Anda di halaman 1dari 51

KM Case Toyota

Perubahan Dari Masyarakat Industri Menuju Masyarakat Pengetahuan


Senjata rahasia Toyota yang paling terkenal adalah sistem manufakturnya yang briliann dan tidak
orthodoks. Sistem ini diperkenalkan pada pertengahan abad 20 yang dikenal dengan Toyota
Production System (TPS). Sistem ini memungkinkan Toyota dapat merespons permintaan pasar
yang fluktuatif dan mampu memproduksi model dengan cepat serta keunggulan dalam hal
operasional logistik, mudah dipantau dan menjaganya tetap rendah.
Seiring berkembangnya waktu, terjadi perubahan dalam manajemen yang cukup langka yakni
perubahan dari masyarakat industri menjadi masyarakat pengetahuan. Ketika masih berada pada
tahap masyarakat industri, manajemen memfokuskan pada jalur perakitan, mesin, robot, dan
otomasi. Sedangkan masyarakat pengetahuan, yang saat ini dipakai, manajemen fokus pada
kecerdasan yang mendalam. Toyota telah membentuk satu model manajemen baru yang sesuai
dengan era pengetahuan. Cara yang ditempuh yakni dengan melihat industri otomotif sebagai
industri yang dimotori pengetahuan dimana pertumbuhan bukan saja tergantung pada efisiensi
operasional melainkan juga pada kemampuan orang dan organisasinya. Model manajemen
pengetahuan milik Toyota melakukan pendekatan yang lebih manusiawi bagi produk-produk
industri karena lebih menempatkan manusia, bukan mesin, pada titik pusat segalanya.
Perusahaan melihat para pekerja pabriknya sebagai pekerja pengetahuan yang mengumpulkan
kebijaksanaan pengalaman dari jalur produksi. Perusahaan memahami bahwa menumbuhkan ide
dari manapun seperti dari pabrik, kantor dan sebagainya mempunyai arti penting dalam industri
yang dimotori pengetahuan.
Sistem Syaraf Toyota – Versi Manusia World Wide Web
Toyota bekerja dengan asumsi bahwa setiap orang mengetahui segalanya karena budaya
komunikasinya adalah terbuka dan personal. Informasi mengalir bebas ke atas dan ke bawah
hierarki serta menyeberangi fungsi dan level senioritas, meluas hingga ke luar organisasi, yaitu
pemasok, customer, dan dealer. Sesuai dengan tradisional khas timur, hubungan personal berarti
sangat penting, sehingga dalam dunia Toyota yang sudah berada di era digital sebenarnya masih
bersifat analog. Untuk itu dibutuhkan pengembangan keahlian mendengarkan seluruh opini
dalam sebuah lingkungan pertukaran yang bebas dan terbuka, serta dalam interaksi empat mata
dan hasilnya yaitu akumulasi hubungan dalam satu jaringan yang analog, yang oleh VP eksekutif
Yoshimi Inaba dikenal dengan nama ‘Sistem Saraf’.
Seperti sistem saraf pusat di tubuh manusia, sistem saraf Toyota menyebarkan informasi dengan
cepat dan simultan ke seluruh bagian organisasi baik organisasi dalam maupun yang beroperasi
secara luas di luar negeri. Toyota memandang orang-orangnya sebagai sel sarafnya, sebagai unit
structural dan fungsional yang menghasilkan dan menyebarkan sinyal atau denyut elektrokimia
untuk bertindak. Orang-orang berperan sebagai neutrontransmiter dari jaringan komunikasinya.
Toyota telah menggunakan sistem saraf ini untuk menghindari masalah akibat komunikasi yang
buruk yang lazim terjadi di organisasi dengan birokrasi yang besar. Dengan memastikan setiap
orang bisa mengetahui segalanya, beragam bagian di Toyota dapat bergerak bersama sebagai
satu kesatuan. Dan inilah yang menjadi salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki Toyota.
Sebagai sebuah sistem, Toyota tidak pernah lengkap karena Toyota terus tumbuh dan
memproduksi sel saraf baru yang menyebarkan denyut berbeda dalam lingkungan bisnis yang
terus berubah. Ada lima karakterisik dalam sistem saraf tersebut:
1. Penyebaran pengetahuan secara terbuka dan meluas
2. Kebebasan untuk menyuarakan opini berlawanan
3. Interaksi empat mata yang kerap terjadi
4. Mengungkap pengetahuan implisit dalam Toyota Way
5. Mekanisme pendukung organisasi yang formal dan informal
Penyebaran Pengetahuan Secara Terbuka dan Meluas
Toyota selalu memberikan nilai tinggi bagi komunikasi terbuka antar karvawan dalam
berkolaborasi. Untuk memfasilitasi keja tim, para karyawan didorong untuk terlibat dalam
Yokoten yang berarti bentangkan atau buka sisi tepi. Slogan “Mari kita yokoten” kerap terdengar
di Toyota. Slogan ini bertujuan untuk mendorong setiap orang berbagi pengetahuan dan keahlian
pribadi secara terbuka dengan orang lain. Dengan slogan ini pula maka tercipta suatu komunikasi
viral yang menghasilkan penyebaran pengetahuan ke semua arah yang lebih efisien. Organisasi
harus bersifat terbuka dan relatif berbentuk datar agar sistem saraf dapat berfungsi dengan baik.
Toyota telah menciptakan lingkungan tersebut, terbukda dan datar, dengan menempatkan semua
orang bekerja sama dalam satu ruang besar tanpa penyekat. Konsep runag besar disebut dengan
nama Obeya. Individu dari kelompok fungsional yang berlainan dalam tim persiapan produksi,
seperti teknologi, pengadaan, logistik, produksi dan sebagainya ditempatkan dalam satu ruang
besar. Kemudian, untuk memperkuat komunikasi dan kerja tim, maka dipasanglah informasi
tentang proyek di dinding obeya yang berfungsi sebagai “ruang informasi” agar semua orang
dapat melihatnya. Proses ini disebut dengan mieruka atau visualisasi. Mieruka lebih efektif
dibanding komunikasi terkomputerisasi dalam menjaga agar karyawan tetap mengetahui dan
mengikuti perkembangan proyek.
Kebebasan Untuk Menyuarakan Opini Berlawanan
Dalam Organisasi, sebaiknya juga terbuka atas kritik dan kontradiksi agar sistem saraf berfungsi
semestinya. Hal ini mengandung maksud bahwa setiap orang bebas menyuarakan opini
berlawanan ke manajemen puncak dan kantor pusat. Hal ini membuat satu organisasi di mana
tidak seorang pun menyembunyikan kekhawatiran atau persoalan dan dimana diskusi konstruktif
berlangsung dengan rutin.
Setiap individu di Toyota diharapkan akan bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar.
Otoritas, tanggung jawab, dan akuntabilitas tergantung pada orang itu, bukan pada jabatan atau
tahun senioritasnya. Inilah sebah warisan budaya dari praktik jidoka yang terkenal di Toyota
Production System. Sebagai contoh, seorang karyawan memiliki kekuasaan untuk menarik tali
andon, menghentikan jalur perakitan bila melihat sesuatu yang tidak sesuai standar. Seseorang
karyawan yang memilih tali itu mendpat kewenangan dari pemahaman mendalam atas standar
kualitas. Dan dasar intinya, jika setiap orang berbagi pengetahuan ini, anda dapat mengandalkan
banyak orang seperti mereka untuk menarik tali andon berdasarkan alasan dan pengalaman yang
tepat.
Interaksi Empat Mata Yang Kerap Terjadi
Walaupun tidak ada hukuman jika operasional lokal mengabaikan saran kantor pusat atau jika
bawahan tidak menaati perintah atasan mereka, penolakan untuk mendengar pihak lain adalah
pelanggaran yang serius. Sistem saraf Toyota hanya berfungsi jika informasi dari sumber
tersedia bagi setiap orang di organisasi, sehingga disini dibutuhkan interaksi empat mata di
lapangan. Menurut Yukitoshi Funo, presiden Toyota Motor Sales, USA, hannya orang-orang
yang dilapangan yang memiliki informasi yang sesuai dengan fakta lapangan. Orang-orang di
atas mungkin visioner, tetapi mereka yang di bawah yang memiliki informasi aktual tentang apa
yang dapat atau apa yang tidak dapat dilakukan.
Para manajer di Toyota jarang mencapai posisi senior tanpa mendapat dan menyerap kehalian
mendengarkan sepenuhnya atas apa yang ingin dikatakan karyawan, serta terus bertanya dan
menyelidiki untuk memperoleh cara yang lebih baik. Para manajer di Toyota juga jarang
mencapai posisi senior jikalau mereka adalah tipe-tipe pengkhotbah. Berkat kebijakan ini, hanya
sedikit persaingan antarpribadi di Toyota untuk jenis yang eksis dimana orang-orang berebut
posisi untuk mendapat pekerjaan yang mereka inginkan.
Membuat Pengetahuan Laten Menjadi Eksplisit: The Toyota Way 2001
Elemen aktif berikutnya adalah praktik mengubah pengetahuan empiris yang mendalam dan
tertutup (pengetahuan laten) menjadi bentuk eksplisit guna memperluas penyebaran di organisasi
dengan cara menulis atau melisankan pengetahuan yang telah mereka wujudkan (pengetahuan
mendalam berdasarkan pengalaman). Toyota, dibawah kepimipinan Fujio Cho, memulai inisiatif
untuk menuliskan kebijaksanaan para pendiri yang telah diwariskan secara lisan ke beberapa
generasi. Semua perkataan dan anekdot dikumpulkan dan dievaluasi untuk membentuk satu set
nilai, keyakinan, prinsip, wawasan, dan instuisi bagi perusahaan. Dalam prosesnya terdapat 2
nilai inti sebagai pilar Toyota yakni perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan menghargai orang.
Lalu penjabarannya dituliskan dalam sebuah dokumentasi dengan judul The Toyota Way 2001
atau lebih dikenal dengan nama the green book. Pertumbuhan dan keragaman operasional luar
negeri telah memicu Fujio Cho untuk merefleksikan kebijaksanaan sesepuh perusahaan dan
memikirkan cara untuk menyebarkan pengetahuan mereka di lingkungan baru guna membantu
mereka melaksanakan operasional tersebut sehingga The Toyota Way pun akan berkembang
seiring perjalanan waktu sehingga The Toyota Way akan direvisi bila perlu di masa depan.
Publikasi The Green Book juga diikuti oleh The Toyota Way ins Sales dan Marketing yang
dikenal sebagi Silver Book. Silver Book merupakan dokumentasi filosofi para pendiri
perusahaan yang terkait khusus dengan operasional penjualan dan pemasaran. Silver Book ini
lalu dikirim ke semua distributor pada Oktober 2002.
Menuangkan kebijaksanaan para pendiri ke atas kertas adalah langkah pertama dalam proses
konversi pengetahuan. Langkah selanjutnya (yang lebih penting) adalah bagaimana menyebarkan
hal itu ke penjuru organisasi dan diterapkan dalam cara yang dapat diterima sebagai pengetahuan
berwujud yang bisa dipahami secara implisit.
Mekanisme Pendukung Formal dan Informal
Mekanisme pendukukng formal dan informal telah dibentuk di dalam suatu organisasi dengan
tujuan untuk ikut menopang fungsi efektifitas sistem saraf. Ada 2 lembaga yang berperan yaitu
pertama Toyota Institute yang berguna membentuk pemimpin dan manajer madya global yang
ditanamkan nilai Toyota way, dan kedua Global Knowledge Center yang bertugas untuk
menyebarkan The Toyota Way in Sales and Marketing. Kedua lembaga tersebut merupakan
mekanisme formal pendukung sistem saraf yang memnungkinkan setiap orang mengetahui
segalanya. Selain mekanisme formal, juga didukung dengan informal dengan mendorong para
karyawan untuk bergabung ke beragam kelompok yang terorganisir misalnya berdasarkan fungsi
khusus, tahun angkatan, latar belakang pendidikan, tempat lahir, lever manajerial, jenis tugas di
pabrik, lokasi pabrik, keahlian, olahraga dan hobby, dan induk organisasi lainnya. Adalah lazim
seorang karyawan Toyota di Jepang menjadi anggota kelompok informal ini. Seoran pensiunan
pekerja pabrik telah mengingat bagaimana ia berhasil membangun jaringan vertical, horizontal,
bahkan diagonal melalui kelompok-kelompok informal seperti itu. Dengan melibatkan kedalam
kelompok informal maka dapat terjalin suatu persahabatan. Orang-orang jug dapat belajar
bagaimana cara berkomunikasi dan bisa mendapat berbagai macam informasi dengan ambil
bagian di kelompok ini. Fungsi lainnya semisal jaringan vertical memangkas hierarki organisasi,
jaringan horizonzal memperluas kontak anda dengan kelompk yang melakukan pekerjaan yang
sama atau berbedai lokasi, dan sebagainya.
Rizki Priatma Nugraha – 090810298M – MM Unair 30 AP
Sumber: Extreme Toyota – 2008
Posted in KM Case Study | No Comments »
Jurnal OC
Abstraksi
Pada organisasi Knowledge Management sangat dipengaruhi oleh budaya yang ada pada
organisasi tersebut. Hal ini sering terlupakan kebanyakan organisasi berfokus pada
emterpreuneurship karena dalam membangun ini kita sering dapat melihat efek langsung dari
penerapannya. Tetapi sering kita melupakan jangka panjang keberhasilan suatu organisasi harus
dibangun bagaimana budaya organisasi dapat berjalan dan mempengaruhi para pegawai di
organisasi dan dapat memberikan profit jangka panjang kepada organisasi. Dalam membangung
budaya organisasi menurut John.P. Kotter dibutuhkan figure leadership yang dapat mendorong
atau malah memaksa karyawan dalam menerapkan Knowledge Management. Leader dapat
memberikan arahan dan bimbingan dengan cara mengetahui terlebih dahulu bagaimana budaya
yang ada dan dinginkan seluruh karyawan di organisasi. Sehingga dalam pendekatannya dapat
dilakukan dengan menyesuaikan budaya yang diinginkan oleh organisasi.
Definisi Budaya Organisasi
Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263)[1], budaya
organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu
yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi. Budaya organisasi
disini ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan skill dan
tempat bekerja, diharapkan dengan pengembangan SDM ini organisasi dapat mencapai tujuan
dan sasarannya. Hal-hal yan terkait dengan SDM antara lain tentang membuat perencanaan
SDM, mendesain dan mendefinisikan pekerjaan yang tepat untuk masing-masing SDM,
melakukan pelatihan dalam menunjang skill, memberikan penghargaan pada SDM yang
berprestasi, menciptakan suasana yang nyaman dalam lingkungan organisasi.
Menurut Cameron dan Quinn, budaya organisasi adalah adanya suatu perekat sosial yang ada
dalam organisasi, mengandung nilai, kebiasaan, kepercayaan yang mencirikan karakteristik
organisasi dan seluruh anggota organisasi. Budaya organisasi menjadi titik tekan dalam
melakukan perubahan organisasi. Alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran pada
budaya orgniasai adalah OCAI. Framework sebagai model yang dapat digunakan untuk
memahami budaya organisasi. Strategi secara sistematik untuk melakukan perubahan pada
budaya organisasi.
Fungsi dan Dinamika Budaya Organisasi
Robbins (2001) menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi[2]:
1. Budaya mempunyai peran pembeda pada setiap organisasi
2. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.
3. Budaya organisasi mempermudah timbulnya pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang
lebih luas dari pada kepentingan diri sendiri.
4. Budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Dari segi sosial, berfungsi
mempersatukan organisasi dengan memberikan standarstandar yang tepat hal-hal yang
harus dikatakan dan dilakukan oleh anggota organisasi, sehingga akan membentuk sikap
dan perilaku para anggota organisasi.
Prinsip dasar analisa system
Dalam menganalisa system untuk membuat suatu model didalam organisasi atau perusahaan,
Alter (2001) menggunakan framework untuk membuat suatu model yang merepresentasikan
system yang ada[3].
Framework atau kerangka adalah sekumpulan idea atau asumsi yang digunakan untuk mengatur
suatu proses hasil berpikir terhadap suatu hal atau kondisi tertentu. Framework digunakan untuk
membuat suatu model. Sedangkan model itu sendiri adalah gambaran sederhana dari suatu hal
atau situasi tertentu. Model sangat berguna dalam menganalisa suatu kondisi atau situasi tertentu
karena model dapat menggambarkan tiruan realita tanpa harus berhadapan dengan setiap
detilnya. Framework juga digunakan untuk mendefinisikan pendekatan utama untuk desain
organisasi, membantu dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kondisi organisasi secara luas,
tingkat pengembangan life cycle, kualitas organisasi, keefektifan organisasi, aturan
kepemimpinan dan aturan dalam mengelola SDM.
Framework nilai kompetensi
Instrument penilaian yang dapat digunakan untuk mengetahui budaya suatu organisasi adalah
model Competing Value Framework. Framework ini digunakan untuk mengetahui hal-hal yang
dominan dalam organisasi, mengetahui keefektivan jalannya organisasi serta factor-faktor
jalannya organisasi seta factor-faktor yang mendukung, dan indicator keefektivannya.
Budaya organisasi dapat dibagi menjadi dua dimensi yaitu:
1. Dimensi pertama
Dimensi pertama membedakan criteria, efektivitas yang mengutamakan fleksibilitas,
kebebasan dalam memilih, dan dinamika, dari criteria yang mengutamakan pada
stabilitas, perintah, dan pengendalian.
1. Dimensi kedua
Dimensi kedua membedakan criteria efektivitas, yang mengutamakan orientasi interna,
integrasi, kesatuan, dari criteria yang mengutamakan orientasi eksternal, diferensiasi, dan
persaingan.
Kedua dimensi ini dapat dibagi kedalam empat kuadran yang menggambarkan indicator efektiv
suatu organisasi. schein’s mengatakan metode ini digunakan untuk menganalisis nilai-nilai
sentral organisasi. The competing values framework (CVF) (Quinn & Rohrbaugh, 1981, 1983;
Quinn & Kimberly, 1984; Cameron & Quinn, 1999). Quinn and Rohrbaugh (1981, 1983) and
Cameron and Quinn (1999) menegaskan CVF adalah salah satu strategy untuk memeriksa
karakteristik budaya organisasi yang dapat mempengaruhi efektivitas organisasi dan kesuksesan.
CVF mengusulkan bahwa budaya organisasi mencerminkan empat jenis budaya: (a) clan; (b)
hierarchy; (c) adhocracy; dan (d) market.
Gambar 1. framework nilai kompetensi
Model organisasi menurut Cameron and Quinn (1999) pada gambar dibagi menjadi 4 model
yaitu[4]:
1. Herarchy Culture (Budaya terstruktur)
Budaya hirarki menurut weeber’s memiliki struktur organisasi yang jelas, aturan standar dan
prosedur, control yang ketat, dan juga mendefinisikan tanggung jawab. Pada model ini focus
pada hasil internal kemudian hasil eksternal dan nilai kestabilan dan kontrrol yang sangat
fleksibel dan keleluasaan. Dalam ha perintah dan control dilakukan secara tradisional, dengan
kerja yang dihasilkan akan bagus jika tujuan yang hendak dicapai efisien dan lingkungan
organisasi stabil dan simple. Budaya hirarki maka teknologi akan diperankan sebagai alat yang
mampu membantu penyelesaian masalah yang terkait dengan prosedur dan aturan.
1. Market Culture (Budaya menguasai pasar)
Budaya menguasai pasar berfokus pada trasaksi dengan lingkungan luar organisasi, bukan di
internal manajemen. Tujuan organisasi adalah untuk mendapatkan keuntungan melalui
persaingan pasar. Konsep ini berasal dari Ouchi’s (1979,1984) penelitian mengenai system Z
pengusaan pasar. Pada budaya ini melihat lingkungan eksternal sebagai ancaman, dan pencarian
untuk mengidentifikasikan ancaman dan peluang untuk mencari keuntungan. Budaya market
memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk memenangkan pasar.
1. Clan Culture (Budaya Kekeluargaan)
Budaya Kekeluargaan, budaya ini kebanyakan berisikan nilai-nilai bersama dan tujuan bersama,
suasana kebersamaan dan saling membantu, penekanan pada perberdayaan dan keterlibatan
karyawan. Wilkins dan Ouchi (1983, p.472-474) mendefinisikan bahwa budaya clan dapat
dikembangkan dibawah kondisi tertentu seperti sejarah yang relative panjang dan keanggotaan
stabil, tidak adanya alternative institusi, tidak intensnya interaksi antara sesame anggota, dll.
Tujuan dari budaya ini untuk mengelola lingkungan organisasi dengan teamwork, saling
berpartisipasi dan adanya persetujuan. Budaya clan memiliki orientasi pada kondisi internal,
teknologi akan berperan sebagai alat yang mampu menyelesaikan masalah internal aktivitas
organisasi dan dikembangkan pada kemampuan SDM yang ada.
1. Adhocracy Culture(Budaya Khusus)
Budaya khusus, merupakan sebuah budaya di lembaga secara sementara, yang berakhir bila
tugas-tugas organisasi berakhir, dan ada lagi ketika budaya yang baru datang. Budaya adhocracy
sering ditemukan dalam industry. Focus pada hasil eksternal dan nilai yang dijalankan bersifat
fleksibel dan kebijakan digunakan untuk menjaga keseimbangan dan control, nilai kuncinya
adalah kreativitas dan pengambilan keputusan. Budaya khusus maka teknologi informasi
merupakan alat yang dapat digunakan untuk menciptakan inovasi produk dan layanan.
Budaya organisasi mempunyai empat jenis yaitu, Clan, Adhocracy, Hierarchy, Market dapat
dibedakan dengan menggunakan enam dimensi Budaya Organisasi yaitu:
1. Karakteristik Dominan
2. Kepemimpinan Organisasi
3. Manajemen Karyawan
4. Kerekatan / Hubungan didalam Organisasi
5. Penekanan-penekanan strategis
6. Kriteria Keberhasilan
tabel 1. Table budaya organisasi
Jenis Budaya Karakteristik Kepemimpinan Manajemen Kerekatan/Hubungan Penekana
Organisasi Organisasi Karyawan didalam Organisasi Strategis
Clan Organisasi Kepemimpinan di Gaya manajemen di Kerekatan/hubungan Organisas
merupakan tempat dalam organisasi dalam organisasi didalam organisasi terhadap p
yang menyenangkanpada umumnya dicirikan dengan didasarkan pada loyalitasSDM dala
karena orang dapat menunjukkan kerjasama tim, dan saling percaya kepercaya
berbagi banyak hal pengajaran dan kesepakatan sehingga komitmen keterbuka
mengenai diri membimbing bersama, dan terhadap organisasi partisipas
mereka partisipasi anggota tinggi

