TINJAUAN PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah. Pada
sebagian neonatus, ikterus ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya.
Dikemukakan bahwa angka kejadian ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan
dan 80% bayi urang bulan. Di RSU Dr. Soetomo Surabaya ikterus patologis 9,8%
(tahun 2002) dan 15,66% (tahun 2003).
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisologis dan pada sebagian
lagi mungkin bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap
atau menyebabkan kematian. Oleh karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus
mendapatkan perhatian, terutama apabila ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau bila kadar bilirubinnya meningkat >5 mg/dL (>86 µmol/L)
dalam 24 jam. Proses hemolisi darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih
dari 1 minggu, serta bilirubin direk > 1mg/dL juga merupakan keadaan yang
menunjukkan kemungkinan adanya ikterus patologis. Dalam keadaan tersebut
penatalaksanaan ikterus harus dilakukan sebaik-baiknya agar akibat buruk ikterus
dapat dihindarkan.
Walaupun pada tahun 1970-an kasus kernikterus sudah tidak ditemukan lagi
di Washington, namun pada tahun 1990-an ditemukan 31 kasus kernikterus (Data
Georgetown University Medical Centre Washington D.C, tahun 2002).
Ikterus (Jaundice) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah,
sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan.
Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL
(>17µmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5
mg/dL (>86 µmol/L).1
II. DEFINISI
5
pertama kelahiran. Kadar normal maksimum adalah 12-13 mg% (205-220
µmol/L).2
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2-3 dan mencapai
puncaknya pada hari 5-7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10-14.
Kadar bilirubinpun biasanya tidak >10 mg/dL (171 µmol/L) pada bayi cukup
bulan. Masalah timbul apabila produksi blilirubin ini terlau berlebihan atau
konjugasi hepar menurun sehingga terjadi akumulasi di dalam darah. Peningkatan
kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu,
misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian
hari, bahkan kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisologis
apabila telah dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Tingginya kadar bilirubin
yang dapat menimbulkan efek patologis tersebut tidak selalu sama pada tiap
bayi.1
6
reseptor membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam
sel hepar terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hepar
lain yang membawanya ke retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya
konjugasi. Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang
kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut
dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar
bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi melalui duktus hepatikus ke dalam
saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urubilinogen dan keluar dengan tinja
sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di absorpsi kembali oleh mukosa usus
dan terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.
Gambar 1. Metabolisme Bilirubin pada Neonatus. (Dikutip dari Rennie J.M and Roberton NRC.
Neonatal Jaundice In : A Manual of Neonatal Intensive Care 4th Ed, Arnorld, 2002 : 414-432)
IV. ETIOLOGI1
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh berbagai keadaan:
A. Penyebab yang sering:
1. Hiperbilirubinemia fisiologis
2. Inkompatibilitas golongan darah ABO
3. ‘Breast Milk Jaundice’
7
4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus
5. Infeksi
6. Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’
7. IDM (‘Infant of Diabetic Mother’)
8. Polisitemia / hiperviskositas
9. Prematuritas / BBLR
10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia
11. Lain-lain
B. Penyebab yang jarang:
1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase)
2. Defisiensi piruvat kinase
3. Sferositosis kongenital
4. Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial)
5. Hipotiroidism
6. Hemoglobinopathy
V. DIAGNOSIS1
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
A. Resiko Tinggi
1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)
3 Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO↑)
8
B. Anamnesis
C. Pemeriksaan Fisik
Umum : keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)
Khusus : Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan
dilakukan pada pencahayaan yang memadai.
Berdasarkan kriteria Kramer dibagi :
Klasifikasi Ikterus
9
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau
beberapa hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang
cukup. Ikterus akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat
dengan penerangan yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap.
Penilaian ikterus akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan
terapi sinar.
Tekan kulit yang ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit
dan jaringan subkutan2 :
Pada hari pertama, tekan pada ujung hidung atau dahi
Pada hari ke 2, tekan pada lengan atau tungkai
Pada hari ke 3 dst., tekan pada tangan dan kaki
D. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan serumbilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
bayi-bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat. Namun
pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin,
jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar
serumbilirubin.
• Bilirubin direk
10
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur
untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
VI. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab
langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan
mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini
dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan
pemberian obat-obatan (luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi
sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan
kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra
Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud
menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.
11
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ; 114 : 294)
a. Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita
dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses
hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada
penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan
sesudah transfusi dikerjakan Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari
beberapa buah lampu neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak
yang berfentilasi. Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm)
lampu diletakkan pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang
pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat
untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan
walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang
tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali
sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
12
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh.
Kedua mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar
bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila
kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak
melebihi 100 jam. pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8 jam
agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun
gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin
bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL
(<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam. Penghentian
atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping
terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis,
hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek
samping ini biasanya bersifat sementara dan kadang-kadang penyinaran dapat
diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.1
13
Berat badan (gr) Konsentrasi biliriubin indirek (mg/dL)
<1000
5-7 7-9 9-12 12-15 15-20 >20
<1000 FT TT
1000-1500 Obs.ulang FT TT
Bil
1500-2000 Obs.ulang FT TT
Bil
2000-2500 Obs. Obs.ulang FT TT
bil
>2500 Obs.bil TT TT
BAGAN I
BAGAN II
KadarBilirubinTotal
Umu Dipertimbangkan Fototerapi Fototerapi jk gagal Transfusi
r dilanjutkan transfusi tukar
(jam) bersama
fototerapi
<24 Neonatus cukup bulan dgn ikterus pasca umur ≤4jam, buka neonatus sehat dan
perlu evaluasi
≤ 24 ≥ 12 ≥15 ≥20 ≥25
14
25-45 ≥15 ≥18 ≥25 ≥30
≥73 ≥17 ≥20 ≥25 ≥30
K
Keterangan :
Obs : Observasi TT : Transfusi tukar
FT : Fototerapi Bil : Bilirubin
Prosedur :
1. Diusahakan permukaan tubuh seluas0luasya terpapar dengan sinar
2. Posisi tubuh diubah setiap 2-3 jam
3. Monitor suhu bayi setiap 4 jam. Untuk bayi dalam inkubator, thermistor probe harus
dilindungi dari sinar.
