Anda di halaman 1dari 16

Fall

08
Maret
21

Pemilihan Umum, Kelebihan dan


Kekurangannya

Miftakhul Huda Fadhlullah


Muhammad Akasa Dinarga
Muhammad Fadel Arraiza Farhan
Muhammad Hilmi Alfikri

8 SBI 5
Bab I

Pendahuluan

1.1 Pengertian pemilihan umum

Pemilihan umum di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota


lembaga perwakilan rakyat , yaitu DPR, DPRD, dan DPD. Setelah amandemen ke-IV
UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang
semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat
sehingga pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilihan umum. Pemilihan umum
adalah pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih
wakilnya untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan. Dalam
pemilihan umum, terdapat beberapa asas dan aturan aturan tertentu.

1.2 Tujuan pemilihan umum

Pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk ikut menentukan figure dan arah
kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu.selain itu, pemilihan umum juga
untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan
yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan
tujuan nasional.

1.3 Asas pemilihan umum

Asas Pemilu berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 2 UU No.
12 Tahun 2003 yaitu :

a. Langsung

Rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya


secara langsung tanpa perantara.

b. Umum

Jaminan kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara,


tanpa adanya diskriminasi.

c. Bebas

Setiap warga negara berhak memilih secara bebas dan menentukan


pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun.

2
d. Rahasia

Pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak


manapun dengan jalan apapun.

e. Jujur

Semua pihak yang terkait daam penyelenggaraan pemilu harus bersikap


jujur.

f. Adil

Setiap pemilih dan peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, dan
bebas dari kecurangan pihak lain.

3
Bab II

Permasalahan

2.1 Apa saja kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
politik ?

2.2 Apa saja kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
ekonomi ?

4
2.3 Apa saja kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
sosiologi ?

2.4 Apa saja kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
pertahanan dan keamanan ?

Bab III

Pembahasan

3.1 Uraian kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
politik.

Kelemahan :

• Partai politik yang kalah tidak memiliki kesempatan untuk berwenang didalam
pemerintahan.

• Petinggi-petinggi politik saling menjatuhkan dalam pemerintahan.

5
• Munculnya banyak partai politik sehingga masyarakat menjadi bingung untuk
memilih.

Keuntungan :

• Demokrasi di Indonesia menjadi hidup.

• Masyarakat dapat menggunakan hak pilihnya dengan bebas

• Partai yang besar akan menjadi pemenangnya.

3.2 Uraian kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
ekonomi.

Kelemahan :

• Banyak moneypolitik (jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan
tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk
mempengaruhi suara pemilih/ vooters) dalam mencari kemenangan.

• Banyak menghamburkan uang akan mempengaruhi inflasi (daya beliuang


rendah) karena banyak uang beredar.

Keuntungan:

• Ekonomi akan lebih berkembang karena saat pemilu banyak uang yang
dikeluarkan. Sehingga masyarakat banyak yang diuntungkan secara ekonomis.

• Tumbuhnya inovasi dan kreasi dalam bidang ekonomi karena persaingan antar
partai politik dalam pemanfaatan kampanye semakin meningkat.

3.3 Uraian kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
sosiologi.

Kelemahan :

• Akan menimbulkan kelompok-kelompok yang berkuasa diantara partai politik.


Yang menang memiliki kekuasaan yang lebih besar.

6
• Partai-partai politik kecil yang kalah akan menimbulkan sempitnya kekuasaan.
Karena mendapat tekanan dari partai politik yang besar/menang.

Keuntungan :

• Akan menyadarkan kepada masyarakat bahwa mereka harus dapat mengakui


partai mana yang menang.

• Masing-masing hak suara dari masyarakat benar-benar dihargai dan diakui,


karena dapat menggunakan hak suara dan hak pilihannya.

3.4 Uraian kelemahan dan keuntungan pemilu secara langsung oleh rakyat dari segi
pertahanan dan keamanan.

Kelemahan :

• Akan menimbulkan kerusuhan diantara massa partai politik yang satu dengan
yang lainnya.

• Banyak kerusuhan massa karena konflik partai politik.

• Terjadi saling merusak karena massa satu dengan yang lain tidak bisa
menerima kekalahan partai politik yang dipilih.

Keuntungan ;

• Aparat keamanan akan meningkatkan strategi untuk keamanan saat pemilihan


umum.

• Masing-masing partai politik akan meningkatkan kualitas satuan tugas (satgas)


partai politik.

• Kerja di bidang keamanan akan lebih efektif.

