Anda di halaman 1dari 15

BAB II

DASAR TEORI

2.1 Tinjauan Pustaka


Pencarian citra merupakan permasalahan yang menarik untuk dicari
alternatif penyelesaiannya. Berikut ini adalah penelitian yang sebelumnya
dilakukan seputar pencarian dan pencocokan citra.
a. Pencarian citra dengan teknik multiresolusi dengan memanfaatkan ciri tepi
suatu citra oleh Hirata dan Kato(1992). Teknik ini dikenal dengan QVE
(Query by Visual Example)
b. Pencarian citra dengan memanfaatkan warna, tekstur dan bentuk citra yang
dikenal dengan metode QBIC (Query By Image Content) oleh Ramakrishna
dkk dalam Suta Wijaya (2001). Metode ini telah dimanfaatkan oleh IBM
untuk membangun perangkat lunak pencarian citra yang bersifat komersial.
Dalam perangkat lunak tersebut user dapat membuat query berdasarkan pada
berbagai variasi perbedaan atribut visual seperti komposisi warna dan ciri
bentuk.
c. Pencarian Citra yang didasarkan pada rupa oleh S. Ravela dkk dalam Suta
Wijaya (2001). Citra query dibangun berdasarkan berdasarkan bagian-
bagian tertentu dari suatu citra. Citra yang diambil dari basis data kemudian
diurut berdasarkan tingkat kemiripan dengan citra query. Dengan teknik ini
digunakan tapis (filter) yang diperoleh dari turunan Gausian. Tapis ini
berguna dalam menghitung tingkat kemiripan antara citra query dengan citra
pustaka. Metode ini masih tetap efektif walaupun telah terjadi perubahan
skala yag cukup besar terhadap ukuran citra query.
d. Jacob dkk. (1995) dalam Dharma Putra (2000), membangun sebuah metode
pencarian citra dengan menggunakan metode dekomposisi wavelet. Ciri-ciri

5
suatu citra yang disebut dengan signature dipilih berdasar koefisien-
koefisien wavelet yang memiliki magnitude terbesar hasil proses
transformasi wavelet. Sedangkan tingkat kemiripan citra query dengan citra
pustaka dihitung dengan sebuah metrika citra multiresolusi. Metrika ini
memberikan sebuah nilai yang menyatakan tingkat kemiripan antara citra
query dengan citra pustaka. Citra pustaka yang memberikan nilai paling
kecil berarti citra tersebut paling mirip dengan citra query.
e. Dharma Putra (2000) juga membangun suatu metode pencarian citra dengan
menggunakan metode dekomposisi wavelet. Metode ini mirip dengan
metode yang diperkenalkan oleh Jacob dkk. (1995) perbedaannya terletak
pada sistem ruang warna dan jenis query yang digunakan, yaitu sistem ruang
warna RGB, YIQ, dan HSV dengan 5 jenis query dipakai oleh Jacob dkk.
dan sistem ruang warna CIELUV, RGB, dan YIQ dengan 37 jenis query
digunakan oleh Dharma Putra. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
sistem ruang warna YIQ sangat baik untuk pengenalan citra.
f. Kanata (2001) melakukan penelitian tentang deteksi jenis gempa volkanik
pada gunung Merapi berbasis transformasi Fourier diskret dan jaringan
syaraf tiruan, yang memberikan hasil 92,6 % ketepatan pendeteksian.
g. Suta Wijaya (2002) melakukan penelitian tentang pengenalan citra wajah
menggunakan wavelet, dengan metrika Lq sebagai elemen pengenalnya
memberikan hasil tingkat kesuksesan pengenalan 90% dan wavelet terbaik
untuk wajah adalah Daubechies 8 dengan tingkat kedalam dekomposisi dua.
h. Suta Wijaya (2003) melakukan penelitian tentang Pengenalan Citra Sidik
Jari Berbasis Alihragam Wavelet dan Neural Network, yang memberikan
hasil pengenalan yang baik rata-rata 90% kesuksesan pengenalan. Pada
penelitian ini terbentuk analisa untuk menemukan metrika model JST yang
dapat menggantikan algoritma JST karena algoritma JST membutukan