4. Awasi masukan cairan : ASI tetap diteruskan, jika tidak ada atau tidak cukup,
ditambah susu formula. Pemberian dengan menetek, sendok/cangkir dan kip sonde.
5. Kebutuhan cairan ditambah 10-15% dari kebutuhan, mungkin sampai 25%. Jika
masukan cairan tidak mencukupi, diberi cairan per infus.
6. Timbang bayi setiap hari dan awasi penurunan BB akibat kehilangan air secara
evaporasi atau diare, terutama bayi prematur.
7. Melindungi mata dan gonade dari sumber cahaya.
8. Memeriksa konsentrasi bilirubin serum secara teratur, jangan menggunakan warna
kulit bayi untuk menilai derajat ikterus.
9. Menghentikan fototerapi saat orang tua mengunjungi bayinya dan membuka
pelindung mata untuk memudahkan interaksi alami antara orangtua dengan anak.
10. Memonitor konsentrasi bilirubin sehari sesudah fototerapi dihentikan untuk
mendeteksi adanya kenaikan bilirubin kembali.
15
Komplikasi Fototerapi
Kelainan Mekanisme
Tanning (perub.wrn kulit) Induksi sintesis melanin
Sindrom bayi bronze ↓ekskresi hepatik dr foto produk bilirubin
Diare Bilirubin menginduksi sekresi usus
Intoleransi laktosa Trauma mukosa epitel villi
Hemolisis Traua fotosensitif pada eritrosit sirkulasi
Kulit terbakar Paparan berlebihan karena emisi gelombang
pendek lampu fluoresesn
Dehidrasi ↑ kehilangan air yang tak disadari krn energi
foto yang diabsorpsi
Ruam kulit Trauma fotosensitif pada sel mast kulit
dengan pelepasan histamin
b. Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan
cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti
eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan
hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping
dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya
tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan
transfusi tukar selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin
terhadap albumin
16
3. pH < 7,15 selama 1 jam
4. Suhu rektal ≤ 35 O C
5. Serum Albumin < 2,5 g/dL
6. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
7. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
8. Anemia hemolitik
9. Berat bayi ≤1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai
adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan
proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi.
Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang
kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan
darah O dengan titer anti A atau anti B yang rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk
17
(Dikutip dari American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management of
hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004; 114 : 294)
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang
dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat
mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi
transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak
memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat
rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (‘transportable’) dengan memperhatikan
syarat-syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.
18
BAB III
PEMBAHASAN
Berdasarkan dari penjelasan diatas, pada kasus ini bayi mengalamu kuning
atau ikterik pada derajat II, karena daerah ikterik pada mata, wajah, leher dan kedua
lengan bagian atas. Terjadinya ikterik pada bayi ini dimungkinkan karena faktor resiko
dari riwayat persalinannya yaitu kurang bulan (35 minggu) dan sebelumnya ibu
mengalami KPD.
Prematuritas merupakan salah satu faktor resiko terjadinya ikterik
neonatorum, dikarenakan salah satunya faktor kematangan organ. Khususnya organ
hepar sebagai tempat terjadinya metabolisme bilirubin. Selain belum matangnya organ
hepar, faktor destruksi sel darah merah pada bayi yang meningkat. Sehingga bisa terjadi
penumpukkan bilirubin yang belum terkonjugasi.
Dari hasil laboratorium hasil pemeriksaan serum bilirubinya menunjukkan
peningkatan yaitu Bilirubin Total 8,5, Bilirubin Direct: 0,4 dan Bilirubin Indirect: 8,1.
Terapi yang diberikanpun sudah sesuai yaitu memberikan obat yang membantu
pembentukkan enzim glukoronil transferase, sehingga diharapkan dapat mengurangi
bilirubin yang belum terkonjugasi. Terapi sinar belum dibutuhkan karena bilirubin
total masih dibawah < 12.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusepno hasan, alatas Husein. Buku kuliah 2 ilmu kesehatan anak, edisi 11 bab
infeksi. Bagian ilmu kesehatan anak, Fakultas kedokteran universitas Indonesia,
Jakarta, 2007
2. Hardiono D. pusponegoro, sri rezeki S.adinegoro, dkk. Buku standar pelayanan
medis kesehatan anak edisi 1, ikatan dokter Indonesia, Jakarta, 2003
3. Sumarno S.Poorwo soedarmo. Herry Garna. Sri rezeki S.Hadinegoro. hindra
Irawan Satari. Buku Ajar Infeksi & pediatric tropis, edisi kedua, infeksi dengue
(hal 155-181) bagian Ilmu kesehatan anak FKUI, Jakarta, 2010
4. Sutaryo, dr dkk. Buku Standar Pelayanan Media RS. Sardjito, Edisi III, Cetakan I.
2005, Jilid 2. Medika Fakultas Kedokteran UGM, Sekip, Yogyakarta, 2005
20