Adhocracy Organisasi Kepemimpinan di Gaya manajemen di Kerekatan/hubungan Organisas


merupakan tempat dalam organisasi dalam organisasi didalam organisasi untuk me
yang sangat dinamis pada umumnya dicirikan dengan didasarkan pada sumber da
dimana orang mau menunjukkan jiwa pengambilan resiko komitmen terhadap yang baru
melakukan sesuatu yang berani oleh individu, inovasi dan tantangan
yang menantang mengambil resiko inovasi, kebebasan, pengembangan baru dan m
dan mengambil dan mampu mencari dan keunikan peluang
resiko hal-hal baru
(inovasi)
Market Organisasi sangat Kepemimpinan di Gaya manajemen di Kerekatan/hubungan Organisas
berorientasi pada dalam organisasi dalam organisasi didalam organisasi terhadap t
penyelesaian pada umumnya dicirikan dengan didasarkan pada tindakan k
pekerjaan menunjukkan fokus kompetisi yang penekanan terhadap berorienta
yang bukan sangat ketat, tuntutan pencapaian hasil
mengada-ada, yang tinggi, dan
agresif, berorientasi pencapaian hasil
pada hasil
Hierarchy Organisasi adalah Kepemimpinan di Gaya manajemen di Kerekatan/hubungan Organisas
tempat yang sangat dalam organisasi dalam organisasi didalan organisasi efisiensi,
terkontrol dan pada umumnya dicirikan dengan didasarkan pada aturan- operasi ya
terstruktur. menunjukkan kepatuhan dan aturan dan kebijakan- lancer
Prosedur-prosedur koordinasi, kepercayaan kebijakan formal.
formal umumnya organisasi, atau Menjaga organisasi agar
mengatur apa yang efisiensi yang berjalan dengan baik
dilakukan oleh berjalan dengan adalah penting
karyawan bagus
Budaya yang Adaptif
Menurut John. P. Kotter hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan
beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superior
sepanjang periode waktu yang panjang. Budaya yang tidak dapat adaptif adalah budaya hirarki
seperti pada militer dan organisasi kepemerintahan. Orang-orangnya reaktif, menolak resiko dan
tidak sangat kreatif. Informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh organisasi. Tekanan
control yang luas mengurangi motivasi dan kegairahan.
Ralph Kilmann menggambarkan budaya tersebut dengan cara seperti ini:”sebuah budaya yang
adaptif meminta pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif
terhadap kehidupan organisasi juga kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung
usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan
solusinya. Ada rasa percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama: para anggota percaya, tanpa
rasa bimbang, bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah baru yang timbul dan semangat
dapat disebarkan keseluruh karyawan, satu semangat yang untuk melakukan penyelesaian apa
saja masalah yang timbul demi keberhasilan organisasi. Para anggota itu reseptif terhadap
perubahan dan inovasi.
Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong
entrepreuneurship, yang dapat membantu sebuah perusahaan beradapatasi dalam lingkungan
yang berubah-ubah. Kotter sependapat dengan Rosabeth Kanter tetapi dia hanya menambahkan
penekanannya bukan pada kewiraswastaan (entrepreuneur) tapi pada leadership dalam
menciptakan perubahan.
Budaya Organisasi dan Adopsi TIK
Budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi[4]. Teknologi sebagai sebuah alat dapat dimanfaatkan dengan peran tertentu
tergantung pada orientasi pengguna. Berdasarkan konsep competing values framework yang
membedakan budaya organsasi menjadi budaya klan, hirarki , market dan adhocracy maka
konsep pemanfaatan teknologi akan berbeda pada masing masing budaya organisasi. Orientasi
organisasi akan mempengaruhi arah pemanfaatan teknologi tersebut.
Dalam pendekatan competing values framework dapat dirumuskan bahwa organisasi dapat
secara efektif menerapkan e-government jika memiliki kecenderungan untuk berorientasi pada
pihak luar, stabil, dan efisien. Berorientasi pada pihak luar berarti memusatkan segala aktivitas
pada pelayanan publik sebagai konsumen, meletakan pemanfaatan teknologi informasi sebagai
alat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik. Kriteria keberhasilan bukanlah pada sebarapa
banyak ragam teknologi untuk pelayanan publik tetapi pada seberapa puas publik yang
memanfaatkan pelayanan digital.
Organizational culture Assessment Instrument (OCAI)
Berdasarkan CVF, Cameron dan Quinn (1999, 2006) mengembangkan skala, sebagai instrument
untuk mengukur budaya organisasi, terdiri dari 24 item. Pada saat ini, Kwan dan Walker (2004)
mengatakan, CVF menjadi model yang paling banyak digunakan untuk mengukur pada
kuantitatif research pada organization culture. Dimensi dari budaya organisasi dengan
menggunakan OCAI ada enam yaitu karakteristik yang dominan, pimpinan organisasi,
managemen pegawai, kerekatan atau kedekatan dalam organisasi, penekanan atau perhatian
terhadap strategim kreteria sukses. Masing-masing dimensi mempunyai 4 pertanyaan. Tujuan
dari instrument penilaian Budaya Organisasi adalah untuk menilai enam dimensi penting dalam
budaya organisasi (www.ocai-online.com). Skala yang digunakan untuk mengukur budaya
organisasi adalah constant sum data dimana biasanya tepat ketika frekwensi mudah untuk
diperkirakan dalam memberikan beberapa alternative atau pilihan (Huber, bradlow). Constant
sum data didapat dari menanyakan pada responden untuk memberikan nilai 100 untuk jawaban
yang dipilih sehingga menggambarkan derajat pilihan, kepentingan atau penilaian lain.
Pertanyaan-pertanyaan OCAI secara global terdapat pada table 2.
Studi Kasus
Penulis melakukan wawancara pada Kepala PINMAS (Pusat Informasi Keagamaan dan
Kehumasan) Kementerian Agama untuk mengetahui budaya organisasi yang ada dan budaya
seperti apa yang diinginkan. Sehingga didapatkan nilai budaya seperti table 2 menggunakan
kuesioner OCAI:
Tabel 2. kuesioner OCAI
Pertanyaan 1 Karakteristik Dominan Keadaan saat ini Keadaan yg
diharapkan 3-
5 tahun
mendatang
A Organisasi merupakan tempat yang 30 25
sangat personal/pribadi, seperti suatu
keluarga besar, dimana orang-orang di
dalamnya saling berbagi satu sama lain
(bersifat kekeluargaan)
B Organisasi merupakan tempat yang 15 25
sangat dinamis dan entrepreneurial.
Orang-orang didalamnya berani
mengambil resiko
C Organisasi sangat berorientasi pada 15 30
hasil. Focus utamanya adalah
memperoleh/ mendapatkan perkerjaan.
Orang-orang didalamnya sangat
kompetitif dan berorientasi pada
prestasi.
D Organisasi sangat terkendali dan 40 20
terstruktur/ berpengaruh pada apa yang
harus dilakukan.
Total 100 100
Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)
Pertanyaan 2 Kepemimpinan Organisasi Keadaan saat ini Keadaan yg
diharapkan 3-
5 tahun
mendatang
A Kepemimpinan organisasi pada 30 25
umumnya cenderung untuk memberikan/
menunjukkan suatu contoh, kemudahan
atau pengasuhan.
B Kepemimpinan organisasi pada 15 20
umumnya cenderung untuk memberikan.
Menunjukkan entrepreneurship, inovasi
atau pengambilan resiko
C Kepemimpinan organisasi pada 25 30
umumnya cenderung untuk
memberikan/menunjukkan
entrepreunership, inovasi atau
pengambilan resiko
D Kepemimpinan organisasi pada 30 25
umumnya cenderung untuk memberikan.
Menunjukkan koordinasi, organizing
dan efisiensi.
Total 100 100
Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)
Pertanyaan 3 Manajemen Kepegawaian Keadaan saat ini Keadaan yg
diharapkan 3-
5 tahun
mendatang
A Tipe manajemen dalam organisasi 30 20
memiliki karakteristik: kerjasama tim
(teamwork), kesepakatan
(consensus)dan partisipasi.
B Tipe manajemen dalam organisasi 30 20
memiliki karakteristik: pengambilan
resiko individual, inovasi, kebebasan
dan kunikan
C Tipe Manajemen dalam organisasi 20 30
memiliki karakteristik: daya saing yang
sulit, tuntutan yang tinggi dan
pencapaian prestasi
D Tipe manajemen dalam organisasi 20 30
memiliki karakteristik: jaminan
pekerjaan, kecocokan, kemungkinan
meramalkan (predictablitiy) dan
keseimbangan dalam hubungan
kerjasama
TOTAL 100 100
Tabel 2 Kuesioner OCAI (lanjutan)
Pertanyaan 4 Kerekatan/kedekatan Organisasi Keadaan saat ini Keadaan yg
diharapkan 3-
5 tahun
mendatang
A Kedekatan yang mengikat organisasi 15 30
adalah loyalty dan saling percaya.
B Kedekatan yang mengikat organisasi 15 30
adalah komitmen untuk inovasi dan
pengembangan
C Kedekatan yang mengikat organisasi 40 20
adalah komitmen untuk inovasi dan
pengembangan
D Kedekatan yang mengikat organisasi 30 20
adalah penekanan pada prestasi dan
pencapaian tujuan. Tema yang utama
adalah sifat agresif dan menang.
TOTAL 100 100
Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)
Pertanyaan 5 Penekanan/perhatian strategis Keadaan saat ini Keadaan yg
diharapkan 3-
5 tahun
mendatang
A Perhatian/penekanan organisasi pada 25 25
pengembangan manusia, kepercayaan
yang tinggi, keterbukaan dan partisipasi.
B Perhatian/penekanan organisasi pada 20 20
mendapatkan sumber daya baru dan
menciptakan tantangan baru. Mencoba
sesuatu yang baru dan prospek terhadap
peluang dinilai.
C Perhatian/penekanan organisasi pada 30 25
tindakan kompetitif dan prestasi.
Meluaskan target dan mendapatkan
pangsa pasar adalah hal yang dominan
D Perhatian/penekanan organisasi pada 25 30
keabadian dan keseimbangan. Efisiensi,
kendali dan kelangsungan operasi
adalah hal yang penting
TOTAL 100 100
Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)
Pertanyaan 6 Kriteria Sukses Keadaan saat ini Keadaan yg
diharapkan 3-
5 tahun
mendatang
A Organisasi mendefinisikan kesuksesan 30 25
atas dasar pengembangan sumber daya
manusia, kerjasama tim (teamwork),
komitmen pegawai dan focus pada
manusia
B Organisasi mendefinisikan kesuksesan 30 25
atas dasar memiliki produk yang unik
atau terbaru. Sebagai innovator dan
pemimpin produk (product leader)
C organisasi mendefinisikan kesuksesan 20 25
atas dasar mendapatkan/memenangkan
pangsa pasar dan melebihi kompetisi.
Menjadi pemimpin pasar merupakan
kunci utama.
D Organisasi mendefinisikan kesuksesan 20 25
atas dasar efisiensi. Penyampaian hasil
yang dapat dipercaya, penjadwalan yang
lancar dan biaya produksi yang rendah
adalah hal yang kritis.
TOTAL 100 100
Hasil yang Diperoleh
Model budaya organisasi PINMAS Kementerian Agama:
1. Budaya saat ini
Dominasi karateristik dominannya adalah hirarki dengan point 27.5 yaitu Organisasi adalah
tempat yang sangat terkontrol dan terstruktur. Karakteristik organisasi dengan prosedur-
prosedur formal umumnya mengatur apa yang dilakukan oleh karyawan. Kemenag merupakan
satu-satunya kementerian yang tidak di otonomi dengan UU 22 thn 99, sehingga pola regulasi
yang ada dimulai dari atas yaitu pusat sampai tingkat paling bawah yaitu KUA, kemenag yang
satkernya paling banyak dibanding kementerian yang lain membuat informasi yang ada dipusat
tidak cepat sampai ketingkat paling bawah dengan hambatan-hambatan yang berbagai macam
sehingga dengan pola seperti ini sering kali menjadi kendala tersendiri.
Kepemimpinan didalam organisasi pada umumnya menunjukkan kordinasi, organisasi, atau
efisiensi yang berjalan dengan bagus. Karena dalam organisasi pemerintah semua tupoksi (tugas
pokok dan fungsi) telah diatur dan disertakan undang-undang yang mendukung tupoksi tersebut
sehingga pendelegasian perintah dan kerjasama antar sector dapat terlihat dengan jelas.
Gaya manajemen di dalam organisasi dicirikan dengan kepatuhan dan kepercayaan, sehingga
apa yang disampaikan atasan harus dilakukan oleh bawahan secara keseluruhan dan keyakinan
tentang perintah yang diperintahkan.
Kerekatan/hubungan didalan organisasi didasarkan pada aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan
formal. Menjaga organisasi agar berjalan dengan baik adalah penting. Segala aturan dan tupoksi
dari setiap jabatan telah tersusun dengan jelas kewenangan dan perkerjaannya dalam hokum
yang berlaku di Negara.
Organisasi menekankan efisiensi, pengendalian dan operasi yang berjalan lancer. Organisasi
menekankan pada efisiensi karena organisasi pemerintah tugas pokoknya adalah sebagai
pelayanan masyarakat sehingga efisiensi merupakan cita-cita organisasi pemerintah untuk
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.
Organisasi menentukan keberhasilan atas dasar efisiensi dalam hal pemeberian pelayanan yang
ramah, cepat dan memuaskan. Karena ini merupakan landasanan didirikannya kementerian
karena mereka merupakan pelayan masyarakat yang harus mengetahui pelayanan kepada
masyarakat dengan sebaik baiknya.
Budaya seperti ini juga menimbulkan rasa keakraban yang tinggi dan kecintaan pada organisasi
ini akibat struktur hirarki sehingga semua merasa harus ikut terlibat dalam menyukseskan visi
misi besar ditingkat pusat dapat dilihat dari tingginya juga hasil dari klan yaitu 26.67
Budaya Klan Adhocracy Market Hirarki
Rata-rata 26.67 20.83 25 27.5
1. Budaya yang diharapkan
Budaya Klan Adhocracy Market Hirarki
Rata-rata 25 23.4 26.7 25
Dalam table terlihat bahwa budaya yang paling menonjol adalah market, Organisasi sangat
berorientasi pada penyelesaian pekerjaan. Karena pada saat ini karakterik organisasi sangat
terkontrol dan terstruktur. Sehingga para karyawan harus melakukan tahapan-tahapan yang baku
dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga mereka tidak diperbolehkan untuk improve sesuai
dengan pengetahuan dan kemampuan masing-masing dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.
Kepemimpinan di dalam organisasi pada umumnya menunjukkan fokus yang bukan mengada-
ada, agresif, berorientasi pada hasil. Kepemimpinan seperti ini yang diharapkan karena pada pola
yang sebelumnya kepemimpinan berfokus pada koordinasi dan efisiensi sehingga kepemimpinan
seakan-akan kurang terfokus pada orientasi hasil dan merupakan keputusan hasil bersama,
karena keputusan dengan pola keputusan bersama ini merupakan keputusan hasil kompromi dan
pemimpin kurang dapat bergerak lebih cepat dan leluasa dalam menyelesaikan masalah dan
berkerja.
Kerekatan/hubungan didalam organisasi didasarkan pada penekanan terhadap pencapaian hasil.
Pada sebelumnya aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan formal sehingga aturan-aturan tersebut
mengganggu dalam mereka untuk berkerja, karena yang diinginkan adalah pencapaian hasil
sehingga mereka bebas berkreasi dalam mencapai tujuannya.
Organisasi menentukan keberhasilan di pasar dan melalui kompetensi. Organisasi tidak harus
selalu berpatokan pada efisiensi karena dalam menghadapi persaingan pasar kemungkinan kita
untuk mengeluarkan biaya lebih besar sangat dimungkinkan dengan berbagai macam tujuan
misalnya untuk membeli suatu produk yang didalamnya ada intangible asset.
Perubahan budaya organisasi menjadi modal pokok dalam melakukan perubahan secara
mendasar. Perubahan budaya organisasi terkait dengan perubahan dari rasa atau keinginan, pola
pikir hingga pada tingkah laku.
Perubahan rasa atau keinginan yaitu adanya kemauan untuk melakukan perubahan menuju arah
yang lebih baik. Pola pikir yaitu membuat gagasan berupa ide-ide yang dapat dilakukan untuk
merubah suatu keadaan menjadi lebih baik. Tingkah laku yaitu suatu proses kegiatan dalam
bentuk fisik atau dapat dilihat dengan kasat mata, dalam rangka menuju visi dan misi yang di
telah ditetapkan.
Dominasi secara keseluruhan model budaya organisasi kondisi saat ini adalah hirarki dan kondisi
yang diharapkan adalah budaya market. Dikihat dari poinnya ada penurunan dari kondisi saat ini
yaitu hirarki ke kondisi yang diharapkan yaitu market.
Kesimpulan
Pada kasus kementerian agama kita dapat mengetahui budaya yang berkembang saat ini yaitu
hirarki ini merupakan kementerian agama merupakan organisasi pemerintah yang secara undang-
undang telah dituliskan apa tupoksinya dan bagi karyawan didalamnya kedudukan dan fungsi
setiap struktur telah ditetapkan oleh undang-udang dan peraturan menteri sehingga budaya yang
terjadi merupakan budaya hirarki karena dalam struktur kepemerintahan apa yang diperintahkan
dari pusat harus dapat dikerjakan oleh struktur dibawahnya. Dan pendekatan-pendekatan yang
budaya yang digunakan merupakan pendekatan hirarki
Budaya yang diinginkan oleh karyawan PINMAS kemenag merupakan budaya market, budaya
yang selalu berorientasi pada hasil akhir. Sehingga dalam penyelesaian tugasnya tidak perlu
terlalu diketahui bagaimana bisa tercapai dan dan tata caranya sehingga dalam melakukannya
tergantung keahlian serta kreativitas dalam organisasi. Karena semua beroririentasi hasil akhir.
Fungsi cara-cara pengukuran seperti ini kita dapat mengetaui budaya kerja yang diinginkan
sehingga leader dapat mengambil peran dalam menciptakan sebuah culture atau budaya.
Sehingga dalam penyelesaian tugas-tugas dan kondisi suasan kerja pemimpin dapat memberikan