Referensi

7
 Pelanggaran Peraturan Pilkada / Penyimpangan
http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=49&Itemid=13

 Secara garis besar pelanggaran-pelanggaran dalam setiap tahapan pelaksanaan


Pemilihan kepala daerah secara langsung dapat diklasifikasikan menjadi
2 (dua) pelanggaran, yaitu; (i).Pelanggaran administratif, dan (ii). Pelanggaran
Pidana. Meskipun dalam ketentuan undang-undang No. 32 tahun 2004, maupun
dalam undang-undang No.12 tahun 2008, tentang Pemerintahan daerah yang
dijadikan dasar pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung, adakalanya
pelanggaran yang terjadi merupakan pelanggaran administratif saja, tetapi ada juga
pelanggaran tersebut selain merupakan pelanggaran administratif, juga merupakan
pelanggaran pidana.
 Pelanggaran administratif adalah pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan, tata
cara, dan persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilihan Kepala
daerah, yang tidak didefinisikan sebagai tindakan kriminal dan tidak berkaitan
dengan hukuman dan atau denda. Konsekuensi dari pelanggaran administratif ini
adalah gagalnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk
mengikuti sebagian tahapan Pilkada dan atau gagalnya pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah untuk mengikuti tahapan pilkada, karena tidak memenuhi
syarat sebagaimana yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004, dan UU No. 12 tahun
2008, tentang pemerintahan daerah. Selain itu, apabila pelanggaran administratif ini
yang berkaitan dengan pelanggaran tata cara kampanye, maka dapat dikenai sanksi
oleh KPU daerah yang berupa; (i). Peringatan tertulis, apabila penyelenggara
kampanye melanggar larangan walaupun belum terjadi gangguan, (ii). Penghentian
kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran atau diseluruh daerah
pemilihan yang bersangkutan, apabila terjadi gangguan terhadap keamanan yang
berpotensi menyebar ke daerah pemilihan lain.
 Sedangkan pelanggaran Pidana adalah tindakan-tindakan yang oleh undang-undang
Pemilihan kepala daerah ditetapkan sebagai tindakan kriminal dan berakibat pada
hukuman penjara dan atau denda. Ketentuan pidana pilkada ini dapat dilihat lebih
lanjut dalam ketentuan Pasal 115 sampai dengan Pasal 119 Undang-undang No. 32
tahun 2004, tentang Pemerintahan daerah, dimana pasal-pasal tersebut ancaman
pidananya paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling lama 3 (tiga) tahun serta
penjatuhan denda paling sedikit Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) tergantung dari tindakan
pelanggaran yang dilakukan.
 Secara teoritik apabila pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran administratif,
maka Panwaslu merekomendasikan kasus tersebut ke KPU daerah, sedangkan untuk
pelanggaran yang mengandung unsur pidana, maka Panwaslu merekomendasikan
atau meneruskan kasus tersebut ke penyidik kepolisian. Namun demikian, terdapat
kelemahan dalam penyelesaian atau pemberian sangsi administratif yang merupakan
kewenangan KPU daerah tersebut, dimana seringkali pemberian sangsi dilakukan
ketika tahapan sudah berjalan, sehingga sangsi tersebut seolah-olah menjadi tidak
bermakna dan tidak berimplikasi apapun. Hal ini akan sangat berbahaya, apabila
pelanggaran administratif tersebut menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi
oleh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, akan tetapi hal tersebut
baru diketahui setelah tahapan selesai, tentu saja hal ini akan rawan terjadinya
gugatan hukum dikemudian hari, terutama mempertanyakan keabsahan Pilkada
apabila pasangan calon yang memenangkan Pilkada tersebut justru yang tidak
memenuhi syarat seperti yang telah ditentukan dalam undang-undang.

8
 Sedangkan kelemahan penyelesaian pelanggaran-pelanggaran Pidana yang ditangani
oleh Panwaslu adalah pelanggaran tersebut seringkali telah melampau waktu yang
telah ditentukan, dimana Panitia pengawas pemilihan memutuskan untuk
menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti laporan atau temuan pelanggaran
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah laporan tersebut diterima atau
pelanggaran tersebut ditemukan. Dalam hal panitia pengawas pemilihan
memerlukan keterangan tambahan dari pelapor untuk melengkapi laporan putusan
sebagaimana dimaksud dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah
laporan diterima. Karena Panwaslu tidak diberikan hak memaksa untuk
menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan pelanggaran yang disangkakan untuk
dimintai klarifikasi, maka seringkali kasus-kasus pelangaran Pilkada yang
mengandung unsur pidana berlarut-larut penanganannya, mengingat hanya pihak
penyidiklah yang mempunyai hak memaksa untuk menghadirkan saksi. Padahal, ada
beberapaa pelanggaran-pelangaran pidana Pilkada apabila ditindaklanjuti dan
terbukti di pengadilan serta sudah memiliki kekuatan hukum mengikat, maka dapat
membatalkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah terpilih.