6
sistem pelatihan yang membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan
ketelatenan dalam melatih.
i. Pengenalan citra wajah menggunakan Metode Alihragam Gelombang
Singkat dan Metrika Lq oleh Suta Wijaya dan Budi Suksmadana (2004).
Alihragam gelombang singkat dilakukan dengan mengkonvolusi sinyal
dengan data tapis atau dengan proses perata-rataan dan pengurangan secara
berulang, yang sering disebut metode filter bank.Gelombang singkat Coflet
6, Daubechies 8 dan Symlet 8 merupakan jenis alihragam gelombang singkat
yang baik digunakan untuk pengenalan citra wajah. Waktu pengenal yang
diperlukan sangat pendek dan waktu pengenalalan bersifat linear terhadap
ukuran basis data, sehingga metode ini dapat digunakan untuk pengenalan
citra wajah dengan ukuran basis data yang besar. Hasil lain yang menarik
dari penelitian ini adalah tingkat kesuksesan pencarian citra query yang
bersumber dari sketsa pensil warna sangatlah baik.
j. Pencarian citra berbasis DCT dan metrika Lq oleh Sugeng Nugroho (2004).
Citra pustaka ataupun citra query bersumber dari scaner berupa sidik jari
Hasil dari penelitian ini menemukan bahwa pencarian citra sidik jari
menggunakan alihragam DCT sangat baik hasilnya jika di query
menggunakan citra blur dan citra query asli. Tingkat kesuksesan pencarian
citra sangat dipengaruhi oleh batasan treshold score yang digunakan.
Semakin besar treshold score yang digunakan maka tingkat kesuksesan
yang dihasilkan akan semakin tinggi.
k. Pencarian citra sidik jari menggunakan metode DCT dan metrika model
jaringan syaraf tiruan oleh Luh Agustina Esti Palupi (2004). Sama seperti
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sugeng Nugroho namun metode
pencocokan yang digunakan menggunakan metrika model jaringan syaraf

7
tiruan. Metrika model jaringan syaraf tiruan digunakan pada penelitian ini
karena dianggap memiliki ketelitian lebih tinggi dari metode yang lainnya.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Pengenalan Pola
Pengenalan pola (patern recognition) sesungguhnya telah lama ada,
dan pengenalan pola mengalami perkembangan terus menerus dimulai dari
pengenalan pola tradisional kemudian menjadi pengenalan pola modern. Pada
mulanya pengenalan pola berbasis pada kemampuan alat indera manusia,
dimana manusia mampu mengingat suatu informasi pola secara menyeluruh
hanya berdasarkan sebagian informasi pola yang tersimpan di dalam
ingatannya.
Inti dari pengenalan pola adalah proses pengenalan suatu objek dengan
menggunakan berbagai mode dimana dalam proses pengenalannya memiliki
tingkat akurasi yang tinggi. Tingkat akurasi yang tinggi memiliki pengertian
bahwa suatu objek yang secara manual (oleh manusia) tidak dapat dikenali
tetapi bila menggunakan salah satu metode pengenalan yang diaplikasikan
pada komputer masih dapat dikenali.

2.2.2 Fast Discrete Cosine Transform (DCT)


Sebenarnya algoritma Fast DCT bereferensi pada algoritma Fast Fourier
Transform Cooley and Tukey yang digunakan pada implementasi Discrete
Fourier Transform.
DCT dari deret {x(m), (m=0,…..,N-1)} dapat diimplementasikan dengan
FFT. Jika kita tentukan sebuah Deret {y(m), (m=0,…..,N-1)}, dimana

8
Untuk selanjutnya hasil DCT dari x(n) dapat ditulis sebagai berikut

dari penjabaran di atas diketahui bagian pertama merupakan periodik genap


dan bagian kedua adalah periodik ganjil.
Secara singkat proses Fast Forward DCT adalah urutan berikut:
1. Membuat deret Y(m) dari deret x(m)

…………(1)

2. Diperoleh nilai DFT Y(n) dari y(n) menggunakan kompleksitas FFT


Nlog2N

……………(2)
3. Didapatkan nilai DCT X(n) dari Y(n)

………….(3)
Keterangan:
X(n) = Keluaran proses Fast DCT
y(m) = Masukan proses Fast DCT
n = Index ke n
N=Panjang Data

9
Secara skema proses FDCT 2D akan tampak seperti Gambar 2.1 berikut:

[C] FDCT 1D FDCT 1D Hasil FDCT 2D


(Baris) (Kolom)

