Data Baru 1
Data Baru 1
SKRIPSI
Oleh:
NIM : 98140713
FAKULTAS TARBIYAH
MALANG
2003
PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
SKRIPSI
Diajukan Kepada:
Oleh:
NIM : 98140713
Fakultas : Tarbiyah
FAKULTAS TARBIYAH
MALANG
2003
ii
PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
SKRIPSI
Oleh:
NIM : 98140713
Mengetahui,
Ketua Jurusan Pendidikan Islam
iii
PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
SKRIPSI
Oleh:
MOH. IMAM SYAFI’I
NIM : 98140713
Mengesahkan
Dekan Fakultas Tarbiyah UIIS Malang
iv
PERSEMBAHAN
Bapak dan Ibuku tercinta, yang senantiasa mencurahkan kasih sayang sepenuh
Hati, sehingga kendala dan rintangan seberat apapun menjadi tidak berarti.
v
MOTTO
“Tidakkah kamu perhatikan Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik
seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan batangnya (menjulang) ke langit.”
“Masyarakat yang cerdas adalah masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, maju dan mandiri serta berwawasan budaya.”
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dalam kesempatan yang berharga ini, tiada kata yang pantas terucap
selain lantunan nada syukur ke hadirat Allah Swt yang senantiasa mencurahkan
kasih tanpa pamrih dan selalu mengucurkan sayang tiada terbilang kepada
dewasa ini adalah bagaimana mencari model pendidikan yang paling efektif
untuk diterapkan (secara nasional) di Indonesia. Hal ini bisa dicermati mulai
hadirnya konsep CBSA, life skill, sampai yang sedang hangat upaya
dari kondisi pendidikan nasional yang telah dinilai gagal, atau paling tidak
dianggap belum dapat bersaing di pentas global (Lihat: Kompas, medio April
2002)
serta banyaknya konflik yang mengarah pada dis integrasi bangsa (Lihat:
masyarakat (dalam arti khusus peserta didik) telah dimarginalkan dari akar
budaya mereka.
vii
Bahkan pendidikan, tambah Tilaar, kini telah menjadi alat negara dan alat
kekuasaan, karena itu, pendidikan tidak lagi menjadi kewenangan pribadi untuk
menentukan apa saja yang akan diserap keotak. Lihat: Harian Pagi Jawa Pos
diikat oleh sistem nilai hidup dalam kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.
masyarakatnya kini dan masa depan. Maka bisa dibayangkan apa yang akan
berbasis budaya melalui kajian pustaka atas berbagai pemikiran H.A.R Tilaar
sayang dari Allah Swt. Di samping itu penulis juga tidak mungkin menafikan
peran dan dukungan yang tiada terhingga dari berbagai pihak. Untuk itu penulis
viii
1. Emak dan Bapakku yang dengan penuh kesabaran mencurahkan kasih
dengan baik.
3. Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed., Yang telah berkenan memberi
4. Bapak Drs. A. Fatah Yasin, M. Ag., yang dengan tulus dan arif telah
selaku Dekan Fakultas Trbiyah dan Ketua Jurusan PAI UIIS Malang.
7. Bapak dan Ibu dosen UIIS Malang yang telah memberikan bekal
pencerahan daya pikir dan nalar kepada penulis selama menempuh studi.
ix
11. Semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini, yang
Semoga segala amal baik dan bantuan yang telah diberikan kepada
penulis dapat diterima oleh Allah Swt. Sebagai investasi kebaikan yang tidak
terlepas dari kekurangan dan kekeliruan, oleh karena itu penulis mengharap
adanya kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak yang berkompeten,
demi perbaikan skripsi ini serta agar dapat dijadikan rujukan bagi
nilai asasi budaya bangsa, dan mudah-mudahan dapat menjadi sumbangan yang
Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
dan semoga Allah Swt. Senantiasa memberikan petunjuk dan rahmat Nya.
Amin.
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGAJUAN
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PERSEMBAHAN
MOTTO
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
BAB I : PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
F. Metode Penelitian
G. Sistematikan Pembahasan
A. Hakikat Pendidikan
B. Hakikat Kebudayaan
xi
1. Biografi
2. Akar Pemikiran
BAB IV : ANALISIS
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)
Oleh
Nama : Moh. Imam Syafi’i
Nim : 98140713
Jurusan : Pendidikan Islam
Fakultas : Tarbiyah UIIS Malang
Pembimbing : Drs. A. Fatah Yasin, M. Ag
ABSTRAK
Pendidikan merupakan suatu proses untuk menghasilkan out put yang
mengarah pada pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas tinggi
dan berdisiplin tinggi. Sehingga manusia dapat hidup layak dan mampu
mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat yang terus berkembang secara
dinamis, akhirnya akan terbentuk subuah tatanan masyarakat yang beradab. Namun
perlu disadari bahwa pendidikan bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Pendidikan
merupakan proses yang dimensional, pendidikan banyak berkaitan dengan konsep-
konsep dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga bisa
dimaklumi jika dalam kondisi tertentu pendidikan lebih dititik beratkan pada
pencapaian target yang sifatnya temporal (atau bisa jadi kepentingan pihak politik
kekuasaan). Seperti yang terjadi pada masa orde baru di mana pendidikan lebih
diarahkan pada pemberantasan buta huruf dan atau pemenuhan target REPELITA
(Rancana Pembangunan Lima Tahun), sehingga proses pendidikan cenderung
verbalistik dan intelektualistik.
Kondisi seperti inilah yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia
“asing”, manusia-manusia yang hanya tahu kenyataan kehidupan melalui kata-kata
tanpa makna, sehingga sedikit demi sedikit mereka mulai menjauh atau bahkan lupa
pada identitas bangsanya sendiri. H.A.R. Tilaar menanamkan mereka sebagai manusi-
manusia “buaya” tanpa budaya. Seperti “bom waktu”, ketika tampil di tampuk
kekuasaan mereka menjadi lupa daratan, KKN dan segala bentuk praktek
menghalalkan segala macam cara terjadi hampir di setiap segmen kehidupan.
Sementara di wilayah grass root, mereka tampil beringas; penjarahan, pembumi
hangusan, main hakim sendiri telah menjadi suguhan yang memilukan. Kemudian
muncul pertanyaan, di manakah peran pendidikan kita? Bukankah mereka nota bene
nya pernah mengenyam pendidikan? Dari sinilah kemudian indikasi kegagalan
pendidikan nasional kian menjadi jelas.
Untuk mengatasi dan mengantisipasi agar kejadian seperti itu tidak terulang di
kemudian hari, maka perlahan namun pasti, H.A.R. Tilaar berusaha untuk
membangkitkan kembali kesadaran masyarakat Indonesia. Menurut H.A.R. Tilaar
pembangunan nilai-nilai moral harus menjadi landasan bagi pembangunan peradaban
suatu bangsa. Nilai-nilai moral yang kokoh dan etika standar yang kuat amat
diperlukan bagi masyarakat suatu bangsa untuk menghadapi tantangan-tantangan
masa depan. Nilai-nilai moral suatu bangsa sangat berkaitan erat dengan kekuatan
suatu bangsa itu sendiri, bahkan bisa dikatakan sebagai ruh yang selanjutnya disebut
sebagai kebudayaan atau identitas bangsa. Dari sinilah kemudian penulis tertarik
untuk menelaah lebih lanjut pemikiran-pemikiran Tilaar yang terkait dengan upaya
pembenahan pendidikan nasional dalam bingkai budaya bangsa Indonesia. Oleh
karena itu rumusan masalah yang fokus dalam karya ilmiah ini adalah: a) Bagaimana
landasan konseptual pemikiran H.A.R. Tilaar tentang pendidikan?, b) Bagaimana
hubungan antara budaya dan pendidikan menurut H.A.R. Tilaar? Dan c) Untuk
xiii
menjelaskan konsep pendidikan menurut H.A.R. Tilaar yang dapat digunakan sebagai
dasar pengembangan pendidikan nasional.
Untuk itu dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan pendekatan
deskriptif-kualitatif, sehingga hasil penelitian tidak berupa angka-angka melainkan
berupa interpretasi dan kata-kata. Sedang pengumpulan datanya dilakukan dengan
sumber data menggunakan teknik Library Research (kajian literatur) dengan
menjadikan buku-buku karya H.A.R. Tilaar sebagai data primer, serta literatur-
literatur yang berkaitan dengan obyek penelitian ini sebagai data sekundernya.
Kemudian data-data yang terkumpul dianalisa dengan menggunakan content analysis
(analisis isi) yakni dengan cara memilah-milah data yang terkumpul untuk dianalisa
isinya sesuai dengan yang dibutuhkan sehingga dapat diambil suatu kesimpulan. Dan
untuk lebih mudah mendeskripsikan isi pembahasan, penulis menggunakan metode
deskriptif, analisis-sintesis, hermeneutik dan komparasi.
Beberapa ide pokok yang dapat penulis rumuskan setelah mengkaji
permasalahan ini adalah:
a. Sebagai dampak dari westernisasi/Globalisasi, Dunia Timur dewasa ini tengah
dihantui krisis (moral) yang dapat menyebabkan disorganisasi sosial. Oleh karena
itu sangat diperlukan suatu visi ke arah mana bangsa ini akan menuju. Dan itu
hanya bisa dilakukan melalui sistem pendidikan yang berlandaskan pada nilai-
nilai budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Sehingga identitas bangsa
semakin kokoh di tengah kompetisi global. Sebab hakikat pendidikan menurut
H.A.R. Tilaar adalah suatu proses menumbuh kembangkan eksistensi peserta
didik yang memasyarakat, membudaya, dalam tata kehidupan yang berdimensi
lokal, nasional dan global.
b. Antara pendidikan dan kebudayaan terdapat hubungan interaktif. Proses
pendidikan pada dasarnya adalah proses membudaya; dalam proses itu pendidikan
bukan sekedar mentransfer nilai-nilai yang hidup dalam tradisi, tetapi juga
berpatisipasi dalam kegiatan budaya yang ada dan mengantisipasi nilai-nilai yang
mungkin muncul di masa depan. Sedang kebudayaan merupakan dasar/landasan
utama dari praksis pendidikan, bukan hanya seluruh proses pendidikan yang
berjiwakan kebudayaan nasional, tetapi juga seluruh unsur kebudayaan harus
diperkenalkan dalam proses pendidikan. Sebagai proses membudaya, pendidikan
merupakan jalinan interaktif antara manusia dengan lingkungannya, termasuk
lingkungan alam dan manusia. Oleh sebab itu pendidikan harus diarahkan agar
semua potensi yang ada pada anak didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin
sesuai dengan fitrahnya. Dengan demikian anak didik harus menjadi centre.
Sementara praksis pendidikan harus lebih mengedepankan aspek nilai-nilai luhur
bangsa di mana kebudayaan Indonesia yang bhineka merupakan totalitas dari
pengejawantahan pribadi bangsa. Hal ini juga harus didasarkan pada komitmen
untuk menerima dan menyumbangkan budaya lokal sebagai unsur-unsur yang
penting bagi terwujudnya budaya nasional yang kokoh dan dinamis.
c. Sistem Pendidikan Nasional bukan hanya sekedar menghasilkan manusia-manusia
yang cerdas, tetapi juga yang bermoral tinggi dan produktif menghadapi tantangan
kehidupan yang penuh dengan persaingan. Untuk itu pendidikan nasional menurut
H.A.R. Tilaar harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a) Pentingnya
pendidikan sebagai proses pembudayaan dan pendidikan nilai, b) Pentingnya
pendidikan sebagai Sarana pembentuk watak yang baik, c) Perlunya pemerintah
mengadakan pembenahan konsep pendidikan nasional dengan mengedepankan
aspek-aspek sebagai berikut: (1) Nilai dasar pendidikan, (2) Memperhatikan
xiv
fungsi sosiologis pendidikan, (3) Relasi kebudayaan dan pendidikan, (4)
Pendidikan sebagai the agent of change, (5) pemerataan kesempatan pendidikan.
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disarankan, baik para pemerhati
maupun praktisi pendidikan, bahwa pendidikan adalah proses kehidupan yang
dinamis, untuk itu agar kiranya selalu diupayakan memperbarui dan merumuskan
konsep pendidikan yang dapat mengikuti perkembangan zaman. Bagi para (calon)
intelektual diharapkan selalu dapat berinovasi dalam mengupayakan paradigma
pendidikan yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Analisa dalam karya ilmiah ini
bukan dimaksudkan untuk melegitimasi kebijakan pendidikan, tetapi diharapkan
mampu menggugah kesadaran para praktisi pendidikan (khususnya) dan seluruh
komponen bangsa (umumnya). Di samping itu, hasil penelitian ini belum bisa
dikatakan final, untuk itu diharapkan agar tentang pentingnya pendidikan berbasis
budaya terdapat penelitian lebih lanjut yang mengkaji ulang atau bahkan
mengembangkan hasil penelitian ini dengan topik atau obyek yang sama, baik yang
secara khusus membahas pemikiran tokoh maupun yang secara umum membahas
pendidikan berbasis budaya.
xv
BAB I
PENDAHULUAN
(Q.S. Attiin: 5)1, selain itu manusia juga diberikan kemuliaan dibanding
dalam bentuk yang paling baik. Keistimewaan yang diberikan Tuhan kepada
itu tidak lepas dari potensi dasar (fitrah) yang dimilikinya. Fitrah yang
1
Fi ahsani taqwim, secara literal mengandung pengertian bahwa manusia diciptakan, dalam
bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Cet. X,
Jakarta, Mizan, 2000, hal:282.
2
Menurut Abu al-Huzamil, akal adalah daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya
yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dan benda lain dan antar
benda-benda dari yang lainnya. Akal mempunyai daya untuk mengabstrakkan benda-benda
yang ditangkap oleh panca indera. Harun Nasution, Akal dan wahyu dalam Islam, Jakarta,
Ul-Press, 1986, hal: 12.
3
Lihat: Zuhairini, dkk., Filsafat Pendidikan Islam, Cet.II, Jakarta, Bumi Aksara, 1995, hal:79
Ahad, 8 Juni 2003.
# Dalam hal ini Buceille mengartikan taqwim sebagai “mengorganisasikan sesuatu dengan
cara terencana,” yang oleh karena itu berarti suatu susunan kemajuan yang telah lebih
dahulu didefinisikan secara cermat (oleh sang pencipta). Maurice Buceille, Asal-usul manusia
menurut Bibel, Al-Quran, Sain, Cet.XIII, Bandung, Mizan, 1999, hal:208.
1
komitmen terhadap nilai-nilai keimanan kepada-Nya, cenderung kepada
potensial yang dimiliki manusia dibandingkan dengan makhluk yang lain ini
yang dianggap dan diyakini sebagai yang ideal.5 Pendidikan bertujuan untuk
membantu individu agar dapat hidup layak dalam dunia yang terus
mudah, pendidikan merupakan kawasan yang padat isi, dan memiliki banyak
4
khalifatullah fi al-ardl artinya khalifah (wakil atau pengganti) Allah (Tuhan) di bumi, untuk
menjalankan mandat yang diberikan oleh Allah kepadanya, guna membangun dunia ini
sebaik-baiknya. Muhaimin dan Mudjib, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalnya, Bandung, Trigenda Karya, 1993, hal: 61. Lihat juga:
Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama
Islam Di Sekolah, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001, hal: 19-24.
5
Masarudin Siregar, Konsepsi Pendidikan Ibnu Khaldun (Tinjuauan Fenomenologis), dalam
Toyib dan Darmuin, Paradigma Pendidikan Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal:16-
19.
6
Radja Mudyahardjo, Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta, Raja grafindo Persada,
2002, hal: 11.
2
dikaitkan dengan sistem sosial, ekonomi, politik, bahkan hankam. Kerumitan
bangsa, alat meningkatkan taraf ekonomi, alat mengangkat status sosial, alat
menguak rahasia alam raya dan manusia, alat menciptakan keadilan sosial,
pendidikan memiliki tujuan yang ingin dicapai, dan dalam tujuan ini
ketidakberhasilan pendidikan.
7
Lihat: Omi Intan Naomi, Mendidik Si Alim Pembangkang, Pemberontak, Cet. III, dalam
Frieri dkk., Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, hal:Lxiv
Dari asumsi ini bisa diambil pengertian bahwa segala apa saja yang berkenaan dengan
pendidikan nasional, menjadi tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Ini mengisyaratkan
bahwa pemerintah (sebagai pemegang kendali pendidikan nasional) tidak boleh menutup
“mata” dan “telinga” terhadap realitas pendidikan di masyarakat, sehingga kebijakan yang
diterapkan bisa sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan.
3
Munculnya globalisasi peradaban yang meluas beriringan dengan
hanya mengubah tatanan budaya dan pola perilaku manusia, melainkan juga
rumit, proses dan sistem pendidikan sukar berjalan dengan mulus, karena
jalannya proses dan sistem pendidikan.10 Pada gilirannya hal ini memberikan
utama yang harus dihadapi paling tidak berhubungan dengan: (1) Bagaimana
8
Francis Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetisi dan Keadilan, Cet.II Yogyakarta,
Pustaka Pelajar, 2001, hal: 2-3
9
Lihat: Abdul Munir Mulkhan, Nalar Spiritual Pendidikan Solusi Problem Filosofis Islam,
Yogyakarta, Tiara Wacana, 2002, hal:49.
Gagasan baru tersebut oleh Sihombing dipandang sebagai keniscayaan dalam kehidupan
masyarakat yang selalu bergerak secara dinamis. Dengan demikian upaya untuk selalu
mencari paradigma pendidikan yang tepat, mutlak diperlukan; sebab jika tidak demikian
perkembangan masyarakat (di segala bidang) akan macet. Hal penting yang ditawarkan oleh
Sihombing, Menuju Pendidikan Bermakna Melalui Pendidikan Berbasis Masyarakat Cerdas
Terampil Mandiri Konsep Strategi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Multiguna, 2002, hal:1-20.
4
dan perannya untuk menyusun dan menata hari esok yang lebih baik. (3) Upaya
10
Abdullah fadjar, Strategi Pengembangan Pendidikan Islam Melalui Riset dan Evaluasi,
dalam USA, Pendidikan Islam di Indonesia Antara Cita dan Fakta, Yogyakarta, Tiara
Wacana, 1991, hal:141.
11
Fenomena ini bisa kita cermati dari berbagai upaya-uapaya pemerintah (yang secara idiil
bertanggung jawab atas pelaksanaan pendidikan nasional) melalui kebijakan-kebijakan riil di
lapangan. Mulai dari model CBSA, life skill, KBM, pergantian sistem evaluasi belajar, model
semester (untuk SD-SMU); dan seterusnya.
12
Masaruddin Siregar, Op.Cit., hal:7. Lihat juga: H.M. Arifin, Kapita Selekta Pendidikan
(Islam dan Umum), Cet. IV, Jakarta, Bumi Aksara, 2000, hal:ix.
Dalam hal ini Bukhori mengintrepretasikan persoalan-persoalan di atas sebagai The
Basic dalam pendidikan, di mana segenap kegiatan pendidikan yang mempersiapkan anak-
anak untuk pekerjaan. Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta, Kanisius,
2001, hal:41.
13
Azzumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan Demokratisasi,
Jakarta, Kompas, 2002, hal:xiii-xiv.
Indikasi kegagalan ini secara umum dapat dilihat dari bingkai krisis yang telah melanda
bangsa Indonesia selama ini. Momentum jatuhnya pemerintahan orde baru adalah awal “ titik
keruh” dari multi krisis. Dikatakan multi krisis karena bangsa ini tengah mengalami situasi
dan kondisi yang sangat memprihatinkan di seluruh aspek berbangsa dan bernegara. Lihat:
T. Jacob, Reformasi Menuju Masyarakat Beradab: Sebuah Pengantar, dalam Usman dkk.
(Ed.), Membongkar Mitos Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, hal: 1-11.
