Masyarakat Madani

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 10

MASYARAKAT MADANI: AKTUALISASI PROFESIONALISME

COMMUNITY WORKERS DALAM MEWUJUDKAN MASYARAKAT YANG


BERKEADILAN
 

DR. EDI SUHARTO MSC

PENGANTAR

Ketika mahasiswa memberikan judul orasi ilmiah: “Aktualisasi Profesionalisme Community Workers
Dalam Mewujudkan Masyarakat Madani Yang Berkeadilan”. Ada dua kata yang langsung masuk ke
pusat kesadaran saya: yakni mengenai kata community workers dan kedua mengenai kata masyarakat
madani yang berkeadilan. Mengapa istilah community workers tidak dicarikan padanannya dalam
bahasa Indonesia? Mengapa istilah masyarakat madani harus disertai dengan kata “yang berkeadilan”? 

Saya mencoba memahami. Soal community workers, saya yakin, mahasiswa bukannya tidak mengetahui
terjemahan community workers yang secara harafiah bisa di-Indonesiakan menjadi para pekerja (sosial)
masyarakat. Namun saya juga tahu bahwa istilah pekerja sosial masyarakat telah mengalami erosi dan
degradasi makna. Saya yakin mahasiswa keberatan dengan istilah itu karena pekerja sosial masyarakat
bisa menunjuk pada para pekerja sosial volunteer sebagai kontraposisi dari pekerja sosial profesional.

Lantas bagaimana soal masyarakat madani yang berkeadilan? Apakah jika istilah “masyarakat
madani” tanpa tambahan kata sifat “yang berkeadilan” memiliki arti yang berbeda atau setidaknya tidak
sesuai dengan arti “masyarakat madani” yang sejati? Untuk soal ini saya mencoba menerka-nerka.
Mungkin mahasiswa tahu bahwa ternyata makna masyarakat madani bisa merosot menjadi sebuah
makna masyarakat lain yang tidak sejalan dengan visi dan misi civil society. Atau mungkin mahasiswa
ingin menunjukkan sebuah makna baru dari istilah masyarakat madani?

Yang ingin saya tunjukkan dari paparan di atas adalah bahwa memang masih banyak tantangan-
tantangan yang dihadapi oleh pekerja sosial, khususnya community workers, dalam mengaktualisasikan
jati dirinya. Apalagi tantangan-tantangan dalam kaitannya dengan tujuan profesionalismenya, yakni
mewujudkan masyarakat madani. Tantangan-tantangan tersebut masih belum beranjak dari persoalan
epistemologi. Dengan sedikit modifikasi pada judulnya, sebagian besar dari makalah ini ingin mencoba
menyingkap tirai itu. Kemudian akan mencoba mengusulkan sebuah pandangan baru, yang oleh Anthony
Gidden disebut sebagai “Jalan Ketiga”.

DUA PARADIGMA

 
Untuk memahami akar pengertian masyarakat madani ada baiknya, kita tengok secara sepintas dua
paradigma besar yang menjadi dasar perdebatan mengenai masyarakat madani, yaitu Demokrasi Sosial
Klasik dan Neoliberalisme (lihat Giddens, 2000: 8-17).

1. Demokrasi Sosial Klasik.

Demokrasi Sosial Klasik atau Demokrasi Sosial Gaya Lama memandang pasar bebas sebagai sesuatu
yang menghasilkan banyak dampak negatif. Faham ini percaya bahwa semua ini dapat diatasi lewat
intervensi negara terhadap pasar. Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan segala yang tidak bisa
diberikan oleh pasar. Intervensi pemerintah dalam perekonomian dan sektor-sektor kemasyarakatan
adalah mutlak diperlukan. Kekuatan publik dalam masyarakat demokratis adalah representasi dari
kehendak kolektif. Secara ringkas, Giddens (2000:8) memberikan ciri-ciri Demokrasi Sosial Klasik:

 Keterlibatan negara yang cukup luas dalam kehidupan ekonomi dan sosial.
 Negara mendominasi masyarakat madani
 Kolektivisme.
 Manajemen permintaan Keynesian dan korporatisme.
 Peran pasar yang dibatasi: ekonomi sosial atau campuran.
 Pemberdayaan sumber daya manusia secara maksimal.
 Egalitarianisme yang kuat.
 Negara kesejahteraan (welfare state) yang komprehensif: melindungi warga negara “sejak lahir
sampai mati”.
 Modernisasi linear.
 Kesadaran ekologis yang rendah.
 Internasionalisme.
 Termasuk dalam dunia dwikutub (bipolar).

