LAPORAN PENDAHULUAN
CEDERA KEPALA
A. PENGERTIAN
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa
disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak.
Cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera otak terdapat dibagi
dalam dua macam yaitu :
1. Cidera otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma. Pada cidera
primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
2. Cidera otak sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme, fisiologi yang
timbul setelah trauma.
Proses-proses fisiologi yang abnormal:
- Kejang-kejang
- Gangguan saluran nafas
- Tekanan intrakranial meningkat yang dapat disebabkan oleh karena:
• edema fokal atau difusi
• hematoma epidural
• hematoma subdural
• hematoma intraserebral
• over hidrasi
- Sepsis/septik syok
- Anemia
- Shock
Proses fisiologis yang abnormal ini lebih memperberat kerusakan cidera otak dan sangat
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas.
KLASIFIKASI
Beratnya cedera kepala saat ini didefinisikan oleh The Traumatik Coma Data Bank
berdasarkan Skore Scala Coma Glascow (GCS). Penggunaan istilah cedera kepala ringan,
sedang dan berat berhubungan dari pengkajian parameter dalam menetukan terapi dan
perawatan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai berikut :
1. Cedera Kepala Ringan
Nilai GCS 13 – 15 yang dapat terjadi kehilanga kedaran atau amnesia akan tetapi kurang dari
30 menit. Tidak terdapat fraktur tengkorak serta tidak ada kontusio serebral dan hematoma.
2. Cedera Kepala Sedang
Nilai GCS 9 – 12 yang dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 30 menit
tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Cedera Kepala Berat
Nilai GCS 3 – 8 yang diikuti dengan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24 jam
meliputi kontusio serebral, laserasi atau hematoma intrakranial.
Tabel 1.
Skala Koma Glasgow (Blak, 1997)
1. Membuka Mata / E
Spontan
Terhadap rangsang suara
Terhadap nyeri
Tidak ada
4
3
2
1
2. Respon Motorik / M
Mampu mengikuti perintah
Melokalisasi nyeri
Menghindar nyeri
Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal
Tidak ada respon
6
5
4
3
2
1
3. Respon Verbal / V
Orientasi baik
Orientasi terganggu
Kata-kata tidak jelas
Suara Tidak jelas
Tidak ada respon
5
4
3
2
1
Total 3 - 15
sumber :keperawatan kritis, pendekatan holostik vol, II tahun 1995, hal:226
B. ETIOLOGI
» Kecelakaan
» Jatuh
» Trauma akibat persalinan
D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer dan proses sekunder.
Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu trauma yang
relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun
kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari
30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab
utama kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang
tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita cedera kepala traumatik berat.
Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer biasanya fokal
(perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap
awal yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada
kuat dan arah benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan
gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak, perdarahan segera intrakranial,
robekan regangan serabu saraf dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul kerusakan primer.
Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik,
hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya
tekanan perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan
kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor seperti kerusakan sawar darah
otak, gangguan aliran darah otak metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-
bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau sekunder akan
menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus frontalis akan
mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru
akan ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan
sensibilitas kulit pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya
seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala disebabkan adanya
kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan terjadi
hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya edema paru karena kontraksi sistem
vena. Retensi air, natrium dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang hipotalamus yang
berhubungan dengan hipofisis. Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan
melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi negatif.
Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-pusat
yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat
fleksi atau torsi akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah
atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada lesi tranversal
dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal setinggi
nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam
fleksi pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal. Kerusakan-kerusakan saraf-
saraf kranial dan traktus-traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal
tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan timbulnya
Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi diensefalon akan
mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
» CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran
ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
» Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan, trauma.
» X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan / edema), fragmen tulang.
» Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenasi) jika terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.
» Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan
intrakranial.
F. PATHWAY
Kecelakaan
Jatuh
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio Nyeri akut
Laserasi Kerusakan cel otak ↑
G. PENATALAKSANAAN
Konservatif
• Bedrest total
• Pemberian obat-obatan
♥ Dexamethason/ Kalmethason
♥ Analgesik
♥ Larutan hipertonik, yaitu manitol 20% atau glukosa 40%
♥ Antibiotik
• Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.