 Pembatalan Pasangan Calon Kepala Daerah Terpilih

 Pasangan calon Kepala daerah dan Wakil kepala daerah yang terpilih dalam
pelaksanaan Pilkada secara langsung dimungkinkan secara yuridis berdasarkan UU
No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah, dapat dibatalkan sebagai
pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Ada 3 (tiga) hal yang
menyebabkan pasangan calon Kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih dapat
dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala
daerah terpilih.
 Pertama, Pasangan calon kepala daerah dan atau Tim kampanyenya yang terbukti
telah melakukan “money politics”, dan proses pengenaan sanksi pembatalan sebagai
pasangan calon melalui DPRD, apabila kasus tersebut sudah memiliki kekuatan
hukum tetap. Pasal 82 ayat (1) UU No. 32 tahun 2004, tentang pemerintahan daerah
Pasal 64 Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2005, tentang Pemilihan, pengesahan
pengangkatan, dan pemberhentian Kepala daerah dan wakil kepala
daerah, menyebutkan;
 “Pasangan calon dan / atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih”.
 Kemudian ketentuan Pasal 82 ayat (2) Undang-Undang No. 32
tahun 2004, menyebutkan;
 “Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan
calon oleh DPRD”.
 Namun demikian, upaya pembuktian telah terjadinya ‘money politics’ yang dilakukan
oleh pasangan calon kepala daerah maupun yang dilakukan oleh Tim kampanyenya
sangat sulit untuk dibuktikan, karena selain kelemahan yang dimiliki oleh UU No. 32
tahun 2004 itu sendiri, hal ini juga disebabakan oleh modus ‘money politics’ yang
dilakukan oleh pasangan calon kepala daerah atau tim kampanyenya sangat variatif,
mulai dari pemberian sembako dan uang dengan embel-embel shodaqoh,
menyantuni anak yatim piatu, dll. Selain itu, sangat jarang orang yang
telah menerima ‘money politics’ ini berani bersaksi di Pengadilan, sehingga akan
menyulitkan proses pembuktian di pengadilan.
 Kedua, Pasangan calon kepala daerah yang terbukti telah menerima
sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang tidak diperbolehkan oleh
Undang-undang No. 32 tahun 2004. Sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye
yang dilarang adalah yang berasal dari;(i). negara asing, lembaga swasta asing,

9
lembaga swadaya masyarakat asing dan warga negara asing, (ii). penyumbang atau
pemberi bantuan yang tidak jelas identitasnya, (iii). pemerintah, BUMN, dan BUMD.
Pasangan calon yang menerima sumbangan sebagaimana dimaksud tidak dibenarkan
menggunakan dana tersebut dan wajib melaporkannya kepada KPUD paling lambat
14 (empat belas) hari setelah masa kampanye berakhir dan menyerahkan
sumbangan tersebut kepada kas daerah. Pasangan calon yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh
KPUD.
 Jadi sebenarnya, apabila pasangan calon Kepala Daerah dan wakil Kepala
daerah terpilih, tetapi ternyata dalam kampanye terbukti telah menerima sumbangan
atau bantuan lain untuk kampanye yang tidak diperbolehkan berdasarkan ketentuan
pasal 85 UU No. 32 tahun 2004, maka dapat dibatalkan sebagai pasangan calon.
Tetapi kelemahannya, KPU daerah seringkali tidak berani melakukan tindakan tegas
atas pelanggaran tersebut. Selain itu, Undang-undang juga tidak mengatur secara
tegas, apa sanksi dan konsekuensi apabila pasangan calon Kepala Daerah dan Tim
kampanyenya tidak melaporkan dana kampanye yang telah digunakannya ke KPU
Daerah, karena sebenarnya kewajiban bagi KPUD untuk menyerahkan laporan dana
kampanye tersebut ke akuntan publik untuk diaudit dan kemudian pada
akhirnya harus diumumkan kepada masyarakat.
 Ketiga, Terkait dengan sengketa hasil pemilihan kepala daerah. Pasal 106 ayat
(1) UU No. 32 tahun 2004, menyebutkan; Apabila terdapat keberatan terhadap
penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat
diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat
3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala
daerah. Keberatan sebagaimana dimaksud hanya berkenaan dengan hasil
penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.
 Tetapi, sejalan dengan lahirnya UU No. 12 tahun 2008, tentang perubahan
kedua atas UU No. 32 tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, maka penanganan
sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Kemudian,
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor : 15
tahun 2008, Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasi Pemilihan Kepala
Daerah.
 Dalam sejarah penyelesaian sengketa hasil Pilkada yang ditangani oleh
Mahkamah Konstitusi ini, ada putusan yang sangat kontroversial yang dikeluarkan
oleh MK dalam menangani sengketa hasil pilkada Jawa Timur, dimana melalui
Putusan Nomor : 41/PHPU.D-VI/2008, Mahkamah Konstitusi mengabulkan
sebagian gugatan atas sengketa hasil Pemilihan Kepala daerah di Provinsi Jawa
Timur yang diajukan oleh Pasangan Khofifah Indar Parawansa – Mudjiono
(Pasangan KaJi). Putusan Mahkamah Konstitusi ini tentu sangat mengejutkan
banyak pihak dikarenakan diluar kelaziman dan menimbulkan kontroversi, karena
Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi
Jawa Timur untuk; (i). Melakukan Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Umum
Kepala Daerah Putaran II di Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang dalam
waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak putusan diucapkan, (ii). Melakukan
Penghitungan suara ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah Putaran II di Kabupaten
Pamekasan, dengan menghitung kembali secara berjenjang surat suara yang sudah
dicoblos dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan diucapkan.
 Putusan Mahkamah konstitusi yang memerintahkan untuk Melakukan
Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Umum Kepala Daerah Putaran II di Kabupaten
Bangkalan dan Kabupaten Sampang sangat berlebihan dan janggal, bahkan
Mahkamah Konstitusi telah melampaui kewenangannya. Karena sejatinya semua
yang terungkap dipersidangan berdasarkan pengakuan saksi-saksi yang ada tersebut
merupakan pelanggaran Pemilihan Kepala daerah yang mengandung unsur pidana
dan hal tersebut merupakan ranah Panwaslu untuk selanjutnya diteruskan pada