Menjamunya KKN (Korupsi-Kolusi-Nepotisme), meningkatkan tindak kejahatan, makin
tingginya tensi kekerasan yang mengarah pada menghalalkan segala cara, banyaknya
pertikaian yang dipicu SARA (Suku Agama Ras dan Antar Golongan), tingginya angka
pengangguran, serta berbagai konflik yang mengarah pada disintegrasi bangsa;
kesemuanya itu telah menjadi suguhan yang memilukan di pentas peradaban bangsa
5
Dalam pandangan H.A.R. Tilaar, untuk menyelesaikan problematika
pendidikan yang terjadi dewasa ini, maka pendidikan baik secara teoritis
tidak terjadi dalam vakum (keadaan diam), tetapi terjadi dalam interaksi
antara manusia di dalam suatu masyarakat yang berbudaya. Oleh sebab itu
terjadi krisis dalam kebudayaan, maka hal ini akan tampak dalam kegagalan
sistem pendidikannya.14
Indonesia. Padahal secara statistik (terhitung dari Repelita I) tingkat pemberantasan buta
huruf dan partisipasi belajar masyarakat mengalami peningkatan secara spesifik. Ini artinya
secara umum penduduk Indonesia (setidaknya pernah mengenyam pendidikan). Lihat:
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan Cet. V,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001, hal:29-31.
Sementara Kuntowijoyo mengingatkan bahwa dalam bingkai budaya, apa yang tengah
dialami oleh bangsa ini merupakan proses dialetika dari realitas suku bangsa dengan segala
karakteristik dan kecenderungan yang telah lama melekat. Oleh karena itu yang perlu
dilakukan adalam membuka kembali lipatan sejarah agar lebih bisa diketahui siapa
Masyarakat bangsa ini, untuk selanjutnya menyusun semacam agenda dan strategi
kebudayaan yang sistematis dan terencana. Lihat: Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos
Selamat Datang Realitas, Bandung, Mizan, 2002.
14
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000, hal: 49-
50.
Ini jauh-jauh juga telah ditegaskan oleh Kartono, bahwa pendidikan dan dampaknya itu selalu
saja mencakup hampir semua kehidupan masyarakat. Oleh karena itu mengembangkan
sistem pendidikan harus selalu berakar pada kebudayaan bangsa itu sendiri, dalam hal ini
6
Dalam konsepsi Freire, suatu tugas penting pendidikan kritis adalah
memanusiakan manusia.15
dalam krisis yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini, terdapat manusia
yang rakus dan kehilangan pertimbangan akal sehat. Apabila ada sebuah
kemanusiaan.16
kebudayaan Indonesia. Lihat: Kartini Kartono, Tinjauan Holistik mengenai Tujuan Pendidikan
Nasional, Op. Cit., hal:71.
15
M. Escobar, dkk., Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah kapitalisme yang Licik, Yogyakarta,
LkiS, 2001, hal: xiii.
16
Tilaar menembahkan bahwa antara pendidikan dan kebudayaan terdapat keterkaitan yang
saling memperkuat satu dengan yang lain. Dengan demikian krisis kebudayaan adalah krisis
pendidikan. Dalam konteks nasional, reformasi total dalam kehidupan bangsa Indonesia
harus pula merupakan reformasi total kebudayaan, dan dalam rangka reformasi total
kebudayaan inilah terletak reformasi pendidikan nasional. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b,
hal:51.
7
pemahaman terhadap perbedaan itu, lalu melakukan tindakan penerjemahan
dalam krisis yang sedang terjadi di Indonesia sekarang ini, terdapat manusia
yang rakus dan kehilangan pertimbangan akal sehat. Apabila ada sebuah
x
Seseorang disebut berbudaya apabilaperilakunya dituntun oleh akal budinya sehingga
mendatangkan kebudayaan bagi diri dan lingkungannya serta tidak bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Djoko Widagho, Ilmu Budaya Dasar, Cet. III, 1993, hal:25.
15
M. Escobar, dkk., Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah kapitalisme yang Licik, Yogyakarta,
LkiS, 2001, hal: xiii.
16
Tilaar menembahkan bahwa antara pendidikan dan kebudayaan terdapat keterkaitan yang
saling memperkuat satu dengan yang lain. Dengan demikian krisis kebudayaan adalah krisis
pendidikan. Dalam konteks nasional, reformasi total dalam kehidupan bangsa Indonesia
harus pula merupakan reformasi total kebudayaan, dan dalam rangka reformasi total
kebudayaan inilah terletak reformasi pendidikan nasional. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b,
hal:51.
8
human being (manusia yang terdidik dan berbudaya).17
gagasan baru sebagai kritik atas konsep yang selama ini berkembang dan
learning (perolehan).18
mapan diterapkan di negara lain, namun perlu diingat bahwa bangsa kita
punya sistem nilai sendiri, yang karenanya eksistensi bangsa ini dapat
mewarnai peradaban
x
Seseorang disebut berbudaya apabila perilakunya dituntun oleh akal budinya sehingga
mendatangkan kebudayaan bagi diri dan lingkungannya serta tidak bertentangan dengan
kehendak Tuhan. Djoko Widagho, Ilmu Budaya Dasar, Cet. III, 1993, hal:25.
17
H.A.R. Tilaar, Lok.Cit.,2000b.
18
Abdul Munir Mulkhan, Op.Cit., hal:51.
Gagasan lain yang kini tengah gencar-gencarnya untuk disosialisasikan (secara
nasional) adalah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Mulyasa mendefinisikan KBK
sebagai suatu konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan
melakukan (kompetensi) tugas-tugas dengan standart performensi tertentu. E. Mulyasa,
Kurukulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik dan Implementasi, Cet.III, Bandung,
Remaja Rosda Karya, 2003, hal:139.
Gagasan lain yang juga banyak menyita perhatian publik adalah Kurikulum Berbasis
Life Skill, yang mempunyai orientasi sebagai upaya penyiapan para peserta didik agar siap
pakai untuk menjalankan tugas-tugas tertentu. Menurut Muhaimin, Kurikulum Berbasis
Kompetensi dikembangkan bertolak dari analisis kebutuhan pekerjaan atau kemampuan,
minat dan bakat dari peserta didik itu sendiri.Lihat: Muhaimin, Kurikulum Berbasis
Kompetensi dan Life Skill dalam Majalah Pendidikan Tarbiyah Plus Media Komunikasi
Keilmuan Dan Pendidikan, Edisi I, Malang, UIIS Press, 2003, hal:5-9.
9
implikasi riilnya menciptakan model sendiri yang dapat memberikan nilai
tetap di kancah global, dan bukan sekedar ikut-ikutan atau bahkan asal
yang tercermin dari kebinekaan budaya bangsa. Maka tepat kiranya bahwa
Penulis tidak menafsirkan aktualita dan urgensi dari gagasan-gagasan tersebut, namun yang
akan menjadi titik tekan dari skripsi ini adalah bagaimana aneka ragaman gagasan tersebut
dapat dikembangkan dengan berbijak pada nilai-nilai dasar budaya masyarakat. Oleh karena
itu menurut hemat penulis, sebelum gagasan-gagasan tersebut dikembangkan lebih jauh,
kiranya pemerintah harus segera membenahi konsep pendidikan dengan memberikan
penekanan pada basis budaya masyarakat sebagai landasan fundamental (bagi upaya riil)
melalui berbagai gagasan yang edang diupayakan sosialisasinya. Jika tidak demikian maka
hal:67.dikhawatirkan gagasan-gagasan tersebut hanya akan kelihatan megah bentuk fisik
dan atapnya saja, sementara dasarnya tidak jelas atau bahkan keropos.
10
hidup di dalam masyarakat Indonesia yang akan dijadikan fondasi untuk
Dalam GBHN 1999-2004 terdapat visi dan misi pembangunan nasional yang
watak bagi hidup kebersamaan dan toleransi. Kedua, bangsa Indonesia perlu
19
Djohar menambahkan bahwa kondisi seperti inilah yang kemudian menimbulkan
konsekuensi sebagai berikut: (1). Pendidikan kita telah kehilangan onbektivitas, (2).
Pendidikan kita tidak mendewasakan anak, (3). Pendidikan kita tidak menumbuhkan pola
berfikir, (4). Pendidikan kita tidak menghasilkan manusia terdidik, (5). Pendidikan kita dirasa
membelenggu, (6). Pendidikan kita tidak menghasilkan individu belajar, (7). Pendidikan kita
dirasakan linear-indoktrinatif, (8). Pendidikan kita belum mampu memberdayakan dan
membudayakan peserta didik.
Djohar MS, Pendidikan Strategik Alternatif Untuk Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta,
LESFI, 2003, hal:4-10.
20
H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional, Cet.II, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000a, hal:63
21
H.A.R. Tilaar , Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, Menurut
Latief, untuk mewujudkan visi pembangunan tersebut dibutuhkan kualisifikasi sumber daya
manusia yang berdaya saing tinggi. Maka orientasi yang paling utama adalah bagaimana
pendidikan mampu ”membentuk” (kepribadian) dan bukan sekedar ”mencetak” (lulusan).
Lihat: Yudi Latief, Masa Lalu yang Membunuh Masa Depan, Bandung, Mizan, 1999, hal:191-
194.
11
pendidikan haruslah dipahami secara arif, karena upaya pendidikan dalam
dan beban dalam pendidikan) yang tidak mungkin terlaksana secara total.
Kebajikan yang diharapkan dari pendidikan adalah upaya kreatif yang secara
inilah, maka penulis menyusun sebuah karya ilmiah dengan judul: Pendidikan
22
Abdullah Fadjar, Op.Cit.
Dengan kata lain bahwa upaya pembenahan pendidikan harus selalu diupayakan
secara simultan, dengan menitik beratkan pada pemberdayaan dan pemaknaan nilai-nilai
dasar yang ada dalam masyarakat untuk kemudian dianalogikan secara transformatif agar
tercipta bangunan peradaban yang mengedepankan aspek kasih sayang terhadap semua
makhluk yang ada di alam semesta ini.
Dalam upaya membentuk tersebut tentunya bukan dengan eutoria idialis, seperti
mengadopsi besar-besaran sistem atau model yang meski telah mapan diterapkan di negara
lain, namun perlu diingat bahwa bangsa kita punya sistem nilai sendiri, yang karenanya
eksistensi bangsa ini dapat mewarnai peradaban implikasi riilnyamenciptakan model sendiri
yang dapat memberikan nilai tetap di kancah global, dan bukan sekedar ikut-ikutan atau
bahkan asal ”bercermin”, sementara kita lupa bahwa bangsa-bangsa punya harga diri yang
tercermin dari kebinekaan budaya bangsa. Maka tepat kiranya bahwa dalam era reformasi ini
dikembangkan upaya-upaya pembenahan secara detektis pada konsep dasar pendidikan
nasional kita. Eksistensinya, bahwa kita bukan sekedar bangsa-bangsa konsumtif.
12
B. Rumusan Masalah
pendidikan?
Tilaar?
C. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan rumusan masalah yang ada, maka tujuan
pendidikan.
H.A.R. Tilaar.
nasional.
D. Kegunaan Penelitian
13
1. Bahan rujukan bagi insan akademik yang hendak menyusun karya ilmiah
Adapun definisi dan batasan istilah yang berkaitan dengan judul dalam
14
1. Pendidikan.
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
adalah suatu usaha yang sadar yang dilakukan secara sistematis dan
23
Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Kedua, Jakarta, Balai Pustaka, 1999, hal:232.
24
Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, Bandung, Al-Ma’arif, 1975,
hal:27.
Cita-cita pendidikan yang dimaksud adalah seperti yang tercantum dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yakni ”mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Sebagai upaya pengejawantahannya, maka cita-cita pendidikan tersebut secara
operasional diatur dalam ketetapan Majelis Pemusyarakatan Rakyat. Sedang dalam
pelaksanaan praktisnya diatur dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Lihat
Subagio Atmodiwirjo, Manajemen Pendidikan Indonesia, Cet. II, Ardadizya Jaya, 2001,
hal:26-33.
25
Yang di maksud kepribadian yang utama menurut Marimba adalah tercapainya
kepribadian muslim. Ahmad D.Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. Ix,
Bandung, Al-ma’arif, 1989, hal:19.
15
didik (murid) agar supaya anak didik memiliki pengetahuan,
2. Basis
dari Bahasa latin dan yunani, yakni basis, yang artinya: dasar, asas, alas,
sendi, kaki, pangkal, landasan; (1) suatu asas fundamental, (2) suatu
artinya adalah suatu usaha yang sadar yang dilakukan oleh orang-orang
yang berkompeten (guru) kepada peserta didik (murid) agar supaya anak
26
Trisno Yuwono dan silvita, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi Terbaru,
Surabaya, Arkala, 1995, hal:70.
27
Umberto Sihombing, Op.Cit., hal:ii.
Mulyasa juga menggunakan istilah based ketika menerjemah kata basis ke dalam
Bahasa Inggris (Competency Based Curriculum = Kurikulum Berbasis Kompetensi). Dalam
Bahasa Inggris, base(d) berarti dasar. Lihat: E. Mulyasa, Op.Cit., hal:37.
28
Komaruddin, dkk., Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Jakarta, bumi Aksara, 2000, hal:28.
16
3. Budaya.
antropologi yang telah berhasil menghimpun tidak kurang dari 160 atau
29
Slamet Sutrisno, Sedikit Tentang Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia, Yogyakarta,
Liberty, 1981, hal:6.
Dalam buku Culture, A Critical Review of Concept and Definitions A. Krober dan C.
Kluckhohn mengklasifikasikan pengertian kebudayaan menurut tujuh kategori pokok, yaitu:
1) Ahli Sosiologi, mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan
(adat, akhlak, kesenian, ilmu dan lain-lain) yang dimiliki oleh manusia
sebagai subyek masyarakat
17
Dalam disiplin ilmu antropologi budaya, antara budaya dan
(makna kata), budaya diartikan sebagai ”daya dari budi” yang berupa
cipta, karsa dan rasa; sedang kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa,
dan karsa tersebut.32 Akan tetapi dalam kontteks yang lebih luas, antara
18
Secara global budaya ataupun kebudayaan adalah suatu hal yang
dari pola-pola kelakuan yang normatif yaitu mencakup segala cara atau
kesenian dan semua unsur hasil ekspresi jiwa manusia. Sedang cipta
32
Tim Penyusun Kamus P.P.P.B. Dep.Dik.Bud., Op.Cit., hal:149.
Pembedaan ini penting untuk penulis sampaikan di sini, sebagai upaya untuk
mendudukkan persoalan kebahasaan. Dengan begitu bisa dimengerti kenapa ada istilah
budaya dan kebudayaan; istilah mana yang tepat untuk menjelaskan persoalan tertentu. Dan
yang terpenting adalah agar pembaca tahu bahwa kedua istilah tersebut tidak muncul begitu
saja, tetapi melalui proses pemaknaan ”dialektik” yang panjang.
33
Lihat: Richard E. Porter & Larry A. Samavor, Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi
Antar budaya, Dalam Mulyana dan Rahmat (Ed), Komunikasi Antar Budaya Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Cet. V, Remaja Rosda Karya,
Bendung, 2000, hal:18.
19
menggunakan filsafat serta ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat.34
34
Tim D.J.P.K.A.I., Islam Untuk Disiplin Ilmu Sosiologi Buku Daras Pendidikan Agama Islam
pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Sosiologi, Jakarta, P.P.P.A. Depag,
2000, hal:34-35.
35
H.A.R Tilaar, 2000a, Op.Cit., hal:45.
Menurut Tilaar, manusia yang sadar budaya merupakan awal dari tindakan budaya
yang terarah dan kreatif. Tanpa sadar budaya tidak mungkin manusia dapat membudaya;
atau dia adalah sekedar makhluk hidup yang bertindak secara otomatis sesuai dengan
nalurinya, atau bertindak dalam suatu struktur dunia pengalaman yang sangat kaku atau
lamban perubahannya. Ini mengandung pengertian bahwa tindakan berbudaya memerlukan
pengarahan yang terstruktur dan sistematis. Lihat: H.A.R. Tilaar dan Suryadi, Analisis
Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Cet.II, Bandung, 1994, hal:195.
20
Oleh karena kompleksnya kajian dan permasalahn yang ada
Jadi studi atas pemikiran H.A.R Tilaar adalah sebuah upaya yang
21
Sebagai kesimpulan sementara (hipotesis) yang bisa penulis
hubungan yang sangat erat, oleh sebab itu pendidikan tidak bisa
dipisahkan dari akar budaya yang telah ada dasn tumbuh secara dinamis
pendidikan futuristik.
F. Metodologi Penelitian
38
Nurcholish Madjid, Kata Pengantar, dalam Ihwanuddin, dkk., Pendidikan untuk Indonesia
Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M. Sc. Ed, Jakarta, Grasindo, 2002, hal:xxxi.
39
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Pedagogik Transformatif
Untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal:553-554.
22
2. Jenis Penelitian
berbasis budaya.
40
Yang dimaksud dengan penelitian jenis kajian pustaka adalah kajian yang dilaksanakan
untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya bertumpu pada kajian kritis dan
mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan. Kajian pustaka semacam ini
biasanya dilakukan dengan cara mengumpulkan data atau informasi dari berbagai sumber
pustaka dan kemudian menyajikannya dengan cara baru atau keperluan baru. Tim Penyusun
Pedoman Penelitian karya ilmiah IKIP Malang, Pedoman Penelitian karya ilmiah Skripsi,
Artikel, dan Makalah, Malang, IKIP Press, 1993, hal:1-2.
41
Lihat: Sofyan Safri Harahap, Tips Menulis Skripsi & Menghadapi Ujian Komprehensif,
Jakarta, Pustaka Quantum, 2001, hal:73-76.
23
3. Sumber Data
utama, tanpa sumber data penelitian tidak akan bisa berjalan. Untuk itu
Adapun yang menjadi data primer atau sumber datanya adalah buku-
dalam Era Globalisasi, Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan
buku dan literatur-literatur lain yang terkait dengan tema utama karya
ilmiah ini.
42
Lihat Saifuddin azwar, Metode Penelitian, Cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999,
hal:91
24
4. Teknik Pengumpulan Data
berbagai literatur ilmiah lainnya dari karya atau pemikiran para pakar,
Sesuai dengan jenis dan sifat dari data yang diperoleh dalam
penelitian ini, maka Teknik analisis data yang digunakan adalah content
dari Hadari Nawawi (1983), bahwa analisis isi dalam penelitian dilakukan
penulis dan masyarakat pada waktu buku itu ditulis. Di samping itu
dengan cara ini dapat dibandingkan antara satu buku dengan buku yang
43
Lihat: Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penyusunan Skripsi
Bidang Ilmu Agama Islam, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001, hal:66. Lihat juga: Anton
Bakker, Metode-metode Filsafat, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1984, hal:136.
25
penulisannya maupun mengenai standart kualitas buku-buku tersebut
6. Metode Penelitian
a. Deskriptif
deskriptif adalah:
44
Soejono dan Abdurrahman, Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan, Jakarta,
Rineka Cipta, 1999, hal:14.
