Anda di halaman 1dari 13

MANGROVEKU SAYANG, MANGROVEKU MALANG Suatu Studi tentang Pelestarian Mangrove dan Kehidupan Masyarakat Petani Garam di Kelurahan

Oesapa Barat,.

Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur1

Oleh: Wilson M.A. Therik

This paper discusses the government policy in mangrove rehabilitation action with concern to the new approach in relation to the implementation of Local Autonomy, which shifts form the top down approach to the bottom-up approach (coastal society empowering approach). With this approach; the society will own «sense of belonging" to manage the mangrove forest, which is already rehabilitated by the society. The approach will educate the society about the importance of mangrove forest for coastal life especially for protection and fishery.

Keywords: Ekosistem Mangrove, Petani Garam, Rehabilitasi Hutan

Pendahuluan

Krisis yang berkepanjangan tengah melanda negara kita. Pembangunan yang tidak menjaga keseimbangan lingkungan teIjadi dan meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Alasan tersebut diperparah dengan ketidakkonsistennya pemerintah dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Akibat dari ketidakacuhan tersebut baru dapat dirasakan akhir-akhir ini, ketika banyak terjadi abrasi (pengikisan pantai) dan banjir bandang yang melanda berbagai .daerah eli negara ini

Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km-. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti

yang strategis karena merupakan wilayah interaksij'peralihan (interface) antara ekosistem darat dan lautyang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan Iainnya.

Kekayaan sumber daya yang djrnilild wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.

1 Tulisan ini awalnya merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilson M.A. Therik untuk penulisan makalah akhir matakuliah Lingkungan dan Pembangunan pada Program Pascasrujana Doktor Studi Pembangunan UKSW Salatiga di bawah bimbingan Dr. Ir. Agus Ign. Kristijanto, M.S dan Prof. Dr. Ir. Sonny Heru Prlyanto, M.M. Makalah akhir ini kemudian dikembangkan oleh penulis menjadi artikel untuk jurnal ilmiah. Kepada kedua pembimbing penulis mengucapkan banyak terima kasih.

157

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdisipliner Vol.XX No.2, Agustus-November 2008: 135 - 156

Us aha penghijauan atau reboisasi hutan mangrove di beberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Papua telah berulangkali dilakukan (Rimbawan, 1995; Sumarhani, 1995; Fauziah, 1999). Upaya ini biasanya berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat. N amun hasil yang dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah. Padahal dalam pelaksanaannya tersedia biaya cukup besar, tersedia tenaga ahli, tersedia bibit yang cukup, pengawasan cukup memadai, dan berbagai fasilitas penunjang yang lainnya. Sebagian besar garis pantai perairan Indonesia merupakan dataran rendah dan tertutupi hutan tropis atau hutan mangrove, kadangkadang terbentuk pantai yang berbatasan dengan pasir berbatu atau karang lunak dan terletak di belakang pinggiran terumbu karang, terutama di dekat muara sungai (Saparinto, 2007).

Kawasan hutan mangrove di pesisir pantai Kelurahan Oesapa Barat, Kota Kupang termasuk dalam

TAMBAK GARAM

PEMUKIMA N PETANI GARAM

gelombang pasangjenis pasang surut ganda campuran, yaitu gelcim-bang pasang yang dapat terjadi dua kali dalam sehari. Kehidupan masyarakat petani garam (masyarakat pesisir) di Kelurahan Oesapa Barat sangat jauh berbeda dengan kehidupan masyarakat pesisir di sebagian daratan Jawa dalam kaitannya dengan rehabilitasi hutan mangrove. Di mana pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove yang telah terjadi dilakukan atas perintah dari atas. Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya komando atau rencana itu senantiasa datangnya dari atas, sedangkan bawahan termasuk masyarakat sebagai ujung tombak pelaksanaan proyek hanya sekedarmelaksanakan perintah atau dengan istilah populer top-down approach (pendekatan dari atas ke bawah) Sedangkan rehabilitasi hutan mangrove di Kelurahan Oesapa Barat dilakukan oleh masyarakat petani garam secara swadaya tanpa adanya perhatian ataupun bantuan dari pemerintah, pola rehabilitasi ini lebih dikenal dengan istilah bottom-up approach (pendekatan dari bawah ke atas).