FDCT 2D

Gambar 2.1 Skema FDCT 2D


2.2.3 Metrika Pencarian Citra
Tingkat kemiripan antara citra query dengan citra pustaka dihitung
dengan menggunakan metrika pencarian citra (image querying metrics). Jenis
metrika yang digunakan untuk menghitung tingkat kemiripan adalah metrika
multiresolusi. Metrika multiresolusi sering disebut juga metrika Lq. Metrika
ini diperkenalkan oleh Jacob dkk(1995). Bentuk metrik Lq sebagai berikut

Q, T = w0 , 0 Q[0,0] − T [0,0] + ∑ wi , j Q[i, j ] − T [i, j ] …………..(4)


i, j

dengan Q[0,0] dan T[0,0] berturut turut menyatakan koefisien fungsi


penskalaan untuk citra query dan citra pustaka yang berhubungan dengan
keseluruhan intensitas rata-rata untuk setiap sistem koordinat warna
sedangkan Q[i,j] dan T[i,j] berturut-turut menyatakan koefisien hasil dari
alihragam Fast DCT yang telah dipotong (truncated) dan dikuantisasi
(quantized) dari citra Q dan T untuk setiap posisi i,j. Faktor wi,j merupakan
faktor bobot rata-rata untuk setiap titik citra pada posisi i,j dalam sistem
koordinat warna.
Untuk mempercepat proses perhitungan, maka persamaan diatas
dimodifikasi menjadi

Q, T q
= w0 , 0 Q[0,0] − T [0,0] + ∑ wi , j Q[i, j ] = T [i, j ] …………..(5)
i , j:Q [i , j ]= 0

10
Persamaan (Q[i, j ] = T [i, j ]) akan mengembalikan nilai kondisi

(Q[i, j ] = T [i, j ]) dipenuhi, dan nilai 0 untuk kondisi yang lainnya.

2.2.4 Tabel Citra Pustaka


Citra Pustaka merupakan kumpulan file citra yang tersusun secara rapi,
agar dapat diimplementasikan dalam program, kumpulan citra tersebut
haruslah dibuat dalam bentuk tabel citra. Salah satu perangkat lunak yang
dapat digunakan adalah Paradox yang sudah terintegrasi dengan Database
Desktop yang merupakan add-ins Borland Delphi 7. Dalam penggunaannya,
Paradox hanya mengijinkan 1 tabel dalam 1 file database, lain halnya seperti
program Ms-Access yang memungkinkan untuk membuat banyak tabel dalam
1 file database. Pada pembuatan strukturnya Database Desktop menyediakan
kolom Field Name, Type, Size dan Key.
Nama Field adalalah nama pengenal suatu kolom dalam tabel. Aturan
untuk pemberian nama field adalah sebagai berikut:
1. Maksimum panjangnya 25 karakter
2. Tidak boleh diawali spasi, tetapi boleh mengandung spasi.
3. Harus unik, yaitu tidak boleh ada yang sama dalam satu table.
4. Jangan menggunakan tanda koma (,), tanda pipe (|) dan tanda seru(!).
5. Hindarkan penggunaan kata perintah SQL seperti SELECT, WHERE,
COUNT.
Type berguna untuk menentukan tipe data yang dapat di tampung
dalam field. Tipe field yang sering dipakai adalah:
a. A(Alpha), untuk menampung kumpulan karakter huruf, angka dan
karakter ASCII yang dapat tercetak. Lebar field tipe ini adalah
antara 1 sampai 255 byte.

11
b. N(Number), untuk menampung data angka yang dapat dihitung.
Jangkauan yang dapat disimpan adalah dari -10307 to 10308
dengan 15 digit angka signifikan.
c. S(Money), sama dengan number tapi defaultnya data ditampilkan
dengan desimal dan pemisah ribuan. Karakter pemisah desimal dan
pemisah ribuan tergantung dari Regional setting dari sistem operasi
MS-Windows. Tipe field ini sangat cocok untuk angka yang
menunjukkan nilai uang.
d. S(Short), untuk menampung bilangan bulat antara – 32.767 sampai
32.767.
e. I(Long Integer), untuk menampung bilangan bulat dengan nilai
antara -2147483648 sampai 2147483648.
f. D(Date), untuk menampung data tanggal sampai dengan 31
Desember 9999.
g. T (Time), untuk menampung data waktu dalam 24 jam sampai
hitungan milidetik.
h. M (Memo), untuk menampung data memo. Data memo biasanya
dipakai untuk menyimpan sata seperti tipe Alpha, tetapi isinya
dapat sangat besar dan dapat terdiri dari beberapa baris.