• Tindakan terhadap peningkatan TIK
• pemantauan TIK dengan ketat
• oksigenasi adekuat
• pemberian mannitol
• penggunaan steroid
• peningkatan kepala tempat tidur
• bedah neurologi
• Tindakan pendukung lain
• dukungan ventilasi
• pencegahan kejang
• pemeliharan cairan, elektrolit, dan keseimbangan nutrisi
• terapi antikonvulsan
• klorpromazin ◊ menenangkan pasien
• selang nasogastrik
• Pembedahan
H. KOMPLIKASI
• Perdarahan ulang
• Kebocoran cairan otak
• Infeksi pada luka atau sepsis
• Timbulnya edema serebri
• Timbulnya edema pulmonum neurogenik, akibat peninggian TIK
• Nyeri kepala setelah penderita sadar
• Konvulsi
Evaluasi epidural hematom dengan kontusio serebri lebih buruk daripada kalau hanya ada
epidural hematomnya (Guillermann, 1996)
Volume hematom epidural (EDH)
EDH < 50 cc ◊ mortalitasnya 12 %
EDH 50 – 100 cc ◊ mortalitasnya 33 %
EDH > 100 cc ◊ mortalitasnya 66 %
I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Hal-hal yang perlu dikaji pada klien cedera kepala:
1. PENGKAJIAN PRIMER
A. Air Way
- Look, listen and fell
B. Breathing
- Look, listen and fell
C. Circulation
- Tanda-tanda vital, perfusi perifer
D. Disability
- Tingkat kesadaran, GCS, AVPU
E. Expossure
- Jejas, luka, trauma, fraktur
2. PENGKAJIAN SEKUNDER
A. Keadaan umum
B. Riwayat penyakit
C. Pemeriksaan fisik head to toe
DECAPBLS
Bila ada fraktur : PIC
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola nafas tidak efektif
2. Perfusi jaringan tidak efektif (cerebral)
3. Nyeri akut
K. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosis Tujuan Intervensi
1. Pola Nafas tidak efektif
Batasan karakteristik :
- Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi
- Penurunan pertukaran udara per menit
- Menggunakan otot pernafasan tambahan
- Nasal flaring
- Dyspnea
- Orthopnea
- Perubahan penyimpangan dada
- Nafas pendek
- Assumption of 3-point position
- Pernafasan pursed-lip
- Tahap ekspirasi berlangsung sangat lama
- Peningkatan diameter anterior-posterior
- Pernafasan rata-rata/minimal
♣ Bayi : < 25 atau > 60
♣ Usia 1-4 : < 20 atau > 30
♣ Usia 5-14 : < 14 atau > 25
♣ Usia > 14 : < 11 atau > 24
- Kedalaman pernafasan
♣ Dewasa volume tidalnya 500 ml saat istirahat
♣ Bayi volume tidalnya 6-8 ml/Kg
- Timing rasio
- Penurunan kapasitas vital
Skala :
1 : tidak adekuat
2 : sedikit adekuat
3 : sedang
4 : agak adekuat
5 : sangat adekuat
NIC :
Airway Management
• Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila perlu
• Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
• Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
• Pasang mayo bila perlu
• Lakukan fisioterapi dada jika perlu
• Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
• Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
• Lakukan suction pada mayo
• Berikan bronkodilator bila perlu
• Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
• Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
• Monitor respirasi dan status O2
Terapi Oksigen
ϖ Bersihkan mulut, hidung dan secret trakea
ϖ Pertahankan jalan nafas yang paten
ϖ Atur peralatan oksigenasi
ϖ Monitor aliran oksigen
ϖ Pertahankan posisi pasien
ϖ Onservasi adanya tanda tanda hipoventilasi
ϖ Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Skala :
1 : tidak adekuat
2 : sedikit adekuat
3 : sedang
4 : agak adekuat
5 : sangat adekuat
NIC :
Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
ϖ Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap panas/dingin/tajam/tumpul
ϖ Monitor adanya paretese
ϖ Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi
ϖ Gunakan sarung tangan untuk proteksi
ϖ Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
ϖ Monitor kemampuan BAB
ϖ Kolaborasi pemberian analgetik
ϖ Monitor adanya tromboplebitis
ϖ Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
3. Nyeri Akut
Definisi :
Sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang muncul secara aktual
atau potensial kerusakan jaringan atau menggambarkan adanya kerusakan (Asosiasi Studi
Nyeri Internasional): serangan mendadak atau pelan intensitasnya dari ringan sampai berat
yang dapat diantisipasi dengan akhir yang dapat diprediksi dan dengan durasi kurang dari 6
bulan.
