NIM : 54061001018
BAB I
PENDAHULUAN
b. Weakness (kelemahan):
Visi, misi, dan tujuan Puskesmas belum dipahami sepenuhnya oleh
pimpinan dan staf Puskesmas. Hal ini dapat melemahkan komitmen,
dukungan, dan keikutsertaan mereka dalam mengembangkan fungsi
Puskesmas. Mereka terperangkap oleh tugas-tugas rutin yang bersifat kuratif
yang kebanyakan dilakukan di dalam gedung Puskesmas. Akibatnya,
kegiatan Puskesmas di luar gedung yang bersifat promotif dan preventif
kurang mendapatkan perhatian.\
Upaya kesehatan masih menitikberatkan pada upaya kuratif dan belum
menitikberatkan pada upaya promotif dan preventif. Dengan kata lain belum
berlandaskan pada paradigma sehat;
Beban kerja Puskesmas sebagai Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD)
kesehatan kabupaten/kota terlalu berat. Pertama, karena rujukan kesehatan
ke dan dari Dinas kesehatan kabupaten/kota kurang berjalan. Kedua, karena
Dinas kesehatan kabupaten/kota yang sebenarnya bertanggung jawab penuh
terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan secara menyeluruh di
wilayah kabupaten/kota lebih banyak melaksanakan tugas-tugas
administratif;
Sistem manajemen Puskesmas yakni perencanaan (P1) yang
diselenggarakan melalui mekanisme Perencanaan Mikro (microplanning)
yang kemudian menjadi Perencanaan Tingkat Puskesmas, penggerakan
pelaksanaan (P2) yang diselengarakan melalui mekanisme Lokakarya Mini
(mini workshop) serta pengawasan, pengendalian, dan penilaian (P3) yang
diselenggarakan melalui Stratifikasi Puskesmas yang kemudian menjadi
Penilaian Kinerja Puskesmas, dengan berlakuknya otonomi daerah belum
ditindak lanjuti oleh beberapa kabupaten/kota;
Pengelolaan Puskesmas, meskipun telah ditetapkan merupakan aparat daerah
tetapi masih masih terlalu bersifat sentralistis. Puskesmas dan daerah belum
memiliki keleluasaan menetapkan kebijakan program yang sesuai dg
kebutuhan masy setempat, yang tentu saja tidak sesuai lagi dengan era
desentralisasi;
Kegiatan yang dilaksanakan Puskesmas kurang berorientasi pada masalah
dan kebutuhan kesehatan masyarakat setempat. Setiap Puskesmas
dimanapun berada menyelenggarakan upaya kesehatan yang sama;
Waktu kerja efektif pegawai Puskesmas di beberapa Puskesmas berlangsung
antara jam 08.00 sampai dengan 11.00. Selama waktU tersebut, kegiatan
mereka hanya melayani masyarakat yang berkunjung ke Puskesmas. Waktu
antara jam 11.00 sampai dengan jam 14.00 belum dimanfaatkan secara
optimal untuk mengembangkanperan mereka sebagai petugas kesehatan
masyarakat;
Ketidakefisienan Puskesmas juga tampak dari pemanfaatan ruang rawat inap
di beberapa Puskesmas dengan tempat perawatan. Kurang tegasnya
pemisahan antara tugas pokok untuk melakukan perawatan pasien rawat
inap dengan pelayanan kesehatan masyarakat merupakan salah satu kendala
pengembangan upaya kesehatan promotif dan preventif di Pukesmas dengan
tempat perawatan;
Citra Puskesmas masih kurang baik, utamanya yang berkaitan mutu,
penampilan fisik Puskesmas kurang bersih dan nyaman, disiplin,
profesionalisme, dan keramahan petugas dalam pelayanan kesehatan
yang masih lemah;
Belum tersedianya sumber daya Puskesmas yang memadai seperti
ketersediaan tenaga belum sesuai standar ketenagaan Puskesmas dan
penyebaran tidak merata, kemampuan dan kemauan petugas belum
memadai, penanggung jawab program Puskesmas belum memiliki
kemampuan manajerial program, pengembangan sumber daya tenaga
kesehatan tidak berorientasi pada kebutuhan Puskesmas atau program,
namun seringkali merupakan keinginan dari pegawai yang bersangkutan;
kurangnya tanggung jawab, motivasi, dedikasi, loyalitas dan kinerja petugas
Puskesmas;
Ketersediaan obat-obatan baik jenis maupun jumlahnya terbatas, alat