2. Neoliberalisme

Neoliberalisme dikenal juga dengan Thatcherisme (Margaret Thatcher adalah mantan PM Inggris yang
sangat setia mengikuti faham neoliberalisme semasa berkuasa). Apabila Demokrasi Sosial Klasik
cenderung pro pemerintah, maka ciri utama Neoliberalisme adalah memusuhi pemerintah. Edmund
Burke, pelopor konsevatisme di Inggris, menyatakan dengan jelas ketidaksukaannya kepada negara. Jika
perluasan perannya terlalu jauh dapat mematikan kebebasan dan kemandirian. Pemerintahan Reagan
dan Thatcher mendasarkan diri pada gagasan ini dan menganut skeptisisme liberal klasik mengenai
peran negara. Intinya peran negara tidak dibenarkan secara ekonomis dan harus digantikan oleh superior
pasar. Menuut Giddens (2000:9):Ciri-ciri Neoliberalisme adalah: 

 Pemerintah minimal.
 Msyarakat madani yang otonom
 Fundamentalisme pasar.
 Otoritarianisme moral dan individualisme ekonomi yang kuat.
 Kemudahan pasar tenaga kerja.
 Penerimaan ketidaksamaan.
 Nasionalisme tradisional.
 Negara kesejahteraan sebagai jaring pengaman
 Modernisasi linear.
 Kesadaran ekologis yang rendah.
 Teori realis tentang tatanan internasional.
 Termasuk dalam dunia dwikutub.

  

MASYARAKAT MADANI

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan
dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society
atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate
(1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which
takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997), ada beberapa
karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

1.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat  melalui


kontrak sosial dan aliansi sosial.

2.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam


masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-
program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-


organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan
pemerintah.

5.      Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.

6.      Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu  mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.

 
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah
masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam
menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya
memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-
program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat
yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang
dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat
di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance
(pemerinthana demokratis yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian
(masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil
resilience). Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuah prasyarat masyarakat madani sbb:

1.   Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.

2.   Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi
terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan
relasi sosial antar kelompok. 

3.   Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain  terbukanya akses
terhadap berbagai pelayanan sosial.

4.   Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga  swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan  kebijakan publik dapat
dikembangkan.

5.   Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling  menghargai
perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6.   Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi,  hukum,


dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7.   Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan  yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan
terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat
madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham
militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada
beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat
DuBois dan Milley, 1992). Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat
menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:

1.   Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan
yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam
faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip
nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial. 
 

2.   Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya,
yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan
permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang
untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata
Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap
bakat dan terhadap potensi manusia.” 

      Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu
ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras
memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi
ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat
manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu
saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan
pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

3. Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau
kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang
yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain
dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam
masyarakat.

Sementara itu komunalisme adalah perasaan superioritas yang berlebihan terhadap kelompoknya sendiri
dan memandang kelompok lain sebagai lawan yang harus diwaspadai dan kalau perlu dibinasakan.

