BAB I
LAPORAN KASUS
A. SUBJEKTIF
1. Identitas pasien
• Nomor CM : 36 42 09
• Tanggal masuk : 23 Januari 2011
• Tanggal operasi : 24 Januari 2011
• Nama pasien : Ny. SF
• Alamat : Kp.Mekarsari, Karawang
• Umur : 45 tahun
• Jenis Kelamin : Perempuan
• Berat badan : 59 kg
• Tinggi Badan : 150 cm
• Indeks Massa Tubuh : 26,22 kg/m2
• Golongan Darah : B rhesus (+)
2. Anamnesis
Autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 24 Januari 2011 pukul 06.00
mengaku bahwa BAK dan BAB normal. Kemudian OS melakukan pemeriksaan USG
dan didapatkan hasil berupa mioma uteri.
B. OBJEKTIF
Pemeriksaan fisik tanggal 24 Januari 2010 pukul 06.15
2. Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 68 bpm, reguler, isi dan tegangan cukup
Respiration rate : 19 x/menit, reguler, torakoabdominal
Suhu : 36,5ºC per axilla
Hidung : Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), polip (-), perdarahan (-),
lendir (-), sumbatan (-)
Mulut : mukosa lembab, sianosis (-), faring hiperemi (-), gigi palsu (-), gigi
goyah (-), malampati II, buka mulut maksimal (> 3 cm)
Telinga : serumen (-), membran tymphani intact
4. Leher
Tampak simetris, deviasi trakea (-), limfonodi tidak teraba, JVP tidak meningkat,
massa (-)
5. Thorak
Inspeksi : simetris saat statis dan dinamis, Retraksi (-), deformitas (-)
Palpasi : gerak nafas simetris, fremitus taktil +/+
Perkusi : sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : cor : BJ I-II normal reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo : suara dasar vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Abdomen
Inspeksi : datar, eritem (-), venektasi (-), spider naevy (-)
Auskultasi : Bising usus (+) 10x/menit
Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) dan teraba massa di suprasimfisis, hepar-lien
tidak teraba
7. Ekstremitas
Superior : gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+), sianosis (-/-), udem (-/-), akral
hangat, capillary refill time < 2 detik.
Inferior : gerak aktif (+/+), gerak pasif (+/+), sianosis (-/-), udem (-/-), akral
hangat, capillary refill time < 2 detik
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Darah rutin
Tanggal 14 Januari 2011
Hb : 12,9 g/dl (12 - 16 g/dl)
Hmt : 39% (37 – 47%)
Eritrosit : 4,4 (4,3 – 6,0 juta/UI)
Leukosit : 8300 (4800 – 10800/UI)
Trombosit : 269.000 (150000 – 400000/UI)
MCV : 89 fl (80 – 96 fl)
MCH : 30 pg (27 – 32 pg)
MCHC : 33 g/dl (32 – 36 g/dl)
SGOT : 24 U/l (< 40 U/I)
SGPT : 23 U/l (< 35 U/I)
Ureum : 31 mg/dl
Kreatinin : 0,7 mg/dl (0,5 – 1,5 mg/dl)
2. Imunoserologi
- HBsAg Rapid non reaktif
3. USG abdomen
- Pada gambaran USG tampak massa mioma di corpus ukuran 7,5 x 7,7 cm
- Kedua ovarium normal
- Kesimpulan : mioma uteri
4. Thorax Foto
- CTR : 56%
- Pulmo : dalam batas normal
- Kesan : kardiomegali
D. DIAGNOSIS
- Mioma uteri dengan status fisik ASA II dengan kardiomegali
E. PENATALAKSANAAN
- Histerektomi Total
F. LAPORAN ANESTESI
1) Diagnosis pra – bedah : mioma uteri
2) Diagnosis Pasca – bedah : mioma uteri
3) Jenis pembedahan : Histerektomi
4) Persiapan anestesi :
- Informed consent
- Puasa ± 8 jam pre operasi
5) Jenis anestesi : regional anestesi
6) Premedikasi anestesi : dormikum 5 mg
7) Teknik anestesi : Spinal
a. Pasien dalam posisi duduk dan kepala menunduk.