kesehatan juga kurang memadai, dana operasional maupun program
sangat kurang dan hanya bersumber dari persentase pengembalian retribusi
Puskesmas dengan besaran yang bervariasi di setiap kabupaten/kota;
Belum tersedianya data dan informasi registrasi vital tentang kependudukan
dan program kesehatan yang saheh dan akurat;
Dalam menyelenggarakan upaya kesehatan Puskesmas, belum ditunjang
oleh rencana operasional yang baik dan mengikut sertakan pegawai serta
stakeholder Puskesmas, sehingga pelaksanaan program dan upaya
Puskesmas kurang berhasil dan berdayaguna;
Manajemen Program Puskesmas belum dirumuskan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota sebagai pedoman dan panduan Puskesmas;
Kurangnya pembinaan dan bimbingan program dari Dinas kesehatan
kabupaten/kota ;
Kurangnya komitmen, dukungan, dan keikutsertaan lintas sektoral dalam
program kesehatan;
Kurangnya komitmen dan dukungan stakeholders Puskesmas terhadap
program Puskesmas;
Jumlah kader kesehatan masih kurang, tingginya drop out kader, adanya
kejenuhan dari kader, sulitnya mencari kader baru, kurangnya dana stimulasi
kader, kurangnya sarana kegiatan kader seperti buku pegangan kader, sarana
pencatatan dan pelaporan kegiatan kader dan sebaginya;
Keterlibatan masyarakat yang merupakan andalan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan tingkat pertama belum dikembangkan secara optimal.
Sampai saat ini Puskesmas kurang berhasil menumbuhkan inisiatif dan rasa
memiliki serta belum mampu mendorong kontribusi sumber daya dari
masyarakat dalam penyelenggaraan upayaPuskesmas;
Sistem pembiayaan Puskesmas belum mengantisipasi arah perkembangan
masa depan, yakni sistem pembiayaan pra-upaya untuk pelayanan kesehatan
perorangan;
Puskesmas masih belum berhasil dalam menggali, menghimpun dan
mengorganisasi partisipasi masyarakat serta membina kemitraan dengan
sektor lain yang terkait.
b. Threat (ancaman/rintangan/tantangan)
Ketidakmampuan Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota
untuk memanfaatkan era desentralisasi sebagai peluang dan kesempatan
untuk melakukan reformasi Sistem Pembangunan Kesehatan Daerah dapat
menjadi ancaman dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
di wilayah kerja Puskesmas
Terjadinya transisi epidemiologi baik oleh pengaruh perubahan struktur
penduduk dan perubahan gaya hidup masyarakat menyebabkan beban ganda
(double burden) pelayanan kesehatan, yaitu tidak saja pada masalah
penyakit infeksi tetapi juga penyakit degeneratif. Selain itu pelayanan
kesehatan juga menghadapi masalah penyakit yang pada akhir ini cenderung
meningkat seperti TBC, demam berdarah dengue. Fenomena-fenomena
tersebut di atas merupakan tantangan sekaligus ancaman pengembangan
Puskesmas;
Terjadinya krisis ekonomi yang belum sepenuhnya pulih tidak saja
menambah jumlah penduduk miskin, tetapi juga menurunkan kemampuan
pemerintah dalam menyediakan alokasi anggaran untuk pembangunan
kesehatan. Kedua hal tersebut di atas merupakan ancaman Puskesmas baik
dalam meningkatkan kebutuhan (demand) pelayanan kesehatan masyarakat
serta meningkatkan pasokan (supply) pelayanan kesehatan yang memadai;
Masih adanya anggapan bahwa pembangunan bidang kesehatan bersifat
konsumtif dan belum dipandang sebagai investasi pada peningkatan mutu
Sumber Daya Manusia (SDM), sehingga anggaran yang dialokasikan kurang
memadai;
Peran serta dan kemitraan masyarakat belum berkembang dan
berkesinambungan seperti yang diharapkan, hal ini antara lain karena
kurangnya kemampuan dan kemauan/motivasi dan adanya keterpaksaan dari
masyarakat, adanay kejenuhan kader kesehatan sebagai mitra dan motor
