Anda di halaman 1dari 5

Sekolah dasar (disingkat SD;Inggris:Elementary School) adalah jenjang paling dasar

pada pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh dalam waktu 6 tahun,
mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Saat ini murid kelas 6 diwajibkan mengikuti Ujian
Nasional (dahulu Ebtanas) yang mempengaruhi kelulusan siswa. Lulusan sekolah dasar
dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (atau sederajat).

Pelajar sekolah dasar umumnya berusia 7-12 tahun. Di Indonesia, setiap warga negara
berusia 7-15 tahun tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yakni sekolah dasar (atau
sederajat) 6 tahun dan sekolah menengah pertama (atau sederajat) 3 tahun.

Sekolah dasar diselenggarakan oleh pemerintah maupun swasta. Sejak diberlakukannya


otonomi daerah pada tahun 2001, pengelolaan sekolah dasar negeri (SDN) di Indonesia
yang sebelumnya berada di bawah Departemen Pendidikan Nasional, kini menjadi
tanggung jawab pemerintah daerah kabupaten/kota. Sedangkan Departemen Pendidikan
Nasional hanya berperan sebagai regulator dalam bidang standar nasional pendidikan.
Secara struktural, sekolah dasar negeri merupakan unit pelaksana teknis dinas pendidikan
kabupaten/kota.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sekolah_dasar

Sekilas - Pendidikan Dasar Untuk Semua

© UNICEF-
Indonesia_2_120104_Josh_Estey

Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan


dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen.
Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan
dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang
putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.

Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua
anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi
guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat.
Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas
pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman
dan pedesaan.

Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus
belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah
dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan
anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi
sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah
tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah
relatif tak terjangkau bagi mereka.

http://www.unicef.org/indonesia/id/education.html

Level pendidikan
Dalam setiap level pendidikan sejatinya ada tujuan utama dari proses
pembelajaran, yang membedakan pendidian di setiap tingkatan. Masing-masing
tingkatan pendidikan dari SD, SMP, SMA hingga ke perguruan tinggi memiliki
paradigma pendidikan yang berbeda.

Di tingkat SD, tujuan pendidikan sejatinya adalah untuk membangun kesadaran,


tingkat SMP adalah untuk membangun dan membangkitkan minat serta
perhatian peserta didik. Untuk tingkat SMA proses pendidikan dilakukan dengan
pendekatan persuasif, mengarahkan dan membimbing para peserta didik dan di
tingkat perguruan tinggi berada pada level kebijakan, dimana setiap mahasiswa
lebih memiliki kemandirian dalam kebijakan.

Antara satu level pendidikan dengan level yang lain berkaitan satu sama lain.
Semuanya merupakan suatu jalinan yang tak terpisahkan, atau merupakan
proses pendidikan yang holistik. Oleh kareanya proses pendidikan harus
berlangsung dalam sebuah kesefahaman bersama.

Tanpa menyadari itu maka sistim pendidikan hanya menyiapkan para siswa
untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi dan tanpa karakter. Bobot mata
pelajaran diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa saja, yang
sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan
bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ).

Tanpa disadari, sistim pendidikan di Indonesia sebenarnya menyiapkan siswa


menjadi ilmuwan dan pemikir (filsuf), sehingga seluruh mata pelajaran dirancang
sedemikian rupa sulitnya, sehingga hanya dapat diikuti oleh 10 sampai 15
persen siswa terpandai saja atau mereka yang mempunyai IQ di atas 115.

Maka tidak heran banyak siswa yang merasa betapa sekolah jadi membosankan
bahkan menakutkan. Para murid diberikan setumpuk PR, kekerasan terhadap
anak didik dan ekstrakulikuler yang sangat memaksa dan mengekang. Kita miris
mendengar berita bunuh diri Heryanto siswa SD di Garut, karena tidak mampu
membayar uang kegiatan ekstra sebesar Rp2500.

Oleh karenanya pendidikan menjadi demikian penting dalam meletakkan dan


membangun kesadaran dari tujuan pencapaian pendidikan itu sendiri. Dalam
tulisan singkat ini, saya ingin mengurai lebih jauh tentang sistim pendidikan di
tingkat SD sebagai dasar pendidikan di Indonesia.

Pendidikan dasar

Penting sekali untuk melihat permasalahan pendidikan kita dengan


menggunakan Paradigma kritis. Jika dalam pandangan konservatif pendidikan
bertujuan untuk menjaga status quo, dan dalam pandangan kaum liberal
pendidikan itu untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki
struktur secara fundamental dalam politik dan ekonomi masyarakat dimana
pendidikan berada.

Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan merupakan refleksi kritis, terhadap


‘the dominant’ ke arah transformasi sosial. Pendidikan harus mampu
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan
kritis untuk transformasi sosial. Dalam bahasa yang berbeda, tugas utama
pendidikan adalah untuk memanusiakan kembali manusia yang mengalami
dehumanisasi.

Pembelajaran tematik merupakan penerapan pendidikan holistik yang melihat


sesuatu masalah dari berbagai sudut pandang keilmuan (multidisipliner). Setiap
mata pelajaran dikembangkan mengacu model pengembangan Kemp (1994)
yang telah diadaptasi. Karena penting sekali mengetahui pengaruh pembelajaran
tematik terhadap kesadaran diri (Self Awareness) siswa SD.

Tumbuhnya self awareness dalam diri siswa akan melahirkan pelajar-pelajar


yang cerdas, santun dan berkahlak mulia yang mampu mengemban tugas dan
peran yang telah diamanahkan oleh Allah SWT yaitu menjadi kholifatu fil ardhi
(pemimpin di muka bumi).

Self awareness berarti sadar tentang kelebihan dan kekurangan diri, peran,
tugas serta tanggung jawab sebagai makhluk Allah di muka bumi ini. Self
awareness ini akan membawa dampak positif dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, terlebih saat ini sedang terjadi krisis multidimensi
yang salah satunya adalah krisis moral. Salah satu penyebab terjadinya krisis
moral adalah menipisnya self awareness dalam pribadi-pribadi masyarakat.

Pendidikan sekolah sebagai salah satu media pembelajaran bagi masyarakat,


terutama para pelajar adalah sangat efektif dalam menumbuhkan self
awareness. Karena inilah dasar dari pendidikan itu sendiri. Oleh karenanya
proses pendidikan di tingkat dasar (SD) penting untuk mengacu pada
pengembangan self awareness. Guru sebagai pengatur atau pembuat sekenario
dalam pembelajaran harus mampu memberikan pembelajaran bermakna tentang
kesadaran ini.

Para siswa diajak untuk menyadari posisi dan kedudukannya dalam sistim
kemasyarakatan yang ada di lingkungannya, tugas dan peran mereka sebagai
anggota masyarakat serta penghuni. Dengan demikian murid akan merasakan
bahwa belajar lebih bermakna dan tidak berkutat pada teori, rumus hafalan.

Ada indikasi bahwa pola pembelajaran bersifat teacher centered.


Kecenderungan pembelajaran demikian, mengakibatkan lemahnya
pengembangan potensi diri siswa dalam pembelajaran sehingga prestasi belajar
yang dicapai tidak optimal. Kesan menonjolnya verbalisme dalam pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar di kelas masih terlalu kuat. Hasil penelitian Rofi’uddin
(1990) tentang interaksi kelas di sekolah dasar menunjukkan bahwa 95%
interaksi kelas dikuasai oleh guru.

Salah satu alternatif model pembelajaran yang dapat dikembangkan untuk


memenuhi tuntutan tersebut adalah model belajar role playing. Davies (1987)
mengemukakan bahwa penggunaan role playing dapat membantu siswa dalam
mencapai tujuan-tujuan afektif. Esensi role playing, menurut Chesler dan Fox
(1966) adalah the involvement of participant and observers in a real problem
situation and the desire for resolution and understanding that this involvement
engender.

Setidaknya ada tiga asumsi yang mendasari pengajaran ini. Pertama, secara
implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan
pengalaman dengan menekankan dimensi “di sini dan kini” (here and now)
sebagai isi pengajaran. Kedua, bermain peran memberikan kemungkinan
kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaannya yang tak dapat mereka
kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga, model ini mengasumsikan
bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian
ditingkatkan melalui proses kelompok.

Penutup

Model pembelajaran di atas adalah salah satu contoh saja dari proses
pembelajaran yang bertujuan untuk membangun kesadaran peserta didik di
tingkat sekolah dasar. Kajian yang komprehensif dan mendalam perlu lebih
difokuskan pada tujuan pendidikan membangun kesadaran ini pada tingkat
sekolah dasar.

Karena jika ini tidak dilakukan, maka dikhawatirkan akan terjadi suatu kondisi
yang disebut underachievement yang dapat didefinisikan sebagai
ketidakmampuan atau kegagalan untuk menampilkan tingkah laku atau prestasi
sesuai dengan usia atau bakat yang dimilikinya, dengan kata lain, potensi yang
tidak terpenuhi (unfulfilled potentials). ***** (Suwardi Lubis : Penulis adalah
Dosen USU dan STIK-P Medan )
http://waspadamedan.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=6378:sistim-pendidikan-dasar-indonesia-
&catid=59:opini&Itemid=215

Anda mungkin juga menyukai