b. Desinfeksi di sekitar daerah tusukan yaitu di regio L3-L4
c. Blok dengan jarum spinal no.26 pada regio L3-L4
d. Barbotage (+), LCS keluar (+) jernih, darah (-)
8) Obat anestesia : buvanest 15 mg + mo 0,1 mg + catapres 25 mcg
9) Oksigenasi : Kanul O2 2 liter/menit
13.15 115/65 85
13.20 115/65 85
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. MIOMA UTERI
1. Mioma submukosa1
Berada di bawah endometrium dan menonjol ke dalam rongga uterus.
Jenis ini sering memberikan keluhan gangguan perdarahan Tumor jenis ini sering
mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma submukosa
pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai tangkai. Tumor ini
dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal dengan nama mioma geburt atau
mioma yang dilahirkan, yang mudah mengalami infeksi, ulserasi dan infark. Pada
beberapa kasus, penderita akan mengalami anemia dan sepsis karena proses di atas.
2. Mioma intramural1
Terdapat di dinding uterus di antara serabut miometrium. Karena
pertumbuhan tumor, jaringan otot sekitarnya akan terdesak dan terbentuk simpai yang
mengelilingi tumor. Bila di dalam dinding rahim dijumpai banyak mioma, maka
uterus akan mempunyai bentuk yang berbenjol-benjol dengan konsistensi yang padat.
Mioma yang terletak pada dinding depan uterus, dalam pertumbuhannya akan
menekan dan mendorong kandung kemih ke atas, sehingga dapat menimbulkan
keluhan miksi.
3. Mioma subserosa1
Apabila mioma tumbuh keluar dinding uterus sehingga menonjol pada
permukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma subserosa dapat tumbuh di antara
kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma intraligamenter.
4. Mioma intraligamenter1
Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan lain, misalnya ke
ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri dari uterus sehingga disebut
wondering parasitis fibroid. Jarang sekali ditemukan satu macam mioma saja dalam
satu uterus. Mioma pada servik dapat menonjol ke dalam satu saluran servik sehingga
ostium uteri eksternum berbentuk bulan sabit. Apabila mioma dibelah maka tampak
bahwa mioma terdiri dari bekas otot polos dan jaringan ikat yang tersusun seperti
kumparan (whorie like pattern) dengan pseudokapsul yang terdiri dari jaringan ikat
longgar yang terdesak karena pertumbuhan.
Keluhan yang diakibatkan oleh mioma uteri sangat tergantung dari lokasi,
arah pertumbuhan, jenis, besar dan jumlah mioma. Hanya dijumpai pada 20-50% saja
mioma uteri menimbulkan keluhan, sedangkan sisanya tidak mengeluh apapun.
Hipermenore, menometroragia adalah merupakan gejala klasik dari mioma uteri.
Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemeriksaan bimanual rutin uterus. Diagnosis
mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh satu atau lebih
massa yang lebih licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa seperti ini
adalah bagian dari uterus. Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal
ini disebabkan perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi.
Kadang-kadang mioma menghasilkan eritropoeitin yang pada beberapa kasus
menyebabkan polisitemia.1
pleksus brakhialis, blok spinal subarachnoid, blok spinal epidural dan blok regional
intravena4
Analgesia spinal ialah pemberian obat anestetik local ke dalam ruang
subaraknoid. Anestesia spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik local ke
dalam ruang subaraknoid.5
1. Indikasi5
a) Bedah ekstremitas bawah
b) Bedah panggul
c) Tindakan sekitar rectum – perineum
d) Bedah obstetric – ginekologi
e) Bedah urologi
f) Bedah abdomen bawah
2. Kontraindikasi Absolut5
a) Pasien menolak
b) Infeksi pada tempat suntikan
c) Hipovolemia berat, syok
d) Koagulopati atau mendapat terapi antikoagulan
e) Tekanan intracranial meninggi
f) Fasilitasi resusitasi minim
g) Kurang pengalaman/tanpa didampingi konsultan anesthesia
3. Kontraindikasi Relatif5
a) Infeksi sistemik
b) Infeksi sekitar tempat suntikan
c) Kelainan neurologis
d) Kelainan psikis
e) Bedah lama
f) Penyakit jantung
g) Hipovolemia ringan
h) Nyeri punggung kronis
Gambar 4. Posisi pasien pada anastesi spinal (posisi duduk dan lateral
dekubitus)3
b) Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua Krista iliaka dengan
tulang punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukan misalnya L2-3,
L3-4, atau L4-5. Tusukan pada L1-2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap
medulla spinalis.
c) Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
d) Beri anastetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3
ml.
e) Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22 G, 23 G
atau 25 G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau
29 G, dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer), yaitu jarum
suntik biasa semprit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm agak
sedikit kea rah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke
lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam (Quincke-Babcock)
irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat duramater, yaitu pada posisi
Pulih dari anestesi umum atau regional secara rutin dikelola di kamar pulih
atau unit perawatan pasca anestesi. Idealnya dapat bangun dari anesthesia secara
bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataannya sering dijumpai hal – hal yang
tidak menyenangkan akibat stress pasca operasi atau pasca anesthesia yang berupa
gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual –muntah,
menggigil dan kadang – kadang perdarahan.5
Selama di unit perawatan pasca anestesi pasien dinilai tingkat pilih – sadarnya
untuk criteria pemindahan ke ruang perawatan biasa
0. berubah ≥ 50%
Keterangan :
- 9-10 pindah dari unit perawatan pasca anestesi
BAB III
DISKUSI KASUS
Pada pasien ini didiagnosis mioma uteri dengan status fisik ASA II dengan
kardiomegali dan akan dilakukan tindakan pembedahan berupa histerektomi. Pada
pembedahan tersebut akan dilakukan anestesi spinal karena memenuhi indikasi untuk
dilakukannya anestesi spinal, yaitu bedah obstetri – ginekologi dan merupakan
tindakan pembedahan yang berlokasi di abdomen bawah. Pada tindakan pembedahan
tersebut juga tidak terdapat kontraindikasi dari anestesi spinal. Atas dasar tersebut
maka, anestesi spinal menjadi pilihan.
Pada kasus ini menggunakan obat buvanest 15 mg yang dikombinasikan
dengan morphin 0,1 mg dan catapres 25 mcg yang disuntikkan memakai jarum spinal
no.26 pada regio L3 – L4.
Buvanest berisi bupivacain, merupakan anestesi lokal yang digunakan untuk
mencegah rasa nyeri dengan memblok konduksi sepanjang serabut saraf secara
reversible. Obat menembus saraf dalam bentuk tidak terionisasi (lipofilik), tetapi saat
di dalam akson terbentuk beberapa molekul terionisasi, dan molekul-molekul ini
memblok kanal Na+, serta mencegah pembentukan potensial aksi. Bupivacaine
memiliki onset 5 – 8 menit dengan durasi sampai 150 menit. Dosis bupivacaine untuk
blokade hingga T10 adalah 8-12 mg, sedangkan hingga blockade T4 adalah 14-20 mg
Bupivacaine memiliki periode analgesia yang tetap setelah kembalinya sensasi.
Pada pasien ini diberikan cataprest yang berisi klonidin, dimana efeknya pada
anestesi spinal ialah menghambat saraf sensoris yang bekerja pada prasinaps
(menghambat pelepasan transmitter) dan postsinaps (meningkatkan hiperpolarisasi).
Kombinasi bupivacain dan klonidin Hcl dapat berpotensi meningkatkan intensitas dan
durasi blok motorik. Hal ini disebabkan karena induksi pada agonis a-2 adrenoseptor
di ventral horn dan memfasilitasi kerja anestesi local. Pada anestesi spinal memiliki
dosis 0,3 – 2 mcg/kgBB. Onset pada anestesi spinal adalah < 15 menit dengan durasi
3-4 jam.
DAFTAR PUSTAKA