10
proses hukum yang bermuara pada pengadilan umum, dan bukan kewenangan dari
Mahkamah Konstitusi. Karena berdasarkan ketentuan Pasal 4 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor : 15 tahun 2008, Tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan
Hasi Pemilihan Kepala Daerah, maka yang menjadi obyek perselisihan Pemilukada
adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh Termohon yang
mempengaruhi Penentuan Pasangan calon atau terpilihnya Pasangan calon sebagai
Kepala daerah dan wakil Kepala daerah. Selain itu Amar putusan seharusnya
menyatakan; Permohonan tidak dapat diterima (ditolak) atau Permohonan
dikabulkan dan selanjutnya Mahkamah menyatakan membatalkan hasil
penghitungan suara yang ditetapkan oleh KPUD serta menetapkan hasil
penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah.
 Jadi sebenarnya kewenangan Mahkamah Konstitusi dibatasi hanya dalam
menyelesaikan sengketa hasil perolehan suara pasangan calon saja, bukan
menangani pelanggaran terhadap proses Pelaksanaan Pilkada, karena UU No. 32
tahun 2004, sudah memberikan atribusi kepada Panwaslu disemua tingkatan untuk
menyelesaikan sengketa Pilkada pada setiap tahapan (proses). Dengan adanya
putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi secara tidak langsung bukan hanya
telah mengabaikan eksistensi Panwaslu disemua tingkatan tetapi juga tidak
mempercayai sebuah institusi yang secara atributif diberikan kewenangan oleh UU
untuk menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran Pilkada. Selain itu, hal ini akan
menjadi preseden buruk, bukan hanya bagi penyelesaian sengketa hasil Pilkada
dimasa-masa yang akan datang, tetapi juga penyelesaian sengketa hasil Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden. Karena hal tersebut akan mejadi modus baru bagi
pengajuan gugatan ke Mahkamah konstitusi, dimana bukan hanya sengketa hasil
Pilkada/Pemilu yang akan diajukan, tetapi juga terkait dengan
berbagai ’dugaan’ kecurangan selama proses Pilkada/Pemilu. Apabila hal tersebut
terjadi, maka eksistensi Bawaslu, dan Panwaslu disemua tingkatan tidak ada artinya.
 Semangat dan jiwa dalam menegakkan keadilan yang substantif (substantive
justice) dan keadilan prosedural (prosedural justice) yang hendak diterapkan oleh
Mahkamah Konstitusi dalam kasus ini kurang tepat, karena hal tersebut justru akan
menimbulkan problem asas kepastian hukum dan keadilan dimasyarakat. Karena
ketika hakim konstitusi melakukanrechtsvinding --- terobosan hukum (istilah yang
digunakan ketua MK) melalui putusannya yang menyandarkan pada ketentuan Pasal
18 ayat (4) jo. Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945, yang mengharuskan Pemilihan Kepala
daerah dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas umum
Pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Maka seharusnya Mahkamah memberikan Putusan sela terlebih dahulu, untuk
membuktikan kebenaran substantif dengan cara membuka kembali kotak-kotak
suara di TPS mana yang dianggap ’bermasalah’ dan terungkap dalam persidangan
untuk kemudian dihitung kembali. Hal ini dilakukan bukan hanya untuk
membuktikan sejauh mana kebenaran keterangan saksi-saksi yang ada, tetapi juga
untuk membuktikan kebenaran materiil yang ’disangkakan’. Karena sangat sulit
dinalar ketika hakim konstitusi yang telah memutuskan kasus tersebut hanya
menyandarkan pada alat bukti dan keterangan saksi-saksi sudah begitu yakin telah
terjadi kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif, tanpa adanya keinginan
dari hakim untuk membuka ulang dan menghitung ulang Kotak suara pada TPS
yang dipersoalkan. Karena hanya dengan cara membuka Kotak suara dan
menghitung ulang kartu suara, di TPS-TPS yang dianggap ’bermasalah’ akan
menemukan kebenaran materiil.
 Seharusnya Mahkamah Konstitusi berkaca pada pengalaman penyelesaikan
sengketa hasil pemilihan umum legislatif tahun 2004 lalu --- tepatnya di Donggala
dan Sorong Irjabar, dimana Mahkamah Konstitusi memenangkan permohonan
sengketa hasil Pemilu yang didasarkan hanya pada pengakuan saksi-saksi dan Berita
Acara Rekapitulasi Suara saja, padahal rekap suara yang dimenangkan oleh
Mahkamah Konstitusi tersebut, tenyata merupakan rekapitulasi suara hasil