AGENDA JALAN KETIGA

Bagaimana mewujudkan masyarakat madani yang berkeadilan. Agenda Jalan Ketiga dapat dijadikan
pedoman oleh para community workers dalam menjalankan tugas-tugas profesionalnya di masyarakat.
Dalam garis besar agenda itu mencakup dua hal, yaitu: Politik Jalan Ketiga dan Program Jalan Ketiga
(Giddens, 2000: 76-80):

Politik Jalan Ketiga:

 Persamaan
 Perlindungan atas mereka yang lemah.
 Kebebasan sebagai otonomi.
 Tak ada hak tanpa tanggungjawab.
 Tak ada otoritas tanpa demokrasi.
 Pluralisme kosmopolitan.
 Konservatisme filosofis.
 Program Jalan Ketiga:
 Negara demokratis baru (negara tanpa musuh).
 Masyarakat madani yang aktif.
 Keluarga demokratis.
 Ekonomi campuran baru.
 Kesamaan sebagai inklusi.
 Kesejahteraan positif.
 Negara berinvestasi sosial (social investemnt state).
 Bangsa kosmopolitan.
 Demokrasi kosmopolitan
 Startegi untuk menjalankan Agenda Jalan Ketiga meliputi empat hal (lihat Blakeley dan Suggate,
1997):

1. Membangun masyarakat dalam membantu pencapaian tujuan-tujuan pemerintah. Peningkatan


investasi-investasi sosial dan pendistribusian pelayanan-pelayanan sosial dasar yang lebih luas dan
adil.

2. Membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Strategi ini meliputi desentralisasi


pembuatan keputusan dan peningkatan program-program pengembangan masyarakat yang dapat
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam merealisasikan kepentingan-kepentingannya. 

3. Peningkatan masyarakat dan perlindungan hak azasi manusia, kebebasan berorganisasi dan
menyatakan pendapat, penetapan struktur-struktur hukum bagi lembaga-lembaga swadaya
masyarakat.

4. Peningkatan partisipasi masyarakat. Strategi ini ditujukan untuk memberikan kesempatan pada
masyarakat agar dapat memberikan masukan bagi perumusan kebijakan dan praktek-praktek
pemerintahan yang menjamin konsultasi dan pengakuan hakiki terhadap fungsi-fungsi organisasi-
organisasi lokal.

Sejatinya, agenda utama bagi para community workers dalam mewujudkan masyarakat yang
berkeadilan adalah mengetahui visi dan makna yang sesungguhnya dari community workers dan
masyarakat madani. Seperti kata adagium: visi tanpa aksi adalah mimpi, sedangkan aksi tanpa visi
adalah kegiatan sehar-hari.

CATATAN
 

1. Makalah disajikan pada Orasi Ilmiah dalam Pembentukan HIMA Jurusan Pengembangan Sosial
Masyarakat (PSM) STKS Bandung, Senin 21 Oktober 2002.

2.   Penulis, yang lahir di Jatiwangi, Majalengka tanggal 6 Nopember 1965, adalah staf pengajar STKS
dan UNPAS Bandung. Setelah menamatkan Sarjana Pekerjaan Sosial di STKS Bandung tahun 1990,
penulis melanjutkan studi S2 di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok dan memperoleh MSc
pada tahun 1994. Pada tahun 2002 belum lama ini, penulis baru saja kembali dari New Zealand
setelah memperoleh PhD dari Massey University. Area of interest-nya antara lain: Poverty, The
Urban Informal Sector, Community Development, Social Work Research, Social Planning dan Social
Policy.

BAHAN BACAAN

Bahmueller, CF (1997), The Role of Civil Society in the Promotion and Maintenance of Constitutional
Liberal Democracy, http:civnet.org/civitas/panam/papers/ bahm.htm. 

Blakeley, Roger dan Diana Suggate (1997), “Public Policy Development”, dalam David Robinson, Social
Capital and Policy Development, Victoria: Institute of Policy Studies, hal. 80 - 100.

DuBois, Brenda dan Karla Krogsrud Miley (1992), Social Work: An Empowering Profession, Boston:
Allyn and Bacon.

Giddens, Anthony (2000), Jalan Ketiga: Pembaruan Demokrasi Sosial, Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama

Kleden, Ignas (2000), “Epistemologi Kekerasan di Indonesia”, dalam Indonesia di Persimpangan


Kekuasaan: Dominasi Kekerasan atas Dialog Publik, Jakarta: The Go-East Institute, hal.1-7.