2.2.5 Kuantisasi dan Pemotongan


Dari istilahnya, kuantisasi merupakan pembulatan nilai tersampling ke
dalam level tertentu yang ditentukan oleh sistem. Pada proses pemotongan,
dilakukan pengambilan beberapa nilai besar untuk dilakukan proses
berikutnya. Jika dalam satu citra dilakukan pemotongan 16, maka dari 16.384
nilai hasil trasformasi akan di ambil 16 nilai besar. Gambar berikut ini adalah
ilustrasi pemotongan:

12
7342 1200 512 520 7342 1200 520
517 250 131 91 517
Dilakukan pemotongan 4
42 25 13 5
7 4 2 1

Gambar 2.2 Ilustrasi Pemotongan

2.2.6 Ruang Warna


Cahaya tampak sering disebut dengan cahaya saja, merupakan
sebagian kecil spektrum gelombang elektromagnetik yang memiliki rentang
panjang gelombang antara 400 nm sampai dengan 700 nm. Pada spektrum
cahaya tampak terdapat beberapa bagian cahaya dengan warna berbeda seperti
merah, ungu dan lain sebagainya, dengan demikian warna merupakan fungsi
panjang gelombang cahaya. Dapat juga didefinisikan bahwa warna suatu
objek merupakan fungsi panjang gelombang cahaya yang dipantulkan oleh
obyek yang bersangkutan ke mata manusia. Panjang gelombang pada kisaran
cahaya tampak memiliki luminans dan saturasi (jumlah cahaya putih yang
ditambahkan) dijaga tetap, sehingga seseorang yang memiliki penglihatan
warna normal akan dapat membedakan kira-kira 128 warna.

2.2.6.1 Dasar Warna


Suatu warna tertentu dapat dihasilkan dari pencampuran warna primer.
Gambar 2.3 berikut menunjukkan sistem aditif yang memiliki tiga komponen
warna primer, yaitu merah, hijau, dan biru. Dari gambar tampak bahwa
pencampuran warna merah, hijau dan biru pada takaran yang tepat akan
menghasilkan warna putih. Dua warna disebut komplementer jika kedua
warna tersebut dicampur pada takaran yang tepat akan menghasilkan warna
putih, sebagai contoh warna magenta dicampur dengan warna hijau pada
takaran yang tepat akan menghasilkan warna putih. Oleh karena itu warna
magenta merupakan komplemen untuk warna hijau. Informasi dari suatu objek
dapat diwakili oleh warna yang dipantulkan oleh objek yang bersangkutan ke
mata.

13
Hijau Magenta

Biru Merah
Cyan Kuning
Putih Hitam

Biru Magenta Merah Cyan Hijau Kuning

(a) (b)

Gambar 2.3 Percampuran warna aditif dan warna subtraktif

Tingkat pantulan warna suatu objek ke mata dinyatakan dengan


luminans, kontras dan kecerahan. Luminans menyatakan banyaknya cahaya
yang dipantulkan oleh permukaan obyek yang dinyatakan dalam satuan lilin
per meter persegi, semakin besar luminans suatu obyek, maka rincian obyek
yang dapat dilihat oleh mata semakin banyak. Kontras menyatakan hubungan
antara cahaya yang dipantulkan oleh suatu obyek dengan cahaya dari latar
belakang obyek tersebut. Kontras juga didefinisikan sebagai selisih antara
luminans obyek dengan latar belakangnya dibagi dengan luminans latar
belakangnya. Nilai kontras positif akan diperoleh jika cahaya yang
dipancarkan oleh suatu obyek lebih besar dibanding yang dipancarkan latar
belakangnya. Nilai kontras negatif dapat menyebabkan obyek yang
sesungguhnya "terserap" oleh latar belakang, sehingga obyek menjadi tidak
tampak. Kecerahan adalah tanggapan subjektif pada cahaya. Tidak ada arti
khusus dari tingkat kecerahan seperti luminans dan kontras, tetapi luminans
yang tinggi berimplikasi pada kecerahan yang tinggi pula.