TAMBAK GARAM

Gambar 1

Foto Satelit Hutan Mangrove, Tambak Garam dan Pemukiman Masyarakat Petani Garam di Kelurahan Oesapa Barat Kota Kupang

Sumber: www.google.co.idlearth

158

Pertanyaan selanjutnya yang bisa eliajukan adalah sejauhmana keterlibatanpenyelenggara negara (pemerintah) dalam pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Oesapa Barat. Pertanyaanini lebih lanjut telah penulis kembangkan dalam suatu kerangka pikir sebagaimana yang penulis uraikan pada halaman 8.

Tulisan ini hanya terfokus pada pola pelestarian hutan mangrove oleh masyarakat petani garam di Kelurahan Oesapa Barat, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan tujuan untuk memberikan masukkan dalam pelestarian hutan .mangrove sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah saat ini khususnya eli Kota Kupang.

Mangrove: Tinjauan Pustaka

Mangrove berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan (Odum, 1983). Di Suriname, kata mangro pada mulanya merupakan kata umum yang elipakai untuk jenis Rhizophora mangle. Karsten (1980) dalam Chapman (1976). Di Portugal, kata mangue eligunakan untuk menunjukkan suatu inelividu pohon dan kata mangal untuk komunitas pohon tersebut. Di Perancis, padanan yang eligunakan untuk mangrove adalah kata menglier. MacNae (1968) menggunakan kata mangrove untuk individu tumbuhan dan man gal untuk komunitasnya. Tomlinson (1986) dalam Wightman (1989) menggunakan kata mangrove baik untuk tumbuhan maupun komunitasnya, dan Davis (1940) dalam Walsh (1974) menyebutkan bahwa kata mangrove merupakan istilah umum untuk pohon yang hidup eli daerah yang berlumpur, basah dan terletak eli perairan pasang surut daerah tropis.

Therik: Mangroveku Sayango Mangroveku Ma'I~~9

Meskipun terdapat perbedaan dalam penggunakan kata, . Mepham(198S) dalam Wightman (1989) menyatakaD. bahwa pada ULnunmaya tidakperlu dikacaukan dalam penggunaan kontekstual dari kata-kata tersebut.

Beberapa ahli mengemukakan definisi hutan mangrove, seperti Soerianegara dan Indrawan (1982) menyatakan bahwa hutan mangrove adalah hutan yang tumbuh di daerah pantai, biasanya .terdapat didaerah teluk dan di muara sungai yang elicirikan oleh: (1) tidak terpengaruh iklim; (2) elipengaruhi pasang surut; (3) tanah tergenang air laut; (4) tanah rendah pantai; (5) hutan tidak mempunyai struktur tajuk; (6) jenisjenis pohonnya biasanya terdiri atas api-api (Avicenia sp), pedada (Sonneratia), bakau (Rhizopora sp), lacang (Bruguiera sp), nyirih (Xylocarpus sp), nipah (Nypa sp) dan lain-lain. Kusmana (2002) mengemukakan bahwa mangrove adalah suatu komunitas tumbuhan atau suatu individu jenis tumbuhan yang membentuk komunitas tersebut eli daerah pasang surut. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang secara alami dipengaruhi oleh pasang surut air laut, tergenang pada saat pasang naik dan bebas dari genangan pada saat pasang rendah. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove.

Menurut Nybakken (1982)

hutan bakau atau mangal adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semaksemak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin "Bakau" adalah tumbuhan daratan berbunga yang mengisi kembali pinggiran laut.

159

KRITIS, Jumal Studi Pembangunan Interdidipliner Vol xx No.2: 157 ~ 169

Menurut Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi. sumber daua alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam dan lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sedangkan arti kata mangrove adalah vegetasi hutan yang tumbuh di antara garis pasang surut, tetapi juga dapat tumbuh pada pantai karang, pada daratan koral mati yang di atasnya ditumbuhi selapis tipis pasir atau ditimbuni lumpur atau pantai berlumpur (Saparinto,2007).

Selanjutnya Saparinto (2007) mengungkapkan hutan mangrove mempunyai 3 fungsi utama bagi kelestarian sumber daya yakni fungsi fisik, fungsi biologi dan fungsi ekonomi. Menurut Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Tahun 1999 luas potensial hutan mangrove Indonesia adalah 8,6 juta ha yang terdiri atas 3,8 juta ha terdapat di kawasan hutan dan 4,8 juta ha terdapat di luar kawasan hutan. Sementara itu berdasarkan kondisinya diperkirakan bahwa 1,7 juta (44,73%) hutan mangrove di dalam kawasan hutan dan 4,2 juta ha (87,50%) hutan mangrove di luar kawasan hutan dalam keadaan rusak. Menurunnya ekosistem mangrove di wilayah pesisir dapat dilihat dari luas hutan mangrove Indonesia yang diperkirakan 4,25 juta ha saat ini hanya tinggal 2,5 juta ha.

