan habitat yang cocok bagi kehidupan satwa-satwa liar. Jenis satwa
liar yang dapat dijumpai pada kawasan ini antara lain : Tando ( Monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristata), kalong (Pteropus

111
campyrus), Banteng (Bos sondaicus), Rusa (Cervus timorensis), kancil
(Tragulus javanica), dan landak (Hystrix javanica). Sedangkan jenis-jenis
burung yang dapat dijumpai antara lain burung Canghegar (gallus varius),
Tlungtumpuk (Magalaema javensis), Cipeuw (Aegitina tiphia), Larwo
(Copsychus malaharicus) dan jogjog (Pycnonotus plumosus).
Jenis Amphibi yang dapat ditemui diantaranya adalah Katak pohon
(Rhacopnorus leucomistak), Katak buduk (Bufo melanostictus), dan Bancet
(Rana limnocharis). Sedangkan jenis Reptilia yang dapat ditemui diantaranya
adalah Biawak (Dracopolon sp), tokek (Gecko gecko) dan beberapa jenis
ular, antara lain Ular pucuk (Dryopsis prasinus).

3.2.1 Potensi Wisata

Selain obyek wisata berupa hutan alam maupun tanaman, daya tarik yang
lain adalah pantai pasir putih, goa alam dan peninggalan sejarah serta Batu
Kalde. Berikut uraian dari masing-masing obyek wisata alam tersebut.

a.   Gua Keramat atau Gua Parat

Menurut cerita gua ini dahulunya merupakan untuk bertapa dan bersemedi
oleh beberapa Pangeran dari Mesir yaitu Pengeran Kesepuluh (Syech
Ahmad), Pangeran Kanoman (Syech Muhammad), Pangeran Maja Agung
dan Pangeran Raja Sumenda Pangeran Maja Agung mempunyai istri empat
yang salah satu istrinya bernama Dewi Cimilar Putri Jin, mempunyai seorang
Putri bernama Dewi Ranggasmara.
Pangeran Batara Sumenda adalah kakak dari Pangeran Maja Agung. Pada
suatu hari Pangeran Maja Agung memanggil kedua putranya Pangeran
Ahmad dan Pangeran Muhammad untuk memberikan tugas untuk
mengislamkan daerah Ciamis Selatan.
Pangeran Maja Agung percaya bahwa kedua anaknya dapat menjalankan
tugasnya karena mereka mempunyai kesaktian dari sepuluh jimat yang
disebut Konco Kaliman.
Adik tirinya yang bernama Dewi Ranggasmara pernah meracuni kedua

112
kakaknya karena menginginkan jimat, akan tetapi perbuatannya segera
diketahui. Sebagai pembalasannya kakaknya hendak memperkosa adiknya
tetapi hal itu tidak sempat dilakukan karena sempat diketahui oleh
penakawannya. Pada hari yang telah ditentukan Pangeran Ahmad dan
Muhammad pergi untuk menjalankan tugasnya akan tetapi Pangeran Maja
Agung tidak mendapat berita tentang putranya. Kemudian mengutus
kakaknya Pangeran Raja Sumenda untuk mencarinya.
Pangeran Raja Sumenda pergi sendirian dari Mesir, beliau mendengar suara
yang memberitahukan bahwa kedua keponakannya ada dalam sebuah gua.
Setelah ketemu kemudian melapor kepada Raja Maja Agung, tidak lama
kemudian beliau menyusul dan bersama-sama bersemedi di gua ini yang
sekarang diberi nama Gua Keramat.
Didalam gua ini terdapat dua kuburan yang bukan sebenarnya, hanya
sebagai tanda saja bahwa ditempat inilah syech Ahmad dan Muhamad
menghilang (tilem).

b.       Gua panggung

Menurut cerita yang berdiam di gua ini adalah Embah Jaga Lautan atau
dibesutpula Kiai Pancing Benar. Beliau merupakan anak angkat dari Dewi
Loro Kidul dan ibunya menugaskan untuk menjaga lautan di daerah Jawa
Barat pada khususnya dan menjaga pantai Indonesia pada umumnya oleh
karena itu beliau disebut Embah Jaga Lautan.
Sebenarnya Embah Jaga Lautan ini berasal dari Mesir yang ditugaskan untuk
menyiarkan agama Islam. Beliau mempunyai isteri 7 orang yang setiap
malam beliau bergiliran menengok salah satu ketujuh isterinya. Ketujuh
isterinya itu selalu bertengkar satu sama lain. Pada satu hari isterinya yang
ketujuh tidak sempat ditengok karena beliau pergi memancing. Pancing yang
digunakann tidak berbentuk melingkar  akan tetapi lurus dan ikan yang
didapatnya disebut ikan Topel karena ikan tersebut menempel pada
pancingnya. Setelah beliau mempunyai ikan Topel tersebut ketujuh isterinya
kemudian rukun bersama, maka oleh karena itu beliau disebut juga Kiai

113
Pancing Benar dan sampai sekarang masih banyak orang yang menangkap
ikan tersebut karena masih percaya akan khasiatnya.
Disebut Panggung karena didalam gua ini terdapat tempat seperti panggung
yang dipakai untuk sembahyang para wali atau orang-orang yang akan naik
haji ke Mekkah.

 c. Gua Lanang

Menurut cerita gua ini dulunya merupakan Keraton yang pertama Kerajaan
Galuh, sedangkan Keraton yang kedua terdapat di Karang Kamuyaan Ciamis.
Raja Galuh ini laki-laki (Lanang)  yang sedang berkelana.

d. Batu Kalde atau Sapi Gumarang

Ditempat ini menurut cerita tinggal seorang sakti yang dapat menjelma
menjadi seekor sapi yang gagah berani dan sakti.
Sapi Gumarang adalah nakhoda kapal, pada suatu hari Sapi Gumarang ini
diutus untuk membeli padi kedaerah Galuh, akan tetapi tidak berhasil sebab
Raja Galuh tidak mengijinkan berhubungan persediaan padi untuk daerah itu
sendiri belum mencukupi.
Nakhoda kapal sangat marah mendengar hal itu kemudian dia mengutus 
Sapi Gumarang untuk merusak seluruh Galuh dan sekitarnya. Sapi
Gumarang dapat menjalankan tugasnya dengan baik terbukti seluruh padi
baik yang berada di lumbung dan disawah terkena hama. Raja Galuh sangat
terkejut dengan keadaan ini dan beliau yakinhal ini pasti dilakukan oleh
utusan Nakhoda, kemudian beliau menyusun putra angkatnya Sulanjana
untuk mencari Sapi Gumarang dan harus mempertanggung jawabkan
perbuatannya dan akan membantu Kerajaan Galuh apabila terserang hama.

e. Rengganis
Cerita ini berawal dengan adanya sebuah pemandian berupa sungai
kepunyaan seorang Raja bernama Raja Mantri. Pada suatu hari Raja
Mantri pergi melihat-lihat pemandiannya, kebetulan waktu itu Dewi

114
Rengganis dan para Inangnya sedang mandi.
Dewi Rengganis adalah putri dari kayangan, karena terdorong oleh
perasaan hatinya kemudian Raja Matri mengambil pakaian Dewi
Rengganis. Alangkah terkejutnya sang Dewi karena pakaiannya sudah
tidak ada pada tempatnya, Inangnya disuruh untuk mencarinya akan
tetapi tidak berhasil. Karena kesalnya Dewi Rengganis kemudian
berkata barang siapa menemukan bajunya maka akan dijadikan
saudara bila perempuan dan bila laki-laki akan dijadikan suami.
Semua perkataan Dewi terdengan oleh Raden Mantri kemudian dia
keluar dari persembunyiannya. Untuk menepati janji, Dewi Rengganis
bersedia menjadi istri Raden Raja Mantri.
Setelah menikah kemudian pemandian ini diserahkan kepada Dewi
Rengganis. Sejak itu pemandian itu dinamakan Cirengganis dan sampai
sekarang banyak orang yang masih percaya akan khasiat apabila mandi
disana.