penggerak partisipasi masyarakat, hal ini bisa mengancam terjadinya drop
out kader, sulitnya mencari kader baru, kurangnya dana stimulan kader,
kurangnya sarana kegiatan kader seperti buku pegangan kader, sarana
pencatatan dan pelaporan kegiatan kader dan sebagianya;
Berkembangnya pelayanan kesehatan swasta yang lebih profesional,
bermutu, dan bernuansa profit merupakan ancaman terhadap pelayanan
kesehatan pemerintah termasuk Puskesmas;
Jumlah tenaga kesehatan (terutama perawat dan bidan) yang melakukan
praktik swasta di wilayah kerja Puskesmas semakin bertambah. Situasi ini
merupakan persaingan terselubung karena mereka juga menjual jasa
pelayanan kesehatan. Menghadapi persaingan ini, mengharuskan Puskesmas
untuk meningkatkan mutu pelayanannya;
Kurangnya penggunaan obat generik karena banyaknya pasokan obat patent
menyebabkan tingginya harga obat-obatan dan merupakan ancaman
pelayanan kesehatan terutama untuk masyarakat miskin;
Mobilisasi penduduk yang tinggi menyebabkan penularan penyakit yang
cepat serta perubahan lingkungan dan perilaku sosial budaya masyarakat
merupakan ancaman terhadap semakin meningkatnya masalah kesehatan;
Kebijakan pemerintah tentang pengangkatan pegawai zero growth
merupakan ancaman terhadap ketersediaan pegawai termasuk pegawai yang
bertugas di Puskesmas;
Puskesmas dijadikan revenue center (pusat pendapatan) untuk meningkatkan
Pendapatan Asli Darah (PAD) yang mengakibatkan upaya kesehatan
terkonsentrasi pada upaya kuratif dan rehabilitatif serta mengesampingkan
upaya promotif dan preventif;
Pemanfaatan tenaga dan sarana kesehatan Puskesmas masih kurang,
termasuk pemanfaatan Bidan Desa, dimana Bidan Desa lebih banyak
dimanfaatkan sebagai tenaga kuratif dan kurang dimanfaatkan dalam upaya
promotif dan preventif;
Masih adanya persalinan oleh dukun paraji dan belum terjalin kemitraan
antara Bidan Desa dengan dukun paraji;
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) masih belum memasyarakat dan
membudaya baik PHBS rumah tangga, sarana kesehatan, institusi
pendidikan, tempat kerja, maupun tempat-tempat umum.
Kimia Farma merupakan pioner dalam industri farmasi Indonesia. Cikal bakal
perusahaan dapat dirunut balik ke tahun 1917, ketika NV Chemicalien Handle
Rathkamp & Co., perusahaan farmasi pertama di Hindia Timur, didirikan. Sejalan
dengan kebijakan nasionalisasi eks perusahaan-perusahaan Belanda, pada tahun
1958 pemerintah melebur sejumlah perusahaan farmasi menjadi PNF Bhinneka
Kimia Farma. Selanjutnya pada tanggal 16 Agustus 1971 bentuk hukumnya
diubah menjadi Perseroan Terbatas, menjadi PT Kimia Farma (Persero). Sejak
tanggal 4 Juli 2001 Kimia Farma tercatat sebagai perusahaan publik di Bursa Efek
Jakarta dan Bursa Efek Surabaya. Berbekal tradisi industri yang panjang selama
lebih dari 187 tahun dan nama yang identik dengan mutu, hari ini Kimia Farma
telah berkembang menjadi sebuah perusahaan pelayanan kesehatan utama di
Indonesia yang kian memainkan peranan penting dalam pengembangan dan
pembangunan bangsa dan masyarakat. Terjadinya krisis ekonomi yang
multidimensi berdampak pada meningkatnya harga obat-obatan terutama harga
obat paten/merek dagang, kondisi ini sekaligus berakibat pada tidak dapat
terpenuhinya kebutuhan kesehatan masyarakat yang tengah mengalami penurunan
daya beli. Guna menanggulangi kondisi tersebut dibutuhkan adanya peran serta
industri farmasi khususnya dalam memproduksi, mengembangkan dan
memasyarakatkan obat-obatan yang harganya terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat baik diwilayah perkotaan maupun pedesaan. Salah satu bentuk peran
serta industri farmasi yang tengah dilakukan adalah dengan memasarkan dan
memasyarakatkan obat generik.
