Anda di halaman 1dari 4

Asal asli Penduduk Nusantara

Berdasarkan fosil-fosil yang telah ditemukan di wilayah Indonesia, dapat dipastikan bahwa sejak
2.000.000 (dua juta) tahun yang lalu wilayah ini telah dihuni. Penghuninya adalah manusia-
manusia purba dengan kebudayaan batu tua atau mesolithicum seperti Meganthropus Palaeo
Javanicus, Pithecanthropus Erectus, Homo Soloensis dan sebagainya. Manusia-manusia purba ini
sesungguhnya lebih mirip dengan manusia-manusia yang kini dikenal sebagai penduduk asli
Australia.

Dengan demikian, yang berhak mengklaim dirinya sebagai “penduduk asli Indonesia” adalah
kaum Negroid, atau Austroloid, yang berkulit hitam. Manusia Indonesia purba membawa
kebudayaan batu tua atau palaeolitikum yang masih hidup secara nomaden atau berpindah
dengan mata pencaharian berburu binatang dan meramu. Wilayah Nusantara kemudian
kedatangan bangsa Melanesoide yang berasal dari teluk Tonkin, tepatnya dari Bacson-Hoabinh.
Dari artefak-artefak yang ditemukan di tempat asalnya menunjukan bahwa induk bangsa ini
berkulit hitam berbadan kecil dan termasuk type Veddoid-Austrolaid.

Bangsa Melanesoide dengan kebudayaan mesolitikum yang sudah mulai hidup menetap dalam
kelompok, sudah mengenal api, meramu dan berburu binatang.Teknologi pertanian juga sudah
mereka genggam sekalipun mereka belum dapat menjaga agar satu bidang tanah dapat ditanami
berkali-kali. Cara bertani mereka masih dengan sistem perladangan. Dengan demikian, mereka
harus berpindah ketika lahan yang lama tidak bisa ditanami lagi atau karena habisnya makanan
ternak. Gaya hidup ini dinamakan semi nomaden. Dalam setiap perpindahan manusia beserta
kebudayaan yang datang ke Nusantara, selalu dilakukan oleh bangsa yang tingkat peradabannya
lebih tinggi dari bangsa yang datang sebelumnya.

Dari semua gelombang pendatang dapat dilihat bahwa mereka adalah bangsa-bangsa yang mulai
bahkan telah menetap. Jika kehidupannya mereka masih berpindah, maka perpindahan bukanlah
sesuatu hal yang aneh. Namun dalam kehidupan yang telah menetap, pilihan untuk
meninggalkan daerah asal bukan tanpa alasan yang kuat. Ketika kehidupan mulai menetap maka
yang pertama dan yang paling dibutuhkan adalah tanah sebagai media untuk tetap hidup. Mereka
sangat membutuhkan tanah yang luas karena teknologi pertaniannya masih rendah. Mereka
belum sanggup menjaga, apalagi meningkatkan, kesuburan tanah. Mereka membutuhkan sistem
pertanian yang ekstensif, dan perpindahan untuk penguasaan lahan-lahan baru setiap jangka
waktu tertentu. Sebelum didatangi bangsa-bangsa pengembara dari luar, tanah di Nusantara
belum menjadi kepemilikan siapapun.

Hal ini berbeda dengan Manusia Indonesia Purba yang tidak memerlukan tanah sebagai modal
untuk hidup karena mereka berpindah-pindah. Ketika sampai di satu tempat yang dilakukannya
adalah mengumpulkan makanan (food gathering). Biasanya tempat yang dituju adalah lembah-
lembah atau wilayah yang terdapat aliran sungai untuk mendapatkan ikan atau kerang (terbukti
dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di wilayah Nusantara di lembah-lembah sungai)
walaupun tidak tertutup kemungkinan ada pula yang memilih mencari di pedalaman. Ketika
bangsa Melanesoide datang, mereka mulai menetap walaupun semi nomaden. Mereka akan
pindah jika sudah tidak mendapatkan lagi makanan. Maka pilihan atas tempat-tempat yang akan
ditempatinya adalah tanah yang banyak menghasilkan. Wilayah aliran sungai pula yang akan
menjadi targetannya. Padahal, wilayah ini adalah juga wilayah di mana para penduduk asli
mengumpulkan makanannya.