3.2.2 Sarana dan prasarana:


Sarana dan prasarana telah tersedia di TWA Pangandaran antara lain
berupa pintu gerbang, loket karcis, ruang informasi, shelter, jalan setapak,
tempat parkir dan pos jaga. 

3.2.3 Lokasi
Pantai Pangandaran terletak di Kecamatan Pangandaran, Kabupaten
Ciamis, Provinsi Jawa Barat, Indonesia.

3.2.4 Aksesibilitas

Dari Bandung, pengunjung dapat menggunakan rute Bandung –


Tasikmalaya – Pangandaran. Jaraknya sekitar 236 kilometer. Selain
dengan bus, pengunjung dapat naik kereta api sampai stasiun Banjar.
Dari Banjar, perjalanan dilanjutkan dengan naik bus sampai
Pangandaran.

115
Dari Yogyakarta, pengunjung dapat menggunakan rute Yogyakarta –
Cilacap – Banjar – Pangandaran. Jaraknya sekitar 385 kilometer.
Selain dengan bus, pengunjung dapat naik kereta api sampai stasiun
Banjar. Dari Banjar, perjalanan dilanjutkan dengan naik bus sampai
Pangandaran.

3.2.5 Akomodasi dan Fasilitas

Di kawasan wisata Pantai Pangandaran terdapat berbagai fasilitas


penunjang, seperti areal parkir yang luas dan aman, hotel dan wisma
dengan berbagai tipe, tim SAR, pondok wisata, bumi perkemahan,
pramu wisata, dan pusat informasi pariwisata.

Di samping itu , di kawasan tersebut terdapat fasilitas lainnya, seperti


bank, ATM, money changer, restoran, warung makan, gedung
bioskop, diskotik, tempat penyewaan sepeda dan ban, jet ski, kantor
pos, wartel, voucher isi ulang pulsa, para sailing, serta sentra oleh-
oleh dan outlet cinderamata.

3.2.6 Obyek Wisata Pantai

Objek wisata yang merupakan primadona pantai di Jawa Barat ini terletak di
Desa Pananjung Kecamatan Pangandaran dengan jarak ± 92 km arah selatan kota
Ciamis, memiliki berbagai keistimewaan seperti:

1) Dapat melihat terbit dan tenggelamnya matahari dari satu tempat yang sama
2) Pantainya landai dengan air yang jernih serta jarak antara pasang dan surut
relatiflama    sehingga memungkinkan kita untuk berenang dengan aman
3) Terdapat pantai dengan hamparan pasir putih
4) Tersedia tim penyelamat wisata pantai,
5) Jalan lingkungan yang beraspal mulus dengan    penerangan jalan yang memadai
6) Terdapat taman laut dengan ikan-ikan dan kehidupan laut yang mempesona.

Dengan adanya faktok-faktor penunjang tadi, maka wisatawan yang datang di

116
Pangandaran dapat melakukan kegiatan yang beraneka ragam: berenang,
berperahu pesiar, memancing, keliling dengan sepeda, para sailing, jet ski dan
lain-lain.
Adapun acara tradisional yang terdapat di sini adalah Hajat Laut, yaitu upacara
yang dilakukan nelayan di Pangandaran sebagai perwujudan rasa terima kasih
mereka terhadap kemurahan Tuhan YME dengan cara melarung sesajen ke
laut lepas. Acara ini biasa dilaksanakan pada tiap-tiap bulan Muharam, dengan
mengambil tempat di Pantai Timur Pangandaran.
Event   pariwisata bertaraf internasional yang selalu dilaksanakan di sini adalah
Festival Layang-layang Internasional (Pangandaran International Kite Festival)
dengan berbagai kegiatan pendukungnya yang bisa kita saksikan pada tiap
bulan Juni atau Juli.

3.3 PULAU KARIMUNJAWA, TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA


KABUPATEN JEPARA

Kepulauan Karimunjawa yang terletak di sebelah utara kota


Semarang dengan jarak 65 mil adalah merupakan 27 gugusan pulau kecil
dengan luas daratan 7.120 ha. Kebijakan nasional telah menetapkan 22
pulau diantaranya yang berfungsi sebagai Taman Nasional Laut dengan
luas perairan 111.625 ha (Istanto, 1998) . Dalam skala nasional, regional
dan lokal; kawasan Karimunjawa juga berfungsi dan berperan sebagai
daerah tujuan wisata andalan, mengingat potensi sumberdaya alam dan
lingkungannya yang relatif masih bagus jika dibandingkan dengan tempat
serupa di pulau Jawa, Kepulauan Seribu (Dutton et al, 1993). Sumberdaya
alam yang ada terdiri dari, ekosistim bahari yang meliputi sumberdaya
terumbu karang dengan ikan hiasnya, rumput laut dan padang lamun, hutan
mangrove; dan ekosistim daratan yang berupa hutan tropis dataran rendah
dan hutan pantai. Keanekaragaman sumberdaya alam yang ada dapat

117
dikembangkan untuk berbagai kegiatan agar dapat meningkatkan
kesejahteraan penduduk setempat. Sebagian besar kegiatan yang
dilakukan di kepulauan ini masih bersifat tradisional, bahkan tak jarang
masih ditemukan kegiatan yang merusak kelestarian sumberdaya alam,
misalnya kegiatan penambangan karang, penangkapan ikan dengan
sianida dan bom, serta kegiatan pembukaan hutan mangrove untuk tambak
(Sya’rani, 1987 dan Supriharyono, 2000).
 Pada tahun 1988 Karimunjawa diumumkan sebagai kawasan Taman
Nasional Laut dengan tujuan untuk melindungi dan memanfaatkan
sumberdaya yang ada secara lestari. Pada tanggal 23 Januari 1998 secara
resmi Balai Taman Nasional Karimunjawa mulai beroperasi untuk
mengelola kawasan tersebut. Akan tetapi banyak ditemui permasalahan
dalam pengelolaannya, baik masalah internal maupun eksternal.
Permasalahan internal menyangkut dana, sarana dan prasarana
pengelolaan, jumlah dan kualifikasi petugas lapangan, serta tidak
tersedianya data potensi sumberdaya alamnya. Sedangkan permasalahan
eksternal, menyangkut kurangnya pemahaman dan dukungan dari instansi
teknis terkait serta kurangnya dukungan dan keterlibatan masyarakat
setempat terhadap usaha konservasi (Istanto, 1998 dan Rao, 1998). Hal ini
disebabkan karena adanya beberapa kendala dan permasalahan yang
meliputi kewenangan pengelolaan, fasilitas dan aksesibilitas, kemampuan
sumberdaya manusia, penerapan iptek, pendanaan dan keterpaduan
dukungan program sektoral.
Penetapan kawasan sebagai Taman Nasional Laut (TNL) merupakan aset
yang sangat berharga bagi kelestarian sumberdaya alam dan ekosistem
alami serta plasma nuftah sehingga dapat digunakan untuk pengembangan
iptek, sebagai tempat kegiatan pariwisata dan berfungsi dalam menjaga
keseimbangan lingkungan.