11
manipulasi dan hal tersebut sudah diputuskan bersalah oleh Pengadilan Negeri,
bahkan oknum KPUD yang telah melakukan manipulasi telah diputus bersalah juga.
 Dalam mewujudkan kebenaran materiil yang berpijak pada penegakan
keadilan yang substantif (substantive justice) dan keadilan prosedural (prosedural
justice) dengan cara memerintahkan coblosan ulang tidak tepat, karena bukan hanya
mengabaikan asas kepastian hukum, tetapi juga asas keadilan di masyarakat. Karena
kepastian hukum obyek perselisihan Pemilukada, yaitu, apakah hanya sebatas
sengketa hasil perolehan suara saja yang dapat ditangani oleh Mahkamah Konstitusi,
atau lebih luas lagi dimana MK dapat juga menyelesaikan seluruh penyimpangan
yang terjadi dalam proses dan tahapan Pilkada. Jika demikian adanya, maka tentu
Persidangan MK akan menjadi keranjang sampah terhadap berbagai penyimpangan-
penyimpangan yang terjadi dalam proses dan tahapan Pilkada yang sangat mungkin
dapat berpengaruh secara signifikan atas hasil akhir. Maka sudah barang tentu, akan
sangat dimungkinkan munculnya gugatan baru lagi Ke Mahkamah Konstitusi dari
Pasangan calon, entah diajukan oleh pasangan calon yang mana, apabila
masih ’dianggap’ terjadi pelanggaran terhadap proses coblosan ulang. Kemudian
bagaimana dengan hakekat final putusan dari Mahkamah Konstitusi ?. Akankah ada
gugatan jilid II ke MK, dan tentu saja akan ada putusan MK Jilid II juga dalam
sengketa hasil Pilkada tersebut.
 Mahkamah Konstitusi memang telah memutuskan ’nasib’ beberapa Sengketa hasil
Pilkada dibeberapa daerah dan tentu hanya masyarakat yang bisa menilai kearifan
atas putusan tersebut, akan tetapi alangkah lebih arif dan bijaksana lagi, apabila
memang Pemungutan suara ulang atau pencoblosan ulang menjadi sebuah
keharusan dilakukan untuk membuktikan kebenaran dan menjamin keadilan yang
substantif, maka seharusnya coblosan ulang dilakukan hanya pada TPS yang
dianggap telah terjadi ’kecurangan’ saja, bukan dilakukan coblosan ulang di semua
TPS yang ada. Maka secara tidak langsung Mahkamah Konstitusi telah menafikan
suara masyarakat yang telah menggunakan hak pilihnya dan menafikan kerja-kerja
petugas di tingkat TPS, maupun ditingkat PPS dan PPK, yang secara sukarela
bahkan tidak tidur berhari-hari guna menyiapkan segala sesuatunya agar Pilkada
dapat berjalan sukses, oleh karena itu harus dipandang wajar, apabila reaksi mereka
yang tidak bersedia lagi menjadi petugas KPPS, PPS ataupun PPK. Begitu juga tugas-
tugas pengawasan yang dilakukan oleh Panwaslu disemua tingkatan yang sudah
berupaya semaksimal mungkin untuk mengawasi dan sekaligus mengawal Pilkada
dengan damai.
 Selain itu, tidak begitu urgen dan bermakna lagi, apakah putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut berpijak pada penegakan keadilan yang substantif (substantive
justice) dan keadilan prosedural (prosedural justice), apabila putusan tersebut dapat
berimplikasi pada konflik politik yang berkepanjangan, tentu kita semua tidak
menginginkan hal itu terjadi. Karena keadilan dan kebenaran yang hakiki datangnya
hanya dari Allah SWT. Oleh karena itu, untuk menghindari penafsiran UUD 1945
yang terlalu berlebihan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi --- bahkan yang
mengarah pada abuse of Power atas nama konstitusi, maka diperlukan upaya
pengawasan dan sekaligus eksaminasi publik terhadap setiap Putusan Mahkamah
Konstitusi, karena jangan sampai muncul ’tirani baru’ lewat putusan-putusan yang
dihasilkan oleh sembilan ’Dewa’ konstitusi kita. Apabila hal tersebut terjadi, maka
masa transisi menuju proses demokratisasi yang sedang kita bangun dan kita cita-
citakan akan mengarah pada ketidakpastian.

 Konflik yang terjadi karena ketidakadilan dalam bidang politik dan


ekonomi

12
http://els.bappenas.go.id/upload/other/Ketidakadilan%20Sosial.htm

KESADARAN batiniah akan ketidakadilan sosial telah mendorong the founding


fathers negara kita untuk membidani kelahiran Indonesia, Nusantara. Pembentukan kelas-
kelas sosial dalam masyarakat, misalnya, telah diabadikan dalam Staatsblad 1849-25 Tahun
1849 tentang Catatan Sipil untuk Golongan Eropa; Staatsblad 1917-130 Tahun 1917 tentang
Catatan Sipil untuk Golongan Timur Tionghoa; Staatsblad 1920-751 Tahun 1920 tentang
Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Islam; dan Staatsblad 1933 tentang
Catatan Sipil untuk Golongan Indonesia Asli beragama Kristen di Indonesia dalam membuat
akta lahir, kawin, cerai, dan kematian. Jenis-jenis peraturan yang dinilai berbau diskriminatif
dan tidak adil ini masih diteruskan oleh penyelenggara negara RI. Tak heran, dalam konteks
reformasi hukum, peraturan-peraturan itu pernah diusulkan supaya dicabut.