Ini mengakibatkan benturan yang tidak terelakan antara kebudayaan palaeolithikum dengan
kebudayaan yang mesolithikum. Alat-alat sederhana seperti kapak genggam atau choppers, alat-
alat tulang dan tanduk rusa berhadapan dengan kapak genggam yang lebih halus atau febble,
kapak pendek dan sebagainya. Pertemuan ini dapat mengakibatkan beberapa hal yaitu:
1. Penduduk asli ditumpas, atau
2. Mereka diharuskan masuk dan bersembunyi di pedalaman untuk menyelamatkan diri, atau
3. Mereka yang ditaklukkan dijadikan hamba, dan kaum perempuannya dijadikan harem-harem
untuk melayani para pemenang perang.

Sekitar tahun 2000 SM, bangsa Melanesoide yang akhirnya menetap di Nusantara kedatangan
pula bangsa yang kebudayaannya lebih tinggi yang berasal dari rumpun Melayu Austronesia
yakni bangsa Melayu Tua atau Proto Melayu, suatu ras mongoloid yang berasal dari daerah
Yunan, dekat lembah sungai Yang Tze, Cina Selatan. Alasan-alasan yang me-nyebabkan bangsa
Melayu tua meninggalkan asalnya yaitu :
1. Adanya desakan suku-suku liar yang datangnya dari Asia Tengah;
2. Adanya peperangan antar suku;
3. Adanya bencana alam berupa banjir akibat sering meluapnya sungai She Kiang dan sungai-
sungai lainnya di daerah tersebut.

Suku-suku dari Asia tengah yakni Bangsa Aria yang mendesak Bangsa Melayu Tua sudah pasti
memiliki tingkat kebudayaan yang lebih tinggi lagi. Bangsa Melayu Tua yang terdesak
meninggalkan Yunan dan yang tetap tinggal bercampur dengan Bangsa Aria dan Mongol. Dari
artefak yang ditemukan yang berasal dari bangsa ini yaitu kapak lonjong dan kapak
persegi.Kapak lonjong dan kapak persegi ini adalah bagian dari kebudayaan Neolitikum. Ini
berarti orang-orang Melayu Tua, telah mengenal budaya bercocok tanam yang cukup maju dan
bukan mustahil mereka sudah beternak. Dengan demikian mereka telah dapat menghasilkan
makanan sendiri (food producing). Kemampuan ini membuat mereka dapat menetap secara lebih
permanen.

Pola menetap ini mengharuskan mereka untuk mengembangkan berbagai jenis kebudayaan awal.
Mereka juga mulai membangun satu sistem politik dan pengorganisasian untuk mengatur
pemukiman mereka. Pengorganisasian ini membuat mereka sanggup belajar membuat peralatan
rumah tangga dari tanah dan berbagai peralatan lain dengan lebih baik. Mereka mengenal adanya
sistim kepercayaan untuk membantu menjelaskan gejala alam yang ada sehubungan dengan
pertanian mereka. Sama seperti yang terjadi terdahulu, pertemuan dua peradaban yang berbeda
kepentingan ini, mau tidak mau, melahirkan peperangan-peperangan untuk memperebutkan
tanah. Dengan pengorganisiran yang lebih rapi dan peralatan yang lebih bermutu, kaum
pendatang dapat mengalahkan penduduk asli. Kebudayaan yang mereka usung kemudian
menggantikan kebudayaan penduduk asli. Sisa-sisa pengusung kebudayaan Batu Tua kemudian
menyingkir ke pedalaman. Beberapa suku bangsa merupakan keturunan dari para pelarian ini,
seperti suku Sakai, Kubu, dan Anak Dalam.
Arus pendatang tidak hanya datang dalam sekali saja. Pihak-pihak yang kalah dalam perebutan
tanah di daerah asalnya akan mencari tanah-tanah di wilayah lain. Demikian juga yang menimpa
bangsa Melayu Tua yang sudah mengenal bercocok tanam, beternak dan menetap. Kembali lagi,
daerah subur dengan aliran sungai atau mata air menjadi incaran.