Dengan teknik ini, maka data kualitatif tekstual yang diperoleh dikatagorikan dengan
memilah data sejenis kemudian menganalisanyasecara kritis untuk mendapatkan suatu
formulasi analisa; dalam mengelola data tersebut peneliti lebih memfokuskan pada isi buku
atau hasil pemikiran H.A.R. Tilaar serta buku-buku atau pemikiran-pemikiran lain yang ada
kaitannya dengan wacana tentang pendidikan berbasis budaya dari pakar yang
berkompeten, untuk selanjutnya dipaparkan secara sistematis, Neong Muhajir, Metodologi
Penelitian kualitatif, Yogyakarta, Reka Surasin, 1989, hal:69. Lihat juga: Lexy J. Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. XIII, Bandung, Remaja Rosda Karya, 2000, hal:189-199.
45
Moh. Nazir, Metode Penelitian, Cet.IV, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1999, hal:63-64.
26
Dalam penelitian ini, metode deskriptif digunakan untuk
b. Analisis-Sintesis
46
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, Bandung, Remaja
Rosda Karya, 2001, hal: 136-137.
Menurut Pardoyo, metode deskriptif bisa digunakan untuk mengetahui latar belakang
munculnya sebuah teori, kemudian memaparkan kembali teori tersebut dengan maksud
untuk memahami jalan pikiran maupun makna yang terkandung di dalamnya secara runtut
dan komprehensif. Lihat: Pardoyo, Sekularisasi Dalam Polemik, Jakarta, Grafiti, 1993, hal:13.
47
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Cet. II, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997,
hal:59.
27
Sedangkan metode sintesis adalah metode yang dipakai untuk
dan koheren.49
c. Hermeneutik
48
Ibid, hal:61
49
Jujun S. Suriyasumantri, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya (Suatu Pengantar), Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 1998, hal:ix.
28
hermeneutika dapat diartikan sebagai penafsiran atau interpretasi.
model yang pernah ada dan atau yang sedang berlaku. Dengan
d. Komparatif
50
Lihat: E. Sumariyono, Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat, Edisi Revisi, Yogyakarta,
Kanisius, 1999, hal:23-24.
Hermeneutik merupakan ancangan teoritis yang bermula dari disiplin teologi, filsafat,
dan kritik sastra. Ancangan ini dapat menerangi penelitian kualitatif dan sekaligus
memberikan perspektif terhadap semua orientasi teoritis lain yang telah dibahas. Amirul Hadi
dan Hariyono, Metodologi Penelitian Pendidikan 2 Untuk IAIN dan PTAIS Semua Fakultas
dan Jurusan Komponen MKK, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hal:71.
29
perbedaan pemikirannya, sehingga dapat ditarik ”benang merah” atau
ada, juga pengaruh dan tanggapan atau kritik terhadap para tokoh lain
kesimpulan.
penelitian ilmiah ini adalah segenap pemikiran H.A.R. Tilaar dan para
51 Lihat: Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi IV,
Jakarta, Rineka Cipta, 1998, hal:247-248.
52 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metode Teknik, Edisi VII,
Bandung, Tarsito, 1989, hal:143.
30
pendidikan serta formulasi konsep pendidikan yang dapat digunakan
G. Sistematika Pembahasan
berikut:
pembahasan.
nasional.
Bab ini berisi latar belakang mengenai biografi dan akar pemikiran
31
H.A.R. Tilaar, relasi pendidikan dan kebudayaan, serta pendidikan
32
BAB II
A. Hakikat Pendidikan
kegiatan, proses, buah atau produk yang dihasilkan dari proses tersebut,
(jasmani dan rohani) agar berguna bagi dirinya sendiri dan masyarakat3.
1
Komponen yang tidak bisa dilupakan dan yang menentukan proses pendidikan
adalah pendidikan dan anak didik. Anak didik sebagai individu yang akan dipenuhi
kebutuhan pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya. Sedang pendidik adalah
individu yang akan memenuhi kebutuhan tadi. Selain itu masih ada komponen-
komponen lain yang tidak bisa dinafikan keberadaannya, seperti metode, kurikulum,
serta sarana-prasarana. Lihat : Tim D.J.P.K.A.I. Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu
33
Drijaraka mengatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya
bertindak sebagai manusia dan bukan hanya secara instinktif saja. Jadi
Pendidikan Buku Daras Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Fakultas / Jurusan / Program Studi Pendidikan. Jakarta, P.P.P.A Depag, 2000, hal:
143-160.
2
Dharmaningtyas, Pendidikan Pada dan Setelah Krisis (Evaluasi Pendidikan dimasa
Krisis), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999, hal:3.
3
Pimpinan dimaksudkan untuk membantu peserta didik dalam penyesuaikan
terhadap masyarakat. Tanpa pimpinan, peserta didik akan tumbuh ke arah
pemuasan nafsu yang pada dasarnya selalu bertentangan dengan apa yang
berlaku dalam masyarakat. Ini mengandung pengertian bahwa pendidikan
merupakan proses sosialisasi sistem sosial masyarakat. Lihat: Ngalim Purwanto,
Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, Cet. IX, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1997,
hal: 10.
Ki Hajar Dewantara salah seorang tokoh pendidikan nasional merumuskan
hakikat pendidikan sebagai usaha orang tua bagi anak-anak dengan maksud untuk
menyokong kemajuan hidupnya, dalam arti memperbaiki tumbuhnya kekuatan
rohani dan jasmani yang ada pada anak-anak. Pendidikan juga dimaksudkan untuk
menuntun segala kekuatan yang ada, agar masyarakat mencapai keselamatan dan
34
Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
lingkungan yang ada atau yang diciptakan dalam proses pendidikan. Oleh
dan lingkunga nimana anak didik berada;7 atau dapat juga dikatakan
bahwa hakikat pendidikan itu sangat terkait erat dengan ideologi mana
35
nativisme. Teori empirisme dengan tokoh utamanya John Locke dan
Anak yang baru lahir itu seperti kertas putih bersih yang belum ditulisi
yang tidak memiliki bakat dan pembawaan apa-apa. Anak akan memiliki
anak-anak itu ada yang baik dan ada yang buruk, pendidikan tidak perlu
pendidikan harus dipahami sebagai totalitas interaksi dari kehidupan. Lihat: Omar
Muhammad Al-Toumy Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, Terjemahan oleh
Langgulung Jakarta, Bulan Bintang, 1979, hal: 57-58.6Undang-Undang Republik
Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS)
Beserta Penjelasannya, Bandung, Citra Umbara, 2003, hal: 3.
7
Omi Intan Naomi, Mendidik si Alim, Pembangkang, Pemberontak, dalam Freire,
dkk, Menggugat Pendidikan Fundamentalis Konservatif Liberal Anarkis,Cet. III,
Terjemahan Oleh Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal : xii.
Menurut Faisal, pendidikan adalah suatu institusi pengkonservasian suatu
masyarakat. Pengembangan pendidikan mesti bertolak dari realitas sosial
berdasarkan waktu dan tempat, oleh karena itu sangat urgen memahami konteks
dimana pendidikan itu berlangsung; cita-cita pendidikan harus diangkat dari keadaan
menyeluruh suatu masyarakat dan juga ligkungan sosial khusus/lokal. Lihat:
Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, Surabaya, Usaha regional, Tanpa Tahun, hal
:92-95 8Mansour Fakih, Idiologi dalam Pendidikan, dalam O’neil, Idiologi-Idiologi
Pendidikan, Terjemahan Oleh Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal: xii.
36
Kedua teori ini kemudian dipertemukan oleh teori konvergensi,
yang mengungkapkan bahwa anak yang baru lahir itu memiliki potensi
bawaan, akan tetapi potensi ini hanya akan berkembang sesuai dengan
lingkungan yang ada. Jadi ada faktor bawaan dan faktor lingkungan yang
keharusan alami, suatu hal yang mustahil untuk dihindari. Hal ini
11
Lihat : Amir Daien Indrakusuma, Pengantar Ilmu Pendidikan , Surabaya, Usaha
Nasional, 1973, hal : 86-87
12
Lihat : Mansour Fakih, Op.Cit; hal: xiii-xvi. Idiologi pendidikan yang dipetakan
oleh Gironx ini sejalan dengan analisis Freire (1970) tentang kesadaran idiologi
masyarakat. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: (1) kesadaran
magis, murid secara dogmatis menerima ”keberanian” dari guru, tanpa ada
mekanisme untuk memahami ”makna” idiologi dari setiap konsepsi atas
kehidupan masyarakat. (2) kesadaran naif, tugas pendidikan adalah bagaimana
membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk berdaptasi dengan sistem
yang (sebelumnya) sudah ditata (dan dianggap benar), (3) kesadaran kritis ,
dalam kesadaran kritis, tugas pendidikan adalah menciptakan ruang dan
kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan
37
mereka bukanlah hal yang harus diperjuangkan, karena perubahan akan
yang tahu makna dinalik itu semua. Oleh karena itu tugas pendidikan
38
Akar dari konsep pendidikan liberal adalah liberalisme Barat, yaitu
panjang.15
Menurut Giroux, aliran terakhir yang lebih kreatif dan kritis adalah
14
Ibid, hal: xiv. Tilaar menilai bahwa meskipun aliran liberal menjadikan kebutuhan
anak sebagai titik tolak dari praktek pendidikan. Namun perlu diingat bahwa seorang
anak tidak semata-mata sesuai dengan kebutuhannya, akan tetapi seorang anak
juga hidup dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Dengan demikian, lanjut Tilaar,
kekurangan dari teori Liberal adalah masalah pendidikan anak di lingkungan budaya
dan masyarakat perlu mendapatkan perhatian yang cukup menentukan.
H.A.R.Tilaar, 20026, Op. Cit, hal: 249.
39
advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Menurut paham ini,
pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap objektif
dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil;
16
Ibid, hal: xvi. Dalam pandangan Tilaar, aliran kritis tersebut disamartikan dengan
pedagogik radikal atau pedagogik humaniter. Lebih lanjut, Tilaar menjelaskan
bahwa pedagogik radikal adalah pedagogik pembebasan, bukansaja membebaskan
individu dari keterbelakangan dalam penguasaan ilmu pengetahuan, di dalam
ekonomi karena tertimpa beban kemiskinan yang berstruktur, tetapi juga penindasan
terhadap hak-hak asasinya sebagai manusia. H.A.R. Tilaar, Op, Cit. Hal: 254.
17
Lihat: Mansour Fakih, Komodifikasi Pendidikan Sebagai Agama Kemanusiaan,
dalam Wahono, Kapitalisme Pendidikan Antara Kompetensi dan Keadilan, Cet. II,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal, hal: 1-5.
40
mengatasi pendangkalan hidup. Untuk itu pendidikan perlu membantu
didik agar hidupnya berhasil, tetapi juga agar hidupnya lebih bermakna.19.
18
Lihat: Muchtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Yogyakarta, Kanisius, 2001, hal:
40-43.
19
Akhir-akhir ini orang sering risau menghadapi persoalan pendidikan, lebih-lebih
karena belakangan ini sederet peristiwa di dunia pendidikan kita mendapatkan
sorotan tajam dari masyarakat. Secara umum kerisauan itu tampak dalam tingkat
lembaga maupun personal. Pada tingkat lembaga, masyarakat dirisaukan oleh
kecenderungan pemerintah untuk melakukan penyeragaman atas berbagai aspek
pendidikan sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, samapai pada
taraf yang dirasakan memasung kebebasan dan kreativitas. Sedang pada tingkat
personal pendidikan, kita semua sempat terkesima oleh serentetan berita dari
pelosok tanah air tentang aneka tindak kekerasan antar murid, atau kekerasan yang
dilakukan oleh oknum guru terhadap murid-murid yang jelas-jelas bertentangan
dengan tujuan pendidikan. Lihat: Supratiknya, Hantu Masyarakat itu Bernama
Pendidikan, dalam Sidhunata (Ed.), Pendidikan Kegelisahan Sepanjang Zaman,
Yogyakarta, Kanisius, 2001, hal: 196.
20
Asumsi ini bertolak dari kenyataan pendidikan yang selalu diarahkan untuk
pengembangan nilai-nilai kehidupan manusia. Di dalam pengembangan nilai ini
tersirat pengertian manfaat yang ingin dicapai oleh manusia dalam hidupnya.
Sehingga apa yang ingin dikembangkan merupakan apa yang dapat dimanfaatkan
dari arah pengembangan itu sendiri. Ada empat aspek pokok yang menjadi arah
pendidikan, yaitu: (1) Pengembangan manusia sebagai makhluk individu, (2)
Pengembangan manusia sebagai makhluk sosial, (3) Pengembangan manusia
sebagai makhluk susila, (4) Pengembangan manusia sebagai makhluk religius. Dwi
Nugroho Hidayanto (Ed.), Mengenal Manusia dan Pendidikan, Yogyakarta, Liberty,
1988, hal: 9.
41
untuk menekankan kehebatan dan perkembangan intelektualitas semata-
memperhatikan aspek pembinaan hati nurani, jati diri, rasa tanggung jawab,
sikap egaliter dan kepekaan normatif yang menyangkut nilai dan tata nilai.
Nilai, jati diri dan sikap egaliter itu menyangkut hati dan afeksi, bukan
harus dengan sadar mampu membina cipta, rasa dan karsa anak didik,
b. Hakikat Kebudayaan
Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau
21
Lihat: Muchtar Buchori, Op. Cit. Hal: 68-71
Dengan demikian, pendidikan harus dipahami sebagai sebuah proses
untuk mengarahkan peserta didik sebagai manusia sempurna. Manusia dikatakan
sempurna apabila dapat mengembangkan unsur rasionalitas, kesadaran, akal budi
(pengetahuannya); mengembangkan segi spritualitas, moralitas, sosialitas,
keselarasan dengan alam, serta rasa dan emosinya. Lihat: Paul Suparno Sj., dkk.,
Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi, Yogyakarta, Kanisius, 2002, hal: 14.
42
bersangkutan dengan akal. Sedangkan kata budaya merupakan
perkembangan majemuk dari kata budi daya yang berarti daya dari budi,
sehingga dibedakan antara budaya yang berarti daya dar budi yang
berupa cipta, rasa dan karsa, dengan kebudayaan yang diartikan sebagai
politik dan teknologi, semua itu berdasarkan pola-pola budaya . Apa yang
budaya mereka.24
22
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Cet. VIII,
Bandung, Refini Aditama, 2001, hal: 21.
Koentjaraningrat membangun konsep kebudayaan menjadi dua aspek,
yakni: (1) Kebudayaan dalam arti sempit, adalah pikiran, karya, dan hasil karya
manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Aatau singkatnya kebudayaan
adalah kesenian. (2) Kebudayaan dalam arti luas, adalah totalitas dari pikiran, karya
dan hasil karya manusia yang tidak berakar pada nalurinya, dan yang karena itu
hanya bisa dicetus oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Lihat:
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Cet. XIX, Gramedia,
Jakarta, 2000, hal: 1-2.
23
Hal ini biasanya dilakukan melalui pola tingkah laku yang merupakan perwujudan
dari kepribadian anggota masyarakat. Pola tingkah laku digariskan oleh pola cita,
yang bersumber dari kebudayaan. Kepribadian adalah organisasi faktor-faktor
biologis, psikologis, dan sosiologis yang mendfasari perilaku individu. Tim
D.J.P.K.A.I. Depag RI, Islam untuk Disiplin Ilmu Antropologi Buku Daras Pendidikan
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi Antropologi,
Jakarta, D.P.P.A. Depag, 2000, hal: 111.
24
Richard E. Porter & Samovar, Suatu Pendekatan Terhadap Komunikasi Antar
43
Budaya adalah suatu konsep yang membangkitkan minat. Secara
orang dari dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok.
geografis tertentu dan pada suatu saat tertentu. Budaya juga berkenaan
44
Taylor dalam bukunya Primitif Culture (1871), mendefinisikan budaya
anggota masyarakat.26
bermasyarakat.
adalah isi atau materi dari perubahan dan perkembangan yang terjadi.
45
3. Proses pemanusiaan manusia seharusnya diarahkan kepada apa
ideal.27
sebagai berikut :
spesifik.
kelompok-kelompok keluarga.
dianalisa.
27
H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia
Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. II, Bandung, Remaja Rosda Karya,
2000, hal: 41.
46
6. Kebudayaan diperoleh dari lingkungan.
makna kultural antara lain merupakan aturan budaya (cultural rules) dan
proposisi yang membimbing tindakan (Harre dan Scord, 1972). Aturan itu
28
Ibid, hal: 39-40.
29
Jennifer Noesjirwan, Pengalaman Lintas Budaya, dalam Mulyana dan Rakhmat,
Op. Cit., hal: 78
30
Aturan akan senantiasa berhubungan dengan situasi-situasi sosial yang berulang.
47
Kebudayaan merupakan penciptaan, penertiban, dan pengolahan
dalam alam lingkungan, baik fisik maupun sosial. Nilai-nilai yang ada
terhadap apakah kebudayaan itu, maka dapat disimpulkan bahwa inti dari
Aturan menetapkan berbagai situasi sosial yang ditata dan dipola oleh prinsip
kesatuan nilai budaya. Dari sini maka diketahui bahwa dalam suatu budaya yang
Sberbeda akan menetapkan aturan yang berbeda untuk mencapai hal yang mungkin
sama. Harapan akan tindakan juga berlainan. Begitu juga makna dari peristiwa yang
sama; konsekuensinya, tindakan yang sama dinilai secara berlainan pula. Ada
konflik antara struktur makna suatu budaya denganstruktur makna budaya lainnya.
Derajat dan bentuk konflik tersebut adalah fungsi derajat dan tipe perbedaan antara
aturan dan nilai yang berlaku dalam tiap-tiap budaya. Lihat: Ibid, hal: 179.
31
Berpijak pada uaraian di atas maka hakekat kebudayaan adalah perwujudan
proses pertumbuhan dan perkembangan manusia dalam suatu perkembangan
masyarakat; yang mencakup aspek-aspek esensial sebagai berikut: nilai insaniah,
kontinuitas, totalitas, tersusun dan teratur, masyarakat. Slamet Sutrisno, Sedikit
Tentang Strategi Kebudayaan Nasional Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1983, hal:
25-26
32
Moh. Said, Etik Masyarakat Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980, hal: 102.
Menurut Sutrisnokebudayaan memang tidak pernah terelakkan dari lingkup
kehidupan manusia, karena dalam kebudayaan manusia memanifestasikan pikiran
dan perasaan, sikap dan kehendak, serta perilaku faktual. Kebudayaan bagi umat
manusia dimaksudkan sebagai humanisasi, hal ini karena melalui pembudayaan
manusia dapat mengaktualisasikan eksistensinya melalui pola-pola dan sistem
kemasyarakatan yang terus berkembang secara dinamis. Slamet Sutrisno,
48
Tidak mengherankan apabila usaha untuk mencari jawaban
dunia besar yang dinamis, yang akan terus berkembang dan berubah.
49
dan potensi yang ada di dalam diri dan lingkungannya menjadi benda
budaya insani.36
bahwa :
humanisasi.
50
juga merupakan kegiatan kultural. Upaya kultural melalui proses
pendidikan ini adalah upaya memberikan bentuk baru sesuai dengan nilai-
hal-hal yang belum ada yang di alam ini masih berbentuk potensi, yaitu
budaya atau peradaban. Karena itu, eksistensi manusia itu selalu saja
38
Lihat: Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, Cet. III, Jakarta, Al-Husna Zikra, 1995, hal: 181-182.
39
Oleh karena itu, Koentjaraningrat mengingatkan agar selalu diupayakan dan
dikembangkan nilai-nilai budaya yang berorientasi ke masa depan. Dan dengan
bersifat hemat untuk bisa lebih teliti memperhitungkan hidupnya di masa depan;
lebih menilai tinggi orientasi ke hasrat eksplorasi untuk mempertinggi kapasitas
berinovasi; lebih menilai tinggi orientasi ke arah achievement dari karya; dan
akhirnya menilai tinggi mentalitas berusaha atas kemampuan sendiri, percaya pada
diri sendiri, berdisiplin murni dan berani bertanggung jawab sendiri. Dan itu hanya
bisa diupayakan melalui pendidikan. Koentjaraningrat, Op. Cit., hal: 36.