Sumber daya ekosistem

mangrove termasuk dalam. sumber daya wilayah pesisir, merupakan sumber daya yang bersifat alami dan dapat terbaharui (renewable resources) yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya, supaya dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan pengelolaan

160

yang lestari.' Mangrove menghendaki lingkungan temp at tumbuh yang agak ekstrim yaitu membutuhkan air asin (salinitas air), berlumpur' dan selalu tergenang, yaitu di daerah yang berbeda dalam jangkauan pasang surut seperti di daerah delta. (Irwan, 2007). Selain itu, sumber daya mangrove juga mernpunyai beberapa peran baik secara fisik, biologi maupun kimia yang sangat menunjang pemenuhan kebutuhan hidup manusia dan berfungsi sebagai penyangga keseimbangan ekosistern di wilayah pesisir di antaranya: 1) sebagai pelindung dan penahan pantai; 2) sebagai penghasil bahan organik; 3) sebagai habitat fauna mangrove; dan 4} sebagai kawasan pariwisata dan konservasi. Pemanfaatan hutan mangrove secara rasional bagi pertanian, pertambakan atau kepentingan lain hendaknya mencakup un sur-un sur selektif, preservasi, konservasi dan efisiensi.

Selain ekosistem mangrove di wilayah pesisir terdapat juga ekosistem lain, baik yang bersifat alami (naturaij maupun buatan (manmade). Ekosistem alami yaitu terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass bed), pantai pasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pescaprae, formasi barringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain tambak, sawah pasang surut, perkebunan, kawasan pariwisata, industrl dan pemukiman, (Saparinto, 2007).

Selanjutnya Suryanto (2007) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan mangrove baik dari aspek ekonomi maupun aspek lingkungan, yaitu:

1. Penghasn Kayu

Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis pohon dapat menghasilkan kayu untuk pertukangan dan industrl lainnya.

2. Tempat pemijahan berbagai jenis ikan

Dengan adanya hutan mangrove eli tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk berlindung karena gelombang eli bawah tegakan hutan mangrove relatif tenang. Keberadaan biota tersebut juga didukung banyaknya plankton.

3. Menjaga kelestarian terumbu karang

Terumbu karang sangat berguna untuk temp at berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan . dikembangkan untuk tempat wisata alamo

4. Mencegah abrasi dan erosi pantai

Keutuhan pantai dapat terjaga dan menghindari penurunan luasan pantai secara drastis.

5. Sebagai perlsai hidup

Apabila teIjadi bencana gelombang tsunami, sehingga sekalipun tertimpa musib ah, namun dampak yang ditimbulkannya tidak akan separah sepertl yang

Therik: Mangroveku Sayang, Mangroveku Malang

terjadi di Aceh. Menurut informasi 50% kekuatan gempasan gelombangdapat diredamoleh hutan mangrove

Kehadiran ekosistem . mangrove di .wilayah pesisir sangat besarmanfaatnya bagi ekosistem lain yang berada di dekatnya sepertl padang lamun (seagrass), rumput laut (seaweeds), dan terumbu karang (coral reeJJ. Sebagai contoh, limbah padat maupun cair serta sedimen yang berasal dari muara sungai dan terbawa melalui aliran sungai terlebih dahulu disaring eli kawasan mangrove oleh akar-akarnya yang berfungsi sebagai perangkap sebelum masuk ke Iaut eli mana terdapat ekosistem-ekosistem tadi.

Selain hutan mangrove dan eksostemnya, para petani garam yang dimaksudkan dalam makalah ini keluarga atau individu yang bekerja sebagai petambak garam, pemasak garam, dan penjual garam, baik garam yodium maupun garam dapur (non yodium), di antaranya ada yang juga bekerja sambilan sebagai nelayan tradisional (nelayan perseorangan), sekedar mencari ikan untuk kebutuhan makan sehari-hari,

