Yogyakarta, Kompas
Guru Besar Hukum Administrasi Negara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Prof Dr
Muchsan SH, berpendapat, serunya tarik-menarik kepentingan antara pemerintah pusat dan
daerah dalam masa-masa awal era otonomi daerah belakangan ini, merupakan indikasi
bahwa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah lebih
bernuansa politis ketimbang yuridis. Akibatnya terjadi konflik kewenangan antara pusat dan
daerah yang ujung-ujungnya membuat perangkat pemerintahan dari tingkat provinsi hingga
desa jadi gamang.
Berbicara kepada Kompas Senin (12/3) sore, Muchsan menyebutkan, gamangnya provinsi
dan kabupaten/kota dalam menyusun APBD-serta menghitung pendapatan asli daerah
(APD)-merupakan contoh konkret dari tidak jelasnya aturan pembagian kewenangan antara
pusat dan daerah. Dalam hal pengelolaan sumber daya alam, misalnya, pemerintah pusat
merasa masih punya kewenangan, padahal daerah sudah diberi otonomi seluas-luasnya.
Daerah yang punya areal hutan, misalnya, belum bisa menargetkan berapa penghasilan yang
diperoleh dari sumber daya alam itu. Sebab, pusat pun masih merasa punya wewenang.
"Itu sebabnya, puluhan peraturan pemerintah (PP) yang mestinya jadi pedoman dalam era
otonomi daerah ini, belum juga lahir. Padahal, otonomi daerah itu mulai efektif sejak 1 Januari
2001. Hingga bulan ketiga (Maret), tarik-menarik masih terjadi antara pusat dan daerah
sehingga masyarakat dan perangkat pemerintahan di daerah jadi bingung," papar Muchsan.
Bermuatan politis
Muchsan menegaskan, kondisi itu semua berpangkal dari lemahnya aspek yuridis dari UU No
22/1999. UU tersebut digodok pada tahun 1999 saat Timor Timur diberi opsi merdeka atau
otonomi seluas-luasnya. Maka, lebih 50 persen dari 134 pasal dalam UU tersebut bermuatan
politis. "Jangan heran jika banyak 'pasal karet' yang artinya memungkinkan kekuasaan
pemerintah pusat mulur, dan kembali mengebiri otonomi daerah," paparnya.
Dia menunjuk Pasal 7 Ayat 2 UU No 22/1999 sebagai contoh. Dalam hal pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, Ayat 2 cenderung mengebiri Pasal 1.
Pasal 1 menyuratkan bahwa kewenangan daerah mencakup seluruh bidang pemerintahan,
kecuali untuk urusan luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain.
Sementara itu, Pasal 2 menyebutkan bahwa kewenangan pemerintah pusat bisa melebar
pada kebijakan perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro.
Bahkan, kewenangan itu secara mikro bisa menyangkut dana perimbangan keuangan, sistem
administrasi negara, pembinaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam
serta teknologi tinggi strategis.
"Pasal itu merupakan salah satu indikasi tidak adanya kepastian hukum dalam menjalankan
roda pemerintahan dan pembangunan di tingkat pusat dan daerah," tegas Muchsan.
Mengacu pada teori-teori hukum, Muchsan mengatakan, sebuah UU hanya akan efektif
dalam memperbaiki sistem kemasyarakatan jika memenuhi tiga syarat.
Pertama, mengatur segala secara tuntas. Kedua, tidak memungkinkan adanya pasal yang
blangko. Artinya, jangan ada kalimat bahwa hal-hal teknis akan diatur dalam sebuah PP
tetapi nyatanya PP, itu tidak segera diterbitkan. Syarat ketiga, jangan sampai ada 'pasal
karet'. "Ketiga syarat itu sama sekali tidak dipenuhi oleh UU No 22/ 1999," papar Muchsan.
(nar)
http://www.unisosdem.org/otonomi/oto-130301.htm