dengan pendekatan budaya yang diinginkan oleh seluruh karyawan disana.
Daftar Pustaka
1.ISSN: 1410 – 2420 Chairumam Armia, Pengaruh Budaya terhadap Efektifitas Organisasi:
Dimensi Budaya … 114 JAAI VOLUME 6 NO. 1, JUNI 2002.
2.Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education
International
3.Alter, Steven (2002), “ Information System, Foundation of EBusiness”, 4th ed, Prentice Hall.
4.Cameron Kim S (2004), “A Process for Changing Organizational Culture”, Michael Driver
(ED.) The Handbook of Organizational Development.
Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »
Jurnal R&D
Abstract
Beberapa perusahaan memiliki cara masing-masing untuk konsentrasi pada core business mereka
dalam menghadapi kompetitor dan tekanan yang datang dari pasar, serta kompleksitas dari
proses, produk dan lingkungan sekitar. Untuk menangani masalah ini, perusahaan-perusahaan
membentuk sebuah kelompok kerja atau divisi khusus yang mengatasnamakan dirinya kelompok
research and development (Research and development) dan membuat peraturan yang jelas bagi
para karyawannya. Pandangan holistik dan rencana jangka panjang diperlukan untuk mencapai
tujuan yang ambisius seperti pengolahan ilmu pengetahuan yang beragam dan menyebar di
dalam lingkungan perusahaan. Berbagai metode dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan
dan informasi bagi karyawan, salah satunya dengan metode Knowledge Management, yang
mengikutsertakan teknologi informasi di dalam pengolahan pengetahuan. Agar knowledge
management ini tercipta, dibutuhkannya karyawan-karyawan kualitas tinggi sebagai sumber
pengetahuan dan komunikasi yang lancar dalam lingkungan kerja untuk mempercepat
penyebaran informasi tersebut.
Keyword : Pembelajaran dan pelatihan, knowledge management, komunitas
1. PENDAHULUAN
Dalam dunia bisnis saat ini, teknologi informasi memainkan peranan penting dalam manajemen
pengetahuan (knowledge management) sebagai supporting research and development yang
bertujuan untuk menciptakan, menyimpan, memelihara dan mendiseminasikan pengetahuan.
Knowledge management pada mulanya diterapkan dalam dunia bisnis yang dapat membantu
komunikasi dari top manajemen hingga ke bagian operasional untuk memperbaiki proses kerja,
dan seiring dengan kecepatan perolehan informasi. Hal ini berlaku untuk semua jenis industri
dan sektor pasar, baik itu manufaktur, ritel, kesehatan, kedirgantaraan, pendidikan, energi, dan
financial.
Pengembangan suatu organisasi tidak lepas dari dukungan proses research and development
yang dilakukan suatu organisasi. Berbicara tentang research and development, maka
pembahasan ini akan sangat erat kaitannya dengan pembelajaran dan pelatihan (learning and
training) yang memiliki tujuan untuk pengembangan karyawan. Mengapa demikian? Karena
karyawan merupakan pelaksana dari proses bisnis yang ada. Pengembangan terhadap potensi
karyawan penting dilakukan agar setiap individu siap menerima setiap perubahan atau inovasi-
inovasi baru dalam proses bisnis. Disetiap aspek penting yang terkandung dalam knowledge
management akan ada banyak ditemukan learning and training. Ini membuktikan bahwa
research and development merupakan bagian penting dari kesuksesan implementasi knowledge
management pada suatu organisasi.
Pada kenyataannya masih banyak potensi sumber daya pengetahuan yang menjadi aset-aset
intangible perusahaan yang belum dapat dioptimalkan dan diexplorasi dengan baik. Budaya
saling berbagi pengetahuan dalam lingkungan internal belum terbentuk, sehingga kompetensi
masing-masing individu cenderung tidak berkembang dan statis. Dengan tuntutan dinamis dari
tempat kerja, seorang individu yang terampil dalam teknik management project dalam hal
memiliki kemampuan unggul untuk mengatur dan mengadakan pendekatan sistematis pada
karya-karyanya. Nilai ini penting juga memberikan keuntungan kompetitif yang nyata bagi
individu dalam hal pengembangan karir dan meningkatkan potensi diri dalam mengelola area
kerja lain.
2. IDENTIFIKASI MASALAH
Pada jurnal kali ini, saya akan coba membahas knowledge management dilihat dari kaca mata
inovasi-inovasi yang dapat tercipta dari hasil penelitian dan pengembangan terhadap ilmu
pengetahuan. Adapun masalah-masalah yang akan diangkat dalam jurnal adalah :
1. Pemanfaatan knowledge management dalam mendukung Research and development
2. Fungsi Research and development sebagai bagian pendukung yang penting dalam core
bisnis didalam perusahaan.
3. Bagaimana informasi dan komunikasi antara Research and development dengan bagian lain
dapat efektif dan efisien
3. RESEARCH AND DEVELOPMENT
Penelitian dan pengembangan (research and development) adalah sebuah studi tentang ide-ide,
metode, produk atau jasa yang disesuaikan dengan tujuan meningkatkan apa yang ditawarkan
oleh organisasi. Research and development sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk tetap
bertahan dan bersaing dalam perubahan industri. Para investor akan melihat sebuah perusahaan
yang sehat dengan menilai research and development dalam mengevaluasi kinerja masa depan
terutama ketika mengevaluasi sebuah investasi jangka panjang.
Ada 5 tahap dalam sebuah proses research and development (Spuches & Coufal, 2000) :
Gambar 3.1 :
Cycle Research and Development Process
1. Define
Mendefinisikan masalah-masalah yang timbul saat proses operasional dan perlu dibahas sejelas
mungkin. Apa saja faktor penyebab dan dampak yang timbul akibat faktor tersebut.
Mendefinisikan juga segala kemungkinan yang berhubungan dengan masalah tersebut untuk
mencari solusi yang tepat.
2. Analyze
Menganalisis kebutuhan untuk menghasilkan cara-cara alternatif dan memilih alternatif tersebut
setelah ditemukan beberapa masalah yang timbul saat tahap define dilakukan. Membedakan
antara ide-ide baru yang memiliki potensi, dan ide-ide baru yang tidak layak. Menganalisa
kebutuhan pasar, customer serta mencari cara untuk meningkatkan produktifitas perusahaan
3. Design / Develop
Desain / Mengembangkan campuran solusi yang paling layak dan optimal. Tim menyusun dan
membentuk sebuah produk, jasa, atau service baru yang telah dirancang dan dikembangkan
sehingga menjadi sebuah inovasi baru yang sesuai dengan kebutuhan
4. Trial
Melakukan implementasi inovasi dan uji lapangan, menerapkan dan menyebarluaskan informasi
mengenai hasil dari penelitian. Trial dilakukan untuk menguji apakah produk, jasa atau service
ini dapat diterima oleh pihak internal dan eksternal.
5. Evaluate / Revise
Mengevaluasi dan merevisi produk berdasarkan informasi dan hasil. Bisa dilakukan dengan cara
quesioner, survey, atau dengan interview beberapa customer untuk mendapatkan feedback
terhadap produk yang diluncurkan.
Dari gambar diatas menunjukkan adanya aktifitas continue atau berkelanjutan yang terus-
menerus melakukan improvement yang berkelanjutan dengan cara menghasilkan inovasi-inovasi
baru sebagai solusi dari setiap masalah serta memperpanjang umur suatu produk untuk bertahan
di pasar.
3.1 MARKET RESEARCH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK
Kemudian dengan pertumbuhan pesat perusahaan menyebabkan kegiatan R & D kurang
diperlukan dan pemecahan masalah yang terjadi didalam perusahaan diserahkan oleh pihak
eksternal atau vendor. Departemen R & D kemudian bertanggung jawab untuk pengembangan
mesin-mesin baru dan departemen konstruksi harus memproses pesanan pelanggan, yang berarti
bahwa di departemen ini kebutuhan khusus dari pelanggan tentang mesin harus
diimplementasikan dalam spesifikasi teknis umum.
4. KNOWLEDGE
Pengetahuan (knowledge) adalah aset yang sebenarnya dari sebuah organisasi yang berorientasi
pada pemasaran, dan berintegrasi di seluruh departemen, serta menekankan pada peraturan
(Carneiro, 2001).
David Gurteen (1998) dalam jurnalnya mencoba mendeskripsikan knowledge seperti sebuah kue.
Beliau mengatakan bahwa knowledge adalah berbicara tentang know-how and know-why.
Sebuah metafora non bisnis yang sederhana dari membuat sebuah kue. Daftar bahan yang tertulis
disebuah resep merupakan informasi dan juru masak yang berpengalaman memiliki tacit
knowledg. Resep merupakan sebuah pengetahuan eksplisit (tertulis). Seorang juru masak dengan
pengalaman dan keahliannya-tacit knowledge, bahkan tidak akan bisa membuat kue yang sangat
baik tanpa resep kue tersebut. Dengan kata lain, seseorang walaupun dengan pengetahuan yang
relevan, pengalaman, dan keahlian – pengetahuan di kepala mereka – yang tidak mudah
diturunkan – tacit – tetap membutuhkan eksplisit knowledge untuk menghasilkan best practise.
Nonaka&Takeuchi (1995), mengatakan bahwa “perusahaan yang sukses adalah yang konsisten
menciptakan pengetahuan baru, membaginya keseluruh organisasi, dan semua orang tahu akan
teknologi baru dan hasilnya”.
Menurut Davenport dan Prusak (1998) knowledge is a fluid mix of framed experience, values,
contextual information, and expert insight that provides a framework forevaluating and
incorporating new experiences and information. It originates and is applied in the mindsof
knowers. In organizations, it often becomes embedded not only in documents or repositories but
alsoin organizational routines, processes, practices and norms).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah sebuah kumpulan
dari pengalaman, nilai, kontekstual informasi, pendapat para pakar yang menciptakan
pengetahuan baru dan membaginya keseluruh bagian departemen dan semua orang tahu akan
inovasi baru yang tercipta dan hasilnya.
4.1 KNOWLEDGE MANAGEMENT
Pemanfaatan KM secara efektif dapat menjadi kemungkinan yang kuat dari :
1. Pendokumentasian pengalaman customer atau complain customer serta solusi terbaik
yang dapat dilakukan agar mencegah kemungkinan terjadi kembali.
2. Kecepatan dalam hasil bisnis dengan menghilangkan penciptaan kembali
3. Mengubah pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi dapat digunakan
kembali (reuse) – sejauh mungkin
4. Memberdayakan setiap karyawan untuk meningkatkan pengetahuan kolektif seluruh
organisasi dalam melayani pelanggan
5. RESEARCH AND MANAGEMENT MENGGUNAKAN METODE KNOWLEDGE
MANAGEMENT
6. KESIMPULAN
Simak
Baca secara fonetik
1. Sumber daya manusia sebagai penentu berkembangnya budaya research and development
sehingga implementasi knowledge management dapat dilakukan dengan cepat seiring
dengan kebutuhan informasi dan pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Carneiro, A. (2001). “The role of intelligent resources in knowledge management”. Journal of
Knowledge Management, Vol 5, No.4, pp 358-367
Davenport, Thomas H & Prusak, L (1998) .Working Knowledge : How Organizations Manage
What They Know. Boston: Harvard Business School Press
Nonaka, Ikujiro and Takeuchi, Hirotaka (1995). “The Knowledge- Creating Company: How
Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation “. Oxford: Oxford University Press
Spuches, C.M. & Coufal, J. E. (2000). “Focusing on process to improve learning: A case study
of instructional research and development.”Journal of Innovative Higher Education”, Vol. 24,
No. 3
Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »
Jurnal ICM
Abstract
Banyak perusahaan pada akhir-akhir ini memiliki permasalahan yang disebabkan oleh kurangnya
upaya dari perusahaan untuk dapat memaksimalkan dan mengelola intellectual capital dari
perusahaan tersebut. Intellectual capital jika dimanfaatkan sebagaimana mestinya harusnya dapat
memberikan keuntungan kepada perusahaan dalam bentuk peningkatan intangible asset dan
competitive advantage. Oleh karena itu pengelolaan intellectual capital menjadi suatu tantangan
tersendiri bagi perusahaan jika ingin memaksimalkan kemampuan yang dimiliki oleh para
karyawan di dalamnya.
Keyword : intellectual capital, intangible asset, competitive advantage
1. PENDAHULUAN
Permasalahan dari sebagian besar organisasi dan perusahaan pada saat ini adalah bagaimana cara
memaksimalkan intellectual capital yang sudah dimiliki oleh organisasi tersebut. Setiap
organisasi pasti memiliki intellectual asset di dalamnya, tetapi permasalahannya adalah
bagaimana cara organisasi tersebut untuk dapat mengubah intellectual asset yang umumnya
berupa tacit knowledge tersebut menjadi sebuah capital yang dapat meningkatkan competitive
advantage dari organisasi tersebut.
Human capital merupakan sumber terbesar dari intellectual capital. Hal ini dikarenakan human
capital memiliki knowledge, skill, pendidikan, pengalaman dan hal-hal lain yang dapat
ditransformasikan menjadi sebuah intellectual capital yang berguna untuk memajukan organisasi
tempat orang tersebut bekerja. Oleh karena itu sebuah organisasi dapat dikatan sebagai
organisasi yang baik adalah apabila organisasi tersebut dapat menyerap seluruh intellectual
capital dari human capital yang ada di dalamnya dan memanfaatkannya untuk memajukan dan
mencapai tujuan organisasi.
2. INTELLECTUAL CAPITAL
Intellectual capital dapat diartikan sebagai pengetahuan kolektif baik yang didokumentasikan
maupun tidak dari setiap individu yang ada di dalam sebuah organisasi maupun di dalam sebuah
komunitas atau masyarakat. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk menghasilkan kekayaan,
melipatgandakan output dari aset fisik, mendapatkan keunggulan bersaing (competitive
advantage) dan untuk meningkatkan nilai dari jenis-jenis modal yang lainnya. Saat ini
intellectual capital telah mulai diklasifikasikan sebagai biaya modal yang sebenarnya
dikarenakan :
1. Investasi atau penggantian yang dilakukan terhadap manusia sebanding nilainya dengan
investasi yang dilakukan terhadap mesin dan aset fisik lainnya.
2. Pengeluaran yang dikeluarkan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan (demi untuk
mempertahankan daya simpan dari aset intelektual) ekuivalen nilainya dengan nilai dari
biaya penyusutan aset fisik.
Intellectual capital mencakup :
1. 1. Customer capital
2. 2. Human capital
3. 3. Intellectual property
4. 4. Structural capital
Pada saat ini apabila kita ingin menamakan masa lalu adalah “ekonomi lama” dan masa sekarang
hingga masa depan adalah “ekonomi baru” maka ekonomi lama menunjuk kepada materi
sedangkan ekonomi baru menunjuk kepada pengetahuan dan kreatifitas. Dalam banyak kasus,
lebih mudah untuk menghitung digit angka dibandingkan dengan mengukur pengetahuan dan
kreatifitas. Namun demikian Edvinsson (direktur intellectual capital pertama di dunia di
Skandia) berusaha untuk dapat menjawab pertanyaan “How is it possible to quantify this
intangible difference in valuation?” dalam pekerjaannya. Hasilnya adalah sebuah intellectual
capital navigator (The Skandia Navigator) yang termasuk di dalamnya adalah variabel finansial
dan variabel non-finansial yang digunakan untuk mengukur performa. Intellectual capital
navigator tersebut menyatukan dan memvisualisasikan 5 fokus area dari intellectual capital
menurut Edvinsson. Model ini juga mengindikasikan tentang bagaimana area-area yang berbeda
tersebut berinteraksi antara satu dengan yang lainnya seiring dengan jalannya waktu. Intellectual
capital navigator tersebut dapat digunakan oleh para penggunanya baik untuk menjadi tool untuk
guide ataupun untuk organiser.
Gambar 1. Skandia Navigator (Edvinsson & Malone, 1997)
Sebagaimana yang terlihat pada gambar diatas, ada 5 area berbeda yang dijadikan fokus dalam
model ini, yaitu :
1. 1. Financial focus
2. 2. Customer focus
3. 3. Process focus
4. 4. Human focus
5. 5. Renewal & development focus
Pada model diatas financial focus merepresentasikan masa lalu, termasuk di dalamnya adalah
informasi yang diperoleh dari neraca keuangan. Customer focus dan process focus
merepresentasikan masa sekarang, dan renewal & development focus mencerminkan kemampuan
perusahaan dimasa yang akan datang.
Lima area fokus diatas merepresentasikan area mana saja yang perlu diperhatikan oleh sebuah
perusahaan. Financial focus termasuk di dalamnya adalah indikator-indikator lama seperti neraca
keuangan namun juga dapat menggunakan indikator pengukuran-pengukuran yang relatif
dibangun lebih baru. Fokus ini mencerminkan masa lalu yang dapat memberikan gambaran
dimana posisi perusahaan pada waktu itu dimasa lalu. Beberapa indikator yang disarankan oleh
Edvinsson dan Malone adalah value added per employee, market value, total asset dan R&D
investment.
Customer focus memberikan gambaran mengenai customer dan hubungan dengan customer.
Fokus ini mencerminkan masa sekarang. Hubungan dengan customer berubah secara konstan,
oleh karena itu perlu dilakukan update terhadap data-data customer. Nilai saat ini dari hubungan
