Anda di halaman 1dari 4

c   c

 
 
c    

Diselenggarakan pada tahun Dal (8 tahun


sekali) Grebeg dilaksanakan pada hari Jum¶at
Kliwon, selanjutnya pada hari Ahad (minggu)
Paing +/- 24 BBWI ISKS Pakoeboewono
sekalian GK. Ratu Alit di Pawon atau dapur
³Gondorasan:´ untuk ³adang´ atau menanak
nasi.

c  

Tatacara yang dilaksanakan adalah


Abdidalem ³Pareden´ atau gunungan 1 rakit
atau 2 buah diarak menuju Masjid Ageng
Karaton oleh para Abdidalem dan prajurit
Karaton sebanyak 4 pleton. Selesai didoakan
di masjid dibagi seperti Grebeg Mulud.

c   

Tatacara yang dilaksanakan adalah sebagai berikut:

1). Penyerahan kelengkapan ³Jamasan Pusaka´ atau minyak untuk membersihkan pusaka
diterimakan kepada sesepuh Kadilangu (Ahli waris Sunan Kalijaga). Minyak diserahkan, yaitu
lisah sepuh, lisah cendana dan kembang.

2). Dikeluarkannya ajad dalem ³Pareden´atau gunungan pada +/- jam 10.00 WIB. Tatacara
yang dilaksanakan adalah seperti pada Grebeg Pasa

Dari ketiga jenis Grebeg tersebut, Grebeg Muludlah yang prospeknya cerah dan banyak
mengundang para pengunjung, oleh karena itu akan dibahas lebih lanjut sebagai berikut.

Setelah perayaan sekaten berlangsung 7 hari, maka tepat tanggal 12 Rabiulawal, yakni hari
lahirnya Nabi Muhammad SAW, diadakan upacara selamatan dengan sesaji ³Gunungan´ yang
diselenggarakan oleh Sinuhun Paku Buwana. Puncak perayaan sekaten itu berbarengan dengan
Grebeg Mulud Nabi, serta dipusatkan di Masjid Agung yang terletak di sebelah barat Alun-Alun
utara.

Peresmian selamatan ini dimulai dengan pasewakan, Ingkang Sinuhun memerintahkan Pepatih
Dalem untuk menyampaikan perintah kepada Kyai Penghulu Tapsiranom agar memimpin
upacara selamatan Mulud Nabi Muhammad SAW serta membacakan doa seperlunya. Perjalanan
rombongan pembawa sesaji ³gunungan´ dari Karaton serta didahuluioleh tarian. Ini dilakukan
oleh para Brahmana dengan maksud untuk menguji kesungguhan iman Pepatih dalem di dalam
mengemban perintah Ingkang Sinuhun. Kalau dalam menjalankan tugas tertawa itu tandanya
masih bisa tergoda.

Tentang sesaji gunungan ini KGPH Hadiwijaya menjelaskan sebagai berikut: Gunungan (asal
kata gunung) itu terdiri dari 24 jodang besar, yaitu 12 buah jodang gunungan laki-laki dan 12
buah jodang gunungan perempuan. Disela-sela itu terdapat anak-anak (saradan) dan 24 buah
ancak-canthaka.

Gunung laki-laki yang berbentuk tumpengan , lingga atau meru itu tingginya melebihi tinggi
ornag berdiri, dipundaknya ditaruh ento-ento (sejenis makanan yang bentuknya bulat) sebanyak
4 buah dan diatasnya 1 buah. Ini melambangkan rasa sejati, perlambang yang dapat kita saksikan
pada tugu batu dari candi Sukuh (Sukuh, Tawangmangu) yang kini ditancapkan bendera kecil
gula klapa (putih merah) yang dibalik, yang juga melambangkan laki-laki perempuan.

Gunungan bentuknya seperti tubuh gender ialah yoni. Oleh sebab itu dinamakan ³gegenderan´.
Segala sesuatu tidak berbeda dengan gunungan laki-laki di atas. Antara gunungan laki-laki
tersebut terdapat anak-anakan yang dinamakan ³saradan´

Jodhang yang dipergunakan untuk mengusung gunungan tersebut diberi hiasan yang
mengandung makna tersendiri, serta mempunyai arti simbolis, antara laindiberi kampuh (penutup
dari setengah tingginya ke bawah) berupa kain µbangotulak¶ ynag indah, megah dan berwibawa
itu.

Untuk keperluan sehari-hari pada sesaji/selamatan lazim kita jumpai jenang putih merah, tidak
boleh keliru putihnya harus ditaruh di atas yang merah. Inipun melambangkan laki-laki
perempuan, seperti yang terkandung dalam simbolgula ± klapa yang dibalik, putihnya di atas
merahnya di bawah.

Tentang ancak-canthoka yang berjumlah 24 itu bentuknya menyerupai kodhok (katak), diberi
wadah besi tertutup dari kuningan.