2.2.6.2 Sistem Ruang Warna


Citra disusun oleh sejumlah piksel yang membentuk matriks. Dengan
demikian piksel merupakan komponen terkecil citra yang mengandung
informasi (Arymurthy, 1992). Setiap piksel citra berwarna mengandung tiga
komponen warna dasar yaitu komponen warna merah ( red ), komponen

14
warna hijau ( green ), dan komponen warna biru ( blue ) yang sering disebut
dengan komponen RGB. Atas dasar tersebut citra berwarna disusun oleh tiga
buah matriks komponen warna, yaitu matriks komponen warna R, matriks
komponen warna G, dan matriks komponen warna B untuk sistem ruang
warna RGB. Ada beberapa sistem ruang warna yang diciptakan untuk
keperluan tertentu atau diciptakan khusus untuk platform perangkat-keras
tertentu, seperti yang didefinisikan oleh Burdick (1997) berikut:
1. Sistem ruang warna RGB diciptakan untuk menampilkan citra pada
layar CRT yang memiliki tiga buah pospor warna yang akan
menghasilkan tiga buah warna dasar, yaitu merah, hijau, dan biru.
2. Sistem ruang warna CMY (Cyan, Magenta, Yellow) diciptakan
untuk keperluan mencetak citra berwarna (color printing).
3. Sistem ruang warna luminans-crominans yaitu YIQ dan LUV
diciptakan untuk keperluan penyiaran televisi.
4. Sistem ruang warna HIS (hue, intensity, and saturation) merupakan
sistem ruang warna yang banyak digunakan untuk pengolahan citra
seni (artists).

a. Sistem ruang warna RGB


Sistem ruang warna RGB merupakan sistem ruang warna dasar.
diperkenalkan oleh National Television System Committee (NTSC) yang
banyak digunakan untuk menampilkan citra berwarna pada monitor CRT
(Jain, 1989). Sistem ini diilustrasikan menggunakan sistem koordinat tiga-
dimensi seperti gambar 2.4 berikut.

15
Blue Cyan
( 0,0,255 ) ( 0,255,255 )

Gray Line
Magenta
( 255,0,255 ) White
( 255,255,255 )

Mid Gray
( 128,128,128 )
Black
Green
( 0,0,0 )
( 0,255,0 )

Red
( 255,0,0 )
Yellow
( 255,255,0 )

Gambar 2.4 Sistem ruang warna RGB NTSC (Burdick, 1997)

Pada gambar di atas tampak bahwa setiap warna akan diwakili oleh
tiga buah nilai dalam koordinat tersebut yang menyatakan komponen
warna RGB, sebagai misal warna merah akan diwakili oleh titik (255,0,0).
Rentang nilai untuk setiap sumbu berkisar dari 0 sampai 255. Pada gambar
tersebut tampak juga bahwa warna cyan, magenta dan kuning merupakan
komplemen warna merah, hijau, dan biru.

b. Sistem ruang warna YIQ


Sistem ruang warna YIQ juga diperkenalkan oleh Mahona/
Television System Committee (NTSC) merupakan sistem ruang warna
standar untuk system penyiaran televisi berwarna di USA dan Jepang
(Jain, 1989). Sistem ini memiliki sifat-sifat khusus yaitu:
1) sistem penyiaran televisi berwarna menggunakan YIQ kompatibel
dengan televisi monokrom dan
2) pentransmisian sinyal televisi berwarna memerlukan lebar-bidang yang
sama dengan sinyal monokrom yaitu kurang lebih sebesar 6 MHz.

16
Keuntungan yang diperoleh dari penggunaan sistem ruang warna YIQ
dalam penyiaran adalah adanya mekanisme kompresi dalam proses
alihragamnya, sehingga dalam pentransmisiannya memerlukan lebar-
bidang yang terbatas, yaitu 4,2 MHz untuk komponen Y, 1,5 MHz untuk
komponen I, dan 0,55 MHz untuk komponen Q.
Alihragam dari sistem RGB ke YIQ dapat dilakukan secara linear
(Jain, 1989), menggunakan persamaan berikut.