dengan seluruh customer adalah nilai daripada customer perusahaan. Indikator yang dapat
digunakan dalam fokus ini adalah market share, jumlah hari yang dihabiskan untuk mengunjungi
customer dan indeks kepuasan pelanggan.
Selain customer focus, yang mencerminkan masa sekarang adalah process focus. Fokus ini
menekankan mengenai peran teknologi sebagai alat untuk men-support proses value creation
pada perusahaan secara keseluruhan. Hal-hal yang termasuk di dalam fokus ini adalah sistem IT,
jaringan dan proses kerja umum. Apabila teknologi tidak dipilih dengan benar, maka proses kerja
yang terjadi di dalam perusahaan akan menjadi tidak efektif dan harus segera diperbaiki.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur fokus ini adalah laptop/karyawan, biaya
untuk kesalahan administrasi dibagi dengan pendapatan manajemen atau kontrak yang dilakukan
tanpa kesalahan.
Fokus yang mencerminkan masa depan adalah renewal & development focus. Fokus ini
merupakan kebalikan dari financial focus, bukan hanya dalam aspek waktu tetapi fokus ini juga
menyiapkan perusahaan untuk kesempatan yang akan datang ataupun event-event yang akan
datang. Metode yang dapat digunakan untuk mengukur fokus ini adalah renewal
expense/consumer, share of employees under the age of 40 and R&D resources/total resources.
Akhirnya seluruh fokus diatas berinteraksi secara langsung dengan human focus. Fokus ini dapat
diukur dari indeks kepemimpinan, turnover karyawan atau jumlah manager wanita. Elips yang
mengitari navigator adalah cerminan dari lingkungan dan konteks.
Intellectual capital menurut Edvinsson dan Malone termasuk di dalamnya adalah 2 segmen,
yaitu human capital dan structural capital. Di dalam konteks ini yang dimaksud dengan human
capital adalah kemampuan karyawan di dalam sebuah organisasi untuk menggunakan
knowledge, kemampuan dan inovasi untuk melakukan pekerjaannya. Human capital juga
termasuk di dalamnya adalah nilai, budaya dan filosofi dari organisasi tersebut. Karakteristik dari
human capital adalah bahwa hal tersebut tidak dapat dimiliki oleh organisasi.
Nick Bontis (2004) mendefinisikan human capital sebagai knowledge, pendidikan dan
kompetensi dari tiap-tiap individual di dalam organisasi untuk dapat merealisasikan tujuannya. Ia
memberikan perhatian terhadap sulitnya untuk mengukur human capital dan berpendapat tentang
pentingnya collective knowledge dan individual stores of knowledge. Ia menulis: “the human
capital of a nation is the intellectual wealth of its citizens and is developed through education
and lifelong learning.” (Bontis, 2004). Josep Viedma (2001) menggunakan tiga pilar yang serupa
saat menjelaskan intellectual capital selain human dan structural capital. Ia menambahkan
relational capital yang didefinisikan sebagai kemampuan dari sebuah organisasi untuk
berinteraksi secara positif dengan lingkungan bisnis yang ada.
Structural capital adalah struktur dari sebuah organisasi, hardware, software, database dan
peralatan lain yang sejenis yang mendukung tiap-tiap individual di dalam organisasi tersebut
dalam melakukan aktivitasnya termasuk jaringan dan hubungannya. Structural capital adalah
apa yang tertinggal apabila organisasi tersebut ditinggal oleh orangnya, inilah hal yang dapat
dimiliki oleh organisasi (Edvinsson & Malone, 1997).
Human dan structural capital berinteraksi antara satu dengan yang lainnya untuk menciptakan
nilai di dalam organisasi. Satu-satunya cara untuk mengutilisasi intellectual capital di dalam
sebuah organisasi adalah dengan cara mentransformasikan sebanyak mungkin human capital
menjadi structural capital. Hal ini dapat dirumuskan menjadi IC-multiplier yang dibangun oleh
Prof. Edvinsson (Berglund et. Al, 2002).
IC multiplier = structural capital/human capital
Structural capital harus lebih besar daripada human capital, jika tidak maka hasil multipliernya
akan menghasilkan nilai yang sebaliknya. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya erosi di dalam
human capital itu sendiri (Berglund et. Al, 2002). Saat erosi dari intellectual capital terjadi di
dalam sebuah organisasi maka sebenarnya organiasasi tersebut tidak memiliki structural capital
yang cukup untuk memenuhi human capital-nya. Sebuah perusahaan yang memiliki structural
capital yang lemah lebih riskan untuk mendapatkan resiko yang signifikan. Hal ini dikarenakan
para karyawan dapat meninggalkan perusahaan begitu saja, yang mengakibatkan perusahaan
hanya tinggal memiliki sumber daya berupa structural capital-nya saja.
2.1 INTELLECTUAL CAPITAL MAPPING
Nick Bontis, Associate Professor of Business Policy dari McMaster University di Kanada
mengembangkan modelnya yang berupa national capital index untuk “uncover and manage the
invisible wealth of a country” (Bontis, 2004). Model ini juga memasukkan di dalamnya perhatian
tentang ekonomi baru dan cara baru dari manajemen dilingkungan yang baru dan kompetitif.
Artikelnya memfokuskan kepada intellectual capital dari bagian-bagian dan ia mengatakan
bahwa intellectual capital dari sebuah negara termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai
tersembunyi dari individual, perusahaan, institusi, komunitas dan area yang merupakan sumber
potensial untuk penciptaan kekayaan. Nilai-nilai yang tersembunyi inilah yang akar dari masa
depan yang cerah dan berkembang. Bontis menggunakan analisa dari intellectual capital di 5
area prinsipal dan menggunakan model dari Edvinsson dan Malone yang telah dimodifikasi.
Lihat gambar dibawah.
Gambar 2. Modification of Edvinsson & Malone (1997) (Bontis, 2003)
Sebagian besar periset yang berada di area intellectual capital mendefinisikan perbedaan
komponen yang ada di dalam intellectual capital secara serupa. Apa yang memisahkan dari
model-model yang berbeda tersebut adalah metode yang digunakan untuk mengindeks dan
mengkalkulasi benchmark dari intellectual capital pada perusahaan, wilayah atau negara. Bontis
mempresentasikan metodenya kerangka kerja konseptual berbasis index.
Ia menekankan bahwa sangatlah penting indeks-indeks tersebut valid, karena inputnya
tergantung kepada wilayah/negara yang diuji. Untuk menggabungkan sebanyak mungkin
wilayah/negara, pemilihan indikator harus disesuaikan dengan jumlah informasi yang tersedia.
Saat mengukur area Arab, 4 sub indeks digunakan; National Human Capital Index, National
Process Capital Index, National Market Capital Index dan National Renewal Capital Index
(Bontis, 2004). Terdapat beberapa indikator di dalam masing sub indeks, dimana setiap indikator
diberikan bobot. Alasan digunakannya pembobotan adalah karena Bontis menemukan bahwa
beberapa indikator menjadi driver yang lebih signifikan terhadap intellectual capital, sebagai
contoh total pengeluaran R&D sebagai persentase dari GDP.
Apabila terdapat lima indikator di dalam “National Human Capital Index” maka jumlah dari
kelimanya akan menghasilkan 100%. Pada saat keempat sub indeks telah dihitung, mereka
digabung menjadi satu untuk dapat mengkalkulasikan komposisi dari NICI secara keseluruhan.
Setelah mengukur di tiap area yang berbeda indeks tersebut diciptakan dimasing-masing area.
Bontis membawa analisisnya ke satu tahap yang lebih jauh dengan cara menginvestigasi
hubungan antar indikator dan membuat formula hipotesis tentang asosiasi antara indeks-indeks
yang berbeda dan indikator sebagai driver.
2.1 METODE VAIC
Dr. Ante Pulic, Professor of Business Organisation dari University of Zagreb di Kroasia telah
membangun Value Creation Efficiency Analysis, VAIC, yang bertujuan untuk mengukur
efisiensi dari sumber daya yang terdapat pada suatu perusahaan dan wilayah di dalam model
valuasi finansial (Pulic, 2004). Ia menyatakan bahwa pada level nasional atau level makro GDP
ekuivalen dengan pendapatan dan keuntungan yang dihasilkan dalam level perusahaan. Kita
tidak dapat menyatakan bahwa GDP dari suatu negara baik atau buruk dalam hal sumber daya
yang digunakan. Lebih jauh lagi level makro diukur dengan saru cara dan level mikro diukur
dengan cara yang lain. Mungkin Intellectual Capital Efficiency (ICE) adalah GDP “baru” di
dalam knowledge economy (Pulic, 2004). Pulic menulis bahwa modelnya tidak hanya dapat
mengidentifikasi besarnya dari sebuah intellectual capital tetapi juga untuk mengukur apakah
telah digunakan secara efisien. Ia juga menekankan tentang pentingnya mengukur IC pada level
nasional sehubungan dengan sangat besarnya kemungkinan untuk mempengaruhi ekonomi
secara keseluruhan. Hasil model dari rata-rata ICE nasional yang dapat kita benchmark secara
wilayah di dalam suatu negara untuk menentukan dimana letak terciptanya nilai dan dimana
letak perbaikan yang diperlukan. Formulanya adalah :
Gambar 3. Intellectual capital according to Pulic (Andriessen, 2004)
VAIC mengindikasikan penciptaan nilai efisiensi dari seluruh sumber daya yang ada (jumlah
dari indikator-indikator sebelumnya) mengekspresikan kemampuan intelektual dari sebuah
perusahaan, wilayah atau ekonomi nasional. Telah dikatakan bahwa metode VAIC adalah unik
pada saat dapat diaplikasikan pada seluruh level dari aktivitas bisnis. Seluruh data yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan analisa VAIC dapat diperoleh dari neraca perusahaan atau
statistik nasional (Pulic, 2004).
Berikut adalah indikator-indikator yang digunakan beserta pembobotannya pada saat mengukur
National Intellectual Capital Index (NICI) di area Arab :
National Human Capital Index (NHCI)
No. Indikator Bobot (%)
1. Literacy rate 30
2. Number of tertiary schools per capita relative to highest value 10
3. Percentage of primary school teachers with required 10
qualifications
4. Number of tertiary students per capita relative to highest value 15
5. Cumulative tertiary graduates per capita relative to higest value 15
6. Percentage of male grade 1 intake 10
7. Percentage of female grade 1 intake 10
National Process Capital Index (NPCI)
No. Indikator Bobot (%)
1. Telephone mainlines per capita relative to highest value 20
2. Personal computer per capita relative to highest value 10
3. Internet host per capita relative to highest value 15
4. Internet user per capita relative to highest value 10
5. Mobile phones per capita relative to highest value 10
6. Radio receivers per capita relative to highest value 10
7. Television sets per capita relative to highest value 10
8. Newspaper circulation per capita relative to highest value 15
National Market Capital Index (NMCI)
No. Indikator Bobot (%)
1. High-technology exports as a percentage of GDP relative to 30
highest value
2. Number of patent granted by USPTO per capita relative to 30
highest value
3. Number of meeting hosted per capita relative to highest value 40
National Renewal Capital Index (NRCI)
No. Indikator Bobot (%)
1. Book import as a percentage of GDP relative to highest value 10
2. Periodical imports as a percentage of GPD relative to highest 10
value
3. Total R&D expenditures as a percentage of GDP relative to 30
highest value
4. Number of ministry of employees in R&D per capita relative to 10
highest value
5. Number of university of employees in R&D per capita relative to 15
highest value
6. Tertiary expenditures as a percentage of public education 5
funding
Berikut adalah rumus-rumus yang digunakan dalam melakukan penghitungan pada metode
VAIC :
2.2 METODE IC-dVAL
Metode lain yang dikembangkan oleh Ahmed Bounfour, Professor dari Universite Marne La
Vallee di Perancis membagi intellectual capital menjadi 4 area; structural capital, human capital,
market capital dan innovation capital.
Gambar 4. Intellectual capital according to Bounfour (Andriessen, 2004)
Model Bounfour yang digunakan untuk menganalisa diberi nama Intellectual Capital Dynamic
Value Approach (IC-dVAL) dimana mengukur IC dalam 4 dimensi kompetitif yang saling
berkaitan satu dengan lainnya :
1. Sumber daya sebagai input
2. Proses
3. Pembangunan dari intangible assets (intellectual capital)
4. Output
Metode ini bertujuan untuk menjelaskan intellectual assets dari sebuah perusahaan dan
menjadikannya dapat dimengerti oleh sebanyak-banyaknya karyawan (Bounfour, 2004).
Bounfour juga menunjukkan hubungan antara nilai finansial dari sebuah aset dan performa
internal dari sebuah perusahaan dan pentingnya untuk membangun hubungan tersebut. Metode
IC-dVAL didesain untuk menentukan nilai dari tiga perspektif yaitu stakeholders, shareholders,
klien dan operasional intenal.
Metode ini dibagi menjadi 5 tahap :
1. Menentukan proses kunci dan nilai dari komponennya.
2. Melakukan benchmark performa dari proses dengan organisai “yang terbaik dikelasnya”
dan mengkuantifikasikannya dengan menggunakan indeks.
3. Melakukan benchmark performa dari aktivitas dengan organisai “yang terbaik
dikelasnya” dan mengkuantifikasikannya dengan menggunakan indeks.
4. Evaluasi performa perusahaan secara keseluruhan dengan perusahaan yang terbaik
dikelasnya. Hal ini dilakukan dengan mengkalkulasikan rasio keseluruhan.
5. Mengkalkulasikan nilai IC keseluruhan dari perusahaan.
Setelah dilakukan identifikasi dari proses kunci dan melakukan benchmark dengan perusahaan
yang terbaik dikelasnya diberikanlah bobot untuk memberikan indeks performa aktivitas.
Weighted Processes Performance Index = Activity Performance Index
Lalu indeks performa keseluruhan dikalkulasi dengan memberikan bobot kepada indeks
performa aktivitas tersebut :
Weighted Processes Performance Index = Overall Performance Index (Opi)
Indeks performa keseluruhan merepresentasikan performa perusahaan pada saat ini di 3 dimensi
dari kompetitif; sumber daya, proses, output. Indeks ini lalu akan dikalikan dengan nilai dari
intellectual capital untuk mendapatkan nilai dinamis dari intellectual capital. Inti dari metode ini
adalah bahwa tidak ada satu organisasi yang dapat mencapai indeks performa keseluruhan yang
mendekati angka 1, kecuali organisasi tersebut adalah yang terbaik dikelasnya dalam setiap
aktivitas (Bounfour, 2004). Nilai ini lalu dikalikan dengan nilai pasar dari organisasi untuk
mendapatkan nilai dinamis dari intellectual capital. Saat memodifikasinya untuk mengukur
negara, langkah terakhir tidak termasuk mengingat tidak ada nilai pasar dari sebuah wilayah.
Metodologi IC-dVAL telah dipakai untuk level nasional dan level kotamadya untuk
mengevaluasi performa dari Champs-sur-Marne di Perancis, Europen Union, Jepang dan
Amerika Serikat (Bounfour, 2003). Wilayah nordic mendapatkan nilai tertinggi dalam penelitian
yang dilakukan Bounfour dan terbukti merupakan yang terbaik mengelola intellectual capital-
nya sesuai dengan hasil penelitiannya (Bounfour, 2003).
Berikut adalah indikator yang pada saat penggunaan metode IC-dVAL di Eropa, Amerika dan
Jepang.
2.3 METODE ICBS
Professor Josep Maria Viedma dari Polytechnic University of Catalonia telah membangun
metode Intellectual Capital Benchmarking System (ICBS).Metode ini menggunakan pondasi
berupa mengerti akan lingkungan kompetitif, competitive gap, dan knowlegde yang
menyebabkan gap tersebut (Viedma, 2001). Metode ini dibangun berdasarkan sumber daya
berbasis teori dan bertujuan untuk melakukan benchmark terhadap core kompetensi dari sebuah
wilayah atau organisasi dengan organisasi yang terbaik dikelasnya pada poin yang ditunjuk.
Perbedaan dan kesulitan dalam menemukan kecocokan yang tepat diselesaikan dengan
melakukan perbandingan korespondensi unit bisnis. Metode ini menghasilkan neraca kompetitif
dimana kompetensi akan dinilai sebagai sebuah aset atau sebuah beban, tergantung dari skor
relatif terhadap benchmark; pembobotan rata-rata terhadap faktor yang telah diidentifikasikan
(Viedma, 2001).
Gambar 4. Intellectual capital according to Viedma (Andriessen, 2004)
Model ICBS dikembangkan lebih jauh untuk dapat digunakan untuk mengukur dan mengelola IC
pada kota dimana intellectual capital-nya diteliti dalam 2 level; Cities’ General Intellectual
Capital Model (CGICM) dan Cities’ Specific Intellectual Capital Model (CSICM) (Viedma,
2003). Pendekatan CGIM mengukur intellectual capital dengan IC Navigator Model untuk
negara yang dibangun oleh Edvinsson dan Malone (1997) dan Bontis (2002) sebagai titik awal
dan dihasilkan dalam ukuran yang dapat dijadikan benchmark secara umum. Pendekatan CSICM
berhubungan dengan aktivitas ekonomi yang relevan dari sebuah wilayah dan berdasarkan
kepada model ICBS Viedma (2001). Pendekatan CSICM jauh lebih spesifik dan merupakan
benchmark dari wilayah atau kota yang spesifik dengan wilayah atau kota yang terbaik
dikelasnya, sedangkan pendekatan CGICM memberikan tool benchmark secara umum.
Gambar 5. ICBS model framework (Viedma, 2001)