51
Ada dalam konteks dunia-lingkungan bangsa dan lingkungan kebudayaan
kegiatan adaptasi secara pasif, kodrati dan otomatis terhadap alam. Oleh
manusia itu sifatnya lebih kondisional dan kultural, dan jelas kurang
alamiah sifatnya.41
nalar dan budi daya manusia. Sebab itulah maka di tengah semua
maka pribadi manusia itu terus menerus belajar dan ia juga mengajar
40
Kartini Kartono, Op. Cit., hal: 73
41
Ibid.
52
Oleh manusia untuk diubah dan diberi bentuk serta dimensi baru oleh
manusia merupakan produk dari kegiatan belajar, dan kegiatan belajar itu
memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Pendidikan agar dapat
42
Ibid, hal: 78
Mengenai keterkaitan hubungan antara pendidikan dan kebudayaan,
Sumaatmadja memberikan rumusan sebagai berikut: (1) Manusia sebagai makhluk
budaya, memiliki potensi dasar akal pikiran yang berkembang dan dapat
dikembangkan (dididik), (2) Sebagai makhluk budaya , manusia memiliki sejumlah
kebutuhan spiritual, sosial, emosional, pemahaman dan ketrampilan. Hal ini semua
dapat dipenuhi melalui pendidikan, (3) Aspek-aspek mental yang menjadi kebutuhan
hidup manusia sebagai makhluk budaya, tercermin dan tampil pada perilakunya, (4)
Perilaku manusia sebagai makhluk budaya, berbijak pada pembakuan nilai dan
norma yang berlaku, (5) Melalui proses belajar, manusia sebagai peserta didik
menjadi manusia yang manusiawi, manusia seutuhnya. Nursid Sumaatmadja,
Pendidikan Kemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Alfabeta, 2002, hal: 43
53
strategi pendidikan dan operasionalisasi/aplikasi pendidikan di wilayah
Lagi pula tanpa perumusan yang jelas dari tujuan pendidikan, orang bisa
tersesat pada salah asuh, salah urus, salah didik; yang akhirnya justru
43
Menurut Newbry dan Martin, persoalan (krisis) pendidikan yang dialami oleh
negara-negara sedang berkembang telah menjadi dilema yang mampu
membelokkan arah kebijakan (politik) pemerintah. Lihat: Kusnaka Adimihardja,
Kerangka Studi Antropologi Sosial dalam Pembangunan, Edisi II, Bandung, Tarsito,
1983, hal: 1983.
44
Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta,
Pradnya Paramita, 1979, hal: iv.
Menurut Nasution, tujuan pendidikan yang ingin dicapai melalui proses
pendidikan, sangat ditentukan oleh filsafat yang dianut oleh pemerintah (penguasa)
dalam suatu negara. Kalau pemerintah bertukar, maka dengan sendirinya tujuan
pendidikan pun berubah dan ini yang sering terjadi dalam dunia pendidikan nasional
Indonesia. Lihat: S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Cet. IV, Jakarta, Bumi Aksara,
2001, hal: 28.
45
Dengan demikian tujuan pendidikan secara konstitusional tetap merujuk pada
UUSPN No.20 tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.
54
daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh
sebagai berikut :
55
Dari uraian tentang tujuan pendidikan nasional di atas, maka dapat
56
Pada dasarnya pendidikan diarahkan agar dapat mengadakan
proses pembelajaran terjadi pergeseran nilai-nilai yang selama ini ada dan
57
BAB III
1. Biografi
Juni 1932, Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M.Sc. Ed.,1 kini menjadi aset
1
H.A.R Tilaar, Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi Visi,
Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan menuju 2020, Jakarta, Grasindo,
58
Pemanusiaan itu juga merupakan proses inter-kultural yang
2
Proses pendidikan yang dimaksud harus diorientasikan pada pemanusiaan
manusia Indonesia yang interaktif berkesinambungan dan konsentris, artinya yang
berakar pada budaya bangsa dalam membawa manusia dan masyarkat Indonesia
ke dalam suatu masyarakat madani Indonesia memasuki pergaulan bangsa-bangsa
di dunia yang terbuka. Lihat: H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat
Madani Indonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. II, Bandung,
Remaja Rosda Karya, 2000, hal: 11
Istilah masyarakat madani (civil society) merujuk pada model
perikehidupan masayarakat ideal di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi
Muhammad SAW (622 M). Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil
memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip perlindungan terhadap kelompok
minoritas. Lihat:Thoha Hammim, Islam dan Civil Society (Masyarakat Madani),
dalam Ismail SM. Dan Mukti (Ed)., Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Mayarakat
Madani, Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2000, hal: 113-115.
3
Pasangan Tilaar-Martha Tilaar dikaruniai empat orang putra, mereka adalah: (1)
Brian David Emil, (2) Pingkan Engeliwn, (3) Wulan Maharani, (4) Kilala Esra. Lihat:
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif
Abad 21, Cet. III, Magelang, Tera Indonesia, 1999, hal: 428.
59
perkembangan perkembangan global, sehingga Indonesia tidak
pendidikan.4
4
H.A.R Tilaar pernah juga menjadi Dekan fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta
(1976-1980), Staf Ahli Bappenas (1970-1974), Karo Kesra, Sosial, Kesehatan dan
Perumahan Rakyat Bappenas (1974-1984), Asisten Menteri negara Perencanaan
Pembangunan Nasional Bidang Sumber Daya Manusia(1986-1993), Manggala BP-7
Pusat (1980-1998), Anggota Dewan Penyantun ASMI, Jakarta (1995-2000), Ketua
Dewan Penyantun Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta (1996-1999), Guru Besar
pada UKI Jakarta, Anggota Badan Pertimbangan Buku Nasional (sejak 1978),
60
muanya di Tomohon dan semua mendapat predikat dengan pujian,
Anggota Pengurus Harian yayasan Buku Utama (sejak 1984), Anggota Dewan
Penasehat UKRIDA Jakarta (sejak 1998), Anggota Dewan Riset Nasional (1999-
2004), Anggota Ikatan Sarjana dan Pengembangan Sosial Indonesia (ISPSI),
Anggota Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HIPIIS), dan
Anggota Asosiasi Dosen Indonesia (ADI). Lihat: Ikhwanuddindan Murtadlo (ed).,
Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar,
M.Sc. Ed, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: ix-x.
5
H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik
Transformatif Untuk Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 354.
61
a. Pendidikan dalam Pembangunan Nasional Menyongsong Abad
6
H.A.R. Tilaar, membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, hal:
169. Selain itu masih ada lagi, yaitu: Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar
PedagogikTransformatif Untuk Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2002; serta Kekuasaan
dan Pendidikan, Suatu Tinjauan Perspektif Studi Kultural. Lihat: Harian Pagi Jawa
62
2. Akar Pemikiran
62) mengungkapkan bahwa ada contoh yang jelas tentang krisis yang
budaya ini.7
63
Transformasi ini diistilahkan oleh Tilaar ysebagai kekuatan-kekuatan
meliputi :
nilai berbangsa menuju nilai-nilai yang berlaku universal. Hal ini berarti akan terjadi
pergeseran atau perubahan penghayatan nilai-nilai yang mengakibatkan adanya
suatu goncangan budaya (Cultural Shock). Lihat: H.A.R. Tilaar, Pengembangan
Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi Visi, Misi dan Program Aksi
Pendidikan dan Pelatihan Menuju, 2020, Jakarta, Grasindo, 1997, hal: 121-127.
Lihat juga: Samuel P. Hungtington, Benturan AntarPeradaban dan Masa Depan
Politik Dunia, Cet. II, Terjemahan oleh Ismail, Yogyakarta, Qalam, 2001, hal: 73-116.
64
3. Kemajuan dan wawasan ilmu pengetahuan serta teknologi yang
taraf hidup manusia itu sendiri sehingga perlu diletakkan dalam rel
9
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 1997, hal: 55-56
65
pada terjadinya krisis. Krisis dapat menyebabkan dis-organisasi sosial,
krisis sosial, krisis ekonomi dan berbagai jenis krisis lainnya. Oleh
sebab itu, gerakan reformasi total dewasa ini perlu diarahkan dan
sendiri.10
10
Ada respon menarik dari Taruna berkenaan dengan Catur Santika Saruka; dengan
mengatakan bahwa langkah awal ( dan sekaranglah saatnya) untuk melaksanakan
Catur Santika Saruka adalah dengan memberlakukan/menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). Dasar pertimbangan yang diambil adalah bahwa
tujuan utama dari MBS adalah menciptakan masyarakat peduli terhadap pendidikan.
Dan jika masyarakat telah peduli dengan pendidikan, maka langkah berikutnya
tinggal mengarahkan kemana mereka (sebaiknya) melangkah. Lihat: J.C. Tukiman
66
sangat diperlukan suatu visi ke arah mana masyarakat dan bangsa ini
akan menuju. Tanpa visi yang jelas menurut Tilaar, yaitu visi yang
masyarakat dan bangsa ini ke masa depan, atau pilihan lain adalah
Taruna, Manajemen Berbasis Sekolah Menuju Catur Santika Saruka, dalam Syarief
dan Murtadlo, Op. Cit., hal: 362-381.
11
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 63
Dengan mengutip pendapat Irwan Abdullah, H.A.R. Tilaar menegaskan
bahwa dalam menghadapi gejala-gejala krisis/disintegrasi sosial, maka langkah
yang perlu ditempuh adalah dengan memperkuat apa yang disebut Kapital Sosial,
yang dimaksud kapital sosial dari suatu masyarakat adalah sistem nilai yang hidup
dan dipelihara serta dihormati untuk dilaksanakan dalam suatu masyarakat. Dan ini
akan lebih efektif jika dilaksanakan melalui jalur pendidikan dalam arti yang luas.
Lihat: H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2002, hal: 66.
67
kekuatan ini pendidikan nasional dapat jatuh ke dalam usaha-usaha uji
coba dan tambal sulam serta menjadi korban berbagai jenis kebijakan
arah yang jelas karena hanya tunduk pada selera perorangan atau
12
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 1997, hal: 56
13
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b, hal: 50.
68
Pendidikan disinyalir Tilaar telah tercabut dari fungsi kebudayaannya.
berikut:
69
Tradisional, benda-benda purbakala dan sastra tradisional.
intelektual belaka.
15 Ibid, hal: 67
Ketiga gejala tersebut oleh Esten disederhanakan dalam bentuk pengertian bahwa
selama ini manusia (peserta didik secara umum) hanya berperan sebagai obyek. Padahal
sesungguhnya manusia adalah sentral (subyek) baik bagi pendidikan maupun kebudayaan.
Sebagai obyek berarti manusia pasif. Manusia yang pasif berarti manusia yang tidak
berkembang. Lihat: Mursal Esten, Strategi Kebudayaan Untuk Sistem Pendidikan, dalam
Sindhunata (Ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan Demokrasi Otonomi, Civil
Society, Globalisasi, Yogyakarta, Kanisius, 2000, hal: 207-208.
70
Para pakar antropologi menegaskan bahwa peranan individu
16
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal:50.
Wallace, seorang ahli etnopsikologi mengemukakan bahwa ada tiga kerangka yang
menjadi obyek dan sasaran unsure-unsur kepribadian manusia, yang karenanya individu
dapat menjadi creator dan sekaligus memanipulator dari kebudayaannya. Ketiga kerangka
tersebut adalah: (1). Aneka warna kebutuhan organic diri sendiri, aneka warna kebutuhan
serta dorongan psikologi diri sendiri, dan aneka warna kebutuhan serta dorongan organic
maupun psikologi sesame manusia yang lain dari dirinya, sedang kebutuhan-kebutuhan tadi
dapat dipenuhi atau tidak dipenuhi oleh individu yang bersangkutan, sehinngga memuaskan
dan bernilai positif baginya, atau tidak memuaskan dan bernilai negative. (2). Aneka warna
hal yang bersangkutan dengan kesadaran individu mengenai bermacam-macam kategori
manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, benda, zat, kekuatan, dan gejala alam, baik yang
nyata maupun yang ghaib dalam lingkungan sekelilingnya. (3). Berbagai macam cara untuk
memenuhi, memperkuat, berhubungan, mendapatkan atau mempergunakan, aneka warna
kebutuhan dari hal tersebut di atas, sehingga tercapai keadaan memuaskan dalam
kesadaran individu bersangkutan. Pelaksanaan berbagai macam cara dan jalan tersebut
terwujud dalam aktifitas hidup sehari-hari dari seorang individu. Koentjaraningrrat, Pengantar
Ilmu Antropologi, Cet. VIII, Jakarta, Rineka Cipta, 1990, hal: 112-113.
71
semata-mata transmisi kebudayaan secara pasif, tetapi perlu
72
Sudah mapan menunjukkan bahwa kebuayaan itu bukan merupakan satu
masa depan. 20
dengan itu membuka diri terhadap unsure-unsur positif dari luar. Dalam
dari proses memanusiakan manusia. Pendidikan bukan hanya sekedar berfungsi sebagai
proses transfer nilai-nilai budaya, tetapi sekaligus berfugsi sebagai agent dari transformasi
budaya. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 1994, hal: 189.
21
Ibid, hal: 190-192.
Menurut Buchori, wacana antisipasi yang perlu dilakukan adalah berkaitan dengan
budaya “politik” di Indonesia. Politik yang dimaksud adalah semua aspek kehidupan yang
ada sangkut pautnya dengan masalah mengatur atau memerintah Negara atau masyarakat.
Sedang budaya politik yang dimaksud adalah keseluruhan dari nilai-nilai dan sistem nilai
yang mendasari perilaku politikl. Lihat: Mochtar Buchori, Pendidikan Antisipatoris, Kanisius,
yogyakarta, 2001, hal: 159-161.
73
Situasi-situasi primer berlangsungnya proses pendidikan itu sendiri.21
terhadap generasi masa kini. Dengan fungsi ini, proses pendidikan secara
karena proses pendidikan, dan proses pendidikan itu sendiri hanya ada
depan anak didik. Fungsi preparatoris ini menurut Isac Asimov, tidak
mungkin dapat dicapai, karena masa depan adalah suatu masa yang
ada dan bakal ada di masa depan. Berdasarkan antisipasi masa depan
74
inilah kemudian anak didik harus dibekali kemampuan-kemampuan yang
kebudayaan:
75
Dari analisa Gillins tersebut di atas, tampak sekali bahwa peranan
tersebut bukan muncul secara otomatis, akan tetapi muncul dari actor
berbudaya.
76
d. Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam
itu dapat saja menentang tujuan hidup, namun demikian, itu berarti
masyarakat.
dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu dekat dan tujuan dalam
waktu yang panjang. Namun tujuan-tujuan tidak akan dapat lepas dari
lain adalah dunia masa depan yang ideal. Dan seperti yang telah
77
yang ada dalam diri seseorang. Energi tersebut perlu dicarikan
individu bukan pemilik pasif dari nilai-nilai social budaya, tetapi juga
25
Ibid, hal: 52-53.
26
Berdasar definisi tersebut, maka dapat diuraikan hal-hal berikut: (1) Kebudayaan tidak
78
Berdasarkan alas an ini maka kebudayaan harus dijadikan dasar
sejenisnya.
b.
dapat dipisahkan dari pendidikan bahkan kebudayaan merupakan alas atau dasar
pendidikan. Dari rumusan ini, maka pendidikan bukan hanya berhubungan aspek intelektual
saja, melainkan juga kebudayaan secara keseluruhan. (2) Kebudayaan yang menjadi
alasanpendidikan tersebut haruslah bersifat kebangsaan dengan demikian, maka
kebudayaan yang di maksud adalah kebudayaan yang riil, yaitu budaya yang hidup dalam
masyarakat Indonesia. (3) Pendidikan memiliki arah, yaitu untuk mewujudkan keperluan peri
kehidupan. Apa yang dimaksud peri kehidupan di sini bukan hanya satu aspek dalam
kehidupan. (4) Arah tujuan pendidikan adalah untuk mengangkat derajat Negara dan rakyat.
Di sini maka dapat dilihat betapa idealnya pendidikan nasional yang bukan bersifat
individualistis, tetapi memiliki warna kerakyatan dan kesatuan nasional. Pendidikan nasional
harus dapat mengangkat derajat dan harkat dari rakyat banyak dan juga harkat Negara. Ibid,
hal: 68-70.
79
Sedangkan dimensi horizontal merupakan tata susunan temporer,
misalnya asa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
tiap-tiap budaya.27
sistem norma.
27
Ibid, hal: 71-72
Dalam kaitannya dengan proses integrative tersebut, Kartono menambahkan bahwa
peserta didik dengan lingkungan sekitarnya merupakan satu kesatuan/totalitas. Dia menjadi
pribadi utuh di tengah dan dengan lingkungan budaya sendiri; sebab anak menyerap
segenap unsure budaya lingkungannya. Di sana dia berkembang dan memanusiakan
eksistensinya; kemudian peserta didik membentuk watak dan kepribadiannya di tengah
kebudayaan kaumnya. Jadi eksistensi peserta didik dengan budaya alam, langit, bumi,
sejarah kaumnya, keterbelakangan ataupun kemajuan teknologi zamannya, kepercayaan,
dan agama yang dipeluk oleh masyarakat di sekitarnya; yang kesemua itu dibingkai dalam
80
Dalam hal ini, sistem norma yang dominant akan menjadi pijakan
terjadi dalam vakum, tetapi dalam interaksi antar manusia di dalam suatu
sendiri.28
suatu sistem pendidikan. Lihat: Kartini Kartono, Quo Vadis Tujuan Pendidikan? Harus
Singkron dengan Tujuan Manusia, Bandung, Mandar Maju, 1991, hal: 82.
28
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b, hal:49.
Menurut Fadjar, menggagas soal pendidikan pada dasarnya menggagas soal
kebudayaan, soal peradaban. Bahkan secara spesifik gagasan pendidikan akan merambah
wilayah pembentukan peradaban di masa depan. Pendidikan , memang adalah upaya
merekonstruksi pengalaman-pengalaman peradaban umat manusia secara berkelanjutan.
Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas, Bandung, Mizan, 1998, hal: 16.
81
Konsep ini menurutnya benar karena menganggap bahwa pengertian
saja.
nilai-nilai etis dan moral yang hidup dalam kebudayaan.30 Dari definisi ini,
maka bias jadi ada orang yang berpendidikan tetapi tidak berbudaya,
29
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 128.
Menurut Sumaatmadja, gagasan dasar pendidikan berpusat pada manusiasebagai
makhluk budaya yang dapat didik, yang memiliki kebutuhan-kebutuhan spiritual, emosional,
intelektual, dan social yang hidup serta kehidupannya berlandaskan pembakuan nilai dan
norma yang berlaku, melalui pembelajaran kea rah manusia yang manusiawi. Asumsi ini
didasarkan pada kenyataan bahwa pendidikan dan kebudayaan adalah satu kesatuan yang
integratif yang bermuara pada pemanusiaan manusia.Lihat Nursid Sumatmadja, Pendidikan
Pemanusiaan Manusia Manusiawi, Bandung, Alfabeta, 2002, hal:77-83.
30
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 128-129.