Masyarakat Madani

Pendahuluan
Masyarakat madani, yang merupakan kata lain dari masyarakat sipil (civil society), kata ini sangat sering disebut
sejak kekuatan otoriter orde baru tumbang selang satu tahun ini. Malah cenderung terjadi sakralisasi pada kata itu
seolah implementasinya mampu memberi jalan keluar untuk masalah yang tengah dihadapi oleh bangsa kita.
Kecenderungan sakralisasi berpotensi untuk menambah derajat kefrustasian yang lebih mendalam dalam
masyarakat bila terjadi kesenjangan antara realisasi dengan harapan. Padahal kemungkinan untuk itu sangat
terbuka, antara lain, kesalahan mengkonsepsi dan juga pada saat manarik parameter-parameter ketercapaian.
Saat ini gejala itu sudah ada, sehingga kebutuhan membuat wacana ini lebih terbuka menjadi sangat penting dalam
kerangka pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Masyarakat Sipil Vs  Militer
Dalam tataran praktis sementara orang melihat, masyarakat madani dianggap sebagai institusi sosial yang mampu
mengkoreksi kekuatan “militer “ yang otoriter. Dalam arti lain masyarakat sipil memiliki konotasi sebagai antitesa
dari masyarakat militer. Oleh sebab itu eksistensi masyarakat sipil selalu dianggap berjalan linier dengan
penggugatan Dwi Fungsi ABRI. Dengan begitu menurut yang pro pada pemikiran ini, konsep Indonesia baru yang
dicita-citakan merupakan masyarakat tanpa pengaruh dan dominasi kekuatan militer. Maka dengan demikian
dinamika kehidupan sosial dan politik harus memiliki garis batas pemisah yang jelas dengan dinamika pertahanan
dan keamanan.
Koreksi kritis terhadap peran sosial ABRI bagi sementara orang merupakan keharusan sejarah setelah melihat
betapa rezim lama memposisikan ABRI sebagai “backing” untuk melindungi kepentingan-kepentingan kelompok
ekonomi kuat tertentu yang memiliki akses bagi penguatan legitimasi politik Soeharto. Sementara mereka tidak
melihat komitmen yang sebanding untuk fungsi substansialnya yakni pertahanan dan keamanan.
Berlanjutnya kerusuhan di beberapa tempat dan terancamnya rasa aman masyarakat, serta kekurangprofesionalan
dalam teknik penanganan pada kasus-kasus politik tertentu merupakan bukti kuat bahwa militer tidak cukup
memiliki kecakapan pada fungsi utamanya. Maka sangat wajar bila kader-kader militer dipersilahkan untuk
hengkang dari posisi eksekutif dan legislatif, ke tempat yang lebih fungsional yakni barak-barak.
Kekurangsetujuan terhadap implementasi Dwi Fungsi ABRI, khususnya tugas kekaryaan, sebenarnya syah-syah saja
namun masalahnya apakah masyarakat madani tepat bila hanya dipersepsikan sebagai bentuk peminggiran peran
militer. Kebutuhan untuk keluar dari rasa takut akibat distorsi peran militer selama masa orde baru menyebabkan
terjadinya proses kristalisasi konsep masyarakat madani yang berbeda dengan konsep bakunya. Dengan kata lain
telah terjadi gejala “contradictio internemis” pada wacana masyarakat madani dalam masyarakat kita dewasa ini.
Masyarakat Sipil Vs Negara
Masyarakat madani atau masyarakat sipil (civil society) dalam wacana baku ilmu sosial pada dasarnya dipahami
sebagai antitesa dari “masyarakat politik” atau negara. Pemikiran itu dapat dilacak dari pendapatnya Hobbes,
Locke, Montesquieu, Hegel, Marx, Gramsci dan lain-lain. Pemikiran mengenai masyarakat sipil tumbuh dan
berkembang sebagai bentuk koreksi radikal kepada eksistensi negara karena peranannya yang cenderung menjadi
alat kapitalisme.
Substansi pembahasannya terletak pada penggugatan hegemoni negara dalam melanggengkan kekuatan kelompok
kapitalis dengan memarjinalkan peran masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu dibutuhkan sebuah kekuatan