 Perencanaan pembangunan suatu kepulauan merupakan masalah yang


sangat spesifik, karena sebagian besar masyarakat di kepulauan kecil
memiliki tingkat pendapatan dan derajat kesejahteraan yang rendah.

118
Kemiskinan dan ketidak-berdayaan tersebut akan merupakan ancaman
utama bagi mereka untuk turut serta dalam pengelolaan wilayah kepulauan
secara berkelanjutan. Dengan demikian kita harus memberikan perhatian
yang lebih besar dalam merumuskan berbagai pendekatan pembangunan
kepulauan kecil tersebut demi menjaga kelestarian.

Sejak ditetapkannya Kawasan Kepulauan Karimunjawa menjadi


Taman Nasional tanggal 29 Pebruari 1988, kawasan daratan dan lautan
Kepulauan Karimunjawa difungsikan berdasarkan zonasi dan dimanfaatkan
untuk menunjang konservasi alam, pariwisata, penelitian, serta pendidikan.
Bahkan menurut Budiharjo (1998: 3), Karimunjawa berpotensi besar untuk
dikembangkan sebagai kawasan ekowisata yang handal di Jawa Tengah.
Pengembangan ekowisata di Taman Nasional Karimunjawa adalah suatu
upaya positif dalam rangka pengembangan wilayah dan kesejahteraan
masyarakat.

Taman Nasional Karimunjawa terdiri atas duapuluh tujuh pulau besar


maupun kecil, pulau Karimunjawa merupakan pulau terbesar serta menjadi
pulau utama di Kawasan Taman Nasional Karimunjawa. Berdasarkan Surat
keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Nomor 79/IV/Set-3/2005 tentang Revisi Zonasi/Mintakat Taman Nasional
Karimunjawa menetapkan Pulau Karimunjawa seluas 4.301,5 Ha ini, memiliki
fungsi di daratan sebagai zona inti perlindungan pada hutan tropis dataran
rendah dan hutan mangrove, zona permukiman, zona rehabilitasi di sebelah
barat Pulau Karimunjawa, dan zona budidaya. Fungsi perairan di sekitar
Pulau Karimunjawa adalah sebagai zona inti pada perairan Tanjung Bomang
dan zona pemanfaatan perikanan tradisional. Aktivitas daratan maupun
perairan cukup tinggi dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya di Kepulauan
Karimunjawa. Perairan Karimunjawa dilalui kapal-kapal penduduk yang pergi
dan pulang dari mencari ikan maupun kedatangan kapalkapal penumpang ke
Taman Nasional Karimunjawa. Kegiatan ekowisata dan fasilitas penunjang
juga banyak disediakan di pulau ini, seperti perdagangan dan jasa, tempat
penginapan, transportasi, perkantoran, dan pendidikan, sehingga aktivitas

119
yang dilakukan bukan hanya aktivitas ekowisata melainkan juga aktivitas
masyarakat lokal dan pendatang.

Aktivitas ekowisata yang dilakukan di Pulau Karimunjawa antara lain


penelitian; berenang, berjalan-jalan di Pantai Batu Putih (Nirwana), Pantai
Tanjung Gelam, dan di dermaga selatan; ziarah ke Makam Sunan
Nyamplungan; tracking dan camping di Legon Lele; tracking, melihat satwa,
dan hiking di jalur wisata Bukit Maming, Bukit Bendera, Bukit Gajah, dan
Sunan Nyamplungan; diving di sekitar Datuk Reef, Tanjung Gelam, Mymun
Reef, Tanjung Benteng; serta mengenal vegetasi di hutan mangrove.
Pengembangan ekowisata telah memberikan dampak langsung kepada
ekoturis, yaitu berupa hiburan dan pengetahuan, sedangkan dampak
langsung bagi alam adalah perolehan dana yang sebagian dapat difungsikan
untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya. Peningkatan
kesejahteraan masyarakat juga terjadi seiring meningkatnya jumlah ekoturis
yang datang. Apalagi saat ini Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dan
Kabupaten Jepara sedang gencar-gencarnya mempromosikan wisata
Karimunjawa yang tidak hanya ditujukan untuk skala nasional melainkan juga
internasional. Mata pencaharian masyarakat tidak hanya bergantung dari
melaut atau menjadi buruh tani, melainkan juga berpotensi untuk
dikembangkan dalam menyediakan tempat penginapan (homestay), menjual
souvenir, memandu wisata, serta menyewakan perahu.

Beragamnya aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal maupun


ekoturis juga memberikan dampak yang merugikan terhadap kelestarian
lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan oleh faktor alam maupun
manusia terjadi di Pulau Karimunjawa sebelah barat, utara, maupun selatan.
Kerusakan terumbu karang terjadi di sekitar Perairan Pulau Karimunjawa
sebelah selatan, dan berkurangnya populasi mangrove terjadi di sebelah
utara dan barat dari Pulau Karimunjawa. Namun, penurunan kualitas
lingkungan tidak terjadi di Pulau Karimunjawa.

120
Perahu nelayan di pelabuhan utama Karimun Jawa

Karimunjawa adalah kepulauan di Laut Jawa yang termasuk dalam


Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dengan luas daratan ±1.500 hektar dan
perairan ±110.000 hektar, Karimunjawa kini dikembangkan menjadi pesona
wisata Taman Laut yang mulai banyak digemari wisatawan lokal maupun
mancanegara.

Berdasarkan legenda yang beredar di kepulauan, Pulau Karimunjawa


ditemukan oleh Sunan Muria. Legenda itu berkisah tentang Sunan Muria
yang prihatin atas kenakalan putranya, Amir Hasan. Dengan maksud
mendidik, Sunan Muria kemudian memerintahkan putranya untuk pergi ke
sebuah pulau yang nampak "kremun-kremun" (kabur) dari puncak Gunung
Muria agar si anak dapat memperdalam dan mengembangkan ilmu
agamanya. Karena tampak "kremun-kremun" maka dinamakanlah pulau
tersebut Pulau Karimun.

3.3.1 Ekosistem

Sejak tanggal 15 Maret 2001, Karimunjawa ditetapkan oleh


pemerintah Jepara sebagai Taman Nasional. Karimunjawa adalah rumah

121
bagi terumbu karang, hutan bakau, hutan pantai, serta hampir 400 spesies
fauna laut, di antaranya 242 jenis ikan hias. Beberapa fauna langka yang
berhabitat disini adalah elang laut dada putih, penyu sisik, dan penyu hijau.