82
Sebagai proses transformasi, proses pendidikan
budaya di mana dia berada.31 Pribadi yang tidak kreatif dan tidak produktif
31 Menurut Kartono, proses transformasi nilai-nilai dari satu generasi ke generasi berikutnya
disebut perilaku membudaya; yang ada pada esensinya merupakan pengubahan secara
kesinambungan terhadap alam sekitar berkat kemampuan nalar dan budaya manusia. Oleh
sebab itu, maka di tengah semua kegiatan membangun diri sendiri dan membangun dunia
lingkungannya itu pribadi manusia harus terus menerus balajar, dan ia juga harus mengajak
anak keturunannya. Hal ini seperti yang diistilahkan oleh Van Peursen (1972), bahwa seluruh
kebudayaan manusia itu adalah produk dari kegiatan belajar. Dan kegiatan belajar ini
berlangsung terus sepanjang sejarah manusia. Ini mengisyaratkan bahwa transformasi harus
dilaksanakan secara kreatif dan inovatif. Lihat: Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai
Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta, Pradnya Paramita, 1997, hal: 71-78.
32 H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 50.
Menurut HAsyim, Krisis (moral) yang menimpa bangsa Indonesia dewasa ini lebih
disebabkan karena masyarakat kita tidak hadir di ruang hampa kebudayaan; akan tetapi
mereka berada di tengah ruang yang penuyh kegiata kebudayaan. Tapi sayangnya beragam
kegiatan kebudayaan tersebut telah terkontaminasi (akibat masyarakat terpisahkan dari akar
budayanya) oleh globalisasi, sehingga yang terjadi kemudian adalah hal-hal yang mengarah
pada disintegrasi bangsa, untuk itu masyarakat kita harus segera melakukan rekonsiliasi
guna mencari format dan naluri transformatif kebudayaan. Apa saja yang perlu
ditransformasikan, ini tergantung kebijakan public dan kearifan pemerintah dalam
mengayomi asset-aset budaya bangsa, dengan tetap menjadikan sistem pendidikan sebagai
83
C. Pendidikan Berbasis Budaya dalam Sistem Pendidikan Nasional
dirinya sebenarnya. Ada yang mengatakan bahwa manusia adalah sejarah yang
memiliki masa lalu, masa kini dan cita-cita di masa depan. Oleh karenanya manusia
bukanlah suatu dictum atau suatu titik yang telah menjadi dan telah sempurna, tetapi
sesuatu yang terus-menerus menjadi. Oleh sebab itu pula dapat dimengerti
itu.33
Manusia dapat dilihat dari dimensi religiusnya sebagai maklhuk Tuhan. Ia juga dapat
dilihat dari dimensi simbolis, yaitu sebagai maklhuk yang mengenal nilai-nilai etika,
estetika, iptek, dan lainnya. Manusia juga dapat dilihat dari segi kesejahteraanya;
paradigma. Lihat: Mustofa W. Hasyim, Jejak Luka Politik dan Budaya, Yogyakarta, LPSAS
Prospek, 2000, hal: 202-206.
33
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal:129.
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa manusia perlu dididik. Ada beberapa asumsi
yang melatar belakangi kenapa manusia perlu dididik: Pertama, manusia lahir dalam keadaan
belum siap pakai melainkan baru berupa potensi yang akan menjadi aktus melalui pendidikan.
Kedua, kemampuan yang nampak itu dihasilkan manusia melalui pertumbuhan dan
perkembangan, dan tidak secara mutlak mempercayakannya kepada dorongan atau instink yang
terdapat di dalam dirinya, melainkan dipercayakan terhadap kegiatan pendidikan. Ketiga, tuntutan
akan nilai dari hidupnya harus selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan yang tidak cukup
mempercayakannya terhadap instink dan mengikuti dorongan nafsu belaka. Melainkan nilai itu
akan tampak dalam kegiatan pendidikan. Dwi Nugroho Hidayanto, Op. Cit., hal:31
manusia dapat terus menerus berkembang kemampuannya selama dunia ini ada.34
84
Proses pendidikan itu sendiri merupakan interaksi antara manusia
tersebut, manusia bukan hanya hasil interaksi dengan alam dan sesamanya,
Oleh sebab itu proses pendidikan harus diarahkan agar semua potensi
yang ada pada anak didik dapat dikembangkan seoptimal mungkin sesuai
prasarana dalam melaksanakannya. Hal yang cukup penting menurut Tilaar adalah
34
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 129-130.
Untuk dapat menumbuhkembangkan kemampuannya setidaknya ada lima hal sebagai sikap
mental yang harus di siapkan oleh manusia: Pertama: dalam menghadapi hidup, manusia harus menilai
tinggi unsur-unsur yang menggembirakan dari hidup, dan bahwa ada kesengsaraan bencana, dosa
dan keburukan dalam hidup memang harus disadari, tetapi hal itu semuanya adalah untuk
diperbaiki. Kedua, sebagai dorongan dari semua karya manusia, harus di nilai tinggi konsepsi bahwa
manusia mengintensifikasikan karyanya untuk menghasilkan lebih banyak karya lagi. Ketiga, dalam hal
menanggapi alam, manusia harus merasakan suatu keinginan untuk dapat menguasai alam serta
kaidah-kaidahnya. Keempat, dalam segala aktivitas hidup, manusia harus dapat sebanyak mungkin
berorientasi ke masa depan. Kelima, dalam membuat keputusan-keputusan manusia harus bisa
berorientasi ke sesamanya, menilai tinggi kerjasama dengan orang lain, tanpa meremehkan
kualitas individu dan tanpa menghindari tanggung jawab sendiri. Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan Di Indonesia, Cet. XIX, Jakarta, Djambatan, 2002, hal:388-389.
35
Lihat: H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif Untuk
Indonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 148-149. Itu pula sebabnya mengapa hanya manusia saja
yang berhak menyandang sebutan makhluk membudaya. Lihat: Ali Syaifullah, Pendidikan Pengajaran
dan Kebudayaan Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, Surabaya, Utama Offset Printing,
1982, hal:13-15
85
kesempatan kepada perkembangan kemampuan anak didik agar dia tidak
pendidikan yang harus diperkaya tetapi juga manajemen serta para pelaksana
proses pendidikan tersebut harus sesuai dengan tuntutan kemerdekaan dan hak
terbentuknya sikap yang produktif dari diri anak didik. Pedagogik pembebasan
akhir-akhir ini menurut Tilaar, tidak lain merupakan proses pendidikan yang
36
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal:56.
Dalam pandangan Freire, manusia dipanggil untuk menjadi subyek yang sadar. Manusia
itu sadar dalam bertindak. Karena itu manusia lebih sekedar hidup saja. Ia bereksistensi, ini bukan
berarti bahwa manusia tidak terbatas, melainkan bahwa dengan praksisnya ia sanggup mengatasi
situasi batasnya. Jika manusia hanya mengarah pada situasi batas ini, maka susutlah
kemanusiaanya. Oleh karena itu pendidikan harus di arahkan untuk menjadikan peserta didik
sebagai subyek. Lihat: Anton Sudiarja, Filsafat Pendidikan Paulo Freire, dalam majalah
mahasiswa Driyakarya, Dari Sudut-Sudut Filsafat Sebuah Bunga Rampai, Yogyakarta, Kanisius,
1997, hal: 109.
Salah satu contoh dalam memposisikan anak didik sebagai subyek adalah dengan
menjadikan dialog sebagai model pada pelaksanaan belajar mengajar. Dengan dialog anak didik
akan teraktualisasikan ide-idenya, juga dialog akan menghindarkan suasana kemitraan antara
guru dan murid. Dari sini menurut Freire dan Shor, Menjadi Guru Merdeka Petikan Pengalaman,
Terjemahan oleh Budiman, Yogyakarta, LkiS, 2001, hal: 151. Lihat juga Paulo Freire, Politik
Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembesaran, Cet. II, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2000, hal:189-199
kemanusiaan serta bebas dari segala oppresive ekonomis, politis maupun psikis.37
86
Pendidikan telah dapat dipahami merupakan sebagian dari proses
tujuan pendidikan dapat dimanipulasi ke arah yang kurang jelas atau bahkan ke
arah yang salah dan dapat direkayasa oleh kekuatan-kekuatan politik penguasa.38
merana dan mati. Yang tersisa adalah puing-puing keuasaan yang juga telah
tersebut hanya mungkin lahir dari suatu kebudayaan yang terbuka tetapi mantap dan
37
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 56. Berangkat dari pemikiran ini pula Tilaar kemudian
mengkonsepsikan pedagogik transformatif bagi upaya pengembangan pendidikan nasional. 38
Kuntowijoyo menyebutkan sebagai redusir hak-hak rakyat ke dalam kepentingan kekuasaan (
status quo), di mana politik menjadi “panglima”. Oleh karena itu budaya harus di beri otonomi.
Maksudnya ia adalah bagian dari dinamika masyarakat, tetapi tidak terikat denga kekuatan-
kekuatan di dalamnya, seperti kekuatan politik dan komersial. Budaya itu seperti ikan di dalam air
laut, hidup di dalamnya tetapi tidak menjadi asin. Lihat: Kuntowijoyo, Selamat Tinggal Mitos
Selamat Datang Realitas, Bandung, Mizan, 2002, hal:82-89.
87
yang produktif, oleh sebab itu sistem pendidikan nasionla harus memberikan
mengulang gerakan orde baru tidak akan terjadi lagi, karena reformasi yang
manusia-manusia yang cerdas tetapi juga yang bermoral tinggi dan produktif
Oleh sebab itu, pendidikan nasional menurut Tilaar harus memenuhi kriteria
sebagai berikut :
kehidupan nyata dalam lingkungan yang semakin meluas dan mendalam yaitu
88
b. Pendidikan nasional berperan dalam mengembangkan potensi yang secara
individual.
sopan santun tersebut perlu dikenal dan dilaksanakan oleh peserta didik
kemudian dalam masyarakat luas. Di dalam hal ini pendidikan budi pekerti di
dihidupi oleh nilai-nilai sopan santun yang dijunjung tinggi dalam kebudayaan
nasional.
manusia Indonesia yang bermoral dalam tingkah laku, yang bersumber dari
kebudayaan nasional serta iman dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
e. Praksis pendidikan di semua jenis dan jenjang pendidikan harus dan perlu
41
Menurut H.A.R. Tilaar, istilah “praksis” di populerkan oleh teoretis sosial Perancis, Pierre
Bourdieu, yang menyatakan bahwa masyarakat dan budaya dibangun oleh pribadi-pribadi
89
Menurut Kartodirjo kebudayaan dalam pendidikan nasional bukanlah
merupakan hal yang baru. Bahkan pendidikan nasional di dalam bentuknya yang
suatu sistem atau ketika pendidikan untuk bangsa Indonesia belum eksis dan hanya
ada pendidikan model kolonial pada masa penjajah, pendidikan dalam arti yang luas
tetap ada di dalam masyarakat dan bangsa Indonesia di dalam bentuk kegiatan
kebudayaan. 42
terdiri dari para anggotanya yang cerdas. Manusia yang cerdas bukan hanya
dari masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya
(educaced and civiliced human being). Apabila hanya satu aspek saja dari pribadi
manusia Indonesia yang berkembang maka hasilnya seperti yang kita peroleh pada
kreatif melalui karya dan bicaranya sehingga kreasinya bersifat nyata alamiah dan bukan
hasil lamunan yang abstrak. H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000a, hal: 139-140.
42
Lihat: Sartono Kartodirjo, Sejarah Pergerakan Nasional Jilid 2, Jakarta, Gramedia,1993,
hal: 99-199
90
terhadap kehidupan sesamanya. Kehidupan yang bercorak KKN (korupsi-kolusi-
nepotisme) pada masa yang lalu menunjukkan kualitas manusia yang tidak
bersatu.
Ketiadaan unsur pengikat tersebut merupakan suatu hal yang perlu dipertanyakan.
hal berikut:
bangsa Indonesia.
43
H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 209
44
Ibid
91
Lembaga-lembaga pendidikan merupakan pranata sosial dari suatu
masyarakat yang berbudaya. Dengan demikian fungsi lembaga tersebut tidak lain
nilai budaya mempunyai dua prinsip. Prinsip pertama ialah pengakuan adanya
yang ada di dalam masyarakat Indonesia yang bhineka perlu dipilah-pilah untuk
memilih nilai-nilai yang luhur yang perlu dipertahankan serta meninggalkan nilai-nilai
Fungsi imanen yaitu memelihara nilai-nilai luhur di dalam kebudayaan, dan fungsi
Visi, misi dan program pendidikan nasional secara konstitusional telah tertuang dalam penjelasan
atas undang-undang Rapublik Indonesia No.2 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, yang pada
prinsipnya sejalan dengan konsep yang ditawarkan oleh H.A.R. Tilaar di atas.
45
Dalam era orde baru pendidikan formal maupun nonformal secara sistematis mulai terasingkan
dari kebudayaan, baik kebudayaan lokal maupun kebudayan nasional. Hal ini lebih disebabkan
antara lain karena perspektif yang parsial dari kebudayaan di dalam proses pendidikan nasional.
Dengan demikian fungsi pendidikan nasional sudah tidak sesuai
92
ada untuk disesuaikan dengan perkembangan jaman dan tuntutan perubahan
kehidupan masyarakat modern.46
Dengan demikian telah jelas kiranya betapa peranan kebudayaan dalam
usaha kita membangun masyarakat Indonesia baru. Kekayaan budaya nusantara
merupakan landasan yang sangat kuat untuk membina suatu masyarakat yang
demokratis yang mengakui adanya keragaman budaya sebagai kekayaan nilai-nilai
luhur dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Menggambarkan adanya pendidikan tanpa kebudayaan berarti menafikan
keberadaan kebudayaan dan proses pendidikan itu sendiri. Kebudayaan tidak dapat
eksis tanpa pendidikan, begitu pula pendidikan menjadi kosong tanpa keberadaan
kebudayaan yang merupakan isi dari proses pendidikan itu sendiri. Pendidikan tanpa
kebudayaan akan menghasilkan robot-robot tanpa arah dan bukan mustahil
menghasilkan manusia-manusia yang tidak berbudaya atau menumbuhkan
manusia-manusia dan masyarakat yang tidak beradab.
Perubahan paradigma pendidikan nasional berdasarkan kebudayaan
menuntut struktur pendidikan nasional yang tidak sentralistik karena
dengan amanat pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Ibid hal: 210.
46
Ibid, hal: 211
Menurut Habibie, oleh karena setiap zaman ada tantangannya sendiri-sendiri, maka
yang perlu dilakukan adalah bagaimana menyiapkan sumber daya manusia kita adaptif terhadap
perubahan. Disamping itu yang tak kalah pentingnya adalah mereka harus dibekali kesadaran etis
dan keinginan yang kuat untuk membaktikan karyanya demi kepentingan orang banyak
(pembangunan). Lihat B.J. Habibie, Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Pembangunan Bangsa
Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia, Jakarta, Cides, 1995, hal: 315-117.
93
berdasarkan kepada kenyataan kebudayaan nusantara yang bhineka. Bentuk dan
struktur pendidikan yang lahir dari dan untuk masyarakat merupakan suatu tuntutan.
Sistem pendidikan yang demikian juga sejalan dengan jiwa desentralisasi dan
otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. 47
Tilaar juga menegaskan bahwa krisis yang dihadapi oleh masyarakat dan
negara Indoneisa dewasa ini antara lain yang mengkhawatirkan adalah suatu gejala
kearah disintegrasi bangsa. Dengan demikian muncul pertanyaan apakah masih ada
unsur-unsur perekat bagi persatuan bangsa dan kesatuan negara Indonesia? Dalam
hal ini dapat diambil berbagai pandangan para ahli mengenai fungsi kebudayaan
sebagai sarana perekat kehidupan masyarakat. Menurut Vygotsky, kognisi 48 bersifat
sosial dan mental. Artinya kegiatan kognitif manusia hanya bisa terjadi di dalam
llingkungan sosial dan budaya. Selanjutnya kegiatan kognitif bersifat mental yang
hanya dapat distimulasi oleh lingkungan. Dengan kata lain antara kognisi dan
lingkungan budaya merupakan suatu kesatuan. Penelitian akhir-akhir ini mengenai
perkembangan kognisi serta kemajuan komputer menunjukkan bahwa
pengembangan kognisi yang distimulasi oleh lingkungan sosial dan budaya
merupakan suatu proses.49
47
Lihat: H.A.R. Tilaar, Membenahi Pendidikan Nasional Cet. II, Jakarta, Rineka Cipta, 2002, hal:
17-28. Lihat juga: Azzumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan
Demokrasi, Jakarta, Kompas, 2002, hal:3-9.
48
Kognisi adalah proses pengenalan dan penafsiran lingkungan oleh seseorang berdasarkan
pengetahuan faktual yang empirik. Tim penyusun Kamus P.P.P.B. Dep. Dik. Bud, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Jakarta, Balai Pustaka, 1999, hal: 511.
49
H.A.R.Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal: 215.
Menurut Kartono, tidak mungkin anak hidup di luar fisik dan lingkungan budaya
kaumnya. Ia dilahirkan dan dihidupi, didewasakan dan dididik di tengah masyarakat dan kaum
kerabatnya. Maka kebudayaan kaum dan bangsanya itu dihayati oleh anak sebagai bagian dari
kepribadiannya. Oleh karena itu benar kiranya jika kognisi memiliki dimensi sosial dan mental.
Lihat: Kartini Kartono, Tinjauan Holistik Mengenai Tujuan Pendidikan Nasional, Jakarta, Pradnya
Paramita, 1997 hal: 75.
94
Hal ini berarti bahwa di dalam perkembangan kognisi diperlukan apresiasi
budaya. Apresiasi budaya bukan sesuatu yang lahir dengan sendirinya tetapi
dapat berhubungan satu dengan yang lain sehingga dapat tumbuh dan berkembang
rasa persatuan. Tanpa pengenalan satu dengan yang lain akan muncul saling curiga
suatu kesatuan bangsa yang kaya dengan nuansa-nuansa budaya dari masing-
keanekaragaman budaya etnis tetapi juga dapat disatukan demi untuk mencapai
tujuan bersama. Pentingnya budaya lokal termasuk bahasa daerah di dalam teori
50
H.A.R.Tilaar, Op. Cit., 2000b, hal:217
95
terbuka yang dikuasai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang memerlukan
kemampuan kognitif yang besar? Oleh sebab itu pengembangan kognisi di dalam
proses pendidikan yang menuntut adanya interaksi denga lingkungan berarti pula
maka kebudayaan juga berfungsi sebagai alat prekat kesatuan Negara. Di samping
apresiasi terhadap budaya lokal atau etnis maka tahap berikutnya bagi masyarakat
sebagaimana yang telah diikrarkan oleh para pemuda pada tahun 1928.51
Dengan bahasa nasional dapat terjadi komunikasi antar etnis yang beragam. Dan
dengan demikian pula dapat dapat merupakan salah satu unsur untuk
96
Pengembangan kebudayaan nasional bukan berarti menghilangkan kebudayaan
lokal atau kebudayaan etnis, karena kebudayaan etnis merupakan unsur-unsur
fondasi dari kebudayaan nasional.
Melihat bahwa kebudayaan itu merupakan suatu totalitas yang integratif,
maka pendidikan baik yang formal maupun non-formal harus berkenaan dengan
seluruh aspek budaya dan bukan semata-mata dibatasi kepada nilai-nilai ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan saja baru merupakan salah satu aspek dari suatu
kebudayaan. Dengan demikian pendidikan nasional bukan hanya meliputi pelajaran
tetapi lebih esensi ialah nilai-nilai kebudayaan sebagai keseluruhan, dan dengan
ditopang semangat pribadi yang unggul.
