Anda di halaman 1dari 3

Menebar Kebaikan, Adalah Satu Investasi

Benarkah setiap kebaikan akan menuai kesuksesan? Ada yang percaya dan ada juga yang tidak.
Tapi sejatinya setiap kebaikan akan berdampak kebaikan. Sebaliknya, keburukan pun akan
berdampak pada keburukan pula. Apa yang kita semai itulah yang akan kita tuai.

Seorang mahasiswa bertubuh kurus kering mendatangi sebuah warung makan yang terletak di
dekat kampusnya, UNPAD di Jl. Dipati Ukur. Kampus sebuah perguruan tinggi negeri favorit di
Bandung. Ibu pemilik warung yang memang biasa melayani para mahasiswa tersebut
menyambutnya dengan ramah.

”Silahkan Dik, mau makan nasi pakai lauk apa?” Tanya sang ibu.
”Kalau sebungkus nasi harganya berapa Bu?” si mahasiswa balik bertanya.

”Lima ratus rupiah, Dik. Lauknya mau apa saja? Silahkan pilih”, jawab si pemilik warung.
”Kalau sepotong daging rendang harganya berapa Bu?” tanya si mahasiswa lagi.

”Dua ribu saja”, jawab si pemilik warung.

Si mahasiswa terlihat mengerenyitkan dahi dan berpikir. ”Kalau sayur lodeh jadi berapa Bu?”
tanyanya lagi.

Begitu seterusnya si mahasiswa menanyakan satu persatu harga masakan yang ada di warung itu.
Setiap kali diberitahu harganya, si mahasiswa terlihat terdiam sejenak dan terus menanyakan
harga masakan lainnya yang ada di warung itu. Sementara sang pemilik warung berusaha
menjawab satu persatu dengan sabar.

Sampai akhirnya si mahasiswa bertanya, ”Kalau kuahnya saja tanpa tanpa daging berapa Bu?”
”Oh, kalau kuahnya gratis, Dik”, jawabnya.

”Oh…., kalau begitu saya beli nasi satu porsi saja tetapi disiram kuah rendang atau kuah soto. Jadi
hanya lima ratus rupiah ya Bu,” kata si mahasiswa sambil mengeluarkan uang lima ratus rupiah.

”Mohon maklum ya Bu, uang kiriman orang tua saya sangat terbatas. Sedangkan saya harus segera
menyelesaikan skripsi saya yang membutuhkan banyak biaya. Jadi terpaksa harus ngirit”, katanya
dengan nada malu-malu.

”Pasti mahasiswa ini berasal dari keluarga miskin yang tinggal di luar kota”, pikir sang ibu pemilik
warung. ”Tetapi dia pasti membutuhkan banyak gizi agar dapat cepat menyelesaikan skripsinya”,
pikirnya lagi.

Sang ibu pemilik warung yang merasa iba lalu menyelipkan sepotong telur yang tidak terlihat di
bagian tengah nasi yang dibungkusnya, sebelum menyiramnya dengan kuah rendang.

Keesokan harinya, si mahasiswa kembali ke warung tersebut. Dia hanya berkata dengan malu-malu,
”Beli nasi seperti yang kemarin, ya Bu. Disiram kuah rendang atau kuah soto…”. Lalu dia membayar
lima ratus rupiah saja dan tidak berkata apa-apa lagi.
Begitu seterusnya. Setiap hari si mahasiswa pendiam memesan makanan yang sama dan si pemilik
warung selalu tak pernah lupa menyelipkan sebutir telur, terkadang sepotong daging rendang ke
dalam nasi yang dibungkusnya. Sang pemilik warung melakukan ini dengan hati yang ikhlas ingin
membantu si mahasiswa miskin tersebut.

Setelah beberapa minggu berlalu, si mahasiswa itu tiba-tiba menghilang. Dia tidak pernah
menampakkan diri lagi di warung itu. ”Mungkin dia sudah lulus menjadi sarjana dan kembali ke
kota asalnya”, pikir sang pemilik warung. Sang pemilik warung pun melupakannya.

Belasan tahun kemudian…

Sang pemilik warung benar-benar sedang kalut. ”Hari ini adalah hari terakhir warung kita buka.
Besok warung kita akan digusur karena ada pembangunan monumen xxxxxxxxx”, katanya kepada
anak-anaknya sambil berlinang air mata. Anak-anaknya yang masih kuliah serta yang masih duduk
di bangku SMA duduk diam terpaku merenungi nasib mereka.

”Ya, Tuhan…! Dengan apa aku harus membiayai sekolah anak-anakku setelah warung ini digusur?”,
jeritnya dalam hati.

Semakin sesak perasaan hatinya, kala teringat uang tabungannya yang telah ludes untuk
membiayai pengobatan rumah sakit anaknya yang bungsu. Tidak ada lagi uang untuk biaya
membuka warung di tempat lain.