Model diatas dibangun berdasarkan faktor-faktor berikut :
(1) Products: products/services with their attributes and characteristics and functions.
(2) Architecture: core business and outsourcing in the activities of the company.
(3) Alliances: alliances, strategic networks, franchises and co-operative agreements.
(4) Competitive advantages: competitive advantages generated in the different core business
activities in the value chain.
(5) R&D innovation: quality and professionalism in innovative and R&D activities.
(6) Core competencies: essential knowledge or core competencies that make it possible and give
way to competitive advantages.
(7) Culture: cultural principles for success in a global context.
(8) Leadership: human and professional features of the successful leaders.
Contoh hasil dengan penggunaan pendekatan ICBS :
Gambar 6. ICBS Consolidated Results (Viedma, 2001)
2.4 METRIKS INTELLECTUAL CAPITAL REGIONAL
Berikut adalah outline dari 4 model yang telah dijelaskan diatas – bagaimana mereka
menjelaskan tentang intellectual capital, hasil apa saja yang didapat, apakah mereka
menggunakan benchmarking dan pendekatan intellectual capital mereka secara regional.
Gambar 7. Regional IC Model Matrix
4. KNOWLEDGE ZONE
Banyak periset dan konsultan setuju bahwa inovasi merupakan kunci untuk bertahan dan
merupakan area yang harus dikontrol. Sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
wilayah dengan tingkat kepadatan knowledge dan inovasi yang tinggi adalah “knowledge zone”.
Amidon menulis “A Knowledge Zone is a geographic region, product/service/industry segment
or community of practice (e.g. with topical areas of interest) in which knowledge flows from the
point of origin to the point of need oropportunity” (www.entovation.com/whatsnew/praxis.htm).
Törnqvist (2002) menggambarkan sebuah konklusi dan menyampaikan bahwa produksi dari
knowledge pada masyarakat modern memiliki 3 karakteristik :
1. Lokasi untuk menciptakan knowledge telah meningkat – bukan hanya merupakan
interaksi antar universitas, tetapi juga dari institusi non-universitas, pusat riset, agensi
pemerintahan dll.
2. Lokasi yang berbeda terhubung satu dengan yang lain dengan cara yang baru – secara
elektronik, secara organisasi, secara sosial dll melalui fungsi jaringan komunikasi.
3. Perbedaan dari area spesialisasi mengarahkan kepada tumbuhnya spesialisasi-spesialisasi
terbaik yang akan membentuk knowledge yang baru.
Esensi dari penciptaan knowledge dan intelegensi adalah bahwa knowledge harus
disebarluaskan, dipakai dan didorong. Pembangunan teknologi informasi yang konstan
memfasilitasi kooperasi dan menurunkan kebutuhan akan tatap muka. Hal ini tidak membuat
interaksi secara nyata antara manusia menjadi tidak penting. Törnqvist (2002) menekankan
pentingnya lingkungan pertemuan yang kreatif untuk meningkatkan tingkat kreatifitas dan
semangat berinovasi.
5. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan dari intellectual
capital dapat menjadikan sebuah organisasi atau perusahaan memiliki keunggulan kompetitif
dibandingkan dengan organisasi atau perusahaan lainnya. Oleh karena itu hendaknya tiap-tiap
organisasi atau perusahaan dapat kiranya melakukan evaluasi terhadap intellectual capital yang
ada di dalam masing-masing organiasasi untuk dengan menggunakan salah satu dari beberapa
metode yang telah dijelaskan diatas untuk dapat mengetahui sampai dimana tingkat intellectual
capital dari organisasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Andersen (1998): Den uppenbara verkligheten – Val av samhällsvetenskaplig metod,
Studentlitteratur, Lund
Andriessen, Daniel (2004), Making Sense of Intellectual Capital – Designing a Method for the
Valuation of Intangibles, Elsevier Butterworth Heinemann
Andriessen, Daniel – “Weightless wealth: four modifications to standard IC theory” Journal of
Intellectual Capital Vol. 2, No. 3, 2001, pp. 204-214
Berglund, Robin, Grönvall, Tobias & Johnsson, Mattias (2002) – Intellectual Capital’s Leverage
on Market Value, Master Thesis School of Economics and Management, Lund University
Bontis, Nick (2004), “National Intellectual Capital Index, A United Nations initiative for the
Arab region”, Journal of Intellectual Capital Vol 5 No1 2004 pp. 13-39
Bounfour, Ahmed (2004), “The Management of Intangibles – The organisation’s most valuable
assets”, Routledge
Bounfour, Ahmed (2003), “The IC-dVAL approach” Journal of Intellectual Capital
Christiansson, Henrik & Rosengren, Karolin (2004) “Effort to Map The Intellectual Capital in
Skane”,Master Thesis School of Economics and Management, Lund University
Edvinsson, Leif & Bounfour, Ahmed (2004) “Assessing National and Regional Value Creation”
– Measuring Business Excellence Vol 8, No 1, 2004
Edvinsson, Leif & Malone, Michael (1997) Intellectual Capital: realizing you company’s true
value by finding its hidden brainpower, HarperBusiness
Edvinsson, L. & Stenfelt, C., IC of Nations – Journal of Human Resource Costing & Accounting,
Vol 4, No 1, 1999
Pulic, Ante (2003): Intellectual Capital Efficiency on National and Company Level, Croatian
Chamber of Economy
Pulic, Ante speaker notes “Future IC – Developments for nations” (6th World Congress on IC,
Toronto January 17th 2003)
Viedma, Josep Maria (2001), “ICBS - intellectual capital benchmarking system”, Journal of
Intellectual Capital Vol 2 No 2 2001 pp 148-164
Viedma, Josep Maria (2003) – “CICBS: Cities’ Intellectual Capital Benchmarking System”, 6th
World Congress on the Management of Intellectual Capital and Innovation, Hamilton – Ontario -
Canada, January 15-17, 2003
Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »
Proposal Presentasi ICM
1. 1. Latar belakang dan sejarah singkat perusahaan
Universitas Johannesburg (UJ) didirikan pada tanggal 1 Januari 2005. Universitas ini adalah
hasil dari penggabungan dari Universitas Rand Afrikaans dan Technikon Witwatersrand. UJ
memiliki 5 kampus yang tersebar di wilayah Central Gauteng, Auckland Park Kingsway Campus
(kampus utama), Doornfontein Campus dan Auckland Park Bunting Park Campus. Sedangkan
kampus ke 5 (East Rand Campus) saat ini sedang dalam proses pembangunan. Saat ini UJ
memiliki lebih dari 48000 full-time student dan lebih dari 3000 pegawai tetap, sehingga
menjadikan UJ sebagai salah satu universitas terbesar di Afrika Selatan.
Visi dari UJ :
“To be a premier, embracing, African city university offering a mix of vocational and academic
programmes that advances freedom, democracy, equality and human dignity as high ideals of
humanity through distinguished scholarship, excellence in teaching, reputable research and
innovation, and through putting intellectual capital to work.”
Misi dari UJ :
1. Quality education
2. Leading, challenging, creating and exploring knowledge
3. Supporting access to a wide spectrum of academic, vocational and technological
teaching, learning and research
4. Partnerships with our communities
5. Contributing to national objectives regarding skills development and economic growth
Nilai dari UJ :
1. Academic distinction
2. Integrity and respect for diversity and human dignity
3. Academic freedom and accountability
4. Individuality and collective effort
5. Innovation
Sepuluh Strategic Goals dari UJ :
1. Build a reputable brand
2. Promote excellence in teaching and learning
3. Conduct internationally competitive research
4. Be an engaged university
5. Maximise its intellectual capital
6. Ensure institutional efficiency and effectiveness
7. Cultivate a culture of transformation
8. Offer the preferred student experience
9. Focus on the Gauteng city regions
10. Secure and grow competitive resourcing
1. 2. Implementasi Intellectual Capital Management dari Knowledge Management di
perusahaan
ICM diimplementasikan oleh UJ sebagai salah satu langkah utama dalam mencapai tujuan
strategis dari Universitas yaitu memaksimalkan Intellectual Capital (IC) di UJ. Sebagai salah
satu tujuan strategis dari UJ, IC menjadi sebuah poin krusial di dalam tubuh UJ yang perlu untuk
selalu ditingkatkan dan dimaksimalkan dalam penerapannya. Oleh karena itu ICM merupakan
salah satu hal yang sangat diutamakan di UJ.
1. 3. Strategi yang dipakai untuk memaksimalkan Intellectual Capital Management
Dalam rangka mencapai salah satu tujuan stragegis dari UJ yaitu memaksimalkan IC, UJ
menerapkan strategi sebagai berikut :
Dari gambar strategi diatas, UJ melakukan penjabaran tahapan-tahapan implementasi ICM
menjadi sebagai berikut :
1. Menentukan tujuan dari perusahaan (maximize the ICM)
2. Melakukan mapping terhadap elemen-elemen dari ICM.
3. Menentukan karakteristik dari variabel-variabel yang akan diukur.
4. Menentukan Key Success Factors atas dasar karakteristik tersebut diatas.
5. Melakukan KM Scorecard atas dasar variabel-variabel yang telah ditentukan sebelumnya.
6. Melakukan proses continous improvement secara terus menerus agar tujuan strategis dari
UJ yaitu memaksimalkan IC di UJ dapat tercapai.
1. 4. Cara mengembangkan dimensi dan program dari Intellectual Capital
Management
Cara yang diterapkan UJ untuk mengembangkan dimensi dan program dari ICM adalah dengan
senantiasa melakukan evaluasi atas hasil yang telah dicapai dengan menggunakan KM
Scorecard. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara detail mengenai pencapaian
dari IC UJ. Hasil yang didapat dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai keberhasilan-
keberhasilan yang telah dicapai maupun kegagalan-kegagalan yang dialami dalam penerapan
ICM di UJ. Kegagalan-kegagalan yang dialami ini kemudian dievaluasi seputar penyebab
kegagalannya dan dicarikan solusi yang tepat sehingga dapat dihindari pada masa yang akan
datang.
1. 5. Current conditon pada saat ini (model yang digunakan)
Model yang digunakan UJ untuk melakukan mapping elemen-elemen ICM adalah model
“Skandia Intellectual Capital Value Scheme” yang digambarkan sebagai berikut :
Atas dasar mapping menggunakan skema diatas, metode Direct Intellectual Capital Method
digunakan untuk mengidentifikasi komponen-komponen IC diukur dengan menggunakan KM
Scorecard.
1. 6. Tantangan yang dihadapi, faktor-faktor penghambat dan upaya yang dilakukan
untuk mengatasi
Tantangan yang dihadapi UJ dan faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan
maksimalisasi ICM adalah :
1. Resistensi atas perubahan.
2. Perbedaan multikultural yang kuat.
Upaya yang dilakukan UJ untuk mengatasi hal tersebut diatas adalah :
1. Melakukan sosialisasi mengenai pentingnya ICM secara teratur kepada seluruh jajaran
Universitas (baik mahasiswa, pegawai maupun pihak manajemen).
2. Menanamkan konsep ICM kedalam budaya Universitas yang diharapkan dapat
mengurangi resistensi atas perubahan dikarenakan sudah menjadi tradisi dan budaya yang
mengakar di UJ.
3. Memberlakukan teknik golden shakehands, dimana para karyawan yang tidak mau untuk
berubah diberi penawaran untuk resign tetapi dengan diberikan penghargaan tertentu
sesuai dengan masa kerja dan kinerja karyawan tersebut semasa kerja.
1. 7. Lesson learn yang didapat dan best practice yang telah dicapai
Lesson learn dan best practice yang didapatkan dari penerapan ICM di UJ adalah sebagai berikut
:
1. Memasukkan ICM ke dalam salah satu tujuan strategis perusahaan.
2. Menanamkan konsep ICM ke dalam budaya perusahaan.
1. 8. Target pencapaian masa depan
Target UJ yang diharapkan dapat dicapai pada masa yang akan datang dengan adanya
implementasi dari ICM ini antara lain sebagai berikut :
1. Menjadi Universitas dengan tingkat Intellectual Capital yang tinggi.
2. Menjadi Universitas unggulan dengan reputasi yang baik.
3. Dapat memberikan keunggulan dalam hal teaching and learning.
4. Dapat memberikan kontribusi dalam riset-riset internasional.
5. Memastikan efisiensi dan efektifitas kinerja institusi.
1. 9. Usulan berdasarkan dari konsep Intellectual Capital Management yang dibahas
Usulan yang dapat diberikan dalam konsep ICM diatas adalah sebagai berikut :
1. Melakukan benchmarking terhadap Universitas-universitas lain di Afrika Selatan maupun
mancanegara yang telah menerapkan ICM.
2. Mengakomodasi best practice yang diterapkan oleh Universitas lain di lingkungan UJ
tetapi dengan tetap menjunjung tinggi budaya dari UJ.
1. 10. Hal lain yang penting untuk dikemukakan
UJ merupakan salah satu dari 6 Universitas komprehensif yang ada di Afrika Selatan.
Universitas komprehensif merupakan istilah bagi Universitas yang menawarkan program
akademis berupa program kejuruan/profesional dan program pendidikan konvensional.
Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »
What is KM?
KM is a newly emerging, interdisciplinary business model dealing with all aspects of knowledge
within the context of the firm, including knowledge creation, codification, sharing, and how
these activities promote learning and innovation. In practice, KM encompasses both
technological tools and organizational routines in overlapping parts.
Rudy Ruggles, a leading KM thinker/practitioners, has identified the following items as integral
components of KM:
• Generating new knowledge
• Accessing valuable knowledge from outside sources
• Using accessible knowledge in decision making
• Embedding knowledge in processes, products, and/or services
• Representing knowledge in documents, databases, and software
• Facilitating knowledge growth through culture and incentives
• Transferring existing knowledge into other parts of the organization
• Measuring the value of knowledge assets and/or impact of knowledge management
source:
http://www2.sims.berkeley.edu/courses/is213/s99/Projects/P9/web_site/about_km.html
Posted in Knowledge Management | No Comments »
KM Case – Buckman Labs
Buckman Labs makes chemicals — but it sells knowledge. The challenge: invent a way for the
global salesforce to spend more time with customers and share its brainpower.
At the headquarters of Buckman Laboratories International in Memphis, Tennessee, knowledge
is the stuff of legend. A favorite story goes like this: veteran Buckman sales rep Doug Yoder is
making a presentation to a handful of engineers at a paper company that represents a $1 million
order.
“At Buckman,” he begins, “when you ask one person a question, you have the power of 1,200
employees behind you — including our CEO, Bob Buckman.” Eyes wander.
Yoder turns it up a notch. “Our added value is not only speed of response but also global
solutions.” The engineers fidget.
Yoder continues. “Our knowledge network is a pillar of our culture. And it’s there to help you.”
To make the point, he fires up his laptop, logs onto the Buckman knowledge sharing system —
K’Netix — and poses a question to the appropriate technical forum.
The answer comes from Brazil — and it’s from Bob Buckman. He and Yoder spend the next 20
minutes online, addressing the paper company’s specific concerns.
Yoder finally logs off. “When I say everyone at Buckman Laboratories accesses the forum, I
mean everyone.” The paper company engineers are impressed.
Buckman Laboratories, a $270 million company with 1,200 people in 80 countries, makes more
than 1,000 different specialty chemicals in 8 factories around the world. But its real product is
knowledge. Bigger companies in sexier industries are busy talking about knowledge, scrambling
to hire chief knowledge officers, and wrestling with the computer technology to capture a
corporate knowledge base. To Bob Buckman and his group of globe-trotting salespeople, that’s
old news: been there, done that, got the floppy.
Buckman and his people began treating knowledge as their most critical corporate asset in 1992.
As a result, Buckman Labs has become a Mecca for other companies looking for “how-to”
lessons in the art and science of knowledge management. Executives from AT& T, 3M,
Champion International, International Paper Company, and USWest have made the pilgrimage to
this small, privately held chemical company to look and learn. What they’ve seen is a company
that is fast, global, and interactive, built on a system that is simple, powerful, and revolutionary.
“You can’t really understand the transformation that has happened until you come in here,”
drawls Bob Buckman, the company’s 58-year-old CEO and resident knowledge visionary. “I
need a chalkboard.”
In the conference room adjacent to his office there’s a table, a chalkboard, and an easel, one of
many that decorate the company’s offices. Each bears a different saying. This one has a quote
from Machiavelli: “There is nothing more difficult to take in hand, more perilous to conduct, or