Gambar2

Hutan Mangrove sebagai Pelindung Pantai darl Ancaman Abrasi

Foto: Wilson Therik; 2007

161

KRITIS, Jumal Sludi Pembang unan Inlerdidipliner Vol XX NO.2: 157 • 169

Tabell

Distribusi Butan Mangrove dan Tingkat Kerusakannya di NTT Tahun 2000

NO KABUPATEN LUAS(Ha) TINGKA T KERUSAKAN
Rs.dS 5s.dB B
1 Kupang .. 11.001,46 544,93 3.844,24
2 Timor Tengah Selatan 287,29 287,29 80,66
3 Timor Tengah Utara 298,26 217,60 80,66
4 Belu 5.387,22 98,92 3.246,00 1.837,45
5 Alor 1.837,45
6 Flores Timur * 2.372,05 2.372,05
7 Ende 1.611,56 1.611,56
8 Sikka 1.196,32 1.196,32
9 Ngada 2.001,33 2.001,33
10 Manggarai * 10.042,79 5.330,51 4.712,26
11 SumbaTImur 1.892,48 1.892,48
12 Sumba Barat 2.687,29 699,13 1.671,25 316,9
Jumlah 40.616,50 14.550,91 17.943,04 8.121,55
Keterangan: ... Sebelum Pernekaran
R= Rendah, S= Sedang, B= Berat
Sumber: Jumal Litbangda NTT Flobamora Nomor: 2 Tahun 02, April-Juli 2006. Kerangka Pikir

Kerangka pikir ini dikembangkan dari pertanyaan sejauhmana keterlibatan penyelenggara negara (pemerintah) dalam pelestarian hutan mangrove di Kelurahan Oesapa

MASYARAKAT PETANI GARAM

Barai, pertanyaan ini didasarkan pada pengalaman pribadi penulis yang sejak lahir hingga saat ini menetap di Kelurahan Oesapa Barat dan selalu berinteraksi dengan masyarakat petani garam yang juga pelestari kawasan hutan mangrove.

USAHA TAMBAK GARAM

MENJAGA HUTAN MANGROVE

MENCEGAH ABRASI PANTAI

RETRIBUSI

162

KONSUMSI KELUARGA

PRODUKSIDAN PENJUALAN

Selayang Pandang Kelurahan Oesapa Barat

Dalam penelitian ini, tidak banyak yang bisa diketahui tentang Kelurahan Oesapa Barat, khususnya RT 002/RW 001. Hal ini elisebabkan keterbatasan administrasi kelurahan, mengingat Kelurahan Oesapa Barat merupakan kelurahan baru hasil pemekaran. Sebagian besar uraian ini elidasarkan pada wawancara dengan Lurah dan Ketua RT 002/RW 001, juga data-data lain yang diperoleh dari luar kelurahan. Kelurahan Oesapa Barat merupakan kelurahan yang baru terbentuk pada Tahun 2006, terlepas dari induknya Kelurahan Oesapa.· Dengan luas

Therik; Mangroveku Sayang, Mangroveku Malang

wilayah 21,22 km2 dengan jumlah penduduk ± 1.152 jiwa yang terbagi dalam 18 wilayah Rukun Tetangga (RT) dan 8 wilayah RukunWarga (RW).

Masyarakat Kelurahan Oesapa Barat pada umumnya menggantungkan hidup dari sektor pertanian, khususnya "Iris Tuak", eli samping bidang pekerjaan lainnya seperti pemerintahan, militer, penelidikan, jasa dan perdagangan, perikanan (kenelayanan), dan kegiatan memasak garamj'tambak garam secara tradisional. Selanjutnya profil Kelurahan Oesapa Barat dapat dilihat dalam Tabel 2.

\,1

Tabe12

Prom Kelurahan Oesapa Barat Tahun 2007

NO PROFIL KETERANGAN
1 DAERAH KELURAHAN
2 LETAK GEOGRAFIS PERBUKITAN DAN PANTAI
3 TOPOGRAFI DATAR (TANAH KARANG)
4 JUMLAH RUKUN TETANGGA 18
5 JUMLAH RUKUN WARGA 8
6 JUMLAH PENDUDUK 1.152
7 RUMAH TANGGA PRA SEJAHTERA 196
8 RUMAH TANGGA TANIINELAYAN 74
9 RUMAH TANGGA BUKAN TANI/NELAYAN 68
10 SUMBER PENGHASILAN PERTANIAN DAN JASA
11 PERSENTASE PENDUDUK TIDAK LULUS SO *) 13%
12 PERSENTASE PENDUDUK LULUS SO 20%
13 PERSENTASE PENDUDUK LULUS SLTP ·29%·
14 PERSENTASE PENDUDUK LULUS SLTA 37%
15 PERSENTASE PENDUDUK LULUS AKADEMI/PT 1%
16 SARANA PENDIDIKAN 1 Play Group, 1 TK, 1 SO ,
1 SMK, 2 Perguruan Tinggi
17 SARANA IBADAH 1 Gereja PROTESTAN
18 SARANA KESEHATAN 1 KUNIK
19 IKUM 9 Bulan Musim PANAS
3 Bulan Musim HUJAN 163