 Warisan peraturan kolonial ini menimbulkan peng-kotak-kotak-an sosial yang merambat ke


dalam hampir semua bidang hidup sosial. Sekat-sekat sosial diperkuat oleh sistem sosial
produk zaman kolonial. Birokrasi, sistem dan manajemen tak adil diteruskan. Dalam
permenungan akhir tahun, kalangan praktisi dan pengamat hukum prihatin menyaksikan
perjalanan dan perbaikan sistem hukum positif di negara kita dalam era reformasi ini.
Pembaharuan hukum dalam negara kita bisa dikatakan tak mengalami perkembangan.
 Kemunduran dalam penegakan hukum positif, antara lain, tercermin dari metode penanganan
kasus Tommy Soeharto yang pernah melarikan diri dari tahanan dan terbangnya dua jaksa
penyidik ke Negeri Jerman untuk menjumpai mantan Presiden BJ Habibie. Dominasi unsur
politik dalam dunia hukum kian kentara. Ketidakpastian hukum menimbulkan sikap skeptis
masyarakat. Rasa pesimistis muncul bila berbicara tentang penegakan keadilan dalam dunia
hukum positif. Tubuh peradilan kita dilandaiudicium corruption sedang berlangsung dan
diperkirakan masih akan berlangsung dalam penanganan sejumlah kasus hukum yang
dianggap "akbar" oleh bangsa kita (bdk. BBC London, 19/12/2001, pukul 20.30 WIB).
 Ketidakadilan hukum merambat ke bidang politik, ekonomi, agama, pendidikan, kesehatan,
dan lain-lain. Politisasi hukum positif tak terhindarkan. Sistem monopoli (dalam banyak
bidang hidup) masih berkembang di negara kita. Agama dijadikan institusi konfliktual.
Pendidikan seakan hanya dimiliki anak-anak berduit, penguasa, dan berkedudukan sosial
tinggi. Seakan hanya orang kaya, penguasa, dan berkedudukan tinggi bisa ditangani oleh
berpuluh-puluh dokter. Tidak sedikit rakyat jelata menderita sengsara karena tak bisa
mendapat pelayanan seorang dokter. Harga obat acapkali mencekik! Hak-hak istimewa
diterima kelompok sosial yang dipandang lebih tinggi.
 DISKRIMINASI dan ketidakadilan bisu ini hidup lama dalam tubuh bangsa kita. Jeritan demi
jeritan dibiarkan dan tidak didengarkan penguasa dan pengendali negara kita. Keadaan ini
membuat suasana sosial kian tak adil dan kian menyedihkan. Frustrasi sosial sebagai akibat
ketidakadilan sosial ini bisa mengundang aneka bentuk reaksi sosial yang merugikan
kesejukan hidup di masyarakat. Benturan dan konflik sosial sedikit banyak bisa dipicu iklim
ketidakadilan sosial, termasuk ketidakadilan dalam bidang hukum.
 Perbedaan kelas sosial dalam masyarakat kian menonjol. Kesenjangan hubungan
antarpribadi dan kelas sosial, sadar atau tidak, kian lebar. Manusia dididik dan dibesarkan
dalam lingkungan yang tidak lagi menjunjung tinggi nilai keadilan (sosial) dan kesederajatan.
Terlepas dari nilai keadilan yang tertanam dan terwujud selama ini, generasi sekarang adalah
produk generasi terdahulu yang menghidupi ketidakadilan sosial. Warisan ketidakadilan
disosialisasi kepada generasi sekarang. Kebencian sosial dan perilaku tidak adil diwariskan
kepada generasi berikut tanpa alasan yang dapat diterima akal sehat. Hanya gara-gara
dilahirkan dari keturunan golongan "eks" maka dia memiliki privilese dan perlakuan istimewa
di bidang hukum. Sementara itu, anak-anak keturunan orang-orang yang dianggap terlibat
kasus G30S/PKI mendapat perlakuan diskriminatif.
 Penentuan kelas-kelas sosial terkait dengan pembentukan gradasi dalam nilai kemanusiaan,
yang pada dasarnya bertolak belakang dengan cita-cita dalam Sila Kedua pandangan hidup
bangsa kita. Kemanusiaan yang dicita-citakan para pendiri negara kita adalah kemanusiaan
yang adil dan sesuai norma-norma keadilan. Dalam kenyataan, nilai dasar kemanusiaan
manusia masih ditakar berdasar warna kulit, bahasa, dan status sosial seseorang. Peng-
kotak-kotak-an di bidang hukum positif mengakibatkan peng-kotak-kotak-an di bidang
kemanusiaan. Secara tak langsung, peng-kotak-kotak-an sosial itu telah merembes ke dalam
darah daging manusia.