more uncertain in its success, than to take the lead in the introduction of a new order of things.”
Buckman goes to the chalkboard and starts scribbling furiously.
“The customer is most important,” he barks, sounding more like a southern football coach giving
a half-time chalk-talk than a CEO. He draws an inverted pyramid with the customer at the top.
“We need to be effectively engaged on the front line, actively involved in satisfying the needs of
our customers.”
“We need to cut the umbilical cord,” he continues — a reference to the mainframe mentality that
kept people tied to the office. Buckman rattles off the numbers. “If you work a 40-hour week,
you’re in the office less than 25% of your time. If you travel 40% of the workweek, you’re in the
office less than 15% of your time. And if you’re a salesperson, you’re in the office 0% of your
time.”
Part techno-visionary, part hard-nosed businessman, Bob Buckman poses the challenge of
competition in the knowledge-intensive ’90s: Close the gap with the customer. Stay in touch
with each other. Bring all of the company’s brainpower to bear in serving each customer. “The
real questions are,” says Buckman, “How do we stay connected? How do we share knowledge?
How do we function anytime, anywhere — no matter what?”
The Real Power of Knowledge
The answer that Bob Buckman came up with was the knowledge network — K’Netix.
It came to him eight years ago, when he was flat on his back, confined to bed after rupturing his
back. Unable to get up, unable even to sit up, Buckman propped a laptop computer on his belly
and took dead aim on the real power of knowledge.
“Lying there thinking how isolated I was,” says Buckman, recalling his two weeks in bed. “I got
to thinking about what I wanted.”
What he wanted was information, not just for himself but for all his people, a steady stream of
information about products, markets, customers. And he wanted it to be easily accessible, easily
shared. A relentless student of business and management writing, he had recently read a
comment from Jan Carlzon, the former head of SAS, and it had struck a chord with him: “An
individual without information cannot take responsibility; an individual who is given information
cannot help but take responsibility.”
“If you can’t maximize the power of the individual, you haven’t done anything,” Buckman
thought. “The basic philosophy is, How do we take this individual and make him bigger, give
him power? How? Connect him to the world.”
On his laptop, Buckman wrote his ideal knowledge transfer system:
• It would make it possible for people to talk to each other directly, to minimize distortion.
• It would give everyone access to the company’s knowledge base.
• It would allow each individual in the company to enter knowledge into the system.
• It would be available 24 hours a day, 7 days a week.
• It would be easy to use.
• It would communicate in whatever language is best for the user.
• It would be updated automatically, capturing questions and answers as a future
knowledge base.
Such a system, he realized, would mean a cultural transformation. It would mean turning the
company upside down.
Which was precisely what he wanted to do — and had wanted to do since 1961 when he’d joined
the company his father had founded. With a degree in chemical engineering from Purdue
University and an MBA from the University of Chicago, Buckman had long been fascinated by
organizational dynamics and the potential for change that computers had created. And he’d
chafed working under his father, Stanley, who epitomized the classic pyramid-style leader: he
oversaw every decision, sales order, check, memo.
In 1978, at the age of 69, Stanley Buckman suffered a heart attack and died on his office couch,
and the reins of control passed to Bob. “I knew I didn’t want to do it his way,” Buckman says.
“Everything went through my father. The general managers of our different ventures had never
even met each other. I thought, this is too much work.”
His epiphany showed him the path to the future. “I realized that if I can give everybody complete
access to information about the company, then I don’t have to tell them what to do all the time,”
he says. “The organization starts moving forward on its own initiative.” The knowledge network
would become the organization.
But first he had to create the organization to manage the knowledge network. In March 1992,
Buckman set up a Knowledge Transfer Department and appointed Victor Baillargeon, then a 34-
year-old PhD in organic chemistry, to run it. For a company that was determined to break the
rules, Baillargeon was the perfect choice: he had spent the previous year as Buckman’s assistant,
researching the concept of knowledge transfer, and was eager to put the theories to the test. And
he was no member of the card-carrying information technology fraternity; he came to the job
free of mainframe baggage.
Baillargeon’s first hurdle was to build a network that was both ubiquitous and easy to access
from around the world. With that in mind, Baillargeon suggested that the company put its entire
worldwide network up on CompuServe, the public online service. CompuServe offered e-mail
access to 35 public network services and the ability to create private bulletin boards for
intracompany use. And all it took was a single phone call to connect.
Baillargeon engineered the move to CompuServe in just 30 days. Every Buckman salesperson
was given an IBM ThinkPad 720 with a modem. For a total of $75,000 per month in access
charges, all Buckman employees could make a single phone call that established a point-to-point
link with headquarters and provided access to all of CompuServe’s global information services.
On that platform Baillargeon built K’Netix, the company’s global knowledge transfer network,
and established seven technical forums to organize the company’s online conversations.
That was four years ago. Today Buckman and his team have a clearer line of sight than most into
what it means to do business in the knowledge economy. In particular, four categories of lessons
emerge from Bob Buckman’s knowledge laboratory: the importance of customer engagement;
how to encourage knowledge-sharing; the value of values; and how to think about
measurements.
“Effectively Engage with the Customer”
It’s one of Bob Buckman’s most repeated phrases: effectively engaged on the front line — a
constant reminder that knowledge transfer at Buckman Labs is not an end in itself. The whole
point is to deploy knowledge at the point of sale — to win business and to serve the customer. To
Buckman, it all can be reduced to a simple ratio: “The number of people in the organization
working on the relationship with the customer, relative to the total organization, will determine
the momentum of the organization,” he says.
For that reason, the percentage of the company that is “effectively engaged with the customer” is
data that Buckman tracks religiously. In 1979, before K’Netix was launched, it was a mere 16%.
Today, it’s about 50%. By the year 2000, Buckman says, it will be 80%. The message is simple:
the front line and the bottom line have everything to do with each other.
Buckman competes in a variety of businesses, from pulp and paper processing and water
treatment, which makes up 60% of its sales, to leather, agriculture, and personal care. Arrayed
against it are companies three to five times its size: $700 million Betz Laboratories of Trevose,
Pennsylvania, for example, or $1.2 billion Nalco of Naperville, Illinois. And the industry is
consolidating as customers like International Paper Company, Sherwin-Williams, Chinet, and
Citgo, pare down their list of vendors to just a few — from whom they expect more.
Under these conditions, Buckman’s commitment to knowledge takes on a new urgency.
Salespeople must have the right answer for each customer — and fast. K’Netix makes that an
everyday occurrence, an exercise in speed, globality, and interactivity.
Take the case of Dennis Dalton, who is based in Singapore as managing director of all company
activities in Asia. According to the K’Netix archives, Dalton sent out a call for help last January
3 at 12:05 p.m.: “We will be proposing a pitch-control program to an Indonesian pulp mill,” he
wrote. “I would appreciate an update on successful recent pitch-control strategies in your parts of
the world.”
The first response came three hours later, from Phil Hoekstra in Memphis, and included a
suggestion of the specific Buckman chemical to use and a reference to a master’s thesis on pitch
control of tropical hardwoods, written by an Indonesian studying at North Carolina State
University.
Fifty minutes later Michael Sund logged on from Canada and offered his experience in solving
the pitch problem in British Columbia. Then Nils Hallberg chimed in with examples from
Sweden; Wendy Biijker offered details from a New Zealand paper mill; Jos* Vallcorba gave two
examples from Spain and France; Chip Hill in Memphis contributed scientific advice from the
company’s R & D team; Javier Del Rosal sent a detailed chemical formula and specific
application directions from Mexico; and Lionel Hughes weighed in with two types of pitch-
control programs in use in South Africa. In all, Dalton’s request for help generated 11 replies
from six countries, stimulated several “sidebar conversations” as participants followed-up on
new knowledge they’d just learned — and catapulted Dalton into position to secure a $6 million
order from the Indonesian mill.
The customer focus of the knowledge system is built into the design of K’Netix. For some of
Buckman’s core customers, for example, there are private forums where the conversation is
about only that customer and the advice is tailored to its needs. In addition, the Customer
Information Center contains all available information about the company’s customers, including
internal memos, documents, and sales orders — a complete file cabinet on each customer.
“We have to be so tuned into our customers that we anticipate what they need,” says Buckman.
“If an employee is not effectively engaged with the customer, why are they employed?”
Knowledge-Sharing Is Power
Over the years, people have taught themselves to hoard knowledge to achieve power,” says
Buckman. “We have to reverse that: the most powerful people are those who become a source of
knowledge by sharing what they know.” But four years ago, when Buckman Labs launched its
K’Netix program, the big unanswered question was, Would people share their knowledge?
“There was a sense of hesitancy in the beginning,” remembers Alison Tucker, 36, K’Netix forum
manager. “There were people whose file cabinets were filled with everything they knew, and that
was their source of power.”
Ultimately, what emerged was a carrot-and-stick balance, mixing visible incentives with
invisible pressure, and an organization-wide bias toward teamwork and knowledge reciprocity.
As one carrot, Buckman organized a one-time event in Scottsdale, Arizona at a fashionable resort
as a celebration to recognize the 150 best knowledge-sharers. Those selected received a new
IBM ThinkPad 755, a leather computer bag, and listened to a presentation by Tom Peters. Within
the company, the high-profile event — dubbed “The 4th Wave” — sparked a good deal of
discussion, particularly among those who failed to make the cut. The event served its purpose: in
the weeks afterward, participation on the K’Netix forums increased dramatically.
The stick component is a good deal more subtle but more pervasive: everyone in the company
knows that Bob Buckman isn’t just watching the knowledge net – he’s constantly on it. Early in
the life of K’Netix, Buckman laid out his expectations in a speech to his people. “Those of you
who have something intelligent to say now have a forum in which to say it,” he told them.
“Those of you who will not or cannot contribute also become obvious. If you are not willing to
contribute or participate, then you should understand that the many opportunities offered to you
in the past will no longer be available.”
Knowledge Builds Trust, Trust Builds Knowledge
For companies thinking about entering the knowledge economy, Bob Buckman emphasizes one
lesson before all others: “What’s happened here is 90% culture change. You need to change the
way you relate to one another. If you can’t do that, you won’t succeed.”
At the heart of knowledge-sharing, Buckman-style, is a commitment to the individual.
Buckman’s values represent a flip of the prevailing corporate mind-set, where the company
comes first, and employees are fortunate to have jobs. The Buckman Code of Ethics, captured on
a wallet-sized laminated card and passed out to every person in the company, stipulates a
fundamentally different operating philosophy. The first proposition is “that the company is made
up of individuals — each of whom has different capabilities and potentials — all of which are
necessary to the success of the company.”
The philosophy applies directly to the operation of K’Netix, where anything is discussible and
anyone can participate. For example, one lengthy online discussion tackled the always-sensitive
issue of compensation — in this case, a special bonus award given each year to the salespeople
who record the largest year-to-year percentage sales growth. For several weeks, salespeople from
around the company traded opinions and argued directly with Buckman over what was unfair
about the existing award and what a fairer system might look like.
What made that exchange work is the same thing that makes the larger knowledge transfer
system work: the trust that exists in the company. “It has to do with the fuzzy-wuzzy stuff that’s
not easy to get your hands on,” says Buckman. “But it boils down to this: Do you trust the people
who give you the information?”
New Knowledge, New Metrics
In the emerging knowledge economy, the debate that’s waiting to happen is all about
measurement: Can you prove that all these knowledge management expenses finally contribute
to the bottom line? Bob Buckman, who publicly discloses that he spends 3.75% of company
revenues on the knowledge transfer system, dismisses the return-on-investment question out of
hand. “I used to be a statistician,” he says. “There are no absolutes. All you can do is increase the
probability of success. If I can change the speed of our response to a customer from three weeks
to six hours, it doesn’t take a rocket scientist to see the economic benefits.”
According to Lou Breyley, a sales manager in Cincinnati, Ohio for Buckman’s water treatment
division, the economic proof of the system’s value is in the contracts it helps the company win.
“We might come in with less experience than a competitor,” he says, “but we can show that we
can tap into a worldwide resource where others can’t. That’s a competitive strength.”
The water treatment division, for example, recently identified the ammonia industry as a growth
target. Despite a lack of experience in the field, Buckman beat out seven competitors to win part
of a contract that could be worth up to $6 million in new business. “The customer acknowledged
that the network was a factor in our landing the deal,” says Breyley.
While Bob Buckman rejects the standard financial metrics, there are a few measurements he
does focus on in evaluating the performance of the knowledge network. The percentage of his
workforce that is effectively engaged on the front line is one key figure. Another is education.
The proposition is straightforward: if you want to compete on knowledge, you need to hire smart
people. One proxy for evaluating smart people is college graduates. In 1979, only 39% of
Buckman’s people had college degrees. Today it’s 72%.
From Bob Buckman’s vantage point, it is impossible to put a dollar figure on the value of the
knowledge network. It is simply fundamental to the way the company does business, intrinsic to
its operation and embedded as an expression of the company’s value system. Looking back,
Buckman says that incorporating the knowledge transfer system into a corporate culture is at
least a three-year process. “The first year they think you’re crazy. The second year they start to
see, and in the third year you get buy-in,” says Buckman. “What you need is persistence. This
whole thing is a journey.”
source:
http://www.fastcompany.com/online/03/buckman.html
Posted in KM Case Study | No Comments »
KM Case – Newcastle Call Centre
Overview