Tumbuhan yang menjadi ciri khas Taman Nasional Karimunjawa yaitu


dewadaru (Crystocalyx macrophyla) yang terdapat pada hutan hujan dataran
rendah.

Ombak di Karimunjawa tergolong rendah dan jinak, dibatasi oleh pantai yang
kebanyakan adalah pantai pasir putih halus.

3.3.2 Geografis

Karimunjawa terletak di Laut Utara, utara Jepara, Jawa Tengah. Kepulauan


ini terdiri dari 27 pulau:

 Yang berpenghuni:
o Karimunjawa
o Kemujan
o Nyamuk
o Parang
o Genting
 Yang tidak berpenghuni:
o Menjangan Besar
o Menjangan Kecil
o Cemara Besar
o Cemara Kecil
o Geleyang (30 ha)
o Burung
o Bengkoang (92 ha)
o Kembar (11,2 ha)
o Katang (2,8 ha)

122
o Krakal Besar (2,8 ha)
o Krakal Kecil (2,8 ha)
o Sintok
o Mrican
o Tengah
o Pinggir
o Cilik
o Gundul
o Seruni
o Tambangan
o Cendekian
o Kumbang (8,8 ha)
o Mencawakan (atau Menyawakan).

3.3.3 Penduduk

Karimunjawa berpenduduk lebih dari 8.000 jiwa di lima pulau yang


berpenghuni. Tiga suku utama yang menghuni Karimunjawa adalah suku
Jawa yang bertani dan memproduksi alat kebutuhan rumah tangga, suku
Bugis yang adalah pelaut andal sehingga berprofesi sebagai nelayan, dan
suku Madura yang juga berprofesi sebagai nelayan tetapi memiliki kelebihan
membuat ikan kering. Pendidikan di Karimunjawa sudah menjangkau sampai
tingkat SMU. Selain memiliki sekitar 10 SD (lima di Karimun, tiga di Kemujan
dan masing-masing satu di Parang dan Genting), Karimunjawa juga memiliki
satu SMP, Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan SMK Negeri jurusan Budidaya
Rumput Laut serta Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan yang merupakan
sekolah gratis, serta satu Madrasah Aliyah di Kemujan.

3.3.4 Transportasi

123
Transportasi paling umum digunakan untuk ke Karimunjawa adalah kapal
dari Semarang dan Jepara. Dari Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, kapal
Kartini I berangkat setiap Sabtu pukul 9 pagi ke Karimunjawa dan kembali
dari Karimunjawa setiap Minggu siang. Dari Pelabuhan Kartini, Jepara
terdapat Kapal Muria yang berangkat setiap Sabtu dan Rabu pukul 9 pagi.
Jalur udara dapat ditempuh dari Bandara Ahmad Yani, Semarang menuju
Bandar Udara Dewa Daru di Pulau Kemujan dengan pesawat sewa jenis
CASSA 212 yang disediakan oleh PT. Wisata Laut Nusa Permai (Kura-Kura
Resort). Waktu tempuh kurang lebih 30 menit.

3.3.5 Karimunjawa dan Desa Ekowisata Pantai


Selain Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimunjawa adalah salah satu
gugus kepulauan yang terletak di laut Jawa. Karimunjawa adalah sebuah
kecamatan di Kabupaten Jepara yang merupakan satu-satunya kecamatan di
Jawa Tengah yang dipisahkan oleh laut. Dari daratan Jawa, pulau terdekat
berjarak 45 mil arah barat laut dari kota Jepara. Karimunjawa merupakan
gugusan pulau-pulau kecil dengan total luas daratan dan lautan 111.625 Ha
yang berpenduduk lebih dari 8.800 jiwa.
Dari semua pulau di sini, sebagian besar penduduk tinggal di 5 pulau utama
yaitu Pulau Karimunjawa, Pulau Kemujan, Pulau Parang, Pulau Nyamuk, dan
Pulau Genting. Kepulauan Karimun dipengaruhi oleh angin laut yang bertiup
sepanjang tahun dengan suhu rata-rata 26-30 derajat Celcius. Menurut
legenda yang beredar di masyarakat setempat, Karimunjawa berasal dari
Kremun, sebuah kata dalam bahasa Jawa yang berarti samar-samar.
Karimunjawa yang memang terlihat samar-samar dari daratan Jawa ini sejak
1986 ini telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut.
Cagar Alam Karimunjawa diubah statusnya menjadi Taman Nasional
Karimunjawa pada 1999. Sebagian besar Taman Nasional ini kemudian
ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan melalui Keputusan
Menhut No.74/Kpts-II/2001. Taman Nasional Karimunjawa sering dipakai
sebagai sarana penelitian tentang hal-hal yang berhubungan dengan
kelautan, misalnya pengelolaan kawasan dan kegiatan rekreasi pantai,

124
ekologi vegetasi hutan hujan tropik daerah pantai, vegetasi mangrove,
ekologi terumbu karang serta keanekaragaman biota lautnya.

Pesisir Pulau Menjangan Besar


Terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa terdiri dari beberapa
jenis yaitu terumbu karang tepi pantai (fringing reef), terumbu karang
penghalang (barrier reef) dan beberapa taka (patch reef). Kekayaan biota
lautnya terdiri lebih dari 90 jenis karang keras dan 242 spesies ikan. Dua
jenis biota karang utama yang dilindungi yaitu akar bahar (Antiphates spp.)
dan karang merah (Tubipora musica). Biota laut dilindungi yang lain adalah
kepala kambing (Cassis cornuta), triton terompet (Charonia tritonis), nautilus
berongga (Nautilus pompillius), batu laga (Turbo marmoratus), dan 6 jenis
kima.
Selain terumbu karang dan hutan mangrove, wilayah pantai Kepulauan
Karimun dipercantik pula dengan hamparan padang lamun yang luas. Di
daratan, kawasan hutan juga menyimpan kekayaan berupa burung dan
mamalia yang dilindungi. Terdapat populasi rusa dan monyet ekor panjang
yang mendiami kepulauan ini. Sementara itu, burung elang laut dada putih
yang merupakan spesies elang langka mendiami pulau Burung dan pulau
Geleang sebagai habitat aslinya. Kedua pulau tersebut juga didiami 2
spesies penyu yang dilindungi, penyu sisik dan penyu hijau.