97
BAB IV
ANALISIS
diuraikan dalam bab III, beberapa hal yang perlu penulis analisa adalah sebagai
berikut:
dalam
1
Arif Rachman, lahir di Malang, 19 Juni 1942, Pernah menempuh pendidikan di Luar negeri;
antara lain di Highland Park High School, N.J, USA (1990), Victoria University, N.Z. (1965),
Tavistock House London (1970), dan R.E.L.C. Singapore (1982). S1-nya diperoleh dari IKIP
Jakarta (1970), S2-nya tahun (1984). la memperoleh gelar Doktor Pendidikan dari IKlP
Jakarta tahun 1997, Aktif di berbagai organisasi. Sekarang menjabat sebagai kepala
SMU Lab. Schoo l IKlP Jakarta sejak 1991 sampai sekarang. Syarief dan Murtadlo,
Pendidikan Untuk Masyarakat lndonesia Baru 70 Tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed.,
Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 489.
98
sebuah tatanan masyarakat. Oleh karena itu pendidikan sebagai proses
dijadikan paduan bagi sikap dan perilaku manusia, baik secara perorangan
prinsip dan norma yang dapat memandu sikap dan perilaku seseorang dalam
dihayati maupun yang masih berupa cita-cita, sebagai suatu yang layak
kegiatan
2
Lihat: H.A.R. Tilaar, Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani lndonesia Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional, Bandung, Remaja Rosda Karya,2000a, Bab III.
H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b, Bab XIV.
H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional Dalam Perspektif Abad 21,
Magelang, Tera lndonesia, 1999, Bab V.
3
Nilai yang dimaksud adalah nilai-nilai yang menjadi dasar atau kepribadian bangsa
lndonesia, dan selanjutnya di "institusi"kan menjadi Pancasila.
Menurut Poespo Wardojo, kedudukan pancasila bagi bangsa lndonesia adalah: (1).
Sebagai Dasar Negara; pancasila dimaksudkan sebagai landasan serta pedoman bagi
kehidupan bangsa dan negara dalam menyongsong masa depan. (2), Sebagai idiologi
Negara; pancasila dimaksudkan sebagai keseluruhan sistem ide yang secara normatif
memberikan persepsi, landasan serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau
masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan.
(3). Sebagai Filsafat, a. filsafat sebagai metode, menunjukkan cara berfikir dan cara
mengadakan analisa yang dapat dipertanggung jawabkan untuk dapat menjabarkan idiologi
pancasila, b. pancasila sebagai filsafat, mengandung arti sebagai pandangan, nilai, dan
pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan idiologi pancasila. Lihat: Soerjanto
Poespowardojo, Filsafat Pancasila Sebagai Pedekatan Sosio-Budaya, Jakarta, Gramedia, 1989,
hal: 1-14.
99
pengembangan kebudayaan, maka strategi yang paling efektif menurut Tilaar
Pada Zaman Orde Baru, pendidikan nilai itu selalu dikaitkan dengan
karena diduga salah satu biang terpuruknya bangsa ini dalam krisis
Hal ini menurut Tilaar juga masih ditambah tidak adanya kebijakan
pendidikan yang mendasarkan diri pada kekuatan Catur Santika Saruka yang
terlalu berpola deduktif, khas kebijakan politik Orde Baru yang ingin mengontrol
sekali
4
Padahal dalam kesepakatan APEC (Asia Pasific Economic Cooperation) dan KTT Bogor
tahun 1994, negara-negara maju telah akan melaksanakan perdagangan bebas mulai tahun
2010, sedang bagi negara-negara berkembang mulai tahun 2010. Dan jauh sebelum itu,
berdasarkan kesepakatan pemirnpin ASEAN di Singapura tahun 1992, bahwa ASEAN Free
Trade Arga (AFTA) akan di berlakukan mulai tahun 2003. H.A.R. Tilaar, Pengembangan
Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasl Visi, Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan
Pelatihan Menuju 2020, Jakarta, Grasindo , 1977, hal: 1.
100
dikaitkan dari sudut pandang kelompok-kelompok masyarakat yang begitu
Separatisme dimaknai secara hitam-putih tanpa dilihat dari perspektif lebih luas.
No. 22/1999, seperti memberi napas baru bagi dunia pendidikan yang terengah-
yang riil yang dapat diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di seluruh
lni menunjukkan betapa orde waktu itu kurang tanggap terhadap gejala global yang nantinya
akan memberikan dampak cukup signifikan terhadap kelangsungan
kehidupanberbangsa dan bernegara; atau bisa jadi ini merupakan "strategi" untuk
menjauhkan masyarakat dari nilai-nilai asasinya.
5
Dunia pendidikan pun akhirnya tidak luput dari cengkeraman hegemonik kekuasaan. Ini
bukan berarti pendidikan tidak berkepentingan dengan politik; bahkan mestinya mulai
sekarang harus dirancang bagaimana menyusun materi politik yang baik (sesuai dengan nilai
asasi bangsa lndonesia) ke dalam kurikulum sekolah, sebab pada saat alih generasi nanti,
jangan sampai terulang kembali di mana pemerintah dikendalikan oleh sistem politik yang
tidak benar. Lihat: Muchtar Buchori, Peran Pendidikan dalam Pembentukan Budaya Politik Di
101
dalam pendidikan di lndonesia. Akan tetapi secara rinci-sistematis, karya-karya
pendidikan nilai di sekolah yang berbasis sumber daya atau hasanah setempat,
yakni yang bisa berupa sejarah atau pemikiran yang bersumber dari kearifan
karya Tilaar ini masih terlalu filosofis-teoretik, belum mengakar pada ciri
Asumsi dasarnya adalah, dalam warisan sejarah dan pemikiran lokal itu
ada sejumlah etos dan nilai moral yang inheren dan betul-betul hidup dalam
masyarakat, sehingga ada keterjalinan yang cukup kuat antara peserta didik
dengan kurikulum yang disajikan. Bahkan, hasanah yang juga bisa disebut
tradisi ini pada titik tertentu dapat menjelma visi dan orientasi bersama yang
sendiri. Selain karena memang didukung oleh instrumen kebijakan yang cukup
102
buku- buku ilmiah populer. Buku-buku itu setidaknya sudah bisa menjadi bahan
awal untuk mengangkat hasanah lokal yang selama ini kurang diperhatikan
gunadisajikan kepada siswa di sekolah; belum lagi bila pemerintah daerah nanti
putra daerah di seantero perguruan tinggi yang mengupas hasanah lokal itu.
Karya-karya semacam ini yang bersifat ilmiah dan berbasis penelitian serius
Dengan memberi ruang pada hasanah dan sejarah lokal, berarti dunia
moral.
deduktif, tetapi bisa lebih bersifat induktif sehingga secara perlahan dan
nilai-nilai itu menjadi mungkin karena nilai-nilai itu sendiri sudah terjangkarkan/
masyarakat.7
bidang
sebaliknya, perubahan sosial di sebabkan karena kreatifitas dari manusia itu sendiri. Dalam
proses timbal balik dari kedua kekuatan tersebut melahirkan pedagogik transformasi.
103
studi ini. Demikian juga yang menyangkut penyediaan fasilitas pendukung dan
ini di sisi lain dapat meningkatkan kepedulian putra daerah bagi pengembangan
Bangsa
dan kepribadian yang utuh sebagai bagian dari pendidikan budaya, akan
peserta didik. Dalam hal ini, segi pengenalan dan penerimaan diri, penumbuhan
peserta didik menjadi suatu yang juga penting. Pendidikan yang baik adalah
104
Dengan tanpa meninggalkan kepentingan pendidikan di atas dalam
perspektif budaya sebagaimana analisis Tilaar, pendidikan harus
mendapatkan tempat semestinya. Salah satu hal penting sebagai upaya
membantu terbentuknya watak yang baik dan kepribadian utuh peserta
didik, maka segi praktis dan pragmatis tidak boleh menjadi satu-satunya hal
yang dikedepankan dengan mengorbankan hal yang lain. Watak dan
kepribadian bangsa akan sangat ditentukan oleh watak dan kepribadian
individu-individu yang membentuk masyarakat bangsa tersebut.9
Dalam proses pendidikan yang diarahkan kepada individu,
pembentukan watak dan karakter tidak dapat diabaikan begitu saja, karena
hal ini dapat mengakibatkan kemerosotan watak dan kepribadian bangsa.
Hal ini akan memiliki konsekuensi yang serius bagi kemampuan bangsa
tersebut dalam percaturan internasional yang semakin sulit dihindari
akibat arus globalisasi yang semakin intens.
Bagi Sudarminta,10 maksud dan tujuan pendidikan pada hakikatnya
memiliki dua tujuan dasar. Kedua hal itu, katanya mengutip gagasan
filosof
yang paling berharga mengenai pegangan hidup masa depan dunia, serta
membantu anak didik dalam mempersiapkan kebutuhan hidup yang esensial demi
menghadapi perubahan. Mengingat sedemikian strategisnya keberadaan
pendidikan, sedikit saja salah dalam menerapkan kebijakan, maka berapa banyak
anak didik yang jadi korban. Lihat: Malik Fadjar, Visi Pembaharuan Pendidikan
Islam, Jakarta, LP3EN, 1998, hal: 53
9
Berkaitan dengan nilai-nilai yang akan membentuk watak dan kepribadian bangsa, Al-
Ghazali (1058-llll), menegaskan bahwa sistem pendidikan hendaknya bertujuan terutama
untuk membentuk budi pekerti yang baik yang akan mernbuahkan perilaku yang baik untuk
mencapai kebahagiaan dunia-akhirat secara seimbang. Secara implisit penegasan ini
mengisyaratkan bahwa pendidikan yang tidak diorientasikan pada tercapainya budi pekerti
luhur, maka pendidikan justru hanya sekedar "pabrik" yang mencetak intelektual-
intelektual tak bermoral. Lihat: Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan Menurut Al-
Ghazali Solusi Menghadapi Tantangan Zaman, terjemahan Oleh Naingolam dan Hasan,
Jakarta, Dea Press. 2000. hal: 32-56.
10
J. Sudarminta, lulus sarjana pendidikan dari lKlP Sanata Dharma Yogyakarta 1979. Meraih
gelar M.A.A. di bidang filsafat pada tahun 1986 dari Fordham University, New York, dan
kemudian gelar Ph. D. bidang filsafat dari universitas yang sama tahun 1988. Saat ini
menjabat sebagai ketua STF Driyakara, Jakarta, Dosen luar biasa di Umika Atma Jaya,
105
Driyarkara, adalah proses membentuk sosok profil manusia dengan
mentalitas sangat human (manusiawi) yang memiliki penampilan fisik yang
sehat, normal, dan wajar kelakuannya. Tegasnya, praktik penyelenggaraan
pendidikan harus selalu mengacu pada dua hal penting, yakni proses
humanisasi dan hominisasi. Dari arti katanya Humanisasi berarti proses
membawa dan mengarahkan para peserta didik ke arah pendewasaan diri
hingga punya mentalitas sangat manusiawi. Artinya, orang lalu punya
kemampuan untuk menempatkan diri secara wajar, pengendalian diri, dan
tentu saja berbudaya. Sedang hominisasi diartikan sebagai proses
menjadikan seseorang sebagai manusia,l1
Menjadi manusia yang manusiawi dengan sendirinya akan
mengandaikan orang itu juga berbudaya dan beradab (civilized).
Pendidikan yang bisa membentuk orang menjadi berbudaya dan beradab
akan berangkat dari dua proses, yakni inkulturasi dan akulturasi. Yang
pertama lebih mengacu pada proses internalisasi semua nilai-nilai tradisi
serta upaya keras mengenal budaya sendiri, sehingga akhirnya orang bisa
berakar kuat pada kebudayaannya sendiri. Yang kedua lebih mengacu
kepada aspek keterbukaan, toleransi atas masuknya pengaruh unsur-unsur
kebudayaan asing. Pada konteks yang kedua inilah, penguasaan bahasa
asing menjadi mutlak agar kita bisa berdialog dengan masyarakat dan
budaya asing. Kedua hal ini akan saling menopang, karena tidak mungkin
seseorang dengan mudah menerima pengaruh budaya asing dan menjadi
toleran terhadapnya kalau ia tidak punya pijakan kuat terhadap budaya
sendiri.
Jakarta dan pada jurusan Filsafat program pascasarjana Universitas lndonesia. Syarief dan
Murtadlo, Op. Cit., hal: 496.
11
Lihat: J.Sudarminta Sj. Pendidikan dan Pembentukan watak yang baik, dalam Syarief dan
Murtadlo, Op. Cit., hal:455-468.
106
Dalam analisis Tilaar, walaupun sudah banyak menganalisis dua
daripada akulturasi.12 Padahal, di era global seperti sekarang ini sudah tak
memungkinkan lagi bagi anak didik semua untuk hidup sendiri, terpisah dari
pergaulan global. Untuk dapat merealisasikan hal ini akan sangat perlu
yang berarti aspek mendidik orang agar dikemudian hari orang bias tumbuh
berkembang sebagai pribadi yang mandiri, punya harga diri, dan bukan
sekadar memiliki having (materi). Being dan having, dua kategori filosofis
yang mengacu pada cara berada manusia harus dibedakan. Aspek keempat
adalah leaming how tolearn (belajar untuk belajar hidup) yang berarti
12
Asumsi ini di dasarkan pada analisis H.A.R Tilaar mengenai Catur Santika Saruka (Empat
Kekuatan Global yang Mengarahkan). Lihat H.A.R. Tilaar, Pengembangan Sumber Daya
Manusia dalam Era Globalisasi Visi Misi, dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan
Menuju 2020 Jakarta, Grasindo, 1997, hal:42-114.
107
bekal hidup. Orang perlu juga mengembangkan sikap-sikap kreatif, daya pikir
imaginatif hal-hal yang barangkali malah tidak kita peroleh dari bangku sekolah.
pembentukan kesadaran bahwa kita ini hidup dalam sebuah dunia yang global
bersama banyak manusia dari berbagai bahasa dengan latar belakang etnik
dan budaya lain.13 Pendidikan nilai, seperti tanggung jawab atas pelestarian
falsafah itu penting dilakukan untuk menghadapi persaingan yang begitu ketat
pada era global ini.14 Falsafah pendidikan yang baru nanti harus dikaitkan
seharusnya
13
H.A.R. Tilaar, menambahkan bahwa kesadaran tersebut akan rnemberikan implikasi pada
terbentuknya suatu masyarakat madani (civil society) di mana setiap anggota dapat
mengembangkan potensinya bagi kesejahteraan masyarakatnya, serta dapat berkomunikasi
dengan sesama manusia secara efektif. Ibid., hal: 260.
14
Dalam sambutannya, mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional), A Malik Fadjar telah
memberi rekomendasi, bahwa pemikiran-pemikiran H.A.R. Tilaar selayaknya dan diharuskan
dapat memberikan atau dijadikan konstribusi bagi kajian atas konsep yang mendasari
pengembangan dan perbaikan nasional. Falsafah, visi, misi dan tujuan pendidikan nasional,
termasuk landasan budaya, karena kita percaya bahwa setiap pembangunan dan reformasi
memiliki dimensi budaya (rekomendasi setengkapnya ada 10 butir). Lihat A. Malik Fadjar,
108
menjadi esensi pendidikan yang memang benar-benar diperlukan secara
malah menjadi sumber masalah daripada potensi pemecah masalah. Disisi lain,
perubahan mendasar, yakni pada landasan falsafah pendidikan itu sendiri yang
nasional. Virus ini lebih gemar melihat ke belakang dan mengukur keberhasilan
dari pencapaian di masa lalu, bukan dengan potensinya yang relevan terhadap
tantangan masa mendatang. Visi pendidikan bagi orang seperti itu adalah
menjadi bonsai sama dan sebangun dalam nalar, aspirasi, sikap dan tutur kata
akan
Kata Sambutan Menteri Pendidikan Nasional, dalam Syarief dan Murtadlo, Op. Cit., hal; xvii-
xxii.
15
Dalam GBHN 1999-2004 dijelaskan; (1). Berkaitan dengan pendidikan, bahwa kebijakan
pemerintah adalah melakukan pembaharuan sistem pendidikan, termasuk pembaharuan
kurikulum, berupa disversifikasi kurikulum untuk melayani, keberagaman peserta
didik,Penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan
setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional (butir ke-3); (2). Berkaitan
dengan kebudayaan, bahwa arah kebijakan pemerintah adalah merumuskan nilai-nilai
kebudayaan lndonesia sehingga mampu memberikan rujukan sistem nilai terhadap totalitas
perilaku kehidupan ekonomi, politik, hukum, dan kegiatan kebudayaan dalam rangka
109
tetap gagal, karena titik tolak dan orientasinya hanya pada kepentingan
merupakan petunjuk kuat bahwa mereka sama sekali tidak mampu memahami
Rakyat telah digiring memasuki kehidupan serupa itu dan kini mereka
menyaksikan hasilnya: sebuah ilusi atau kepalsuan di dalam skala yang besar.
llusi skala nasional itu tak dapat mengklaim mampu memberikan daya tahan
ekonomis, daya tahan moral, bahkan daya nalar sekalipun kepada bangsa
ini.
bertutur sopan mulai dari rakyat sampai elite politik yang berkuasa. Bahkan
110
sekarang ini tampak bahwa hampir tidak ada sisa pengaruh yang menunjukkan
bahwa bangsa ini telah (pemah) besar atau dibesarkan oleh pendidikan di masa
lalu.17
Tilaar juga mengungkapkan bahwa selama ini, visi pendidikan dan filosofi
falsafah dasar bangsa ini tentang pendidikan, artinya, adalah salah jika orang
kurikulum yang tidak pas.18 Analisis Tilaar ini akan sangat bermanfaat jika
bahwa kurikulum yang tidak pas itu ternyata dilahirkan oleh sebuah konsep
dirasa penuh dengan dinamika dan romantika. Dinamika ini sangat dirasakan
besar mata pelajaran disampaikan dalam bentuk verbalisme disertai dengan rote-
memoriting, (6). Peserta didik dihadapkan pada nilai-nilai yang sering bertentangan, (7).
Peserta didik mengalami kesulitan dalam mencari contoh teladan yang baik di
lingkungannya. Azzumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional Rekonstruksi dan
Demikratisasi, Jakarta, Kompas, 2002, hal. xi.
18
Lihat: H.A.R Tilaar, Paradigm Baru Pendidikan Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, 2000b,
hal:1-10,
H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk
lndonesia, Jakarta, Grasindo, 2002, hal: 362-375.
H.A.R. Tilaar dan Suryadi, Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu Pengantar, Cet. ll,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994, hal: 97-101.
H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional Kajian Pendidikan Masa Depan, Cet. ll,
Bandung, Remaja Rosda Karya, 2001, hal: 42.
111
dengan munculnya berbagai kebijakan yang sering menimbulkan polemik,
Hasil pendidikan kita memang cukup memadai, walaupun masih jauh dari
dan tubuh anak didik.20 Dengan demikian keberhasilan suatu proses pendidikan
dan tubuh tersebut dapat dicapai secara bersama-sama. Tinggi dan rendahnya
19
Darmawan memberikan refleksi bahwa selama ini sekolah tidak dijadikan sebagai tempat
anak melatih diri, menampilkan dirinya untuk berbuat sesuatu dan mendapat koreksi
bahwa
salah atau benar, berbuat baik atau tidak baik, akan tetapi sekolah dijadikan sebagai
panggung pentas untuk rnemperoleh juara, sedangkan untuk mempersiapkan pentasnya di
sekolah itu harus mengikuti kursus di luar. Akibatnya sekolah bukan menjadi tempat
belajar dan tempat mencari pengalaman, sehingga anak kehilangan hak-haknya sebagai
anak. Andy Darmawan, Pengantar Editor, dalam Djohar, Ms., Pendidikan Strategik Alternatif
Untuk Pendidikan Masa Depan 2003, Yogyakarta, LESFI, hal: vii.