*) Termasukyang tidak sekolahJtidak tamatSDJmelek huruf Sumber data: Diolah dari data primer, 2007

KRITI$, Jurnal Studi Pembangunan Interdidipliner Vol xx No.2: 157 - 169

Dari data yang ada pada Tabel 2, terlihat bahwa Kelurahan Oesapa Barat dengan topografi datar (tanah berbatu karang) dan merupakan daerah perbukitan dan pantai ini, memiliki jumlah penduduk ± 1.152 jiwa. Sumber penghasilan utama masyarakat Kelurahan Oesapa Barat adalah bertanii, dengan pola pertanian yang subsisten, artinya lebih diperuntukkan memenuhi kebutuhan hidup sehari-sehari.

Dari segi pendidikan, terlihat bahwa persentase penduduk belum sekolahjtidak tamat SD/buta huruf sebanyak 13%, persentase penduduk yang lu1us SD sebanyak 20%, persentase penduduk yang lulus SLTP sebanyak 29%, persentase penduduk yang lulus SLTA sebanyak 37%, persentase penduduk yang lulus dan persentase penduduk yang lulus AkademijPerguruan Tinggi sebanyak 1 %. Data ini menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat Kelurahan Oesapa Barat dari segi pendiclikan masih rendah sekalipun ditunjang dengan jumlah sarana pendidikan yangcukup.

Dalam bidang kesehatan, terlihat bahwa sarana kesehatan di Kelurahan Oesapa Barat masih sangat minim, hanya ada 1 klinik. Untuk bidang keagamaan, hanya ada 1 buah gereja untuk umat Protestan. Hal ini dapat dipahami karena mayoritas masyarakat kelurahan Oesapa Barat adalah pemeluk agama Kristen Protestan. lni bukan berarti bahwa hubungan antar agama tidak baik, tetapi justru sebaliknya. Keberadaan umat Islam yang pada umumnya adalah pedagang migran telah mem-

1 Bertani dalam tulisan ini diartikan secara luas yakni bertani sebagai petani subsisten, petambak garam dan nelayan tradisional. Ada beberapa penulis menggunakan istilah Nelayan Petani atau Petani Nelayan.

164

buka wawasan masyarakat Oesapa Barat untuk menghargai perbedaan yang ada. Dari 54 KK yang ada diRT 002/RW 001, 23 KK (42%) merupakan keluarga petani garamj nelayan tradisional. Selanjutnya penulis uraikan pada Tabel 3.

Tabe13

Prom. Kepala Keluarga RT 002/RW 001 Kelurahan Oesapa Barat Tahun2007

NO PROFIL JUMLAH 0/0
KK
Petani Garam/Nelayan 23 42
Tradisional
2 Usaha Kios/Toko 7 8
3 Usaha Warung/Rumah 3 6
Makan
4 Usaha Warle1 2 4
5 Usaha Dagang Kayu 4 7
6 Usaha Supermarket 2
7 Lain-lain (Anggota 14 31
TNI/Porri, Guru, Pensiunan
PNS, Usaha Sengkel,
Usaha Travel, dan
Pengangguran). Jumlah 54

100

Sumber data: Ketua RT 002/RW 001 Kelurahan Oesapa Barat, 2007

Mangrove dan Tambak Garam:

Kehidupan Sehari~hari Masyara~ kat Petani Garam eli Kelurahan Oesapa Barat

Kondisi sosial ekonomi masyarakat petani garam {23 KK) di RT 002/RW 001 Kelurahan Oesapa Barat relatif rendah· umumnya didukung pula dengan tingkat pendidikan masyarakat petani garam yang rendah sekalipun sarana pendidikan yang tersedia cukup memadai (lihat Tabel 2). Sedangkan dari hasil penjualan garam {sebagai satu-satunya sumber pendapatan keluarga) sebagaimana penulis uraikan pada Tabel 4 dapat diketahui bahwa rata-rata pendapatan keluarga petani garam berkisarantara Rp2S.000-Rp50.000 perhari.