Untuk mendukung usaha pemerintah dalam melestarikan ekosistem


kepulauan serta meningkatkan standar perekonomian penduduk setempat,

125
Kecamatan Karimunjawa telah dikembangkan sebagai Desa Wisata dengan
konsep ekowisata. Dengan mengandalkan kekayaan alam, Karimunjawa
mengajak semua lapisan penduduk untuk melestarikan berbagai potensi
yang ada. Selain itu, penduduk juga bisa meningkatkan penghasilan dengan
membuka home stay, menjual cinderamata, membuka warung, atau
menyediakan berbagai fasilitas bagi wisatawan yang berkunjung ke sana.
Berbagai kegiatan rekreasi bisa dilakukan selama berlibur di Kepulauan
Karimunjawa yang memiliki pesona alam bawah lautnya menyediakan
tempat untuk petualangan menyelam dan snorkelling. Karena berada di laut
jawa yang relatif tenang, banyak titik yang bisa dipakai sebagai tempat
penyelaman dan snorkeling, antara lain pantai-pantai di pulau Menjangan
Besar, Menjangan Kecil, Geleang, Bengkoang, Parang, Kembar, Katang,
Krakal Kecil, dan pulau Kumbang.
Selain itu, kegiatan petualangan laut yang lain adalah menjelajah laut
dan melihat akuarium laut. Bagi yang takut menyelam, Karimunjawa
menyediakan perahu yang bagian bawahnya terbuat dari kaca tembus
pandang (glass bottom boat) yang disewakan pada pengunjung. Adanya
bagian tembus pandang memungkinkan penumpang menikmati
pemandangan dasar pantai tanpa harus menyelam. Pulau Menjangan Besar
menyediakan fasilitas akuarium air laut. Pengunjung dapat menikmati
keindahan berbagai spesies ikan hias di akuarium yang dibuat mirip dengan
dasar laut yang sesungguhnya.
Di daratan pengunjung bisa melakukan hiking menyusuri Gunung
Gendero (600m), puncak tertinggi di Pulau Karimun dan di seluruh
Kepulauan Karimunjawa. Untuk petualangan melihat satwa liar, pengunjung
memerlukan ijin khusus dari pihak-pihak terkait untuk masuk ke Pulau
Burung dan Pulau Geleang yang merupakan habitat asli elang laut.
Sebagai Desa wisata, Karimunjawa telah dilengkapi oleh berbagai
sarana penunjang yang memadai. Pengunjung bisa mendatangi langsung
Pusat Kerajinan Al Badri di desa Legon Cikmas dan Labiki di jalan Kapuran,
pulau Karimunjawa untuk mendapatkan kerajinan kayu yang menjadi suvenir
andalan Karimunjawa. Selain hasil kerajinan kayu, suvenir lain yang

126
ditawarkan umumnya berupa hasil industri rumah tangga seperti kaus, topi,
ikan teri, ikan asin, jenang, makanan olahan dari rumput laut, dan minyak
kelapa.
Kepulauan Karimunjawa telah memiliki sarana akomodasi yang sangat
memadai. Sarana akomodasi yang umumnya berupa pondok tinggal (home
stay) milik perorangan, wisma, pondok apung, sampai hotel tersebar di pulau
Karimunjawa, pulau Menjangan Besar, pulau Tengah, dan pulau
Menyawakan. Ada sekitar 40 penginapan dan home stay yang tersebar di
pulau-pulau tersebut dan tiap-tiap penginapan tersebut telah dilengkapi
dengan telepon. Tarifnya penginapan-penginapan tersebut berkisar antara
Rp 60.000,00 sampai Rp 300.000,00 per malam.
Kepulauan Karimunjawa dapat dicapai dari Semarang lewat pelabuhan
Tanjung Mas, dan dari Jepara lewat pelabuhan Kartini. Dari Tanjung Mas
Semarang, Kapal Motor Cepat (KMC) Kartini I, berangkat setiap Sabtu, pukul
9.00 dan Senin, pukul 7.00. Kapal yang sama juga melayani rute pelabuhan
Kartini Jepara-Karimunjawa setiap Senin, pukul 10.00. Kapal Motor Muria
yang melayani rute Jepara-Karimun berangkat setiap Sabtu dan Rabu, pukul
9.00.
Dari Kepulauan Karimun, Kartini I berangkat tiap Minggu, pukul 14.00
dan Selasa, pukul 9.00. KMP Muria berangkat tiap Senin dan Kamis pukul
09.00. Untuk angkutan antar pulau, tersedia sarana berupa kapal motor yang
harganya tergantung jarak tempuh atau lama pemakaian. Karimun juga bisa
diakses melalui jalur udara dengan pesawat jenis CASSA 212 yang
berangkat dari Bandara Ahmad Yani, Semarang menuju lapangan udara
Dewadaru di Pulau Karimunjawa. (Roberto J. Setyabudi)

3.3.6 Lestari dengan Konsep Ekowisata

Karimunjawa satu-satunya kecamatan di Jawa Tengah yang dipisahkan


oleh laut. total luas daratan dan lautannya 111.625 Ha, dengan populasi
sekitar 8.800 jiwa. Sejak 1986 Karimunjawa ditetapkan sebagai kawasan
Cagar Alam Laut dan kemudian ditingkatkan lagi statusnya menjadi Taman

127
Nasional Karimunjawa pada 1999. Sebagian besar Taman Nasional ini
kemudian ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam Perairan melalui
Keputusan Menhut No.74 tahun 2001.

Terumbu karang di Taman Nasional Karimunjawa terdiri dari terumbu


karang tepi pantai (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef)
dan beberapa taka (patch reef). Ada 90 jenis karang keras dan 242 spesies
ikan penghuni bawah air. Dua jenis biota karang utama yang dilindungi yaitu
akar bahar (Antiphates spp.) dan karang merah (Tubipora musica). Biota laut
lain yang dilindungi adalah kepala kambing (Cassis cornuta), triton terompet
(Charonia tritonis), nautilus berongga (Nautilus pompillius), batu laga (Turbo
marmoratus), dan 6 jenis kima. Wilayah pantai Kepulauan Karimun
dipercantik pula dengan hamparan padang lamun yang luas. Terdapat
populasi rusa dan monyet ekor panjang yang mendiami kepulauan ini.
Burung elang laut dada putih yang merupakan spesies elang langka
mendiami pulau Burung dan pulau Geleang. Kedua pulau tersebut juga
didiami dua spesies penyu yang dilindungi, penyu sisik dan penyu hijau.
Karimunjawa telah dikembangkan dengan konsep ekowisata. Dengan
mengandalkan kekayaan alam, penduduk diajak melestarikan alam.
Kepulauan ini dihuni oleh suku Jawa, Madura dan Bugis. Sebagian
penduduknya selain menjadi nelayan juga mengembangkan beberapa jenis
kerajinan hasil dari alam sekitar. Hasil kerajinan tersebut dapat dijadikan
cindera mata seperti kerajinan mutiara, kerajinan dari kayu dewandaru dan
stigi tongkat, keris, replika kapal, dan lainnya. Di sana juga dapat dijumpai
keahlian masyarakat Bugis membuat kapal. N Alfred

3.3.7 Keterkaitan Lingkungan Bahari dan Ekowisata

Perusakan terhadap sumber daya alam atau lingkungan alam oleh


manusia di Indonesia salah satunya akibatk dari keterbatasan kemampuan
dalam mengelola sumber daya alam tersebut secara seimbang.

128
3.3.8 Wisata Bahari

Hampir semua pulau di kawasan Karimunjawa memiliki pemandangan


darat dan bawah air yang indah dan menakjubkan. Berbagai aktivitas yang
bisa dilakukan meliputi scuba diving, snorkeling, trekking, biking dan fishing.
Pantai di kepulauan Karimunjawa juga merupakan hamparan pasir putih
yang indah. Kegiatan wisata seperti memancing, hiking, berkemah, wisata
sepeda air, selancar angin.