20
Lihat: H.A.R. Tilaar, Pendidikan Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indonesia Strategi
Reformasi Pendidikan Nasional, Cet. ll, 2000, hal: 127-140.
112
proses pendidikan bagi anak didik. Di sisi yang lainnya, kebersamaan
manusia maka melalui proses pendidikan anak didik dituntun menjadi manusia
yang makin beradab. Adalah keliru bila anak didik yang diberi pendidikan justru
bukan pada pendidik atau orang lain yang menjadi bagian dari proses
maka pertama kali yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang terlibat dalam
proses pendidikan tersebut ialah kesiapan anak didik.22 sejauh mana tingkat
hal itu memang benar; akan tetapi, semua itu t idak dapat menggeser
21
Di sini konsep humanisasi Freire menemukan momentumnya. Menurut Freire, manusia
yang humanis adalah manusia yang menjadi pencipta (creator) dari sejarah (realitasnya) nya
sendiri. Oleh karena pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia maka pendidikan
harus mengarahkan manusia pada pengenalan realitas dan dunianya. Dan bagaimana itu
bisa terjadi jika pendidikan diredusir untuk tujuan yang tidak memanusiakan, kapitalisasi
misalnya; sehingga keberadaan yang terjadi adalah eksploitasi kuantitasi kuantitas dari
peserta didik. Lihat: Anton $udiarjo, Filsafat Pendidikan Paulo Friere, dalarn Majalah
Mahasiswa Driyakarya Sebuah Bunga Rampai dari Sudut-Sudut Filsafat, Yogyakarta,
Kanisius, 1977, hal: 107-118.
22
ldentifikasi ini menurut Atmowidirjo dianggap penting agar penyampaian pengetahuan tidak
salah arah, juga agar efektifitas pembelajaran bisa mencapai tahap maksirnal tanpa
113
Bahwa pendidikan itu juga sering diartikan sebagai suatu proses
pengabdian kepada sang anak.23 hal itu menunjukkan bahwa demikian penting
dan strategisnya posisi anak didik dalam proses pendidikan itu sendiri. Karena
pendidikan tersebut harus berpusat pada anak didik maka dalam prosesnya
harus berpedoman pada keinginan, gagasan dan juga kreativitas anak didik (tut
wuri handayani).
pada keinginan, gagasan dan kreativitas masing-nnasing anak didik. Hanya saja
dan bukan anak didik yang harus menyesuaikan pendidiknya. Secara asasi
kecerdasannya, serta tidak satu pun kekuatan dan kekuasaan di dunia ini yang
boleh meniadakan hak tersebut. Secara asasi setiap orang hidup juga memiliki
kekuatan dan kekuasaan di dunia ini yang boleh meniadakan hak tersebut.
menimbulkan tekanan pada peserta didik. Lihat: Edari T. Atmowidirjo, Perkembangan Anak
Suatu Tinjauan dari Sudut Psikologi Perkembangan, dalam Gunarsa et. Al. (Ed.), Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja, Cet. Vlll, Jakarta, Gunung Mulia, 2000, hal: 3-15.
23
Anak didik merupakan tunas yang pada saatnya nanti akan memegang peran penting
dalam kehidupan yang akan mewarnai dan mengarahkan peradaban dunia ini. Maka bisa
jadi kerusakan peradaban justru lebih disebabkan karena kita tidak benar dalam mengurus
anak didik. Lihat: Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam lslam I, Cet. ll,
Terjemahan oleh Miri Lc, Jakarta, Pustaka Amani, 1999, hal: 157-164.
114
Pada sisi yang lainnya setiap orang hidup memiliki hak untuk memajukan
dunia ini yang boleh meniadakan hak tersebut. Hak memajukan pertumbuhan
Atas dimilikinya hak pendidikan oleh setiap warga negara tersebut maka
pendidikan harus dapat dinikmati oleh siapa saja tanpa memandang berbagai
perbedaan antarumat manusia itu sendiri; antara lain perbedaan etnis, suku,
dan tubuh anak didik bisa tumbuh secara lebih maju. Di samping itu
anak didik dapat menjadi manusia yang lebih beradab. Untuk dapat
didasarkan pada nilai-nilai dasar yang kukuh. Sudah barang tentu nilai-nilai
24
H,A.R. Tilaar, memformulasikan fenomena ini ke dalam proses hominisasi dan proses
humanisasi. Dalam proses hominisasi dimaksudkan pengembangan manusia sebagai
makhluk hidup. Manusia harus dibesarkan agar dia dapat berdiri sendiri dan memenuhi
kebutuhan hidupnya. Sedang proses humanisasi berarti manusia itu bukan sekedar dapat
hidup dan makan saja, tetapi juga dia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan
terhadap kesejahteraan masyarakatnya. Lihat: H.A.R. Titaar, Pendidikan, Kebudayaan,
dan
Masyarakat Madani lndonesia Strategi Reformasi Pendidikan Nasianal, Cet. ll, Bandung,
Rosda Karya, 2000, hal:24.
115
dasar ini tidaklah mati dan kaku tetapi senantiasa berkembang dinamis
hal-hal yang sifatnya pragmatis. Dari Yang Maha Esa, setiap manusia itu
diri itulah hakikat pendidikan. Pada hakikatnya pendidikan itu tidak dapat
dibatasi oleh tirani kekuasaan, politik atau kepentingan tertentu. Nilai dasar
116
Kedua, menyangkut kebangsaan. Secara fundamental pendidikan itu
harus menolak budaya manca yang datang. Untuk berpadu dengan budaya
117
manca dapat diterapkan Konsep Trikon, yaitu kontinuitas, konsentrisitas dan
membuahkan hasil optimal. Tanpa kemandirian maka sulit bagi bangsa kita
bagi anak didik. Setiap anak didik hendaknya berbudi pekerti luhur setelah
tanpa modal budi pekerti yang luhur maka kehadirannya di masyarakat tidak
118
Ketujuh, menyangkut kekeluargaan. Sebuah keluarga yang harmonis
pendidikannya.
gampang diwujudkan.25
119
kepada keturunannya, baik berupa keterampilan, nilai, fakta maupun sikap.
sendiri tanpa campur tangan pihak lain, maka pendidikan itu merupakan
politik. Dalam kaitan makna yang demikianlah, semua keputusan strategis dalam
25
Dalam Perspektif Undang-Undang Republik lndonesia No.2 Tahun 2003 Tentang
SISDIKNAS dan GBHN 1999-2004; ke tujuh nilai dasar pendidikan tersebut menjadi prinsip
penyelenggaraan pendidikan dan juga menjadi arah kebijakan penyelenggaraan negara
republik lndonesia (Lihat: hal: 7-11 dan hal: 27-31)
26
Menurut Tilaar, pandangan mengenai hubungan antara masyarakat dan pendidikan dapat
dikategorikan ke dalam empat teori; yaitu: (1).Teori fungsionalisme, menyatakan bahwa
pendidikan modern disebabkan karena berubahnya kebutuhan fungsional yang menyertai
proses industrilisasi. (2). Teori Karl Marx, menyatakan bahwa sistem disiplin kerja bagi kelas
pekerja yang sedang timbul, menunjukkan adanya ketidak harmonisan di dalam masyarakat
kapitalis. Dengan demikian, Visi pendidikan (kurikulum) pada dasarnya hanya menunjang
eksistensi sistem yang ada. (3). Teori Kredensial, menyatakan bahwa pendidikan telah
dijadikan suatu komoditas yang mempunyai nilai yang sangat tinggi. (4). Teori pendidikan
sebagai pembangunan bangsa (Nation Building), menyatakan bahwa dalam rangka
meningkatkan rasa persatuan dan jati diri nasional, maka pendidikan merupakan alat yang
utama dan efektif di dalam membangun suatu Nation State. Pesan utama yang terkandung
dalam masing-masing teori tersebut adalah bagaimana pendidikan dapat menjadi
pelopor bagi perubahan social. Lihat: H.A.R Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan
Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta,Grasindo, 2002, hal: 411-414.
27
H.A.R. Tilaar sendiri mengakui bahwa tidak mungkin dalam suatu negara, pendidikan akan
bias ”bebas nilai” dari politik (campur tangan pemerintah). Akan tetapi bukan berarti politik
menjadi “panglima”, justru bagaimana dengan atau peran politik dapat memajukan
dan
120
Atas pijakan yang demikian, maka penerusan nilai warisan melalui
pendidikan tidak lagi berjalan mulus dan lancar. Sering terjadi gesekan
kepentingan.
yang homogen. Dari sudut pandang orang luar, suatu bangsa atau
orang Sumba. Semuanya tampak seperti suatu masyarakat yang padu dan
demikian. Di Jawa, dikenal ada budaya Sunda, budaya Jawa (Jawa Timur,
sana hidup kurang lebih 10 suku, dengan bahasa daerah yang berbeda dan
bangsa yang sangat besar, tetapi pada sisi lain menyimpan berbagai
mendewasakan sistem pendidikan agar bisa berdiri tegak di atas nilai-nilai kultural tanpa
merasa rendah diri di hadapan bangsa lain. Lihat: H.A.R. Tilaar,Op.Cit., 2000b, hal; 26-38
28
Lihat Koentjoroningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Cet.XIX, Jakarta,
Djambatan, 2002, hal: 374-393.
121
persoalan substansial yang memiliki daya rekat kedaerahan yang kuat
sebab setiap kelompok etnik memiliki sikap dan kepentingan yang berbeda
terhadap ilmu dan teknologi. Sementara pada sisi lain, ilmu pengetahuan dan
pilihan yang makin luas dan banyak. Tetapi justru karena banyak pilihan
teknologi macam apa yang layak diberikan kepada generasi muda dalam
122
sekaligus merupakan harta termahal yang dimiliki manusia dalam
tersebut.29
nilai tersebut ke dalam konteks masa kini dengan antisipasi masa depan secara
tempat latihan untuk menyesuaikan diri dengan suatu masyarakat yang mapan
dengan cara meniru. Sedangkan sekolah modern adalah suatu pengantar untuk
123
dalam kurikulum dan bersifat koheren. Orang harus memperkirakan tingkah laku
yang tepat untuk hari depan yang tidak dikenal dan secara demikian
terjadi diskontinuitas kultural dan krisis dalam identitas pribadi.3l Integrasi sosial
sekolah untuk meramu keluwesan adaptif dengan merujuk masa lalu sambil
sesan model demikian hampir tidak rnengganggu peserta didik yang hanya
30
Karl Mannheim (1893-1947) adalah sosiolog asal Hungaria yang mengajar di Universitas
London. Yang digelutinya adalah struktur kemasyarakatan serta sosiologi pengetahuan.
Karyanya yang terkenal adalah Essays on the Sociology of Knowledge (Essai-essai tentang
psikologi pengetahuan (1952). William F O'nneil, ldiologi-ldiologi Pendidikan, Terjemahan
oleh Naomi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001, hal:671.
31
Modemisme sering diidentikkan dengan penguasaan akan ilmu pengetahuan dan
teknologi, yang biasanya akan membawa ekses pada konsumerisme. Konsumerisme
terbangun atas kapitalisme dan pragmatisme. Di sini perlu direnungkan kembali apa yang
dikhawatirkan oleh Y.B. Mangunwijaya, yang mengatakan: "... apa guna kita memiliki sekian
ratus ribu Alumni sekolah yang cerdas, tetapi masyarakat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum
sekolah itu pasti akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka." Lihat:
M.Escobar, dkk., Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisme yang Licik, Cet. lIl,
Terjemahan oleh Rahayu, Yogyakarta, LkiS, 2001, hal: sampul belakang"
124
social dalam masyarakat, merasa kurang dilayani oleh sistem pendidikan
yang demikian menjadi lebur dalam tuntutan pertumbuhan ekonomi, dan pada
Banyak bangsa di Asia, Afrika dan Amerika Latin, merasa bahwa sistern
manusia terdidik bagi sektor-sektor yang meluas dari suatu pekerjaan yang
tujuannya adalah integrasi nasional dan kompetensi modern yang saat ini
kekuatan kreatif dalam masyarakat yang dapat melayani dunia industri dan
pemerintah.
32
Dalam kondisi seperti ini, Sunoto tetap menjadikan pancasila sebagai asas bagi
pembentukan sikap, watak, dan intelektualita bangsa lndonesia- Asumsi dasarnya adalah
bahwa pancasila adalah miniatur yang komplit dari sekian banyak nilai-nilai luhur bangsa
lndonesia sejak berabad-abad yang lalu. Selain itu pancasila juga telah banyak diuji
kredibilitasnya. Lihat: Sunoto, MengenalFilsafat Pancasila 2 Pendekatan melalui sejarah dan
pelaksanaannya,Cet. V, Yogyakarta, Hanindita, 1985, hal: 1-13
Tilaar pun sependapat dengan pancasila sebagai paradigma bagi proses pendidikan,
dengan catatan pancasila harus ditempatkan pada "ruang hampa' (obyektivitas). Sebab
pudarnya nilai-nilai pancasila selama ini adalah karena pancasila justru dijadikan komoditi
subyektivitas. Lihat: H.A.R. Tilaar, Op. Cit., 2002b, hal: 192-203. Lihat juga: M. Munandar
Soelaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Cet. lV, Bandung, Ravika Aditama, 2001,
hal: 60-69.
33
Lihat: H.A.R. Tilaar, Pembangunan Sumber Daya Manusia dalam Era Globlisasi Visi, Misi,
dan Program Aksi Pendidikan dan Pelatihan Menuju 2020,Jakarta, Grasindo, 1997,hal: 102-
111.
125
5. Pemerataan Kesempatan Pendidikan
survival karena masih terdapat angka putus sekolah yang cukup tinggi.
kenyataan, karena pada umumnya para guru atau juga dosen masih
mungkin juga demi prestise penguasa. Secara sangat mencolok kita melihat
34
Lihat: Harian Pagi Kompas Edisi 03 Maret 2000 dan Edisi 16 April 2002
126
alami, bahwa program pemerataan pendidikan lebih menekankan
dengan ruang, ratio siswa dengan guru dan sebagainya". Akibatnya laju
agak terabaikan. Kondisi obyektif ini hanya merupakan solusi jangka pendek
dan equality, sedangkan aspek jangka panjang dalam bentuk equity masih
127
ampuh untuk membina hidup seutuhnya dan pandangan ekonomi yang
mengatakan bahwa manusia itu merupakan human capital, karena itu perlu
jika anak memperoleh pendidikan dengan mutu yang sama. Dan bukannya
35
Alfin Toffler, lahir di Brooklyn 4 Oktober 1928. la mendapat pendidikan di Universitas New
York. Pernah menjadi Profesor tamu di universitas cornell dan mengajar di New School
for Social Research. la seorang dosen yang banyak di cari dan memperoleh gelar kehormatan
dari ilmu pengetahuan, sastra dan hukum. Future Shock adalah karyanya yang telah
diterbitkan dalam 30 bahasa. Future Shock (kejutan masa depan) merupakan suatu krisis
baik fisik mupun psikologis, sebagai akibat kelebihan beban pada sistem adaptasi organisme
manusia dan pada proses pengambilan keputusannya. Dan ini terjadi justru di tengah
derasnya arus
128
terhadap berbagai kejadian di seluruh dunia sampai taraf yang tidak pernah
yang tetah mapan. Dalam perspektif demikian, maka sistem pendidikan kita
tidak ketinggalan dari bangsa lain tanpa harus kehilangan identitas diri.
globalisasi. Lihat: Alvin Toffler, Kejutan Masa Depan, Cet.lV, terjemahan oleh Kusdiyatinah
SB, Jakarta, Panta Simpti, 1992, hal:437.
Jika Toffler memberikan solusi diagnosis berupa kepekaan dan kesadaran diri
terhadap persoalan kita sendiri (dalam konteks futurisme sosial); maka H.A.R. Tilaar juga
menawarkan solusi sebagai tindakan preventif dari ganasnya globalisasi, yakni Catur
Santikan Saruka (dalam konteks futurisme kebangsaan).
129
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
nasional dewasa ini adalah lebih disebabkan oleh konsep pendidikan yang
peserta didik; menurut H.A.R. Tilaar, hal ini yang menjadikan peserta didik
Dari beberapa penjelasan yang telah diuraikan di atas; mulai dari landasan
formulasi konsep pendidikan yang dapat digunakan sebagai dasar dan acuan bagi
kemampuan yang immanen sebagai mahluk yang hidup di dalam suatu tatanan
130
hidup atau dihidupkan dalam masyarakat. Dengan demikian eksisitensi manusia
berarti dengan hubungan antar sesama manusia baik yang dekat maupun dalam
ruang lingkup yang semakin luas dalam upaya membangun tatanan peradaban
proses pembudayaan. Visi atau tujuan pendidikan adalah kongruen dengan visi
niiai tersebut. Dan hal ini hanya bisa terjadi apabila pendidikan diletakkan pada
tempat yang sebenarnya, yakni sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
131
Proses tersebut akan memberikan kondisi yang disadari atau tidak adalah untuk
belajar, dan ini terjadi secara berulang-ulang dalam suatu tatanan masyarakat.
merupakan dasar bagi praksss pendidikan, maka bukan hanya seluruh proses
nilai-nilai yang hidup dalam tradisi masyarakat, tetapi juga berpartisipasi dalam
kegiatan budaya yang ada dan mengantisipasi nilai-nilai yang mungkin muncul
di masa depan. Dengan demikian proses pendidikan yang berakar atau berbasis
budaya bukan terjadi secara pasif, tetapi melalui proses interaktif antara
berwujud daiam bentuk lembaga atau institusi sekolah, harus secara simultan
maupun global.
132
3. Sistem Pendidikan Nasional diharapkan tidak hanya sekedar menghasilkan
manusia-manusia yang cerdas, tetapi juga yang bermoral tinggi dan produktif
kebudayaan dan pendidikan, (4) Pendidikan sebagai the agent of change, (5)
B. Saran
Semakin kokoh nilai-nilai moral suatu bangsa, semakin kuat pula bangsa
tersebut. Sebab nilai-nilai moral inilah yang mengikat dan menggerakkan warga
bangsa tersebut. Oleh karena itu, pembangunan peradaban bangsa harus dimulai
melalui studi atas pemikiran H.A.R. Tilaar ini, ada beberapa hat yang selayaknya segera
dipikirkan bersama:
1. Era reformasi adalah era untuk terciptanya masyarakat terbuka dan percaya kepada
133
partisipasi masyarakat di dalam pengembangan dirinya sendiri. Untuk itu diperlukan
mobifisasi dan peran aktif dari para pemikir, pengembang dan pengambi! kebijakan
teori dan konsep-konsep yang sesuai dengan karakter bangsa dan tantangan zaman,
agar dapat berdiri sejajar dengan bangsa lain dalam menatap dan menata masa depan
2. Bagi calon intelektual dan sarjana muslim (khususnya), hendaknya lebih peka, adaptif
dan inovatif dalam menyikapi setiap gejala yang timbul dalam masyarakat berkenaan
dengan upaya mencari paradigma bagi kokohnya landasan dasar pendidikan nasionai
Indonesia. Karena tanpa landasan dasar yang kuat, sehebat dan semaju apapun suatu
model pendidikan, maka justru yang terjadi adalah mewabahnya "virus" alienasi.
