Anda di halaman 1dari 7

Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam “Existentialism and 

Humanism”

Filsuf eksistensialis Jean Paul Sartre lahir di Paris tanggal 21 Juni 1905. Karir filsafatnya baru
mendapatkan perhatian yang besar dari publik intelektual setelah ia menulis dan menerbitkan
L’être et le néant. Essai d’ontologie phénomenologique (1943). Dengan buku ini segera Sartre
menjadi filsuf ternama dan diidolakan sebagai salah seorang pemimpin gerakan filosofis yang
disebut eksistensialisme. Meskipun buku ini mengorbitkan nama Sartre namun toh harus diakui
bahwa tidak begitu banyak orang yang memahami pemikirannya yang memang rumit, khususnya
yang berbicara tentang kesadaran. Untuk mempopulerkan idenya itu, maka tiga tahun kemudian
Sartre mengeluarkan buku kecil berjudul L’existentialisme est un humanisme (1946). Lewat buku
ini Sartre menyingkatkan pemikirannya sekaligus berupaya menanggapi sejumlah kritik yang
dialamatkan kepadanya[3], khususnya dari kaum komunis dan pihak Kristen.

Buku itulah yang kini ingin kami eksplorasi dalam tulisan singkat ini. Adapun tujuan dekat dari
penulisan ini adalah untuk memberikan sekelumit gambaran yang lebih terang mengenai
eksistensialisme sebagaimana dimaksud Sartre dan dari situ kita bisa belajar sejumlah tema
umum eksistensialisme seperti liberté (kebebasan), engagement (komitmen), angoisse
(kecemasan), responsibilité (tanggungjawab), subjectivité (subjektivitas) dan bahwa ‘eksistensi
mendahului esensi.’ Tujuan jauh dari tulisan ini adalah agar pembaca tergerak untuk langsung
membaca dari sumber-sumber pertama dan bukan melulu tergantung dari keterangan yang
diberikan dalam buku Sejarah Filsafat atau kritik atasnya. Selanjutnya diharapkan agar kita dapat
menjadi kritis terhadap situasi dunia di sekeliling kita, kritis terhadap ideologi-ideologi yang
bertebaran di sana-sini dan tidak lupa untuk menjadi kritis terhadap pemikiran Sartre dan
terhadap diri sendiri. Tulisan akan dibagi menjadi 3 bagian pokok yang satu dengan lainnya
saling berkaitan, walaupun mungkin secara longgar. Bagian pertama akan berbicara tentang
eksistensialisme itu sendiri dengan keberagaman nuansanya. Dalam bagian kedua, penulis akan
melihat apa yang dimaksud Sartre dengan humanisme. Pada bagian ketiga akan disampaikan
sejumlah kritik atas pandangan Sartre. Mengingat keterbatasan ruang pengungkapan, tidak
semua tema menarik yang dihantar oleh Sartre dalam bukunya tersebut akan penulis uraikan di
sini.

Penjernihan istilah Eksistensialisme oleh Sartre

Atas sekian banyak tuduhan yang dialamatkan kepadanya, atau kepada aliran pemikiran yang ia
geluti, yaitu Eksistensialisme, Sartre menanggapinya dengan menggunakan cara menidak,
“Eksistensialisme itu tidak seperti ini dan tidak seperti itu.” Eksistensialisme, misalnya dituduh
sebagai nama lain dari pesimisme, quietisme[4], bahkan filsafat keputus-asaan yang sama sekali
tidak memberikan gambaran yang positif tentang hidup manusia melainkan sisi gelap dan jahat
darinya[5]. Dengan agak berlebihan bahkan Sartre mengatakan bahwa kejelekan atau keburukan
itu diidentikkan dengan eksistentialisme[6]. Dari pihak Komunis, Eksistensialisme juga dituduh
sebagai sebuah filsafat kontemplatif yang berarti suatu kemewahan dan itu identik dengan
filsafat kaum bourgeois.
Dari pihak Katolik, seperti Mlle.Mercier, dilancarkan tuduhan bahwa eksistensialisme itu hanya
menggarisbawahi hal-ihwal yang memalukan, yang rendah, yang patut dicela, yang menjijikkan
dalam situasi konkret manusia dan Sartre cenderung mengabaikan pesona, keindahan dan hal-hal
yang baik dari kodrat manusia. Lebih jauh lagi, eksistensialisme dianggap menyangkal realitas
dan kesungguhan perikehidupan antar manusia karena ia mengabaikan Perintah Tuhan dan nilai-
nilai yang dalam pandangan Kristen disakralkan dan dipercaya sebagai abadi. Singkatnya,
eksistensialisme itu melulu voluntary. Artinya, bahwa tiap orang dapat berbuat semaunya seturut
apa yang ia sukai.