Therik: Mangroveku Sayang, Mangroveku Malang

Tabel4

BasU Penjualan Garam Oleh KK Petani/Penjual Garam eli RT 002/RW 001 Kelurahan Oesapa Barat Tahun 2007

HASIL PENJUALAN (Rplharij

JUMLAHKK

%

25.000~50.000 51.000~75.000 76.000-100.000

13 8 2

26,4 37.5 33

Jumlah

23

100

Sumber data: Diolah dari data primer, 2007

Keberadaan tambak garam ini sangat bergantung pada kekuatan hutan mangrove menahan hantaman gelombang (sekaligus mencegah abrasi pantai) karena hutan mangrove dan tambak garam berada dalam satu kawasan eli pinggir pantai Oesapa Barat (lihat Gambar 2). PadaTahun 1952 tambak garam ini hancur eli hantam gelombang pasang yang sangat kuat, sebagaimana elituturkan J.A.D. Maakh, tokoh masyarakat eli RT 002/RW 001 Kelurahan Oesapa Barat pada penulis:

Pelestarian hutan mangrove sudah dilakukan oleh masyarakat Kelurahan Oesapa Barat secara turun temurun sejak Tahun 1952 eli mana pada saat itu terjadi gelombang pasang yang menghantam dan merusak seluruh tambak garam yang ada dan saat itu seluruh petani garam harus memulai kembali semua usaha tambak garamnya darl nol. Kejadian ini membuat masyarakat petani garam sadar bahwa merusak pohon bakau adalah ancaman buat kehidupan mereka di masa yang akan datang. Maka di gelarlah acara "Sumpah Adat" yang difasilitasi oleh tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemerintah dengan memotong sapi dan darah sapi elisebar ke seluruh kawasan mangrove, acara sumpah adat ini dilakukan agar masyarakat sekitar pantai tidak lagi merusak pohon bakau, sebab salah satu isi dari sumpah adat adalah

barang siapa yang merusak pohon bakau eliyakini akan mendapat kutukan dari para leluhur. Ini-lah titik awal pelestarian hutan mangrove di mulai.s

Seiring dan sejalan dengan perkembangan ilmu, pengetahuan dan teknologi, kekuatan Sumpah Adat 1952 mulai memudar, hal ini dibuktikan dengan adanya sekelompok masyarakat petani garam yang mulai memanfaatkan keuntungan dari pohon bakau secarailegal dengan cara menebang secara sembarangan dan membakarnya, sebagaimana yang elituturkan Lorens Daile, Ketua RT 002/RW 001 Kelurahan Oesapa Barats.

Gambar3

Salah Satu Lokasi Penanaman Anakan Mangrove

Foto: Wilson Therik, 2007

2 Wawancara tanggal 10 Oktober 2007 dan 13 Oktober 2007

3 Wawancara tangga115 Oktober 2007

165

KRITI$, Jurnal Studi Pembangunan lnterdidipliner Vol XX NO.2: .157 - 169

Kondisi ini membuat pihak RT mengumpulkan seluruh masyarakat pesisir dan membentuk kelompok kerja bersama dengan kegiatan utama melakukan persemaiarr/budidaya anakan mangrove, anakan sentigi dan sekaligus melakukan penanaman kembali anakan mangrove. Pelaksanaan pelestarian hutan mangrove (seluas ± 3 hal yang telah teriadi ~ dilakukan tanpa ada perintah dan atas (pemerintah) dengan kata lain adalah kegiatan murni swadaya masyarakat, sebab sudah menjadi su~tu kebiasaan dalam program pemermtah (baca: proyek) apa pun yang namanyakomando atau rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan termasuk masyarakat sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar me~~sanakan perintah atau dengan istilah populer dengan pendekatan topdown.

Selanjutnya Jimmy Nafie, Warga RT 002/RW 001 menuturkan pada penulis:

Katong di sini hanya hidup dari usaha tambak garam, kalaupun ada yang jadi nelayan itu hanya sekedar isi waktu atau melepas lelah sekaligus carl ikan buat istri de119 anak dong makan di rumah. Tapi itu suo pemerintah dong son pernah toe de119 kato119 di sini. Donghanya bisa datang pi pasar ko tagih pajak dari katong pU.rtf! hasil penjualan garam. Kala mi hutan bakau ada baonar na dong mulai kasih salah sang katong, itu su katong pU119 pemerintah model sekarang.t

Sebagaimana dituturkan Jimmy Nafie, pelestarian hutan mangrove yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat petani garam di Oesapa Barat hendaknya mendapat respon positif dari pemerintah dalam rangka program rehabilitasi hutan mangrove melalui Dinas Kehutanan dan Badan Konservasi Sumber Daya Alam

4 Wawancara tanggal12 Oktober 2007

166

(BKSDA) ataupun melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).