Pemandangan Pasir Putih di Pulau Menjangan Besar

Namun demikian, ekosistem Taman Nasional Laut Karimunjawa


mengalami kerusakan pada yaitu kerusakan terumbu karang dipicu oleh
penggunaan racun (potasium sianida) dalam penangkapan ikan karang dan
lobster hidup. Di samping juga penggunaan kompresor, rawai, pukat insang

129
dan pembongkaran karang yang memperparah kerusakan terumbu karang.
Kondisi ini juga menyebabkan dampak sosial berupa berkurangnya
pendapatan nelayan tradisional yang hanya menggunakan pancing dan alat
tangkap yang sederhana lainnya.

Kerusakan Terumbu karang di Pulau Menjangan Kecil

Dengan kerusakan terumbu karang tersebut, jika orang ingin melihat


pesona Karimunjawa harus melakukan penyelaman lebih dari 20 meter.
Sebelumnya kedalaman penyelaman hanya 5 sampai 10 meter. Menurut
Puspa Dewi Liman (mantan Kepala Balai TNL) Karimunjawa sebagaimana
dikutip Harian Kompas (14 Maret 2003), bahwa kerusakan terumbu karang
telah mencapai separoh dari populasi yang ada. Luas perairan TNL
Karimunjawa 110 117,30 hektare, sedang luas tutupan terumbu karang
mencapai 20% atau 22.023 hektare. Dari luasan tutupan tersebut sekitar
11.011 hektare dalam kondisi rusak.

Perambahan di Cagar Alam sebagaimana dikutip dari Harian Kompas


(22 Mei 2003), bahwa patok-patok pembatas kawasan cagar alam di
Kepulauan Karimunjawa bergeser kearah dalam sejauh sekitar 60 meter.
Pergeseran patok pembatas ini diduga dilakukan oleh penduduk lokal,
setelah mereka membabati hutan bakau seluas 10,59 hektare untuk
dipergunakan sebagai tambak udang dan bandeng. Luasan kerusakan hutan
mangrove mencapai 10 hektare. Budidaya tambak-tambak tersebut
ditemukan tidak berhasil, namun demikian tidak dilakukan penanaman

130
kembali. Diberitakan juga bahwa 22 keluarga penduduk setempat mengklaim
tanah mereka seluas 12 hektare berada di wilayah cagar alam. Kerusakan
hutan bakau menyebabkan hilangnya tempat berkembang biak udang dan
ikan. Disamping itu fungsi sebagai penahan abrasi juga hilang.

Menurut Puspa Dewi Liman dalam sebuah Loka Karya tentang Kajian
Zonasi di TNLK bahwa diantara lima pulau di Kepulauan Karimunjawa yang
tidak bisa dikelola yaitu pulau Gundul, Genting, Cendekiyan, Seruni dan
Sambangan, tiga di antaranya telah dimiliki oleh pihak swasta. Yang
dikawatirkan adalah bahwa setelah dimiliki oleh swasta, pengembangnya
lebih ke arah bisnis tanpa memperhatikan pelestarian lingkungan.

LSM dan Polda juga menemukan adanya penangkapan kima pasir


sebanyak 54 ekor dan penyu sisik 3 ekor. Di samping karena faktor alam,
juga akibat ulah manusia yakni pengambilan telur untuk dijualbelikan. Daging
penyu dijual dijadikan lauk dan obat-obatan. Saat mengunjungi Pulau
Sembangan, Tim menemukan budidaya karang yang rusak sebanyak satu
keranjang.

Hal-hal lain yang perlu diperhatikan, budidaya terumbu karang oleh


Pura Group Kudus (PGK) di Pulau Sambangan. Budidaya ini dilakukan
dengan cara mengambil bibit dari laut terdekat lalu diangkat ke darat dan
dibudidayakan di tangki pembibitan. 20% hasil pembibitan dikembalikan ke
habitatnya untuk pelestarian dan perbaikan terumbu karang. Sedang sisanya
diekspor ke Eropa dan Amerika Serikat. Issu yang muncul datang dari pakar
dan LSM. Pertama, rekomendasi Pemerintah Kabupaten Jepara harus jelas
peruntukannya dan harus ada mekanisme pengawasannya. Kedua kalangan
LSM meragukan perhitungan pembudidayaan terumbu karang yang
diprediksikan dapat berjalan dengan cepat.

Dari uraian itu dapat disimpulkan bahwa potensi dan keunikan


Karimunjawa merupakan kekayaan yang tidak ternilai harganya. Pihak-pihak
terkait seperti Pemerintah Daerah, Balai Taman Nasional Laut, pengusaha,
masyarakat, pelaku wisata, LSM, seyogianya duduk bersama mendiskusikan

131
tentang masa depan Karimunjawa yang merupakan aset dan gantungan
hidup bersama. Dalam diskusi, dibedah tentang fakta kerusakan dengan
faktor-faktor penyebabnya, kemudian masing-masing sepakat siapa
melakukan apa. Forum yang demikian ini merupakan cermin dari
desentralisasi yang demokratis.

Masing-masing pihak juga sepakat untuk mengawal dan memantau


kesepakatan. Dalam forum Karimunjawa, diketengahkan juga berbagai
peraturan yagn ada misalnya tentang hutan lindung, sepadan pantai,
berbagai Perda tentang lingkungan. Dengan kata lain, diskusi yang demikian
ini untuk menyusun secara strategis dan rencana operasional yang kemudian
menjadi dokumen acuan dalam pengelolaan Karimunjawa.

Melihat potensi Karimunjawa, tipe pariwisata yang agaknya tepat


dikembangkan adalah ekowisata atau ecotourism. Ekowisata merupakan
kebalikan dari mass tourism (atau wisata massa). Ekowisata menghendaki
adanya apresiasi pengunjung terhadap objek wisata yang dikunjungi dan
turut memelihara.

BAB IV

132
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Daerah tujuan wisata dalam pendekatan pembangunan yang ditetapkan


Pemerintah, baik dalam konteks pembangunan kewilayahan maupun sektor
kepariwisataan telah metetapkan beberapa unggulan. Bersamaan upaya
untuk memajukan pariwisata, maka gagasan untuk kesejahteraan
masyarakat melalui sektor kelautan, pertanian, dan kepariwistaan harus
diikuti upaya serta tindakan optimal. Dominasi kewenangan pemerintah
berupa aturan perpajakan yang normatif dan konvensional ataupun perilaku
lingkungan (terutama aparat pemerintah) yang menempatkan masyarakat
sebagai "objek pembangunan" akan mengundang permasalahan. Akan lebih
baik jika pemerintah memberikan peluang yang sebesar-besarnya, agar
dunia usaha dan masyarakat di Pangandaran mampu mengembangkan
dirinya dalam kaidah kewirausahaan yang cemerlang dan mendukung
kemandirian.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana metode ini


menggunakan paradigma alamiah dengan mengumpulkan informasi dan
mendalami fenomena untuk mengetahui latar penelitian, sedangkan untuk
dapat mendapatkan data informasi sesuai dengan penelitian ini dilakukan
wawancara mendalam kepada informan. Instrumen yang disiapkan meliputi
pointers pertanyaan, buku catatan, tape recorder, kamera, serta
perlengkapan penunjang lain

5.1 Metode Penentuan Informan

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik non
probabilitas secara purposive sampling, artinya tidak semua populasi
memiliki kesempatan untuk dijadikan sampel yang meliputi kepala pengelola,
tokoh adat, masyarakat.