Ada lagi yang berkomentar bahwa eksistensialisme itu sama sekali tidak menyinggung soal
solidaritas umat manusia dan menelaah manusia dalam ke-terisolir-annya. Dan ini, dalam
pandangan kaum komunis, dikarenakan eksistensialisme mendasarkan ajarannya pada
subjektivitas murni—seperti yang diajarkan oleh Descartes dengan cogito-nya—karenanya,
eksistensialisme dengan ego-nya, tidak akan sanggup menjangkau sesamanya, apalagi berpikir
tentang tentang solidaritas.

Namun, apakah memang tepat tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada Sartre dan
eksistensialisme ini? Bagaimana Sartre membela dirinya dan membela paham yang ia anut?
Pertama, ia sendiri juga menyayangkan bahwa istilah “eksistensialisme” dipakai secara teramat
longgar untuk menamai apa-apa saja yang tampil sedikit berbeda, dan radikal sehingga istilah
“eksistensialisme” nyaris tidak punya arti apa-apa lagi[7]. Kedua, guna meluruskan salah-kaprah
seputar peristilahan dan aplikasinya, pertama-tama Sartre mulai mendefinisikan eksistensialisme
sebagai suatu ajaran yang menyebabkan hidup manusia itu menjadi mungkin. Selain itu,
eksistensialisme juga merupakan suatu ajaran yang mengafirmasi bahwa setiap kebenaran dan
setiap tindakan itu mengandung di dalamnya sebuah lingkungan dan suatu subjektivitas manusia.
Definisi yang terakhir ini kelak akan ia elaborasi dengan peristilahan a human universality of
condition[8]. Dua definisi yang baru saja disebut di sini hanyalah awalan saja. Ketiga, definisi
Sartre yang paling terkenal tentang eksistensialisme dirumuskannya sebagai berikut: Bahwa
eksistensi itu (hadir) mendahului esensi[9] dan karenanya kita harus mulai dari yang subjektif.
Apa maksud Sartre dengan proposisi ini?

Secara sederhana, Sartre mengambil contoh dari kehidupan sehari-hari untuk menerangkan
maksud dari “bahwa eksistensi itu hadir mendahului esensi.” Ia mengajak pembaca untuk
membayangkan sebuah buku atau pisau kertas (paper knife).[10] Seorang pembuat pisau kertas,
disebut artisan, tentu mempunyai konsepsi terlebih dahulu di benaknya apa yang mau ia buat,
kegunaannya dan bagaimana prosedur pembuatannya. Esensi dari pisau kertas itu, yaitu
keseluruhan dari rumusan pembuatan (formulae) serta kualitas-kualitas tertentu yang membuat
terproduksinya dan definisinya menjadi mungkin, mendahului eksistensinya. Dengan kata lain,
produksinya mendahului eksistensinya. Di sini, kita memandang dunia dari sudut pandang
teknis. Namun, hal itu berbeda tatkala kita membayangkan Allah sebagai Sang Pencipta yang
berarti mengatribusikan padaNya kualitas “seorang” supernatural artisan. Apapun doktrin yang
kita anut mengenai penciptaan ini, kita selalu mengandaikan bahwa tatkala Allah menciptakan,
Ia tahu persis apa yang sedang Ia ciptakan. Dengan begitu,  tiap individu manusia adalah
realisasi dari konsepsi tertentu yang berada dalam pengertian ilahi. Dengan begitu, manusia
memiliki kodrat tertentu (human nature). Artinya konsepsi tentang esensi dirinya, di mana
masing-masing manusia adalah sebuah contoh khusus dari suatu konsepsi universal: konsepsi
tentang Manusia, entah itu animal rationale (Aristoteles), atau wild man of the woods
(Rousseau), man in the state of nature (Thomas Hobbes), dan the bourgeois (Karl Marx).

Justru pandangan di mana “esensi manusia mendahului eksistensinya” seperti ini yang keliru dan
dikritik tajam oleh Sartre. Bagi Sartre, jika Allah tidak eksis, setidaknya ada satu makhluk yang
eksistensinya ada sebelum esensinya, sebuah makhluk yang eksis sebelum ia dibatasi oleh
macam-macam konsepsi tentang eksistensinya itu. Makhluk itu adalah manusia.

Sekali lagi ditegaskan Sartre bahwa yang dimaksud dengan “eksistensi mendahului esensi”
adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris:
surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika
manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan, hal itu adalah karena
pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa
sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu
yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia
(manusia). Singkatnya, Manusia adalah[11].

Pandangan ini mencengangkan, namun inilah prinsip pertama dari eksistensialisme: Manusia tak
lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan
ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu?
Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di
mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal
lainnya?

Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun bukan subjektivitas sebagaimana


dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya
tentang eksistensi adalah bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada,
katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-
tama eksis—-bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju
menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa
eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia
(what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme yaitu bahwa manusia dengan
menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu
tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab
hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat
manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?

Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang
pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa
melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang
pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang
memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus
menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari
sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara
ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan
yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga
kita anggap baik untuk semua. Tanggungjawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini.
Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan.
Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau
dibuktikan Sartre dalam tulisannya ini yaitu tentang humanisme.

Humanisme dalam pandangan Sartre

Di atas sudah kita singgung secara sepintas bahwa Sartre menempatkan martabat manusia lebih
luhur daripada benda-benda. Dengan ini saja kita bisa beranggapan bahwa yang menjadi pusat
perhatian Sartre adalah manusia dengan segala kompleksitas eksistensinya. Pandangan
Humanisme yang kalau kita lacak dalam sejarah pemikiran Barat sebenarnya bertolak dari
gerakan Humanisme di Eropa pada abad ke-15 dengan tokohnya yaitu Erasmus Huis. Gerakan
Humanisme ini mencapai puncaknya pada saat Revolusi perancis (k.l. 1789-1799) di mana
kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité)

dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya
manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian menentukan dirinya sendiri),
namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat
dari realitas. Lalu, apakah Sartre sebenarnya hanya mengulangi apa yang sudah didengung-
dengungkan beberapa ratus tahun sebelumnya dengan mengatakan humanisme? Apa yang baru
dalam konsepsi Sartre tentang humanisme? Apa hubungannya eksistensialisme dengan
humanisme?

Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah
digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya[12].  Nilai
humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih
mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu
Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu
tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia
libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap
bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran,
kemajuan dan kemanusiaan, dan untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah
hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip
Dostoevsky[13], “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan.” Inilah titik
berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre. Manusia lantas tidak bisa lagi
menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada
determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia
ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk sebab ia tidak
menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan terhitung sejak ia terlempar ke
dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata
kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action
dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only
in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing
else but what his life is.”[14] Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan
adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia. Namun tindakan ini jangan
dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai
totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang dan akan dilakukannya sepanjang
hidupnya. A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation,
the set of relations that constitute these undertakings. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut
komitmen. I ought to commit myself and then act my commitment. Dan komitmen itupun perlu
dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu.
Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi
humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika
tindakan dan self-commitment.

Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya
hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang 
mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi[15], Sartre mau
membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang
berbeda dari dunia materi. Subyektivitas sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas
tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah
yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku
berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain. Manusia tidak bisa
menjadi apapun kecuali kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian.
Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai
sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi”
atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-
subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre
mengakui adanya a human universality of condition. Tanpa bermaksud masuk ke dalam detil dari
uraian ini, cukuplah dikatakan di sini bahwa human universality ini bukan sesuatu yang sudah
jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan
pemilihan lagi dan lagi selama hidupnya.

Sebagai penutup dari bagian ini, kiranya pantas diajukan argumen ketiga yang memberikan ciri
pada humanisme Sartre. Berangkat dari keberatan yang diajukan pada Sartre, “nilai-nilaimu itu
tidaklah serius sebab bukankah kamu sendiri yang memilih mereka,”[16] Sartre menyanggahnya
demikian. Pertama, Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-
nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-
nilai bagi dirinya sendiri. Dan penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori
dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan penghayatan ini, engkau
sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan
adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk
menciptakan sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia
maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan
manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri dan sebagai nilai tertinggi (supreme value).[17] Bagi
Sartre ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada
dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis
tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih
harus ditentukan[18]. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada
pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste
Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fascisme.
Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk
yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena manusia adalah makhluk yang mampu
melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam
hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari
transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam
pengertian self-surpassing). Dan relasi antara transendensi manusia dengan subjectivitas (dalam
pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri melainkan selalu hadir dalam
semesta manusia) itulah yang disebut Sartre dengan existential humanism. Ini disebut
humanisme karena mengignatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri;
betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan
berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang
berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa
dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari
eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada
satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian
inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran
untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa,
melainkan sebuah ajaran untuk bertindak[19] secara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-
hari, dunia umat manusia.