Seyogyanya upaya rehabilitasi atas biaya pemerintah terse but semuanya dipercayakan kepada masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. Kesadaran masyarakat akan hutan mangrove begitu tinggi dan karena itu dalam pelaksanaannya mudah dikontrol oleh pemerintah dalam hal penggunaan dana rehabilitasi. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penanaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan dana dari pemerintah.

Gambar 4

Saleman (Petani Garam) dan Hutan Mangrove

Foto: Wilson Therik, 2007

Model Pendekatan:

Approach versus Approach

Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove yang telah terjadi dalam beberapa dekade ini dilakukan atas perintah dari atas. Sudah menjadi suatu kebiasaan dalam suatu proyek apapun yang namanya komando atau rencana itu senantiasa datangnya dari atas; sedangkan bawahan termasuk masyarakat sebagai ujung tombak pelaksana proyek hanya sekedar melaksanakan perintah atau

Top Down Bottom-Up

dengan isitilah populer dengan pendekatan top-down (Lihat Gambar 5).

PEMERINTAH
PROPINSI
1
PEMERINTAH
KABUPATENIKOTA
1
PEMERINTAH
KECAMATAN
~
PEMERINTAH
KELURAHAN
~
PEMERINTAH
RTIRW
~
MASYARAKAT
(petani Garam) Gambar5 Top-Down Approach

(Tidak ada peran aktif dari masyarakat)

Pelaksanaan proyek semacam mi (Gambar 5) tentu saja kurang memberdayakan potensi masyarakat pesisir (petani garam). Padahal idealnya masyarakat tersebutlah yang harus berperan aktif dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sedangkan pemerintah hanyalah sebagai penyeelia dana, pengontrol dan fasilitator berbagai kegiatan yang terkait. Akibatnya· setelah se1esai proyek tersebut, yaitu saat dana telah habis tentu saja pelaksana proyek tersebut juga merasa sudah habis pula tanggungjawabnya. Di sisi lain masyarakat tidak merasa ikut memiliki (tidak tumbuh sense of belonging) hutan mangrove yang telah direhabilitasi oleh pemerintah.

Therik: M~ngroveku Sayang. Mangroveku Malang

Begitu pula seandainya hutan mangrove tersebut telah menjadi besar, maka masyarakat merasa sudah tidak ada lagi yang mengawasinya, sehingga mereka mengambil atau memotong mangrove hasil rehabilitasi tersebut secara leluasa. Masyarakat beranggapan bahwa hutan mangrove tersebut adalah milik pemerintah dan bukan milik mereka, sehingga jika masyarakat membutuhkan mereka tinggal mengambil tanpa eliawasi oleh pemerintah atau pelaksana proyek. Begitulah pengertian yang ada pada benak masyarakat petani garam yang dekat dengan hutan mangrove yang telah mereka rehabilitasi.

Semestinya upaya rehabilitasi atas biaya pemerintah tersebut semuanya elipercayakan kepada masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan dan pemanfaatannya secara berkelanjutan. (Bottom-Up Approach). Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dapat saja melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama perangkat kelurahan, pemimpin umat dan lain-lain. Masyarakat petani garam dan masyarakat pesisir secara keseluruhan perlu mendapat pengertian bahwa hutan mangrove yang akan mereka rehabilitasi akan menjaeli milik masyarakat dan untuk masyarakat, khususnya yang berada eli daerah pesisir. Dengan demikian semua proses rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove yang dimulai dari proses penenaman, perawatan, penyulaman tersebut dilakukan oleh masyarakat. Melalui mekanisme seperti ini, masyarakat tidak merasa elianggap sebagai "kuli" , melainkan ikut memiliki hutan mangrove tersebut, karena mereka merasa ikut merencanakan penanaman dan lainlain, Masyarakat merasa mempunyai andil dalam upaya rehabilitasi hutan mangrove tersebut, sehingga satu mereka berubah dari "kuli" menjadi "juragan/1

167

KRITIS, Jurnal Studi Pembangunan Interdidipliner Vol xx No.2: 157 - 169

Dengan pola pendekatan

bottom-up (lihat Gambar 6) yang melibatkan pemerintah secara aktif, maka tugas pemerintah hanya memberikan pengetahuan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Dari sini nampak bahwa pendekatan bottom-up relatif lebih baik jika dibandingkan dengan pendekatan topdown (lihat Gambar 5) dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove di era pelaksanaan otonomi daerah dewasa ini. Dengan lestarinya hutan mangrove. ikan dan udang mendapat temp at perlindungan yang aman, tambak garam mendapat perlindungan dari ancaman hantaman gelombang dan pendapat keluarga petani garam meningkat.