Pengambilan sampel tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka


memiliki pemahaman yang luas tentang kondisi perkembangan yang ada di

133
lokasi. Sedangkan sampel yang digunakan untuk mengetahui profile, karak-
teristik dan pendapat wisatawan maupun masyarakat dengan menggunakan
teknik pengambilan sampel secara Accidental yaitu hanya wisatawan dan
masyarakat yang ditemui pada saat penelitian berlangsung yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini dan diharapkan dapat menjaring sebanyak 15
orang wisatawan dan 15 orang masyarakat yang berdomosili disekitar lokasi
penelitian serta beberapa pejabat daerah maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat. Daftar nama-nama Informan kunci adalah sebagai berikut:

Daftar Nama Informan/Respoden

Pekerjaan/
No Nama Informan
Jabatan
1

10

11

12

13

14

15

dst

134
3. Metode Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul kemudian akan diklasifikasi, diuraikan,


diorganisir secara sistematis kemudian diolah dengan metode deskriptif
menggunakan proses analisis data secara kualitatif sehingga diharapkan
dapat menghasilkan deskripsi mengenai fenomena yang berhubungan
dengan pola pengelolaan ekowisata berbasis komunitas yang lebih
mendalam. Data-data yang dianalisis berasal dari unsur-unsur
pengamatan hasil observasi dan wawancara yang berhubungan dengan
variabel dan indikator-indikator penelitian yaitu:

(1) Mekanisme pengelolaan atraksi ekowisata berbasis komunitas


meliputi:
a) Keragaman atraksi wisata;
b) kualitas dan keunikan daya tarik wisata;
c) frekuensi kunjungan wisatawan.
(2) Mekanisme pengelolaan fasilitas ekowisata berbasis komunitas,
meliputi:
1) Ketersediaan jenis fasilitas;
2) Kondisi dan kelengkapan fasilitas penunjang untuk kebutuhan wi-
satawan;
3) Kapasitas yang tersedia.
(3) Mekanisme pengelolaan aksesibilitas, meliputi;
a) Sarana transportasi;
b) sarana jalan;
c) kemudahan menjangkau.
(4) Mekanisme promosi ekowisata, meliputi:
a) Kemampuan SDM yang memadai;
b) bagaimana bentuk promosi yang digunakan;
c) Media yang digunakan dalam melakukan promosi;
d) Strategi promosi.

135
(5) Mekanisme kemitraan, dalam pengelolaan ekowisata berbasis
komunitas meliputi;
a) Bentuk kerja sama yang dibangun oleh semua pihak stakehol-
ders;
b) peranan atau tanggung jawab dari setiap pihak yang terlibat;
c) regulasi kelembagaan.
(6) Pemberdayaan masyarakat melalui ekowisata meliputi;
a) Program pemberdayaan masyarakat;
b) pihak yang menyelenggarakan pelatihan;
c) manfaat pelatihan bagi masyarakat;
d) pendampingan masyarakat;
e) peranan pihak dalam program pemberdayaan masyarakat;

Sikap dan Persepsi Masyarakat dan Wisatawan


Terhadap Pengelolaan Ekowisata

Jml
PERTANYAAN Jawaban Respon % Skala Bobot Skor
den

A. DEMOGRAFI
-
1. Jenis Kelamin Pria 6 60,0 0 -
Wanita 4 40,0 0 -

15 – 24 0 0,0 0

136
2. Umur Responden 25 – 34 6 60,0 0
35 – 44 0 0,0 0
45 – 54 3 30,0 0
55 – 64 1 10,0 0
+ 65 0 0,0 0

4. Status Responden Kawin 9 90,0 0


Tidak Kawin 1 10,0 0

B. ASPEK PELESTARIAN

 Sama sekali tidak 0


 Telah/belum melakukan  Sudah melakukan 0
pelestarian  Netral 2
 Tidak melakukan 5
 Sering melakukan 3

 Sama sekali tidak 0


 Telah/belum melakukan  Sudah melakukan 1
larangan penggunaan alat  Netral 2
ramah lingkungan  Tidak melakukan 5

 Sering melakukan 2

 Sama sekali tidak 0


 Telah/belum melakukan  Sudah melakukan 0
tindakan tegas melakukan  Netral 2
perusakan  Tidak melakukan 4

 Sering melakukan 4

Keterlibatan masyarakat
dalam pengelolaan/
pengembangan Ekowisata.
Manfaat ekonomi
ekowisata bagi masyarakat.
Kesesuaian atraksi
ekowisata dengan potensi
wilayah.
Kontribusi ekowisata
terhadap kelestarian bagi
lingkungan.

137
Ket : n = 100

138
1

DAFTAR PUSTAKA:
http://www.paketrupiah.com/artikel/karimunjawa,_desa_ekowisata_pantai.php
Tags: karimun jawa indah bengedith
infrastruktur dasar (Gunn 1994),
Promosi dan pemasaran (Seaton & Bennet 1996)
Judul .............kebijaksanan dan strategi kepariwisataan pemerintah (Jenkins,
1991)
Judul ............Elemen-elemen institusional seperti pendidikan, peraturan,
kebijakan investasi dan sumberdaya manusia (Inskeep, 1991).
Judul ………..mendidik semua stakeholder tentang peranan mereka masing-
masing dalam konservasi (Drumm & Moore, 2005).
1.5 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan
masalah yang dikaji dalam pola pengelolaan ekowisata berbasis komunitas di
kawasan pantai/pesisir.

4) Bagaimanakah mekanisme pemberdayaan masyarakat setempat dalam


upaya mengajak mereka mendukung proses konservasi biota laut
5) Bagaimanakah mekanisme dan proses pengembangan ekowisata
berbasis komunitas di kawasan pantai/pesisir;
6) Bagaimanakah mekanisme pemberdayaan masyarakat setempat dalam
mendukung upaya konservasi dalam lingkup pengembangan ekowisata
berbasis pelestarian habitat biota laut di kawasan pantai/pesisir.

1.6 Tujuan Penelitian


4) Menemukenali konservasi dan mekanisme pemanfaatan ekowisata
berbasis komunitas di kawasan pantai/pesisir sebagai tujuan dan atraksi
wisata, serta permasalahan yang timbul selama ini;

1
2

5) Menemukenali permasalahan dalam pelaksanaan pengembangan


ekowisata di kawasan pantai/pesisir dan upaya pelestarian,yang terkait
dengan pemberdayaan masyarakat.
6) Menemukenali mekanisme terkait pemberdayaan masyarakat sekitar,
untuk mendukung proses konservasi biota laut dan pengembangan
ekowisata berbasis pelestarian habitat biota laut di kawasan
pantai/pesisir.