non-pemerintah yang mampu mengimbangi dan mencegah kekuatan negara untuk mengurangi tekanan-tekanan
yang tidak adil kepada rakyatnya. Akan tetapi di sisi lain, mendukung peran pemerintah dalam menjadi juru damai
dan penjaga keamanan dari kemungkinan konflik-konflik antar kepentingan dalam masyarakat.
Dengan kata lain perlu adanya reposisi struktural dan kultural antar komponen dalam masyarakat, sederhananya,
“serahkan urusan rakyat pada rakyat, dan posisikan pemerintah sebagai pejaga malam”.
Penggugatan peran pemerintah oleh rakyat dalam konstelasi sosial di Indonesia bukan sama sekali baru. Bob
S.Hadiwinata (1999) mencatat sejarah panjang gerakan sosial di Indonesia, yakni sejak abad ke-19 sampai masa
orde baru. Menurutnya pemerintahan orde baru, Soeharto, telah “berhasil” mengangkangi hak-hak sipil selama 32
tahun, dengan apa yang ia sebut “tiga strategi utama”. Dan selama itu pula proses marjinalisasi hak-hak rakyat terus
berlangsung, untuk kepentingan sekelompok pengusaha kroninya, dengan bermodalkan slogan dan jargon
“pembangunan”.
Celakanya rembesan semangatnya sampai pada strata pemerintahan yang paling bawah. Camat, lurah, sampai ketua
RT pun lebih fasih melantunkan slogan dan jargon yang telah dipola untuk kepentingan ekonomi kuat. Tetapi
sementara mereka menjadi gagap dalam mengaksentuasikan kepentingan rakyatnya sendiri. Maka yang terjadi,
pasar yang telah mentradisonal menghidupi ribuan masyarakat kecil di bongkar untuk dijadikan mall atau pasar
swalayan. Demikian pula, sawah dan kebun petani berubah fungsi menjadi lapangan golf. Perubahan yang terjadi di
luar jangkauan kebutuhan dan pemikiran masyarakat karena mekanisme musyawarah lebih banyak didengungkan
di ruang penataran ketimbang dalam komunikasi sosial.
Masyarakat Peradaban dan Jahiliyah
Umat Islam telah memperkenalkan konsep masyarakat peradaban, masyarakat madani, atau civil society, adalah
Nabi Muhammad, Rosullullah s.a.w sendiri yang memberikan teladan ke arah pembentukan masyarakat peradaban
tersebut. Setelah perjuangan di kota Makkah tidak menunjukkan hasil yang berarti, Allah telah menunjuk sebuah
kota kecil, yang selanjutnya kita kenal dengan Madinah, untuk dijadikan basis perjuangan menuju masyarakat
peradaban yang dicita-citakan. Di kota itu Nabi meletakan dasar-dasar masyarakat madani yakni kebebasan. Untuk
meraih kebebasan, khususnya di bidang agama, ekonomi, sosial dan politik,  Nabi diijinkan untuk memperkuat diri
dengan membangun kekuatan bersenjata untuk melawan musuh peradaban. Hasil dari proses itu dalam sepuluh
tahun, beliau berhasil membangun sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan, terbuka dan demokratis dengan
dilandasi ketaqwaan dan ketaatan kepada ajaran Islam. Salah satu yang utama dalam tatanan masyarakat ini adalah
pada penekanan pola komunikasi yang menyandarkan diri pada konsep egaliterian pada tataran horizontal dan
konsep ketaqwaan pada tataran vertikal. Nurcholis Madjid (1999:167-168) menyebut dengan semangat rabbaniyah
atau ribbiyah sebagai landasan vertikal, sedangkan semangat insyanyah atau basyariah yang melandasi komunikasi
horizontal.
Sistem sosial madani ala Nabi s.a.w memiliki ciri unggul, yakni kesetaraan, istiqomah, mengutamakan partisipasi,
dan demokratisasi. Esensi ciri unggul tetap relavan dalam konteks waktu dan tempat berbeda, sehingga pada
dasarnya prinsip itu layak diterapkan apalagi di Indonesia yang mayoritas berpenduduk muslim tanpa mengusik
kepentingan dan keyakinan kelompok minoritas. Mengenai hal yang terakhir ini Nabi s.a.w telah memberi cotoh
yang tepat, bagaimana sebaiknya memperlakukan kelompok minoritas ini.