~,

'-----------~ I

PEl\1ERINTAB PROPINSI

l I
I
PEl\1ERINTAB I
~
KABUPATENIKOTA
I
~ [
I
I
PEl\1ERINT AB ~
KECAMATAN I
I
~ I
I
PEl\1ERlNTAH I
~
KELURAHAN 1
~. I
I
1
PEl\1ERINTAH I
RTIRW ~
I
~ I
J
I
MASYARAKAT 1
(petani Garam) ........ Gambar 6 Bottom-Up Approach

(Ada Peran Aktif Pemerlntah dan Masyarakat)

168

Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang memiliki manfaat ganda (ekologi dan ekonomi) dati sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat yang sudah kritis ketersediaannya, sebingga perIu menjadi perhatian kita bersama untuk tetap menjaga kelestariannya, untuk generasi sekarang dan yang akan datang.

Kesimpulan

Dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi atau reboisasi hutan mangrove di era otonomi daerah dewasa ini, hendaknya pemerintah lebih banyak melibatkan unsur masyarakat. Bottom-up approach perlu digalakkan dan didukung dengan segala daya dan upaya mengingat dewasa ini masyarakat adalah ujung tombak dalam suatu kegiatan pembangunan keluraharr/ desa. Masyarakat jangan dianggap sebagai obyek pembangunan, melainkan sebagai subyek pembangunan. Apalagi dalam alam reformasi dan demokratisasi di era otonomi daerah ini masyarakat telah sadar dan berani untuk menuntut hak-haknya, karena masyarakat tabu bahwa seharusnya mereka sebagai subyek pelaksana pembangunan mereka pula-lab yang akan

. menikmati hasil pembangunan tersebut khususnya dalam bidang proteksi abrasi air laut, perikanan dan tambak garam.

Referensi

Chapman V.J .• 1976 Mangrove Vegetation. J.

Cremer PubI. Leuterhausen, Germany.

Fuaziah, Y.. 1999. Prospek Rehabilitasi Hutan Mangrove Pangkalan Batang Bengkalis, Riau Ditinjau dati Vegetasi Strata Semai. Dalam Frasiding Seminar VI Ekosistem Mangrove di Pekanbaru, 15-18 September 1998.

Irwan, Zaer'aini Djamal, 2007. Ptinsip-prinsip Ekologi, Ekosistem, Lingkungan dan Pelestariannya. Jakarta: Bumi Aksara.

Kusmana, C., 2002. Pengeiolaan .Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Makalah disampaikan pada Lokakarya Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Jakarta, 6-7 Agustus 2002.

MacNae, W., 1968. A General Account of the fauna and flora of Mangrove swamps and forest in the Indo West Pasific region. Adv. Mor. BioI. 6:73-20.

Moleong, Lexy J., 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakatya.

Nybakken, J., 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis, Jakarta: PT. Gramedia.

Odum E.P., 1983. Basic Ecology, Sounders College, Publishing.

Rahmawaty, 2002. Upaya Pelestarian

Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat. Medan: Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Rimbawan, M.O.S., R. Terui, S. Hamada dan R. Sudarma, 1995. Rehabilitasi Hutan Mangrove pada Areal Bekas Budidaya Tambak Udang di Prapat Benoa, Bali. Dalam Prosiding Seminar V Eksistem Mangrove di Jember. 3-6 Agustus 1994

Therik: Mangroveku Sayang, Mangroveku Malang

Saparinto, Cahyo, Ekosistem Dahara Prize

Soerianegara, I dan Indrawan, 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan lnstitut Pertanian Bogor.

Sumarhani, 1995. Rehabilitasi Hutan

Mangrove Terdegradasi dengan Sistem Perhutanan sosial. Dalam. Prosiding Seminar V Ekosistem Mangrove di Jember, 3-6 Agustus 1994

2007. Pendayagunaan

Mangrove, Semarang:

Suryanto, Edi, 2005. Pentingnya Kelestarian Hutan Mangrove. http://www.indomedia.com/bpost/O 12005/26/ opini/ 0 pinil.htm. dikunjungi tanggal 17 Oktober 2007

Walsh, O.E., 1974. Mangrove: a Review. In:

Ecology of Halophytes pp. 51-174 New York: Academy Press.

Wightman, G.M., 1989. Mangrove of the Northern Territory, Northern Territory Botanical Bulletin No. 7 CCNT, Palmerston, Australia.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Mangrove saat Air Laut Pasang Foto: Wilson Therik, 2007

169

Anda mungkin juga menyukai