Dalam iring-iringan dari halaman Kamandungan menuju Masjid Besar, berjalan paling depan
gunungan laki-laki berselang dengan gunungan perempuan, sedang diantaranya terdapat anak-
anak (saradan). Di belakangnya adalah ancak-canthoka dalam formasi berjajar dua-dua. Perjalan
diapit oleh abdidalem panewu mantri. Dibelakang sendiri berjalan seorang Bupati Pangreh Praja
sebagai penutupnya.

Iring-iringan gunungan itu berjalan lewat di depan Ingkang Sinuhun di Sitinggil, lewat alun-alun
utara dan seterusnya menuju masjid Besar. Perjalanan iring-iringan sesaji gunungan tersebut
mendapat penghormatan gending Mungga. Sesampainya pada rombongan ancak-canthoka
gending berubah menjadi kodhok ngorek.
Selanjutnya mengenai jum`lah (hitungan) 12-24-2 di atas masing-masing mempunyai arti sibolis
sama dengan hitungan khusus 3 = trimurti, 4 = keblat, 2 = loro, loroning atunggal, dan
sebagainya. Dikalangan ilmiah barat disebutnyatweedeling dan perkalianangka-angka di atas
apabila berikutnya 12 x 2 ± 24 adalah perputaran bumi mengelilingi matahari satu hari satu
malam selama 24 jam.

Setelah rombongan sampai di serambi Masjid Besar maka Pepatih Dalem memberitahukan hajat
Ingkang Sinuhun kepada Kyai Penghulu Tafsiranom serta minta dibacakan doa menurut
semestinya. Kyai penghulu Tafsiranom menerima penyerahan itu selanjutnya memimpin
jalannya upara sampai selesai. Kemudian sesudah upacara selesai, maka gunungan dan tumpeng
sewu dibagikan kepada semua yang hadir, tidak ketinggalan dikirimkan kepada Ingkang Sinuhun
dan para pembesar yang dianggap perlu.

  

 
  

  
  atau dalam bahasa Jawa disebut Karaton Surakarta Hadiningrat,
merupakan bekas Istana Kerajaan Kasunanan Surakarta Hadiningrat (1755-1946). Keraton
ini didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 sebagai
pengganti Istana/Keraton Kartasura yang porak-poranda akibat Geger Pecinan 1743. Istana
terakhir Kerajaan Mataram didirikan di desa Sala (Solo), sebuah pelabuhan kecil di tepi
barat Bengawan (sungai) Beton/Sala. Setelah resmi istana Kerajaan Mataram selesai
dibangun, nama desa itu diubah menjadi Surakarta Hadiningrat. Istana ini pula menjadi
saksi bisu penyerahan kedaulatan Kerajaan Mataram oleh Sunan PB II kepada VOC di
tahun 1749. Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, keraton ini kemudian dijadikan istana
resmi bagi Kasunanan Surakarta sampai dengan tahun 1946, ketika Pemerintah Indonesia
secara resmi menghapus Kasunanan Surakarta dan menjadikannya sebuah karesidenan
langsung di bawah Presiden Indonesia.

     


Keraton (Istana) Surakarta merupakan salah satu bangunan yang eksotis di zamannya.
Salah satu arsitek istana ini adalah Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Sultan
Hamengkubuwono I) yang juga menjadi arsitek utama Keraton Yogyakarta. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan jika pola dasar tata ruang kedua keraton tersebut (Yogyakarta
dan Surakarta) banyak memiliki persamaan umum. Keraton Surakarta sebagaimana yang
dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-45, namun dibangun
secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan
awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh
Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939. Sebagian besar
keraton ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitekrur gaya campuran Jawa-Eropa.

Secara umum pembagian keraton meliputi: Kompleks Alun-alun Lor/Utara, Kompleks


Sasana Sumewa, Kompleks Sitihinggil Lor/Utara, Kompleks Kamandungan Lor/Utara,
Kompleks Sri Manganti, Kompleks Kedhaton, Kompleks Kamagangan, Kompleks
Srimanganti Kidul/Selatan (?) dan Kemandungan Kidul/Selatan, serta Kompleks
Sitihinggil Kidul dan Alun-alun Kidul. Kompleks keraton ini juga dikelilingi dengan
baluwarti, sebuah dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan
tebal sekitar satu meter tanpa anjungan. Dinding ini melingkungi sebuah daerah dengan
bentuk persegi panjang. Daerah itu berukuran lebar sekitar lima ratus meter dan panjang
sekitar tujuh ratus meter. Kompleks keraton yang berada di dalam dinding adalah dari
Kemandungan Lor/Utara sampai Kemandungan Kidul/Selatan. Kedua kompleks
Sitihinggil dan Alun-alun tidak dilingkungi tembok pertahanan ini

Anda mungkin juga menyukai