Mungkinkah terwujud?
Berdasarkan kajian di atas masyarakat madani pada dasarnya adalah sebuah komunitas sosial dimana keadilan dan
kesetaraan menjadi fundamennya. Muara dari pada itu adalah pada demokratisasi, yang dibentuk sebagai akibat
adanya  partisipasi nyata anggota kelompok masyarakat. Sementara hukum diposisikan sebagai satu-satunya alat
pengendalian dan pengawasan perilaku masyarakat. Dari definisi itu maka karakteristik masyarakat madani,
adalah ditemukannya fenomena, (a) demokratisasi, (b) partisipasi sosial, dan (c) supremasi hukum; dalam
masyarakat.
Pertama, sehubungan dengan karakteristik pertama yakni demokratisasi, menurut Neera Candoke (1995:5-5) social
society berkaitan dengan  public critical rational discource yang secara ekplisit mempersyaratkan tumbuhnya
demokrasi. Dalam kerangka itu hanya negara yang demokratis yang menjamin masyarakat madani. Pelaku politik
dalam suatu negara (state) cenderung menyumbat masyarakat sipil, mekanisme demokrasi lah yang memiliki
kekuatan untuk mengkoreksi kecenderungan itu.  Sementara itu untuk tumbuhnya demokratisasi dibutuhkan
kesiapan anggota masyarakat berupa kesadaran berpribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Syarat-syarat tersebut
dalam konstatasi relatif memiliki linearitas dengan kesediaan untuk menerima dan memberi secara berimbang. Maka
dalam konteks itu, mekanisme demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku praktis politik, merupakan
bagian yang terpenting dalam menuju masyarakat yang dicita-citakan tersebut.
Kedua, partisipasi sosial yang benar-benar bersih dari rekayasa merupakan awal yang baik untuk terciptanya
masyarakat madani. Partisipasi sosial yang bersih dapat terjadi bilamana tersedia iklim yang memungkinkan
otonomi individu terjaga. Antitesa dari sebuah masyarakat madani adalah tirani yang memasung secara kultural
maupun struktural kehidupan bangsa. Dan menempatkan cara-cara manipulatif dan represif sebagai instrumentasi
sosialnya. Sehingga masyarakat pada umumnya tidak memiliki daya yang berarti untuk memulai sebuah
perubahan, dan tidak ada tempat yang cukup luang untuk mengekpresikan partisipasinya dalam proses perubahan.
Tirani seperti inilah, berdasarkan catatan sejarah, menjadi simbol-simbol yang dihadapi secara permanen gerakan
masyarakat sipil. Mereka senantiasa berusaha keras mempertahankan status quo tanpa memperdulikan rasa
keadilan yang berkembang dalam masyarakat. Pada masa orde baru cara-cara mobilisasi sosial lebih banyak
dipakai ketimbang partisipasi sosial, sehingga partisipasi masyarakat menjadi bagian yang hilang di hampir seluruh
proses pembangunan yang terjadi. Namun kemudian terbukti pemasungan partisipasi secara akumulatif berakibat
fatal terhadap keseimbangan sosial politik, masyarakat yang kian cerdas menjadi sulit ditekan, dan berakhir dengan
protes-protes sosial serta pada gilirannya menurunnya kepercayaan masyarakat kepada sistem yang berlaku.
Dengan demikian jelaslah terbukti bahwa partisipasi merupakan karakteristik yang harus ada dalam masyarakat
madani. Demokrasi tanpa adanya partisipasi akan menyebabkan berlangsungnya demokrasi pura-pura atau pseudo
democratic sebagaimana demokrasi yang dijalankan rezim orde baru.
Ketiga, penghargaan terhadap supremasi hukum merupakan jaminan terciptanya keadilan. Al-Qur’an menegaskan