1.7 Sasaran Penelitian


5) Terindentifikasinya aspek konservasi dan mekanisme pemanfaatan
ekowisata berbasis komunitas di kawasan pantai/pesisir sebagai tujuan
wisata dan atraksi wisata serta permasalahan yang timbul;
6) Teridentifikasnya upaya pemanfaatan dan pelestarian ekowisata terkait
pemberdayaan masyarakat di kawasan pantai/pesisir;
7) Teridentifikasinya mekanisme pemberdayaan masyarakat setempat
dalam mendukung konservasi untuk mengembangkan ekowisata
berbasis pelestarian biota lautkawasan pantai/pesisir.
8) Tersusunnya bahan untuk merumuskan kebijakan teknis sebagai arah
penyelenggaraan pariwisata berbasis komunitas di kawasan
pantai/pesisir yang mengacu pada upaya pelestarian, pemberdayaan
masyarakat dan sasaran yang efektif.

1.8 Hasil Yang Diharapkan:


Penelitian ini diharapkan akan menghasilkan dokumen rekomendasi
pengembangan ekowisata berbasis komunitas dan pelestarian sumberdaya laut,
antara lain meliputi:

4. Mengidentifikasi pengembangan objek wisata alam pesisir yang memiliki


daya tarik (1) keindahan alam, (2) Keindahan kehidupan bawah air (biota
laut), (3) Mengembangkan fasilitas wisata di pantai untuk wisata laut. (3)
Mengembangkan aktivitas budaya di kawasan pesisir.
5. Melakukan edukasi kepada masyarakat sekitar pesisir (nelayan dan warga
lainnya) untuk selalu memelihara kesimbangan ekosistem pesisir.

2
3

6. Meningkatkan kemampuan nelayan untuk membudidayakan ikan hias,


maupun biota laut, serta menangkap ikan yang dikonsumsi wisatawan.
Pengembangan ekowisata merupakan kegiatan yang perlu dilakukan
secara terus menerus untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam
upaya peningkatan kualitas lingkungan dan ekosistem di wilayah
pantai/pesisir di Indonesia.

Di dalam pengelolaan hutan mangrove tersebut dijumpai berbagai


permasalahan:
10) Terbatasnya data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mendukung kemanfaatan yang lestari, perlindungan dan rehabilitasi;
11) Belum jelasnya tata ruang wilayah pesisir dan tata guna mangrove yang
mengakibatkan banyak terjadi tumpang tindih kepentingan peruntukan
lahan dalam pemanfaatan hutan mangrove;
12) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang mantap dari perundang-
undangan yang telah ada sebagai dasar pengelolaan hutan mangrove
secara lestari;
13) Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove.

Ekotourism pada dasarnya adalah pola pengembangan kawasan yang


berorientasi pada keseimbangan antara alam dan manusia. Manusia
bisa memperoleh kepuasan menjelajahi alam, alam pun memperoleh
keuntungan dari kepedulian manusia. Proses konservasi tidak akan
berjalan secara baik apabila penduduk di kawasan tersebut masih terus
mengandalkan hidupnya pada hasil sumber daya alam yang ada
sehingga menjadi bentuk-bentuk eksploitasi alam.

3
4

Pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism) merupakan


suatu alat pembangunan masyarakat yang memperkuat kemampuan ma-
syarakat pesisir untuk mengelola sumber-sumber daya pariwisata sambil
memastikan keterlibatan mereka secara penuh. Dengan demikian karakter pa-
riwisata berbasis masyarakat adalah (1) bentuk pariwisata yang memberikan ke-
sempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam mana-
jemen dan pembangunan pariwisata; (2) jika masyarakat yang tidak terlibat lang-
sung dalam usaha-usaha pariwisata namun juga mendapat keuntungan; (3) me-
nuntut pemberdayaan secara politis dan demokratisasi serta distribusi keun-
tungan kepada kommunitas yang kurang beruntung di pesisir (Beeton, 2006
dalam Keliwar, 2008).
Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community-based tourism
development) memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus menjadi perhatian
pengembang pariwisata, yaitu :
(1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas
dalam industri pariwisata;
(2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek;
(3) mengembangkan kebanggaan komunitas;
(4) mengembangkan kualitas hidup komunitas;
(5) menjamin keberlanjutan lingkungan;
(6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal;
(7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya
pada komunitas;
(8) menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia;
(9) mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas
yang berperan dalam menentukan prosentase pendapatan
(pendistribusian pendapatan) dalam proyek yang ada di komunitas.
Sepuluh prinsip dasar tersebut harus menjadi tumpuan, arah, dan
prinsip dasar dari pembangunan pariwisata agar keberlanjutannya
terjamin (Suansri, 2003).

4
5

Tensie Whelan 1991 menggaris bawahi bahwa ekowisata adalah


suatu konsep inovatif yang mengkaitkan konsep konservasi
dengan pembangunan ekonomi setempat yang mampu
memberikan alternatif selain cara-cara yang bersifat eksploitatif.
Konsep ekowisata sendiri pada dasarnya menolak upaya-upaya
pemanfaatan sumber daya alam untuk maksud-maksud ekonomi
yang bersifat eksploitatif.

Sedangkan ekowisata berbasis masyarakat (community-based tourism)


merupakan salah satu bentuk ekowisata yang lebih spesifik dan sebagai alat un-
tuk mewujudkan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan, sama seperti
pariwisata berbasis masyarakat, dimana masyarakat lokal memiliki kontrol ter-
hadap pengembangan dan pengelolaan sehingga banyak memperoleh manfaat
baik secara ekonomi, pendidikan, sosial budaya, kesehatan maupun manfaat
terhadap konservasi lingkungan alam dari pengembangan ekowisata berbasis
masyarakat ini.

Hal-hal yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan ekowisata berbasis ko-


munitas adalah :
(6) kurangnya kerjasama antar pihak yang berkepentingan (stakeholders) dalam
pengelolaan ekowisata berbasis komunitas terutama menyangkut atraksi, fa-
silitas (amenitas), aksesibilitas dan promosi;
(7) regulasi yang masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah
tentang pengelolaan kawasan pantai/pesisir;
(8) kurangnya program pemberdayaan masyarakat tentang kepariwisataan;
(9) data dan informasi yang belum lengkap untuk pengelolaan kawasan
pantai/pesisir.

Permasalahan Pengelolaan Hutan Mangrove

5
6

Di dalam pengelolaan hutan mangrove tersebut dijumpai berbagai


permasalahan:
14) Terbatasnya data, informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
mendukung kemanfaatan yang lestari, perlindungan dan rehabilitasi;
15) Belum jelasnya tata ruang wilayah pesisir dan tata guna mangrove yang
mengakibatkan banyak terjadi tumpang tindih kepentingan peruntukan
lahan dalam pemanfaatan hutan mangrove;
16) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang mantap dari perundang-
undangan yang telah ada sebagai dasar pengelolaan hutan mangrove
secara lestari;
17) Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar hutan mangrove.

2.7 Prinsip prinsip Dasar Pengelolaan

Sumber : Wisata Melayu Lokasi : Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis

6
7

Anda mungkin juga menyukai