13
 Proses "stigmatisasi" sosial yang umumnya mengandalkan pandangan klise, dari satu sisi,
cenderung mendiskreditkan atau memperlakukan seseorang dengan sistem peng-kotak-an
yang dianggap tidak adil. Pandangan ini terformat sedemikian rupa, sehingga manusia
mewarisi bingkai pemikiran apriori kala berhadapan dengan individu atau kelompok sosial
tertentu. Pandangan dan pendekatan apriori ini acapkali jatuh ke lembah ketidakadilan yang
cenderung menguntungkan satu pihak. Stigmatisasi ini terkait pandangan statis yang terkait
dengan pelestarian status quo golongan sosial tertentu. Dinantikan kebudayaan reformatif
dalam menghadapi pandangan stereotip ini.
 Kesadaran batiniah dan cita-cita dasar the founding fathers untuk menegakkan keadilan
sosial perlu segera dikumandangkan kembali oleh penguasa negeri ini dalam penanganan
kasus-kasus berbau KKN. Keadilan (bukan sekadar "rasa") seharusnya melandasi tiap
langkah prosedural dunia hukum kita tanpa menyertakan kepentingan-kepentingan
terselubung di balik suatu pembedahan kasus hukum.
 Kedatangan "Ratu Adil" sedang dinantikan. Kasus-kasus "akbar" yang sedang ditangani,
seperti Kasus Buloggate II, bintang narapidana yang pernah melarikan diri, dan deretan
kasus kakap berbau KKN sedang mendapat sorotan tajam pakar hukum dan seluruh bangsa.
Suara-suara rakyat yang dinilai adil, sepatutnya mendapat perhatian para penegak hukum di
negara kita. Ganjaran apakah yang akan dijatuhkan kepada para pelanggar hukum? Adilkah
keputusan itu?
 Negeri kita, sejak zaman penjajahan bahkan dalam beberapa dekade terakhir, sudah ditindak
ketidakadilan sosial. Apakah para penguasa era roformasi ini masih akan membiarkan
ketidakadilan sosial bertumbuh di negara kita? Kita tunggu dan saksikan suara wakil rakyat di
DPR, langkah-langkah dan keputusan-keputusan hukum yang akan diambil para "penegak"
keadilan dalam menghadapi kasus-kasus "akbar" negeri kita. "Sang Hakim Agung" yang
teradil akan menunggu semua manusia, termasuk para polisi, jaksa, dan hakim yang
bertanggung jawab menegakkan keadilan di atas permukaan bumi.

 Waspadai Konflik Agama Jelang Pemilu

http://kosmo.vivanews.com/news/read/36712-
waspadai_konflik_agama_jelang_pemilu

 VIVAnews - Menjelang pelaksanaan pemilu 2009 semua partai diimbau untuk ikut
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Pendidikan itu diperlukan agar dalam
pemilu tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.

"Sebaiknya mencegah penggunaan simbol-simbol agama dalam politik praktis agar tidak
menimbulkan perpecahan," kata ketua komisi kerukunan Umat beragama Majelus Ulama
Indonesia, Slamet Efendi Yusuf, dalam diskusi "Antisipasi Konflik Umat Beragama
Menjelang Pemilu 2009," di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Jakarta Pusat, Kamis
5 Maret 2009.

Menurut Slamet, pemilu memang sebagai instrumen politik tentu saja sarat dengan
muatan kepentingan dan konflik. Namun, bila terjadi konflik dan kekerasan dalam politik
Indonesia, itu akan mencederai proses demokrasi.

Karena itu, pemerintah harus segera menyelesaikan konflik apa saja yang menjadi akar
dari konflik dan kekerasan pada masyarakat. "Kalau terjadi kekerasan, itu mencerminkan
tingkat budaya berdemokrasi masyarakat kita yang masih rendah," terang dia.

Sedangkan pengamat politik dari Reform Institute, Yudi Latif, memperkirakan potensi
konflik antar agama menjelang pemilu sangat kecil. Sebab, pada proses pemilu 2009 telah
terjadi perubahan paradigma mengenai arti pemilu itu sendiri.

14
Yudi justru menilai, potensi konflik justru terjadi di dalam agama itu sendiri di akar
rumput. "Seperti terjadi persaingan sengit antara Muhammadiyah dengan NU di tingkat
bawah," jelas Yudi.

 Money Politik Di Indonesia


(http://www.mpr.go.id/index.php?m=berita&s=detail&id_berita=497)

Pengertian money politic, diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan
tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai unatuk mempengaruhi suara
pemilih (vooters). SEJUMLAH potensi praktik politik uang (money politic) dalam penyelenggaraan pemilihan
kepala daerah secara langsung sudah dapat diidentifikasi.

Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan "sewa perahu", baik yang dibayar sebelum atau setelah
penetapan calon, sebagian atau seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh
melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam UU, tetapi tidak diketahui dengan pasti
karena berlangsung di balik layar.

Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang
sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini
juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan UU. Karena berlangsung di balik layar, maka sukar
mengetahui siapa yang memberi kepada siapa dan berapa besarnya dana yang diterima.

Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai dengan 100.000 pemilih, tetapi
wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah
tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang
tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang
dikehendakinya melalui "perantara politik" yang ditunjuknya di setiap desa.