bahwa menegakan keadilan adalah perbuatan yang paling mendekati taqwa (Q.s. Al Maidah:5-8). Dengan demikian
keadilan harus diposisikan secara netral, dalam artian, tidak ada yang harus dikecualikan untuk memperoleh
kebenaran di atas hukum. Ini bisa terjadi bilamana terdapat komitmen yang kuat diantara komponen bangsa untuk
iklas mengikatkan diri dengan sistem dan mekanisme yang disepakati bersama. Demokrasi tanpa didukung oleh
penghargaan terhadap tegaknya hukum akan mengarah pada dominasi mayoritas yang pada gilirannya
menghilangkan rasa keadilan bagi kelompok lain yang lebih minoritas. Demikian pula partisipasi tanpa diimbangi
dengan menegakkan hukum akan membentuk masyarakat tanpa kendali (laissez faire).
Dengan demikian semakin jelas bahwa masyarakat madani merupakan bentuk sinergitas dari pengakuan hak-hak
untuk mengembangkan demokrasi yang didasari oleh kesiapan dan pengakuan pada partisipasi rakyat, dimana dalam
implentasi kehidupan peran hukum stategis sebagai alat pengendalian dan pengawasan dalam masyarakat. Namun
timbul pertanyaan sejauh mana kesiapan bangsa Indonesia memasuki masyarakat seperti itu.
Penutup
Seperti telah dikemukakan di atas, masyarakat madani membutuhkan institusi sosial, non-pemerintahan, yang
independen yang menjadi kekuatan penyeimbang dari negara. Posisi itu dapat ditempati organisasi masyarakat,
maupun organisasi sosial politik bukan pemenang pemilu, maupun kekuatan-kekuatan terorganisir lainnya yang ada
di masyarakat. Akan tetapi institusi tersebut selama orde baru relatif dikerdilkan dalam arti lebih sering berposisi
sebagai corong kepentingan kekuasaan ketimbang menjadi kekuatan swadaya masyarakat.
Hegemoni kekuasaan demikian kuat sehingga kekuatan ril yang ada di masyarakat demikian terpuruk. Padahal
merekalah yang sebenarnya yang diharapkan menjadi lokomotif untuk mewujudkan masyarakat madani. Ada
memang beberapa LSM yang secara konsisten memainkan peranan otonomnya akan tetapi jumlahnya belum
signifikan dengan jumlah rakyat Indonesia yang selain berjumlah besar juga terfragmentasi secara struktural maupun
kultural. Fragmentasi sosial dan ekonomi seperti itu sangat sulit mewujudkan masyarakat dengan visi kemandirian
yang sama. Padahal untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi membutuhkan kesamaan visi dan kesadaran
independensi yang tinggi. Dengan demikian boleh jadi masyarakat peradaban yang kita cita-citakan masih
membutuhkan proses yang panjang. Dan boleh jadi hanya impian manakala pro status quo tetap berkuasa.

Kepustakaan:
Bob S.Hadiwinata, “Masyarakat Sipil Indonesia: Sejarah, Kelangsungan, dan Transformasinya”, dalam Wacana
(Jurnal Ilmu Sosial Transformatif). Edisi 1.Vo.1,1999.
Craig Calhoun, “Social Theory of the Politics of Identity”, Blackwell Publihers, USA,1994.
Nezar Patria, dan Andi Arief, “Antonio Gramci: Negara dan Hegemoni”, Pustaka Pelajar 1999.
Neera Chandoke, “State and Civil Society: Exploration in Political Theory”. New Delhi dan London: Sage
Publication,1955.
Nico Schulte Nordholt, “Menyokong Civil Society dalam era Kegelisahan”, dalam Mengenang Y.B. Mangunwijaya,
Sindhunata (eds.).Kanisius, 1999.
Nurcholis Madjid, “ Cita-cita Politik Islam Era Reformasi”, Paramadina, 1999.

Anda mungkin juga menyukai