In October 2000, Step Two Designs won the open tender to develop a Knowledge Management
System (KMS) for the RTA. Despite competition from other KM vendors, we were able to
demonstrate the value of the solution we developed for the NRMA (see the NRMA Case Study).
Our proposal for the RTA project was built upon NRMA’s proven XML-based publishing
system, customised to meet the RTA’s specific requirements. In this way, the RTA could be
confident that they had a stable base on which to develop.
The users
The KMS project focused on users in the newly-developed Newcastle Call Centre (NCC). This
150-person centre was created by consolidating a number of smaller call centres into the one
large facility.
This was a high profile project within the RTA, and one that had proceeded more quickly than
anyone had expected. With the flood of new staff into the centre, there was a clear need to
support these less experienced users with effective information.
The KMS project was therefore initiated, with the following goals:
• Provide improved service and information to customers
• Help new staff bridge their initial knowledge gap of RTA policy and procedures
• Reduce training costs
• Help reduce average call handling time
• Reduce escalation to the team leaders and help desk
The team
With the initiation of the project, a team was established consisting of:
• Team leader (Sandra Whittle)Sandra developed the initial business requirements
documents, wrote the business case and chaired the tendering process. She was the main
point of contact between the project and the business, with responsibility for leading all
change management activities.On top of this, Sandra was responsible for project
management, selecting and hiring staff, and the myriad of other day-to-day activities
required to keep a busy project running.
• Technical WritersTwo contract technical writers were hired into the team. They
provided invaluable experience and knowledge, ensuring the overall quality and
consistency of the content.
• Subject Matter Experts (SMEs)Two staff were brought into the team on secondment
from the help desk. Each had over ten years experience in the RTA, and were our main
source of accurate information about the RTA’s policies and procedures.
• Step Two DesignsAs the vendor, we provided installation, customisation and technical
support. We also provided key skills in: knowledge management, information design,
usability and change management.
It is worth highlighting the importance of having a balanced mix of professional technical writers
and subject matter experts. Without the former, the quality will be poor. Without the latter, the
writers have limited knowledge of the subject matter.
Information design
The most important first step was to identify the information that would be published by the
Knowledge Management System (KMS). A thorough review of current manuals was completed,
and a comprehensive list developed.
This was then used as the starting point for several “card sorting sessions” with the actual users
at the Call Centre. (See our white paper on card sorting for details on how to use this technique.)
These sessions:
• Introduced us, and the project, to our end users.
• Gave us a clear idea of how they use the information. This determined the main menu,
and the overall structure of the content.
• Provided an opportunity to hear the users’ issues, and to get a sense of the actual needs of
the Call Centre.
This was the first of many visits to the Call Centre over the lifetime of the project.
With this information in hand, we then started a six week process of creating the information
design. This addressed many different areas:
• overall structure of the content
• site navigation
• appearance of the pages
• writing standards
• linking conventions
• technical improvements required to support the design
Much of this was determined by taking actual examples, and working through them as a team.
We would solve the large issues, and then create a new draft. This draft would then be brought
back to the team and further discussed. We kept doing this until a consensus was reached.
While the design process was long and demanding, it provided many benefits:
• We developed a Style Guide detailing writing standards.
• Working as a team ensured that everyone understood the issues and resolutions.
• All team members had valuable contributions to make to the overall design.
• Each member brought different knowledge and experience to the table.
• This large task could be shared amongst the group as a whole.
We left this phase with a set of “gold standard” topics to use as examples, and a clear
understanding of our goals and strategies.
Capturing knowledge
Three key areas of content were identified for Phase 1 of the project:
• Context-sensitive (F1) help for the frontline system (called DRIVES)
• Frequently Asked Questions (FAQs) covering common problems and issues
• Other commonly-used information, such as Fees and Charges
Much of this work involved converting tacit (undocumented) knowledge to explicit
(documented) knowledge, as neither F1 help or the FAQs had previously been created within the
RTA. We were lucky to have two of the most knowledgeable people in the RTA to act as subject
matter experts, and much of the information came directly out of their heads.
Where information already existed within the RTA, it required restructuring or rewriting, to
bring it up-to-date and to make it easy to read. The users were also a valuable source of feedback
and suggestions, and were often able to identify errors or omissions.
To ensure the quality and accuracy of the information, we put in place a formalised review
process. This involved three groups identified as the “content owners” along with the help desk
staff at the Newcastle Call Centre. Although this review process was arduous, it was critical to
building confidence in the system throughout the RTA.
Interface design
With the information design complete, and content flowing rapidly into the system, we tackled
the appearance of the HTML. While this was a largely cosmetic exercise, we had to meet certain
challenges:
• Within the RTA, three browsers are used: Netscape 4.7, Internet Explorer 5.0 and ICE (a
Java-based browser). While these browsers have considerably different functionality and
capabilities, all had to be supported by the publishing system.
• A clean, attractive and easy-to-read page layout was required.
• Effective navigation was needed to ensure that users could find their way around the
thousands of pages of content.
While feedback from users was that they “weren’t interested in how it looks, only what it says”,
the interface design process still generated rewards. With a professional and attractive image, it
became easy to market the system to middle and upper management. After all, a good-looking
system generates much greater excitement on first glance, and the impact of such enthusiasm
should not be dismissed lightly.
Publishing system
The core of the publishing system was the authoring environment first developed for the NRMA.
In brief, it comprises:
• A full authoring interface developed in Delphi.
• A database for storing the content.
• Exporting the content to XML.
• Publishing to HTML and Word, using Omnimark.
This system provides many benefits, and has proven to be very stable over its three-year life at
the NRMA. For a detailed description of this system, see the NRMA Case Study, which outlines
features and benefits, and provides screenshots.
Our big advantage at the RTA was that by taking the NRMA system as a starting point, we could
continue to develop a more extensive and powerful solution.
Our work has focused on developing the publishing workflow, built around a number of Apache
webservers. This was designed as follows:
• The publishing system places the generated HTML on the development webserver,
which allows the authors to view their content as it would appear in production. This is
also the test area for new code development.
• When the content is ready, it is promoted to the staging webserver, where it is reviewed
by the content owners. This machine is a core part of the quality control (QC) process.
• Once the final checking is complete, the content is sent to the production webserver.
This is then accessed by the end users.
These servers utilise the very popular Apache webserver software, installed on Sun X1 rack-
mount boxes running Solaris 8. Careful design of these machines allowed us to deploy a number
of valuable features:
• Stamp duty calculatorThis web-based calculator for determining the stamp duty on a
vehicle took only a few days to develop, but eliminated a dozen pages of tables. Not only
does this save time for the frontline staff, it also reduces errors.Behind the scenes, a web-
based admin page allows the authors to update the calculations at the click of a button.
• NewsThe front page will shortly feature a sidebar with the latest news. Developed using
PHP, this system is quick to use, and easy to browse. The authors create and manage
items using a straightforward web interface.
• Feedback pageAlthough this seemed like an obvious feature to us, it turned out to be
somewhat of a revolution for frontline staff. For the first time, they could simply enter
comments into an online form, and know that they would reach the authors.
• Web-based adminA comprehensive admin interface is accessible online by the authors
and administrators. This gives them the ability to browse a number of reports, and update
various configuration settings. By delivering via a web browser, it allowed us to create a
simple and secure interface; remote admin also becomes easy.There are a number of core
components of this admin interface, described in the following sections:
• Web statisticsWe track the number of hits on the webserver, along with the most popular
pages. This gives a clear picture of overall usage, and helps us to judge the success of our
training and marketing.
• Context-sensitive help usageEvery use of F1 is logged in the system. This is
summarised in a report showing the most used pages in the system. Another report lists
the pages for which we have not yet developed help, thereby determining a “hit list” for
creating new pages.
• Search engine usageUse of the search engine is also logged, and several reports are
generated. The first is a summary of search usage (by month), showing the most popular
terms used, and the number of matching topics.The other main report shows the “failed
searches”; that is, the searches that returned zero hits. This is a clear indication of
information that users want, that we have not yet provided.
• Search synonymsThe failed searches report also highlighted a number of typos, due no
doubt to the time pressures at the call centre. One common error: instead of “quarterly”,
they would enter quot;quartly”, “quartely”, or “quately”.Based on this evidence, we
developed a web interface for entering search synonyms (terms that are equivalent). The
authors then entered the common misspellings into this list, along with other matching
terms. This has now significantly reduced the number of “failed searches”.
What surprised us is that while most people were enthusiastic about the content, there was equal
interest in the admin pages. These pages gave people greater confidence in the system, and
helped to assure them that someone would be keeping an eye on how the system was going. It
also gave a sense of “transparency” in the way the system worked.
The technical writers have also made extensive use of these admin pages, and have quickly
incorporated them into their daily routine. Already, the creation of new content is being driven
by the statistics gathered off the webserver, and feedback received from the end users.
Marketing the project
Before the release of the system, we had succeeded in generating a high level of enthusiasm and
expectation. When the final system did everything that we had earlier shown them, this was
translated into a rapid uptake, and considerable positive feedback.
How did we achieve this outcome?
Communication plan
The team developed and documented a communication plan in an early phase of the project. This
identified:
• key audiences
• messages that needed to be communicated
• methods of delivery (news items, face-to-face, etc)
• milestone dates
By creating a formalised plan, it became possible to coordinate all communication activities.
This maximised the impact of our efforts, and ensured that our messages were being received
and understood.
Local visits
Throughout the project, we made a number of trips to the Call Centre. On each trip, we organised
a session with the two user groups (the telephone operators and the help desk staff).
In each session, we gave a demonstration of the system as it stood at that point. Initially, what we
were showing was quite rough, and far from complete. We then listened to their comments and
incorporated their feedback.
We gained credibility by acting on their comments, so that at the next trip, they could see the
updated system. We found both groups to be the source of many good ideas.
We also kept the Centre’s management informed of our progress, and reported any issues that
arose.
Occasionally, we prepared a survey or activity (such as the card sorting discussed earlier). These
structured methods helped us to solve specific issues, and we always ensured that the results
were communicated back to the staff.
By picking a different group of staff during every visit, we ensured that almost all of the Centre
had seen the system before it went live. Those that had missed out during a visit were quickly
informed via word-of-mouth.
Company news
The team prepared an article for the company newsletter, briefly outlining our project and its
goals. This allowed us to reach a wide internal audience.
Project brochure
Just before “go live” the team designed a one page, full colour brochure. This was professionally
prepared and printed.
This brochure told staff that “Frontline Help is coming!”, as well as providing screenshots, and
highlighting the system’s features and benefits. A copy was placed on every desk at the Call
Centre, and further copies were distributed to the managers and team leaders.
As it turned out, this may not have been necessary for the frontline staff (as almost everyone had
already seen one of our demonstrations). It did, however, prove invaluable in lifting our profile
within the business. This generated enthusiasm amongst the “head office” groups, which assisted
greatly when we started discussing formal business processes.
Knowledge management
There are many aspects to a knowledge management project, the least of which is perhaps the
technology. In this project, the team:
• Created an authoring team
• Established a working environment for the team
• Designed and deployed a technical infrastructure
• Determined user requirements
• Structured the information
• Conducted usability testing
• Captured tacit knowledge
• Improved and reworked existing explicit knowledge
• Developed a review and sign-off process
• Deployed a publishing system
• Developed a communication strategy
• Created and implemented a training plan
• Marketed the project
• Ensured user acceptance
This took some time (six months), but all these areas (and more) must be addressed if a project is
to be
successful. Of these, the most important issues are those relating to users. If they are not happy
with the system, it will fail.
The Future
The project has been received enthusiastically by the end users and their managers, and usage is
growing rapidly.
The challenge is to now convert this once-off project into a permanent team with the
responsibility to maintain and grow the knowledge repository.
With word of the project spreading rapidly, we have been very surprised by the interest and
enthusiasm shown by even upper levels of management. As a result, we are confident that a team
will soon be in place.
Once the team has been finalised, the processes of information capture, review and publishing
must then become a normal part of the daily operations within the RTA. If this is not the case,
the information will become stale, and users will lose confidence.
With several groups already clamouring to put information into the system, we see a rosy future
for the system, resulting in the creation of an invaluable one-stop-shop for all of RTA’s frontline
staff.
Screenshots