Tiba-tiba saja, sebuah mobil berhenti tepat di depan warungnya. Seorang pria berdasi yang tidak
dikenalnya menghampiri dan berkata, ”Bu, besok warung ini akan digusur bukan? Apakah Ibu
sudah memutuskan akan pindah ke mana?” tanyanya lagi.

”Belum, Pak…”, jawab sang pemilik warung dengan terbata-bata.

”Bagus! Kalau begitu, mulai besok Ibu bisa berjualan di kantin kami di gedung perkantoran xxxxxx”,
katanya menyebutkan sebuah gedung perkantoran yang cukup megah di pusat kota Bandung.

”Tapi Pak, kami tidak mampu membayar biaya sewanya. Apalagi di gedung itu, pasti mahal sekali
biaya sewanya”, kata sang pemilik warung.

”Ibu tenang saja … karena di sana Ibu tidak usah membayar sewa sama sekali. Tempat untuk Ibu
berjualan sudah disediakan oleh Direktur perusahaan kami. Ibu boleh memakainya untuk berjualan
makanan sampai kapan pun Ibu mau.”

”Haaahh…! Siapa direktur itu? Saya tidak punya kenalan direktur…”, kata sang pemilik warung
dengan sangat terkejut.

”Saya sendiri tidak begitu mengenalnya… karena saya staf baru di perusahaan kami”, kata si pria
tersebut. ”Tetapi Pak Direktur titip pesan, katanya dahulu sewaktu kuliah dia sangat menyukai
telur dan daging rendang masakan Ibu. Mulai besok dia ingin makan masakan itu lagi di
kantornya…”.
Sahabat
Dari sepenggal kisah di atas, kita bisa belajar satu hal bahwa kebaikan yang dijalankan dengan hati
penuh ikhlas adalah investasi. Semua Investasi pasti akan menghasilkan. Investasi kebaikan saat ini
akan menghasilkan kebaikan pula di kemudian hari, walau pun kita belum tahu wujud kebaikan
yang akan terjadi nanti.

Demikian halnya dengan keburukan, kalau kita melakukannya maka akan menjadi tabungan buruk
kita. Dan kalau kita tidak cepat-cepat bertaubat atau meminta maaf kepada orang yang
bersangkutan, tabungan itu semakin hari akan semakin bunga berbunga. Kalau tabungan positif
kembali kepada kita itu berkah bagi kita. Sebaliknya kalau tabungan negatif yang datang bagaimana
akibatnya?

Sahabat

Mungkin masih ingat dengan cerita seorang penulis buku Jamil Azzaini yang mempunya tabungan
negatif kepada ibunya dalam waktu yang lama, sehingga istrinya masuk rumah sakit dan
penyakitnya tidak juga diketahui. Sampai-sampai isterinya harus disuntik 3 kali sehari, dengan
biaya sekali suntik Rp 12 juta. Baru setelah dia berdoa dia teringat bahwa dia pernah mencuri uang
Rp 125 waktu kecil untuk membayar SPP dan jajan.

Ibunya yang tidak mengetahui siapa pencurinya marah besar dan bersumpah tidak akan
memaafkan pencuri itu sebelum pencuri minta maaf. Jamil menelepon ibunya dan berkata bahwa
dialah yang mencuri uang itu. Jamil meminta maaf, karena akibat dia mencuri tadi isterinya sakit
tak kunjung sembuh. Ibunya terkaget-kaget dan dia memaafkan Jamil saat itu juga. Herannya,
setelah dia meminta maaf kepada ibunya, dokter berkata bahwa penyakit isteri Jamil sudah
diketahui dan obatnya sangat murah.

Mendengar kisah tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan betapa kebaikan akan
melipatgandakan kebaikan, dan keburukan pun akan mendatangkan keburukan yang lebih
banyak lagi. Yang bisa mengambil pelajaran dari cerita di atas akan sangat hati-hati ketika
berbuat sesuatu. Pertanyaan yang harus sering diulang-ulang kepada diri kita sendiri adalah:
apakah yang akan dilakukan adalah kebaikan atau keburukan.

Sahabat

Mengapa masih banyak orang yang berbuat jahat, buruk, negatif, jelek, maupun berbuat maksiat,
dll? Bahkan setelah ditimpa musibah pun masih saja berbuat negatif. Inilah bedanya orang-orang
yang berpikir dan orang-orang yang tidak berpikir. Orang yang punya kepekaan nurani dan orang-
orang yang nuraninya tertutup. Akhirnya yang berbicara adalah hukum universal, yang menabur
kebaikan akan menuai kebajikan, yang menuai kejelekan akan menuai keburukan.
Semuanya harus dipertanggungjawabkan baik di masa kini maupun di masa mendatang.
Dan sungguh, di akhirat nanti, tidak ada satu pun catatan amalan yang tertinggal, walaupun
sebesar bujih sawi.

Anda mungkin juga menyukai