Kritik dan tanggapan atas pandangan Sartre

Jeff Mason dalam tulisannya di philosophers.net[20] pernah mengatakan bahwa lebih indah dan
lebih aman bagi manusia jika ia memiliki esensi lebih dulu daripada eksistensi. Ia dapat
beristirahat dengan damai dalam relung nasib dan tidak perlu berjuang dengan susah-payah
untuk mendefinisikan diri. Kalau itu yang terjadi, tidak perlu ada pilihan-pilihan eksistensialis,
tidak akan ada tanggungjawab yang tak terpikul, tidak akan ada kecemasan yang mengalir. Kiat
tinggal berharap akan imortalitas dan dunia “di sana.” Namun justru di sinilah kritik Sartre
masuk dan mengena. Kita tidak bisa menipu diri sendiri (self-deception atau istilah Sartre
mauvaise foi) dengan menghindar dari tanggungjawab pelibatan (engagement), lebih-lebih dalam
artian sosial-politis. Walter Kaufmann bagaimanapun juga menafsirkan situasi manusia yang
Sartre bangun dengan filsafatnya sebagai situasi yang absurd dan tragis. Dunia Sartre lebih dekat
dengan dunia Shakespeare yang tragis-melankolis daripada dunia dalam pandangan Buddhist di
mana life follows on life and salvation remains always possible[21].

Ada situasi-situasi tertentu di mana apapun keputusan dan pilihan yang kita buat, kita tidak bisa
lari dari rasa bersalah. Walau demikian, dalam rasa bersalah dan kegagalan itu manusia tetap
dapat mempertahankan integritasnya dan memberontak terhadap kungkungan-kungkungan
maupun ancaman-ancaman yang datang dari dunia.[22]

Mengenai kebebasan sebagaimana didewakan Sartre dalam mengartikan eksistensi


eksistensi=kebebasan), kita mungkin bisa meratap bersama John Macquarrie yang mengatakan
bahwa semakin kita berbicara tentang kebebasan, semakin kebebasan itu tidak menjadi jelas
artinya karena sifatnya yang elusif[23]. Sudah barang tentu, Sartre agak naïve saat mengatakan
bahwa manusia itu bebas secara total dan sepenuhnya menentukan dirinya sendiri. Frederick
Copleston lebih realistis tatkala berkomentar bahwa kebebasan kita itu sudah barang tentu
dibatasi oleh segala macam faktor-faktor baik internal maupun eksternal. Apa saja misalnya?
Faktor-faktor fisik dan psikis, lingkungan, pemeliharaan, pendidikan, tekanan sosial yang
dihimpitkan pada kita secara terus menerus tanpa kita sadari[24] (atau bagi saya, lebih tepatnya,
tatkala kita masih belum sampai pada tahap kesadaran untuk menyadari sesuatu yang
membentuk diri kita). Mungkin yang baik saya anjurkan di sini, belajar dari Sartre, adalah 
bahwa manusia itu dalam menentukan dirinya, ia terbuka terhadap berbagai kemungkinan-
kemungkinan (opennes to possibilities). Dalam ruang kemungkinan-kemungkinan yang tanpa
batas itulah manusia eksis, bertindak, mewujudkan dirinya dan setia terhadap janjinya
(komitmen) dalam mewujudkan suatu tatanan kehidupan yang lebih baik dan manusiawi. Dalam
konteks sejarah di mana Sartre hidup (dunia yang dicabik-cabik oleh dua perang dunia, invasi
tentara Jerman ke kota Paris pada tahun 1940, kekejaman NAZI atas nama ‘kemanusiaan’ demi
pemurnian ras yang berujung pada puncak tragedi kemanusiaan selama abad ke-20 yaitu
peristiwa Holocaust.) kritik dan filsafat Sartre ini memang kuat bersuara dan dengan lantang
mengkritik orang-orang yang menipu dirinya sendiri, khususnya para penguasa/régime yang
menyalahgunakan kekuasaannya dan melecehkan harkat kemanusiaan, entah dengan excuse
ilmiah dan demi kemajuan (lalu bertindak kejam dan absurd) maupun dengan menghindar dari
tanggungjawab sosial sembari berkata “kami tidak bisa berbuat apa-apa. Itu di luar kuasa kami.
Itu sudah merupakan keniscayaan sejarah.”

Kini, puluhan tahun sesudah Sartre menerbitkan bukunya Existentialism and Humanism, kita
dipanggil untuk menemukan otentisitas (authenticité) diri kita sebagai individu di tengah
kepungan fenomena massa yang tanpa identitas dan juga dalam arus kemajuan teknologi-
informasi yang semakin cepat berkembang di satu sisi namun juga semakin cepat mendevaluasi
martabat manusia di sisi lain; dalam budaya pop yang menyetir keinginan-keinginan manusia
dan pada gilirannya menentukan diri manusia (dan berarti merampas hak manusia untuk
menentukan dirinya sendiri: self-determination). Bagaiamanapun, pesan filosofis dan analisis
Sartre atas situasi manusia pada zamannya masih tetap relevan hingga kini.

Anda mungkin juga menyukai