The Frontline Help


main menu, listing the key sections

Context-sensitive
help screen for the main frontline application (DRIVES)
Policy page,
providing succinct but complete information on stamp duty rates

Simple, but
effective, feedback page for use by frontline staff
Highly-simplified
search results page

Portion of the
‘back-of-the-book’ index provided as part of Frontline Help
source:
http://www.steptwo.com.au/papers/rta/index.html
Posted in KM Case Study | No Comments »
KM Case : Frito-Lay
It takes more than good flavor and a heartY crunch to sell the salty snacks churned out at Frito-
Lay. Corporate executives knew that capturing best practices and corporate information would
give employees something they could sink their teeth into. But information was scattered around
the company in disparate systems, and there was no easy way for the geographically dispersed
sales force to get at it.
“We had knowledge trapped in files everywhere,” says Mike Marino, vice president of customer
development at Frito-Lay, an $8.5 billion division of PepsiCo in Plano, Texas. Marino says that
he knew if the 15-member sales team could only access the same information, it would solve its
ongoing problems with information sharing and communication.
For example, multiple salespeople would ask the corporate sales, marketing and operations staff
for the same types of information and data, such as current private-label trends in their snack
category or research on people’s shopping behavior, he says. The result? Frito-Lay’s support
staff ended up performing the same tasks over and over. If that information lived in a central,
easily accessible spot, the salespeople could access it as needed.
Additionally, Marino says, much valuable knowledge was squirreled away on each salesperson’s
system. There were many idiosyncratic methods of capturing information, “none of which were
terribly efficient,” he says.
Marino says the sales team also lacked a place for brainstorming and collaboration online. “If
somebody got a piece of research and wanted to get input from account executives in Baltimore
and Los Angeles, the ability to collaborate [online] just wasn’t there,” he says.
The answer, Marino’s group realized, was to build a knowledge management portal on the
corporate intranet. A KM portal is a single point of access to multiple sources of
information and provides personalized access. Companies are starting to pay attention to
portals because they offer an efficient way to capture information, says Carl Frappaolo,
executive vice president and cofounder of the Delphi Group, a consultancy in Boston. A
KM portal at Frito-Lay would give the sales department a central location for all sales-
related customer and corporate information and cut down on the time it took to find and
share research. In addition to different types of information about the team’s customers–
including sales, analysis and the latest news–the portal would contain profiles on who’s
who in the corporation, making finding an internal expert a snap.
Built From Scratch
Marino chose this sales team as the portal pilot because it was working with a Frito-Lay client
that Marino says is an industry leader in marketing, product promotions and merchandising. The
sales team was dispersed across the country, making it ideal for determining whether the portal
would succeed in bridging geographic boundaries when it came to sharing internal information.
Based on input from the pilot team, Marino’s group established three goals for the Frito-Lay
portal: to streamline knowledge, exploit customer-specific data and foster team collaboration. He
brought in Navigator Systems, a consultancy based in Dallas, which has worked with Frito-Lay
in the past and had some experience building knowledge management portals. Navigator built a
prototype in about three months using technologies previously approved by Frito-Lay’s IS
department, including Lotus Domino, BusinessObjects’ WebIntelligence, Java and IBM’s DB2
database. Since there was no advanced search engine in use at the company, Navigator’s
consultants recommended a tool called Autonomy, a natural language search engine that allows
users to search information in different repositories such as intranet sites, PowerPoint
presentations and spreadsheets, says Todd Price, the principal consultant at Navigator who
worked on the implementation. “The search engine enabled the person to get to all the disparate
data sets through one view,” explains Marino.
Marino and Price essentially had to start from scratch when it came to populating the portal.
“Never before at Frito-Lay had they tried to capture expertise systematically in one place,” notes
Price. Marino and Price did an audit within the company and then created expertise profiles on
the portal so that sales staff in the field would have an easy way to learn who’s who at
headquarters in Plano. That way, people who have expertise in areas such as promotion planning,
activity planning, costing or new product announcements can be readily tracked down and
contacted for information. “In a large organization, that’s critical, because there’s a wealth of
knowledge. But for someone new in the field it takes a lot of tries to figure out who they are,”
Price says.
Security was also a big concern because the pilot team would be working with confidential client
information. The particular customer supported by the pilot team “had custom information about
sales performance that they shared with members of the Frito-Lay team, but we were contracted
not to let that information get outside the team that worked with that customer,” says Marino. His
group built the portal so that different sections of it were password-protected, ensuring that only
the pertinent users could get to the confidential information.
The portal went live in January 2000. Since then, three additional sales teams, or customer
communities as they are called internally, have been given access to the portal with different
content–including research abstracts and what Marino calls performance scorecards, which
evaluate account performance. “If somebody in sales or market research did a study in a
particular area like private-label trends, [the user] would be able to click to that abstract and get a
summary of that study.” Users access the portal, known as the Customer Community Portal
(CCP), through a Netscape Navigator browser and enter their name and password on the Frito-
Lay intranet.
Results
The CCP has paid off with increased sales. “What we expected to see was that the pilot team
would outperform others in terms of sales and profitability,” Marino says. While he declined to
give figures, he says the test team doubled the growth rate of the customer’s business in the salty
snack category. “The retailer is happy because they’re doing more business in their market, and
we’re doing business at a faster growth rate with this customer than with other customers,”
Marino says.
It also made the sales team happier. For example, the pilot team members reside in 10 different
cities, so “the tool has become extremely valuable for communication” and helps cut down on
travel, says Joe Ackerman, a customer team leader in the sales division based in Portland, Ore. A
year after implementing the portal, the pilot group has been able to share documents concurrently
instead of having to send faxes around the country to different offices. “We have to manipulate
large amounts of data, and now we can look at it online versus having to have somebody
physically travel to the retail customer. It’s almost a distance learning tool as much as anything
else,” he says.
The CCP has also helped foster a sense of camaraderie and relationship building. For example,
the portal homepage lists the team members’ birthdays. People can also share best practices–on
anything under the sun. If someone developed an effective sales presentation for a potential
customer in Boston, a salesperson in San Francisco could co-opt the information. Salespeople
can also find the latest news about their customers, and there’s an automatic messaging feature
that informs team members who is online.
For Ackerman, the portal has also been an invaluable tool for helping him assess employee skill
sets, because each salesperson is required to catalog his or her strengths and areas of expertise.
“As a team leader, it helps me analyze where people’s gaps might be without having to travel to
another member’s location,” he says.
The portal has also helped boost employee retention rates, says Ackerman. Turnover used to be
terrible, he says, because salespeople felt pressured to find vital information and communicate
with the rest of the team. Marino adds that salespeople felt frustrated and disconnected because
there was no way to efficiently collaborate with the rest of their group unless they flew into a
central location.
Since the portal has been in place, not one person on the 15-member team has left. Part of that
can directly be attributed to the portal, says Ackerman, “because it helps build the connection.”
In company surveys, salespeople previously complained about geographic constraints and how
they didn’t feel connected and part of a team, he says.
The portal has proven so successful that its use has now become a PepsiCo initiative, says
Marino. That means it will soon have added functionality so that employees across all three
divisions–including Tropicana–can take advantage of product performance information on a
jointly shared customer like a supermarket, he says. Marino says the different PepsiCo divisions
will have the ability to copromote and comerchandise multiple products that are consumed
together–such as carbonated beverages and salty snacks–to drive greater sales internally,
naturally and for its customer. That’s talking more than just peanuts.
source:
http://www.cio.com/archive/050101/crunch.html
Posted in KM Case Study | No Comments »
KM Case – Marconi
When Marconi went on a shopping spree and acquired 10 telecommunications companies over a
three-year period, it faced a serious challenge: How could the $3 billion manufacturer of
telecommunications equipment ensure that its technical support agents knew enough about
newly acquired technology to provide quick and accurate answers to customers on the phone?
And how could Marconi bring new agents up to speed on all the company’s products?
Marconi’s technical support agents?500 engineers scattered in 14 call centers around the globe?
field approximately 10,000 questions every month about the company’s products. Before the
acquisitions, agents had relied on Tactics Online, an extranet where they and customers could
search for frequently asked questions and text documents. As new agents and products joined the
company’s ranks, Marconi wanted to supplement the website with a more comprehensive
knowledge management system. As engineers from the newly acquired companies came on
board, however, they were hesitant to share their knowledge about the products they had been
supporting. “They felt that their knowledge was a security blanket that helped guarantee their
jobs,” says Dave Breit, director of technology and R&D for managed services in Warrendale, Pa.
“With all of the acquisitions, it was essential that we all avoid hoarding knowledge and share it
instead.”
At the same time, Marconi wanted to streamline its customer service organization by making
more of its product and systems information available directly to customers and shortening the
length of customer calls. “We wanted to leverage the Web for customer self-service versus
increasing the number of agents,” Breit says. “We also wanted to provide our frontline engineers
[who interact directly with customers] with more information more quickly so that they could
resolve more calls faster.”
Building on a KM Foundation
When Marconi began evaluating knowledge management technologies in the spring of 1998, the
concept of sharing knowledge among agents was nothing new. Agents were already accustomed
to working in teams of three or four people, gathering in war room fashion to solve customers’
technical issues. And a year earlier, Marconi had started basing a percentage of agents’ quarterly
bonuses on the amount of knowledge they submitted to Tactics Online as well as their
involvement with mentoring and training other agents. “Each agent was expected to teach two
training classes and write 10 FAQs to earn their full bonus,” says Breit. “When we brought new
companies online, the new agents received the same bonus plan. This approach allowed us to
build a very open knowledge-sharing environment.”
To augment Tactics Online, Marconi chose software from ServiceWare Technologies, in part
because its technology would integrate easily with the company’s Remedy CRM system, which
agents use to log incoming calls from customers and track other customer interactions. In
addition, says Breit, Marconi wanted its agents to populate its existing Oracle database of
product information.
Breit’s division spent six months implementing the new system and training agents. The system?
dubbed KnowledgeBase?is linked to the company’s CRM system and is powered by the Oracle
database. The integrated view of Marconi’s customers and products provides agents with a
comprehensive history of interactions. Technical support agents can, for example, put markers in
the database and immediately pick up at the point where the customer last spoke with another
agent.
On the Front Line
Tactics Online complements the new system. “The data stored in KnowledgeBase are specific
troubleshooting tips and hints on our various product lines,” says Zehra Demiral, manager of
knowledge management systems. “Tactics Online, on the other hand, is more of a doorway for
customers to come into our customer support organization. From there, customers can access
KnowledgeBase or their service requests or our online training manuals.”
Technical support agents now rely on KnowledgeBase for the latest solutions to customers’
product and systems problems. Level 1 agents answer all incoming calls, solve customers’
problems when possible, record the calls in the company’s CRM system and transfer the more
difficult calls up the line to Level 2 agents. Level 2 agents, meanwhile, are the heart of the
organization, composing about 70 percent of the technical support organization. They handle the
more difficult calls and troubleshoot and diagnose equipment and network problems. “They’re
the majority of our knowledge users and contributors,” says Breit. “They write up a synopsis of
the call and feed it into KnowledgeBase [on an ongoing basis] so that other agents can refer to
the solution later.”
After Level 2 agents submit their knowledge “raw” to a holding queue, Level 3 agents confirm
the accuracy of the information, make any necessary changes and then submit the document to
Demiral. (Level 3 agents also act as consultants, helping Level 2 agents solve problems and
serving as intermediaries between the agents and the company’s engineering departments.) The
entire process of updating the KnowledgeBase system with a new solution typically takes
between three days and two weeks.
Changing Roles
As Breit anticipated, implementing KnowledgeBase has changed the agents’ roles. Level 1
agents, for example, now do more in-depth troubleshooting because they have more information
available at their fingertips. In fact, they solve twice as many calls themselves (50 percent
instead of 25 percent) in a shorter time (10 minutes versus 30 minutes). Since Level 1 agents can
handle more calls, this group has doubled in size during the past two years.
The transition wasn’t quite as painless, however, for the Level 2 and Level 3 agents. Indeed, their
roles changed significantly. “Rather than simply submitting HTML pages to Tactics Online, they
were now asked to analyze the problems in a very procedural way and create diagnostic ’trees,’”
says Breit. “That’s a more analytical way to think through a problem. Most of these guys had
thought in terms of ’what is the fastest way to solve a problem’ rather than ’what is the most
efficient way to solve a problem.’”
With hundreds of people submitting solutions, Marconi tended to get a lot of wheel reinvention.
“There can be five or six ways to solve the [same] problem, but there’s one way that’s most
efficient,” Breit says. To unearth and disseminate the most efficient solutions, agents were
required to flowchart each of their solutions for the first three months following
KnowledgeBase’s launch. “It’s amazing how many [agents] were unconscious of their own
methodologies,” says Breit. “It was somewhat painful, but they eventually felt they benefited
because they understood how they solve problems.”
As a result, agents now create technical solutions for customers in the most efficient?and logical?
way possible instead of simply offering a “quick and dirty” solution. Think of the difference
between simply being told what keys to strike on your PC and being taught how your software
works and the logic behind executing a certain sequence of keystrokes. Once you actually
understand how the product works, you can use the software more effectively and resolve more
problems yourself.
Agents also had to change the way they present the solutions to customers. “We wanted to
provide a collaboration tool for employees and a library source for our customers,” says Demiral.
“Engineers wanted to provide a lot of detailed information yet we needed a degree of simplicity
for customers. Most of the time, the immediate focus is on what a great collaboration tool this is
and how it overcomes geographical distance among agents. Then I have to remind [agents] that
this is a tool that we want customers to use and that they’ll have to organize, write and present
the content with customers in mind.”
Making It Work
Demiral spent a lot of time working with the Level 3 agents to make their solutions less complex
and streamline the review process. “We had to go through two iterations of how to organize and
present the content,” Demiral says. “Customers tend to think in terms of the product and then the
problem. But engineers often think about the problem first and then the product.”
The result: Customers often wouldn’t fully understand the solution. At the same time, Marconi
had to work at easing Level 3 agents’ concerns that making them responsible for reviewing
solution content would suddenly turn them into technical writers.
Marconi confronted cultural issues as well. “Business needs are different in different parts of the
world,” says Demiral. “What may be normal business practice for Americans may not be
common elsewhere.” In Europe, for example, the value of the KnowledgeBase system was not
readily accepted. But once employees there saw that customers could use the system to solve
some of their own problems, they got on board. Such an experience has been incorporated into
how Marconi approaches KM. “We sometimes have to introduce the idea of knowledge
management over time, validate it, and then move forward,” Demiral says.
To ensure that agents continue contributing new knowledge to KnowledgeBase, Marconi uses
rewards. Besides bonuses, knowledge contributors receive recognition during meetings and in a
newsletter. “Rewards help feed this culture,” Breit says. “Peer pressure also plays a role.
Everyone wants to contribute because it’s the right thing to do. You also have to make sure that
the system works well and that employees use it long enough to see it work. It has to be
embedded in training and fully integrated into daily operations so that it just becomes part of
how you do business.”
source:
http://www.cio.com/archive/110101/knowitall.html
Posted in KM Case Study | No Comments »
« Previous Entries
Recent Posts
• KM Case – Toyota
• Jurnal OC
• Jurnal R&D
• Jurnal ICM
• Proposal Presentasi ICM
• What is KM?
• KM Case – Buckman Labs
• KM Case – Newcastle Call Centre
• KM Case : Frito-Lay
• KM Case – Marconi
Categories
• Hot Topics
• KM Case Study
• Knowledge Management
• Live
• Paper & Group Assignment
Archives
• October 2010
• August 2010
Blogroll
• BINUS BUSINESS SCHOOL
• BINUS CENTER
• BINUS CORPORATE
• BINUS INTERNATIONAL
• BINUS ONLINE LEARNING
• BINUS SCHOOL
• BINUS UNIVERSITY
• Payday Loan Cash
Search

Top of Form

Search

Bottom of Form

Meta:
• RSS
• Comments RSS
• Wordpress Cms Theme

Anda mungkin juga menyukai