Batasan karakteristik :
- Laporan secara verbal atau non verbal
- Fakta dari observasi
- Posisi antalgic untuk menghindari nyeri
- Gerakan melindungi
- Tingkah laku berhati-hati
- Muka topeng
- Gangguan tidur (mata sayu, tampak capek, sulit atau gerakan kacau, menyeringai)
- Terfokus pada diri sendiri
- Fokus menyempit (penurunan persepsi waktu, kerusakan proses berpikir, penurunan
interaksi dengan orang dan lingkungan)
- Tingkah laku distraksi, contoh : jalan-jalan, menemui orang lain dan/atau aktivitas, aktivitas
berulang-ulang)
- Respon autonom (seperti diaphoresis, perubahan tekanan darah, perubahan nafas, nadi dan
dilatasi pupil)
- Perubahan autonomic dalam tonus otot (mungkin dalam rentang dari lemah ke kaku)
- Tingkah laku ekspresif (contoh : gelisah, merintih, menangis, waspada, iritabel, nafas
panjang/berkeluh kesah)
- Perubahan dalam nafsu makan dan minum
Keterangan:
− 1 = tidak pernah dilakukan
− 2 = jarang dilakukan
− 3 =kadang-kadang dilakukan
− 4 =sering dilakukan
− 5 = selalu dilakukan pasien
Keterangan:
1 : Berat
2 : Agak berat
3 : Sedang
4 : Sedikit
5 : Tidak ada Manajemen Nyeri
− Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik dan onset, durasi,
frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor presipitasi
− observasi isyarat-isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif
− Berikan analgetik sesuai dengan anjuran
− Gunakan komunikiasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
− Kaji latar belakang budaya pasien
− Tentukan dampak dari ekspresi nyeri terhadap kualitas hidup: pola tidur, nafsu makan,
aktifitas kognisi, mood, relationship, pekerjaan, tanggungjawab peran
− Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis
− Evaluasi tentang keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri yang telah digunakan
− Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga
− Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan
pencegahan
− kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap
ketidaknyamanan (seperti: temperatur ruangan, penyinaran, dll)
− Anjurkan pasien untuk memonitor sendiri nyeri
− Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (seperti: relaksasi, guided imagery, terapi
musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase)
− Evaluasi keefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
− Modifikasi tindakan mengontrol nyeri berdasarkan respon pasien
− Tingkatkan tidur/istirahat yang cukup
− Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
− Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
− Informasikan kepada tim kesehatan lainnya/anggota keluarga saat tindakan nonfarmakologi
dilakukan, untuk pendekatan preventif
− Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri
Pemberian Analgetik
− Tentukan lokasi nyeri, karakteristik, kualitas,dan keparahan sebelum pengobatan
− Berikan obat dengan prinsip 5 benar
− Cek riwayat alergi obat
− Libatkan pasien dalam pemilhan analgetik yang akan digunakan
− Pilih analgetik secara tepat /kombinasi lebih dari satu analgetik jika telah diresepkan
− Tentukan pilihan analgetik (narkotik, non narkotik, NSAID) berdasarkan tipe dan keparahan
nyeri
− Monitor tanda-tanda vital, sebelum dan sesuadah pemberian analgetik
− Monitor reaksi obat dan efeksamping obat
− Dokumentasikan respon setelah pemberian analgetik dan efek sampingnya
− Lakukan tindakan-tindakan untuk menurunkan efek analgetik (konstipasi/iritasi lambung)
Manajemen Lingkungan: Kenyamanan
− Pilihlah ruangan dengan lingkungan yang tepat
− Batasi pengunjung
− Tentukan hal hal yang menyebabkan ketidaknyamanan pasien sepeti pakaian lembab
− Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
− Tentukan temperatur ruangan yang paling nyaman
− Hindari penyinaran langsung dengan mata
− Sediakan lingkungan yang tenang
− Perhatikan hygiene pasien untuk menjaga kenyamanan
− Atur posisi pasien yang membuat nyaman
B. PATOFISIOLOGI
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan
glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan
terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100
gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana
penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi,
jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu
didapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan,
hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa
klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak
karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX,
XII.
4. Pemeriksaan Penujang
• CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.
• MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
• Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :
perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
• Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis
• X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur
garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
• BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil
• PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak
• CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan
subarachnoid.
• ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial
• Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrkranial
• Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan
Konservatif:
• Bedrest total
• Pemberian obat-obatan
• Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)
Prioritas Perawatan:
1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian informasi tentang proses penyakit, prognosis, rencana pengobatan,
dan rehabilitasi.
Tujuan:
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh
keluarga sebagai sumber informasi.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Tidakefektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan
sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan udem otak
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos -
coma)
5. Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi, tidak
adekuatnya sirkulasi perifer.
C. INTERVENSI
Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda
hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
• Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari
pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat
meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
• Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam
pemberian tidal volume.
• Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih
panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi
terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
• Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat
mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan
resiko infeksi.
• Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.
• Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan
ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd
ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.