Wilayah yang sudah mulai ditempati oleh bangsa melanesoide harus diperjuangkan untuk
dipertahankan dari bangsa Melayu Tua.Tuntutan budaya yang sudah menetap mengharuskan
mereka mencari tanah baru. Dengan modal kebudayaan yang lebih tinggi, bangsa Melanesoide
harus menerima kenyataan bahwa telah ada bangsa penguasa baru yang menempati wilayah
mereka.

Namun kedatangan bangsa Melayu Tua ini juga memungkinkan terjadinya percampuran darah
antara bangsa ini dengan bangsa Melanesia yang telah terlebih dahulu datang di Nusantara.
Bangsa Melanesia yang tidak bercampur terdesak dan mengasingkan diri ke pedalaman. Sisa
keturunannya sekarang dapat didapati orang-orang Sakai di Siak, Suku Kubu serta Anak Dalam
di Jambi dan Sumatera Selatan, orang Semang di pedalaman Malaya, orang Aeta di pedalaman
Philipina, orang-orang Papua Melanesoide di Irian dan pulau-pulau Melanesia.

Pada gelombang migrasi kedua dari Yunan di tahun 2000-300 SM, datanglah orang-orang
Melayu Tua yang telah bercampur dengan bangsa Aria di daratan Yunan. Mereka disebut orang
Melayu Muda atau Deutero Melayu dengan kebudayaan perunggunya. Kebudayaan ini lebih
tinggi lagi dari kebudayaan Batu Muda yang telah ada karena telah mengenal logam sebagai alat
perkakas hidup dan alat produksi. Kedatangan bangsa Melayu Muda mengakibatkan bangsa
Melayu Tua yang tadinya hidup di sekitar aliran sungai dan pantai terdesak pula ke pedalaman
karena kebudayaannya kalah maju dari bangsa Melayu Muda dan kebudayaannya tidak banyak
berubah. Sisa-sisa keturunan bangsa melayu tua banyak ditemukan di daerah pedalaman seperti
suku Dayak, Toraja, orang Nias, batak pedalaman, Orang Kubu dan orang Sasak. Dengan
menguasai tanah, Bangsa Melayu Muda dapat berkembang dengan pesat kebudayaannya bahkan
menjadi penyumbang terbesar untuk cikal-bakal bangsa Indonesia sekarang.

Dari seluruh pendatang yang pindah dalam kurun waktu ribuan tahun tersebut tidak seluruhnya
menetap di Nusantara. Ada juga yang kembali bergerak ke arah Cina Selatan dan kemudian
kembali ke kampung halaman dengan membawa kebudayaan setempat atau kembali ke
Nusantara. Dalam kedatangan-kedatangan tersebut penduduk yang lebih tua menyerap bahasa
dan adat para imigran. Jarang terjadi pemusnahan dan pengusiran bahkan tidak ada penggantian
penduduk secara besar-besaran. Percampuran-percampuran inilah yang menjadi cikal bakal
Nusantara yang telah menjadi titik pertemuan dari ras kuning (mongoloid) yang bermigrasi ke
selatan dari Yunan, ras hitam yang dimiliki oleh bangsa Melanesoide dan Ceylon dan ras putih
anak benua India.

Sehingga tidak ada penduduk atau ras asli wilayah Nusantara kecuali para manusia purba yang
ditemukan fosil-fosilnya. Kalaupun memang ada penduduk asli Indonesia maka ia terdesak terus
oleh pendatang-pendatang boyongan sehingga secara historis-etnologis terpaksa punah atau
dipunahkan dalam arti sesungguhnya atau kehilangan ciri-ciri kebudayaannya dan terlebur di
dalam masyarakat baru. Semua adalah bangsa-bangsa pendatang.

Anda mungkin juga menyukai