⎡Y ⎤ ⎡0,299 0,587 0,114 ⎤ ⎡ R ⎤


⎢ I ⎥ = ⎢0,596 − 0,274 − 0,322⎥.⎢G ⎥ ……………………….(6)
⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎢ ⎥
⎢⎣Q ⎥⎦ ⎢⎣0,211 − 0,523 0,312 ⎥⎦ ⎢⎣ B ⎥⎦

Y mengandung komponen luminans yang dominan, sedangkan I dan Q


merupakan komponen yang mengandung informasi warna dan sedikit
luminans, sehingga alihragam YIQ memberikan keuntungan-keuntungan
pada human visual system, yaitu adanya penumpukan informasi pada
komponen Y-nya. Secara teoritis mata manusia lebih sensitif pada
perubahan luminans daripada perubahan hue dan saturasi. Dalam sistem
penyiaran sinyal Y merepresentasikan tingkat kecerahan/keabuan
(brightness, luminance), merupakan sinyal yang hanya dibutuhkan oleh
televisi hitam-putih. Koefisien alihragam diperoleh atas dasar tanggapan
relatif tingkat kecerahan mata manusia terhadap warna hijau dan biru,
sedangkan I dan Q merupakan suatu penyekalaan dan perotasian dari R-Y
dan B-Y dengan sudut 33 derajat. Hal ini dilakukan atas dasar sensitifitas
mata manusia terhadap warna.

c. Sistem ruang warna CIE


Sistem ruang warna RGBCIE yang sering disebut dengan CIERGB
diperkenalkan oleh Commission Internationale de l 'Eclairage (CIE) atas
dasar spectral primary system yang merupakan sumber utama monokrom.

17
Sistem ruang warna ini menggunakan panjang gelombang RCIE (red 700
nm), GCIE (green 546,1 nm) dan BCIE (blue 435,7 nm), dengan demikian
sistem ruang warna RGBCIE berbeda dengan sistem ruang warna RGB
dalam hal kecerahannya, yaitu RGBCIE warna RGB-nya lebih cerah
daripada sistem RGB. Menurut Jain (1989) sistem ruang warna RGBCIE
dapat diperoleh dengan konversi sistem ruang warna RGB dengan
menggunakan persamaan berikut.

⎡ RCIE ⎤ ⎡1,167 − 0,146 0,151⎤ ⎡ R ⎤


⎢G ⎥ = ⎢0,114 0,753 0,159⎥⎥.⎢⎢G ⎥⎥ ……………………….(7)
⎢ CIE ⎥ ⎢
⎢⎣ BCIE ⎥⎦ ⎢⎣− 0,001 0,059 1,128 ⎥⎦ ⎢⎣ B ⎥⎦

Kelemahan sistem ruang warna RGBCIE adalah tidak dapat menghasilkan


semua warna.
Sistem ruang warna XYZ juga diperkenalkan oleh Commission
Internationale de l'Ecloirage (CIE) dengan tujuan untuk mengatasi
kelemahan sistem ruang warna RGBCIE. Sistem ruang warna XYZ dapat
diperoleh dari system ruang warna RGB atau RGBCIE melalui alihragam
yang menggunakan persamaan berikut.
⎡ X ⎤ ⎡0,607 0,174 0,201⎤ ⎡ R ⎤
⎢Y ⎥ = ⎢0,299 0,587 0,114 ⎥.⎢G ⎥ …………………………(8)
⎢ ⎥ ⎢ ⎥⎢ ⎥
⎢⎣ Z ⎥⎦ ⎢⎣0,000 0,066 1,117 ⎥⎦ ⎢⎣ B ⎥⎦

⎡ X ⎤ ⎡0,490 0,310 0,200⎤ ⎡ RCIE ⎤


⎢Y ⎥ = ⎢0,117 0,813 0,011 ⎥.⎢G ⎥ ………………………(9)
⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ CIE ⎥
⎢⎣ Z ⎥⎦ ⎢⎣0,000 0,010 0,990 ⎥⎦ ⎢⎣ BCIE ⎥⎦

Untuk mendapatkan sistem ruang warna LUV dilakukan dengan cara


mengalihragamkan sistem ruang warna XYZ di atas ke sistem CIELUV
dengan menggunakan rumus:
1
W * = 25(100Y ) 3
− 17 ; 0.01≤Y≤1
………………(10)
U * = 13W * (u − u 0 )
V * = 13W * (v − v 0 )

18
dimana u dan v dihitung dengan rumus:
4X 4x
u= =
X + 15Y + 3Z − 2 x + 12 y + 3 …………………..(11)
6Y 6y
v= =
X + 15Y + 3Z − 2 x + 12 y + 3
dengan uo dan vo merupakan referens untuk warna putih sedangkan W*
menyatakan tingkat kekontrasan.

19

Anda mungkin juga menyukai