a. Strength / kekuatan :
Kimia Farma merupakan perusahaan yang mengeluarkan produk-produk
kesehatan untuk masyarakat. Banyak produk-produk kimia farma yang
menjadi inovator dengan mengembangkan obat-obatan serta rumusan kimia
baru baik dengan kemampuan sendiri ataupun melalui aliansi strategis
dengan mitra internasional. Serta banyak menghasilkan produk-produk baru
yang berbasis teknologi tinggi.
Obat generik merupakan salah satu produk farmasi yang kompetitif karena
memiliki keunggulan harga lebih murah 2 – 8 kali harga obat paten/merek
dagang pertamanya dan memiliki kualitas yang sama dengan obat merek
dagang pertamanya.
Kebijakan memasyarakatkan dan memasarkan obat generik yang dilakukan
oleh perusahaan juga sejalan dengan meningkatnya jumlah permintaan
konsumen akan obat secara keseluruhan yang mencapai 9,93% per kapita,
serta 92% potensi pasar bisnis industri farmasi di Indonesia masih belum
terpenuhi. Hal tersebut menjadi peluang bisnis yang kompetitif bagi 200
industri farmasi yang ada di Indonesia termasuk PT. Kimia Farma Tbk.
untuk lebih mengembangkan obat generik sehingga mampu memiliki daya
saing strategis dan dapat meningkatkan kemampu labaan. Guna
mengantisipasi persaingan bisnis yang kompetitif di pasar industri farmasi
khususnya dalam memasarkan maka pihak manajemen PT. Kimia Farma
Tbk. harus mengupayakan untuk menerapkan strategi bersaing.Faktor-faktor
lain yang perlu dipertimbangkan oleh PT. Kimia Farma Tbk. dalam
menghadapi persaingan bisnis obat generik meliputi ; pengetahuan dan
persepsi masyarakat terhadap kualitas obat generik, faktor peluang dan
ancaman yang dihadapi perusahaan serta faktor kekuatan dan kelemahan
yang dimiliki oleh perusahaan, merupakan keseluruhan faktor yang menjadi
dasar pertimbangan dalam memasarkan obat generik.
b. Weakness / kelemahan :
Kinerja atribut/variabel obat generik sebagai berikut ; kinerja atribut
kemasan dan variasi (keragaman) obat generik memiliki penilaian yang
negatif, sehingga pihak manajemen perusahaan perlu menetapkan
upaya/tindakan untuk lebih meningkatkan kemasan produk agar lebih
menarik perhatian dan meyakinkan konsumen serta menambah varian-varian
baru agar konsumen memiliki pilihan alternatif dalam mengkonsumsi obat
generik.
c. Opportunity / peluang :
Besarnya penduduk Indonesia dan masih rendahnya konsumsi obat
perkapita menyebabkan pasar potensial yang bisa dikembangkan.
Kecenderungan berkembangnya Sistem Penanganan Kesehatan yang wajar
yang dapat menyalurkan tenaga dokter termasuk dokter spesialis yang
dibutuhkan.
d. Threat / ancaman :
Adanya krisis ekonomi telah membuat daya beli obat rakyat Indonesia
menurun sehingga mengancam kelangsungan hidup industri farmasi
nasional terutama untuk pasar lokal.
Legal sistem belum dapat menanggulangi obat palsu secara efektif sehingga
harga obat menjadi lebih sulit dikontrol.