3. Analisa dalam kajian pendidikan berbasis budaya ini bukan dimaksudkan untuk
seluruh komponen bangsa ini untuk sedapat mungkin bersikap arif dan bijak dalam
4. Hasil analisa dari kajian tentang pendidikan berbasis budaya ini merupakan sebuah
wacana yang berbijak pada pemikiran seorang tokoh pendidikan nasional Indonesia
134
keterbatasan ruang lingkup materi dan pembahasan; untuk itu belum bisa dikatakan
final conclution dari hasil yang ada, sebab suatu kemungkinan dalam proses mencari
kebenaran yang hakiki akan selalu muncul kapan dan di manapun, sehingga tidak ada
kebenaran yang mutiak. Oleh karena itu diharapkan ada peneiitian baru yang
mengkaji ulang atau bahkan mengembangkan penelitian melalui obyek atau topik
yang sama yakni tentang pendidikan berbasis budaya. Tentunya dengan pendekatan
dan model yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan yang ada.
135
DAFTAR PUSTAKA
5. Ardana, I Gust! Gde. 1987. ilmu Budaya Dasar (Kumpuian Bahan Kuliah).
UNUD Press. Denpasar.
6. Arifin, ML 2000. Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum). Cet. IV. Bumi
Aksara. Jakarta.
10. Azra, Azumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional; Rekonstruksi dan
Demokratisasi. Kompas, Jakarta,
11. Azwar, Saifuddin. 1999. Metode Penelitian. Cet. II. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
12. Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Cet. II. Gramedia, Jakarta.
13. Bakker, Anton. 1984. Metode-Metode Filsafat. Ghalia Indonesia. Jakarta.
15. Bisri, Cik Hasan. 2001. Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan
Penyusunan Skripsi Bidang ilmu Agama Islam. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
16. Buchori, Mochtar, 2001. Pendidikan Antisipatoris. Kanisius. Yogyakarta.
17. Bucaille, Maurice, 1999, Asal-Usul Manusia Menurut Bibel Al-Qur”an Sain.
Mitan. Bandung.
18. Chan, Stevan M. 2002. Pendidikan Liberal Berbasis Sekolah. Terjemahan oleh
Mulkhan dan Yawisah. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
20. Djohar.
22. _____ . 1977. Dan Sudut-Sudut Filsafat Sebuah Bunga Rampai. Kanisius.
Yogyakarta.
23. Escobar. M., dkk.. 2001. Dialog Bareng Paulo Freire Sekolah Kapitalisme yang
Licik. Terjemahan oleh mindi Rahayu. LKiS. Yogyakarta.
24. Fadjar, Malik. 1998. Visi Pembaharuan Pendidikan Islam. LP3EN. Jakarta.
26. _____ Faisal, Sanapiah. Tanpa Tahun, Sosiologi Pendidikan . Usaha Nasional,
Surabaya.
29. _____ . 1998. Sekolah Kapitalisme yang Licik. Terjemahan oleh Mundi R.
LkiS.Yogyakarta.
31. _____ dan Ira Shor. 2001. Menjadi Guru Merdeka Petikan Pengalaman.
Terjemahan oleh Budiman. LKiS. Yogyakarta.
33. Habibie, B.J. 1995. Ilmu PenCetahuan Teknologi dan Pembangunan Bangsa
Mnuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia. Cides. Jakarta.
36. Harahap, Sofyan Safri. 2001. Tips Menufis Skripsi & Menghadapi Ujian
Komprehensif. Pustaka Quantum. Jakarta.
40. Hasyim, Mustofa W. 2000. Jejak Luka Politik dan Budaya, LPSAS PROSPEK.
Yogyakarta.
41. Hidayanto, Dwi Nugroho. 1988. Mengenal Manusia dan Pendidikan. Liberty.
Yogyakarta.
42. Hungtington, Samuel P. 2001. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia. Cet. II. Terjemahan oleh ismail. Qaiam.
Yogyakarta.
43. Amir Daien Indrakusuma. 1973. Pengantar llmu Pendidikan. Usaha Nasional.
Surabaya.
46. Kartono, Kartini. 1991. Quo Vadis Tujuan Pendidikan? Hams Sinkron dengan
Tujuan Manusia. Mandar Maju. Bandung.
Jakarta.
49. _____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet. XSX. Gramedia.
Jakarta.
50. _____ . 2002. Manusia dan Kebudayaan Di Indonesia. Cet XSX. Djambatan.
Jakarta.
51. Komaruddin, dkk.. 2000. Kamus Istifah Karya Tulis llmiah. Bumi Aksara.
Jakarta.
53. Harahap, Sofyan Safri. 2001. Tips Menulis Skripsi & Menghadapi Ujian
Komprehensif. Pustaka Quantum. Jakarta.
57. Hasyim, Mustofa W. 2000. Jejak Luka Politik dan Budaya. LPSAS PROSPEK.
Yogyakarta.
58. Hidayanto, Dwi Nugroho. 1988. Mengena! Manusia dan Pendidikan. Liberty.
Yogyakarta.
59. Hungtington, Samuel P. 2001. Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia. Cet. SS. Terjemahan oleh Ismail. Qalam.
Yogyakarta.
60. Indrakusuma, Amir Daiert. 1975. Pengantar llmu Pendidikan Islam. Al-Ma'arif.
Bandung.Amir Daien Indrakusuma. 1973. Pengantar llmu
Pendidikan. Usaha Nasional. Surabaya.
64. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar llmu Antropologi. Cet. VIII. Rineka Cipta.
Jakarta.
65. _____ . 2000. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cet. XIX.
Gramedia.Jakarta.
67. Komaruddin, dkk.. 2000. Kamus Istilah Karya Tulis limiah. Bums Aksara.
Jakarta.
68. Nasution, S. 2001. Asas-Asas Kurikulum. Cet. IV. Bumi Aksara. Jakarta.
69. Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Cet.IV. Ghalia Indonesia. Jakarta.
73. Purwanto, Ngaiim. 1997. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. IX. Remaja
Rosda Karya. Bandung.
74. Mulyana, Deddy dan Rachmat (Ed.) 2000. Komunikasi Antarbudaya Panduan
Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya. Cet. V.
Remaja Rosda Karya. Bandung.
75. Said, Moh. 1980. Etik Masyarakat Indonesia. Pradnya Paramita. Jakarta.
79. Sj, Bakker J.W.M. 2001. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Cet. XI.
Kanisius. Jakarta.
82. Soejono dan Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan
Penerapan. Rineka Cipta. Jakarta.
83. Soelaeman, M. Munandar. 2001. Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar. Cet.
VIII. Refini Aditama. Bandung.
84. Soerjanto, Poespowardojo. 1989. Filsafat Pancasila Sebagai Pendekatan Sosio-
Budaya. Gramedia. Jakarta.
85. Sudarto. 1997. Metodologi Penelitian Filsafat. Cet.ll. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
86. Sulaiman, Fathiyah Hasan. 2000. Sistem Pendidikan Menumt Al-Ghazali Solusi
Menghadapi Tantangan Zaman. terjemahan Oleh Naingolam dan
Hasan. Dea Press. Jakarta.
89. Suparno, Sj.. Paul dkk. 2002. Reformasi Pendidikan Sebuah Rekomendasi.
Kanisius. Yogyakarta.
91. Surakhmad, Winamo. 1989. Pengantar Penelitian llmiah Dasar Metode Teknik.
Edisi VSI. Tarsito. Bandung.
93. Sudiarjo, Anton. 1977. Sebuah Bunga Rampai dari Sudut-Sudut Filsafat.
Kanisius. Yogyakarta.
94. Sulaiman, Fathiyah Hasan. 2000. Sistem Pendidikan Menumt Al-Ghazali Solusi
Menghadapi Tantangan Zaman. Terjemahan Oleh Naingolam dan
Hasan. Dea Press. Jakarta.
95. Sunoto, 1985. Mengenal Filsafat Pancasila 2 Pendekatan melalui sejarah dan
pelaksanaannya. Cet. V. Hanindrta. Yogyakarta.
97. Sutrisno (Ed.). 1986. Tugas Filsafat dalam Perkembangan Budaya. Liberty.
Yogyakarta.
100. Tafsir, Ahmad. 1994. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Cet. II.
Remaja Rosda Karya. Bandung.
101. Tap MPR No. IV/MPR/1999 Tentang Garis-Garis Besar Haitian Negara
1999-2004. 2002. Cet. II. Sinar Grafika. Jakarta.
102. Tilaar. H.A.R. 2002. Membenahi Pendidikan Nasional Cet. II. Rineka Cipta.
Jakarta.
105. ____ . 2000. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Rineka Cipta. Jakarta.
109. ____ . dan Ace Suryadi. 1994. Analisis Kebijakan Pendidikan Suatu
Pengantar. Cet. II. Remaja Rosda Karya. Bandung.
110. Tim D.J.P.K.A.I.. 2000. Islam Untuk Disiplin Ilmu Sosiologi Buku Daras
Pendidikan Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Jurusan/Program Studi Sosiologi. P.P.P.A. Depag. Jakarta.
111. ____ . 2000. Islam untuk Disiplin Ilmu Antropologi Buku Daras Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum Jurusan/Program Studi
Antropologi. P.P.P.A. Depag. Jakarta.
112. ____ . 2000. Islam untuk Disiplin Ilmu Pendidikan Buku Daras Pendidikan
Agama Islam pada Perguruan Tinggi Umum
Fakultas/Jurusan/Program Studi Pendidikan. P.P.P.A. Depag.
Jakarta.
113. Tim Dosen F1P-IKIP Malang. 1988. Pengertian Dasar-Dasar Kependidikan.
Cet. III. Usaha Nasina!. Surabaya.
114. Tim Penyusun Kamus P.P.P/.B. Dep. Dik. Bud.. 1999. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Edisi Kedua. Balai Pustaka. Jakarta.
115. Tim Penyusun Pedoman Penelttian karya ilmiah IKIP Malang. 1993. Pedoman
Penelitian karya ilmiah Skripsi, Artikel. dan Makalah. IKIP Press.
Malang.
116. Toffler, Alvin. 1992. Kejutan Masa Depan. Cet lV. Terjemahan oieh
Kusdiyatinah SB. Panta Simpati. Jakarta.
117. Topatimasang, Roem. 1999. Sekolah Itu Candu. Cet.IS. Pustaka Peiajar.
Yogyakarta.
118. Toyib, Ruslan dan Damnuin. 1999. Pemikiran Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer Pendidikan Islam. Pustaka Peiajar. Yogyakarta.
119. Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak Dalam Islam I. Cet. II. Terjemahan
oleh Miri Lc. Jakarta. Pustaka Amani. 1999.
122. Wahyu, Ms.. 1986. Wawasan llmu Sosial Dasar. Usaha Nasional. Surabaya.
123. Widagdho, Djoko. 1993. llmu Budaya Dasar. Cet. IIS. Bumi Aksara. Jakarta.
125. Yuwono, Trisno dan silvita. 1995. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi
Terbaru. Arkala. Surabaya.
126. Zubair, Achmad Charris. 2002. Dimensi Etik dan Asketik llmu Pengetahuan
Manusia Kajian Filsafat llmu. LESFI. Yogyakarta.
127. Zuhairini, dkk.. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Cet.H. Bumi Aksara. Jakarta.
DEPARTEMEN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MALANG
Jl. Gajayana Dinoyo No. 50 Telp. (0341) 551354 Fax (0341) 572533 Malang
Nomor :/E/1/II/
Lampiran : 1 (satu) berkas
Perihal : Bimbingan Skripsi Mahasiswa
Assalamu'alaikum Wr. Wb
Mengharap kesediaan Bapak / Ibu untuk memberikan bimbingan Skripsi kepada
mahasiswa:
Nama : Moh Imam Syafi'i
NIM : 98140713
Prodi/Jurusan : Tarbiyah/Pendidikan Islam
Semester/ Tahun AK. :VIII/2001/2002
Judul :PENDIDIKAN BERBASIS BUDAYA
(Studi atas Pemikiran H.A.R. Tilaar)
Sesuai dengan program studinya, maka dimohon Bapak/ Ibu mengarahkan judul Skripsi ke
bidang Tarbiyah. Adapun kesempurnaan judul, outline dan proposal diserahkan kepada
Bapak/ Ibu pembimbing melalui proses bimbingan dan atau seminar.
a.n Ketua
Ketua Jurursan Tarbiyah
Keterangan
1. Surat pengantar ini dibuat rangkap 3 (tiga), dengan rincian:
- Satu berkas untuk Dosen Pembimbing
- Satu berkasuntuk arsip Jurusan Tarbiyah
- Satu berkas
2. Masing-masing dilengkapi dengan outline dan proposal.
DEPARTEMENAGAMA RI
UMVERSITAS ISLAM INDONESIA-SUDAN
dh. SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MALANG
Jl. Gajayana 50 Telp, (0341) 551354 Malang
Assalamu'alaikum Wr.Wb.
Dengan ini kami mohon dengan hormat agar yang tersebut dibawah ini:
Nama : Moh. Imam Syafi'i
NIM : 98140713
Semester/Jurusan : IX/Tarbiyah
Program studi : Pendidikan Agama Islam
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
An. Rektor
Pembantu Rektor I
DR. H. Muhaimin, MA
NIP. 150 215 375
Malang, 09 April 2003
Kepada Yth,,
Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, ML Sc. Ed
Di-
Jakarta
Dengan hormat,
Pup syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan ni'mat dan
dan yakin bahwa buah dari pemikiran bapak tersebut akan menjadi konstribusi
Berawal dari ketertarikan saya terhadap pemunculan ide-ide baru Bapak Tilaar
yang masih "buta" dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam dunia
nasional di tengah arus globalisasi dewasa ini; merasa sangat tertarik untuk
menelaah dan menyelami (lebih jauh kem'rtau pernikiran pendidikan yang bapak
kembangkan. Dari sini kemudian saya ingin menulis sebuah karya ilmiah yang
Karya ilmiah tersebut juga merupakan tugas akhir (skripsi) saya untuk
Demikian surat ini, apabila ada hal-haf yang kurang berkenan saya mohon
maaf yang sebesar-besarnya. Dan atas segala perhatian serta izin yang bapak
Pemohon,
Hal-Hal Yang Perlu Saya Ketahui dari Bapak Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, Bfl.Sc.Ed,
Nb.
1. Saya memohon dengan amat sangat, agar kiranya bapak berkenan memberikan
seperlunya salinan diktat, makalah, materi ceramah dan atau apa saja dari
2. Berikut ini buku-buku tulisan bapak dan atau tentang pemikiran bapak, yang
Nim : 98140713
Agama : Islam.
Riwayat Pendidikan : Tamat Ml "Manbail Futuh" Tuban, Tahun 1986
Terima kasih atas surat Anda yang baru saya terima. Alangkah bangganya
seorang guru membaca surat seorang murid yang belum dikenalnya namun
berminat untuk mengkritisi pemikiran-pemikiran gurunya. Tidak ada guru yang
berbangga selain dari pemikiran-pemikirannya secara kritis dikembangkan lebih
lanjut oleh para muridnya.
Seorang murid yang baik yaitu seorang yang berhasil rnengembangkan lebih
lanjut pemikiran dari gurunya. Oleh sebab itu saya merasa sangat bangga dan
dihormati apabila Anda berminat untuk mengkaji lebih lanjut pemikiran-pemikiran
saya. Namun demikian pemikiran Anda jangan berhenti di mana tulisan saya
sendiri seakan-akan menemui jalan buntu. Ilmu pengetahuan terus berkembang
dan pemikiran seorang Tilaar hanyalah merupakan titik kecil di samudera yang
luas ilmu pengetahuan yang tidak mengenal akhir. Anda mudah-mudahan
melanjutkan pemikiran-pemikiran saya yang sente tidak lengkap dan memerlukan
pemikiran-pemikiran yang lebih cemerlang seperti Anda.
Kami mengharapkan dan mendoakan agar supaya niat dan kerja keras Anda
akan mencapai hasil demi untuk rnengembangkan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu pendidikan yang dapat diterapkan bagi pengembangan pendidikan Islam di
Indonesia.
Saya sudah melihat koleksi tulisan saya yang Anda miliki yang boleh dikatakan
agak lengkap. Ada satu buku lagi yang perlu sebagai kelengkapan dari trilogi
pemikiran saya mengenai hubungan antara kebudayaan dan pendidikan. Adapun
trilogi yang saya maksud adalah:
Dua buku yang terakhir sudah Anda miliki. Buku yang pertama saya kirimkan
bersama surat ini.
Dengan hormat,
Tiada kata yang terindah dan termegah selain tanpa terukurnya untaian rasa
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa; dimana hanya berkat pertolongan dan
kasih sayang Nya tan, seorang murid yang sedang kebingungan di tengah
gempita samudra ilmu pengetahuan, dapat berkonsultasi di bawah kemilau
cemertang pemikiran sang guru (semoga bapak Tlaar tidak keberatan ketika
kedua bibir nurani saya harus mengatakan bahwa bapak adalah sang guru yang
akan menjadi pelepas dahaga dari ketidak menentuan sistem pendidikan
nasional kita).
Beribu kata maaf terpaksa mengaiun seiring tumpukan tinta hati yang tertuang
melalui kertas ini, atas keteriambatan ucapan terima kasih saya, ha! ini
dikarenakan adanya beberapa kendala teknis yang tidak dapat dihindarkan.
Waiau demikian saya berharap keteriambatan ini tidak akan mengurangi rasa
hormat dan kekaguman saya atas segala kebaikan dan ketulusan hati bapak
dalam menyikapi dahaga intelektuaiita saya.
Sungguh suatu kehormatan yang tiada ternilai manakala saya menerima respon
baik (bahkan terlalu baik) dari bapak: mengenai buku-buku tambahan, teriebih isi
surat dari bapak yang terasa begitu menyejukkan hati. isi surat bapak (tertanggal
09 April 2003) seolah telah menerbangkan jiwa-raga saya kesuatu tempat yang
sebelumnya tak "berani" saya bayangkan, saya seolah mendapatkan suplemen
rasa percaya diri yang sebelumnya tengah tenggelam di dasar pusaran arus
ketidakmenentuan bidup, saya pun sepertinya bangkit (dari ketidakberdayaan,
dari iuka yang tidak saya ketahui karena apa, untuk apa dan mengapa demikian);
melangkah diantara kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tertuang dalam tiap
alfabet dari surat bapak (surat tersebut telah saya terima padatanggal 21 April
2003).
Semoga semua ini bukan sekedar fatamorgana, atau hanya bias senandung
sentimentil dari jiwa yang telah terkalahkan oleh perburuan "nasib baik". Sehingga
ketika lipatan waktu memaksa umat manusia untuk merampungkan sekenario
pembudayaan hidup, nama saya akan tetap tergores di antara daftar nama-nama
murid yang siap dsbimbing oleh bapak Tilaar sampai benar-benar menemukan atau
bahkan mencapai titik Omega.
Kiranya hanya ini sementara yang dapat saya sampaikan dalam mengiringi letupan
rasa terima kasih saya atas segala kebaikan budi bapak.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa berkenan memberikan balasan dengan sebaik-
baik balasan , dan semoga bapak Tilaar sekeluarga diberkati-Nya. Arnin.
Demikian surat ucapan terima kasih ini saya buat, mohon maaf apabila terdapat
kekurangan dan kesalahan; serta terima kasih atas segala perhatian bapak
Penulis Skripsi
Pendidikan Berhasis Budaya
(StudiAtas Pemikiran H.A.R. Tilaar)
BUKTI KONSULTASI
Mengetahui
Dekan Tarbiyah
Nim :98140713
Fakuitas : Tarbiyah
Menyatakan bahwa "skripsi" yang saya buat memenuhi persyaratan kelulusan pada
adalah hasil karya saya sendiri, bukan "duplikasi" dart karya orang lain.
Selanjutnya apabila dikemudian hari ada "claim" dari pihak lain, bukan menjadi
Universitas Islam Indonsia Sudan (UIIS) Malang, tetapi tanggung jawab saya sendiri.
Demikian surat pernyataan ini kami buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari
siapa pun.