Keempat, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25
persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.
Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui "perantara politik" di setiap
desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan "rasional" bagi pasangan calon.

APABILA identifikasi di atas benar sebagian atau seluruhnya, apa yang dapat dilakukan untuk mencegah praktik
politik uang tersebut? Setidak-tidaknya tiga cara dapat ditempuh, yaitu melalui mekanisme pelaporan dan audit
dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui pengorganisasian pemilih (organize voters)
oleh para pemilih sendiri. Cara pertama diadopsi oleh peraturan perundang-undangan, tetapi pengaturannya
masih harus dilengkapi oleh KPU provinsi/KPU kabupaten/kota. Berdasarkan pengalaman menangani pelaporan
dan audit dana kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004, tujuh hal berikut perlu
diadopsi oleh KPUD.

Pertama, belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus di bank yang sudah
dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan disampaikan kepada bendahara untuk kemudian
digunakan atau langsung digunakan secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara. Akibatnya
Rekening Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu menggambarkan seluruh transaksi dan
kegiatan kampanye peserta pemilu. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu menegaskan dalam peraturan
bahwa semua penerimaan dan pengeluaran harus tercatat dalam rekening khusus.

Kedua, pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah menerima sumbangan dari
berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon
didaftarkan kepada KPU sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon melaporkan
saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang dilaporkan hanya dana minimal untuk
membuka rekening. Dana yang sudah diterima dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak
dimasukkan ke dalam rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu membuat pengaturan yang
tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim kampanye mencatat transaksi tersebut dalam rekening khusus, yaitu
dengan mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga melaporkan seluruh transaksi sebelum pendaftaran
pasangan calon dalam laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pilkada.

Ketiga, pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat dan melaporkan sumbangan
pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan sejumlah kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi

15
pasangan calon tersebut dengan uang sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain. Sumbangan yang
diterima dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye. KPUD perlu
menegaskan ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim kampanye pasangan calon pemilihan kepala
daerah.

Keempat, menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon merupakan laporan
konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP), terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim
kampanye daerah dicatat dan dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan yang juga
mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat kecamatan untuk pemilihan gubernur serta
tingkat kecamatan untuk pemilihan bupati/wali kota) mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan
pengeluaran, baik kas maupun nonkas, sehingga termasuk yang akan diaudit oleh KAP.

Kelima, tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori sumber sumbangan menurut
undang- undang, yaitu partai politik/gabungan partai politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan
perseorangan dan badan hukum swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha mencari dana
dengan menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan kepada pasangan calon tertentu, sedangkan
sekelompok orang tersebut tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun dengan pasangan calon, ke
dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas tidak dapat dimasukkan ke dalam
kategori sumbangan perseorangan karena melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat
dimasukkan ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok orang tersebut tidak
membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari
dana, KPUD perlu mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan barang, sebaiknya
sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia usaha walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis
usaha tersebut berupa penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus dikategorikan
sebagai sumbangan perseorangan.

Keenam, karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15 hari, maka pengecekan yang
dilakukan KAP terhadap semua bentuk sumbangan, terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta
hanya secara acak dengan kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam.

Oleh karena itu, apabila memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu yang lebih memadai bagi KAP
untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu yang tersedia dapat pula diatasi dengan meminta lembaga
pemantau, yang khusus memantau dana kampanye pilkada, dan panwas, menyerahkan hasil pemantauan dana
kampanye pilkada untuk digunakan sebagai bahan audit oleh KAP.

Dan ketujuh, KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila terjadi kesenjangan pengeluaran
dan penerimaan dari laporan pasangan calon.

DARI segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan pasangan calon, KPUD berwenang
mengenakan sanksi pembatalan calon apabila pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima
sumbangan/bantuan lain dari pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b) menerima sumbangan/bantuan
lain dari pihak yang tidak jelas identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan lain dari pemerintah, BUMN,
dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan pasangan calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau
menjanjikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus mendiskualifikasi pasangan
calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, kewenangan membatalkan calon seperti ini yang
semula berada pada DPRD kini dialihkan kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan calon.

Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak memberikan sanksi bagi
penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam
UU No 32 Tahun 2004. Bila kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya dalam peraturan
pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini tengah disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada
gunanya menetapkan batas maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan memperlakukan pasangan calon
lain dan para pemilih secara tidak adil.

Apabila para pemilih mampu mengorganisasi diri berdasarkan preferensi pola dan arah kebijakan lokal dan
berdasarkan preferensi watak dan kapabilitas calon, gerakan para pemilih ini sekurang-kurangnya dapat menjadi
pesaing tangguh terhadap praktik kriminalitas yang terorganisasi (praktik politik uang) tersebut. Pada pemilu
legislatif yang lalu sudah ada sejumlah embrio gerakan para pemilih di beberapa tempat untuk bernegosiasi
dengan partai/calon. Namun, memang masih dibutuhkan banyak penggerak untuk pemilih terorganisasi untuk
menghadapi kriminalitas terorganisasi tersebut.

16

Anda mungkin juga menyukai