Anda di halaman 1dari 5

- Ada pertanyaan mengganjal di sini, adakah maksud terselubung dan konspirasi dari

sebagian pihak dibalik isu-isu pembangunan politik seperti liberal, demokrasi dan
modernitas ataupun isu-isu semacamnya di masa sekarang? Adakah realitas dari
upaya-upaya di atas, begitupula adakah siasat-siasat untuk mencapai tujuan-tujuan di
balik semua itu? Untuk menjawab itu, saya akan mengingatkan sedikit latar belakang
dari transformasi dan perjalanan Barat setelah revolusi industri.

Semangat penjajahan Barat pada dasarnya bisa diusut dari jaman revolusi, kendati
sebelum itu, di Eropa ataupun di antara bangsa-bangsa di dunia terdapat
kecondongan dan kecenderungan upaya penaklukan dan penguasaan atas bangsa lain.
Jaman di mana mereka telah mampu menciptakan perangkat, sarana dan alat-alat
modern di bawah trisula, ilmu, industri dan teknologi.

Pada jaman itu, mereka mampu memproduksi aneka ragam barang perlengkapan dan
peralatan yang begitu murah dari segi pembiayaan produksi. Dan dengan menjual
barang-barang itu dengan harga mahal, mereka mampu meraup keuntungan dan
kekayaan yang melimpah. Dengan meningkatnya laba, pada gilirannya modal, sektor
investasi untuk kegiatan produksi pun semakin marak. Dan ini menjadi sebuah faktor
untuk mendapatkan laba dan modal lebih banyak lagi. Dengan begitu, lewat
perputaran modal dan biaya produksi murah, gudang kekayaan mereka semakin
sesak dari hari ke hari.

Sisi lain, meningkatnya produksi (penawaran barang) muncul masalah besar,


kekurangan bahan-bahan mentah untuk produksi, dan kurangnya tingkat permintaan
dibandingkan dengan penawaran produk. Dua faktor ini membuat Barat berfikir
untuk melakukan ekspansi dan penjajahan atas negara lain, sehingga dengan
demikian mereka mendapatkan bahan-bahan mentah dan sekaligus membuka pasar-
pasar baru.

Watak penjarahan dan penjajahan ini berlangsung sejak abad ke delapan belas
sampai abad ke sembilan belas. Pada masa itu, Barat mulai dibenturkan lagi dengan
persoalan lain, yaitu kurangnya sumber-sumber alam dan lemahnya daya beli negara-
negara jajahan. Di sisi lain, tehnologi dan alat canggih yang diimport memerlukan
ahli-ahli untuk tehnik pengggunaan tehnologi dan alat tersebut.

Well, untuk itu mereka memutuskan untuk meningkatkan daya beli juga taraf
pengetahuan dan keahlian negara-negera perahan. Dalam rangka itu, Barat
melakukan dua langkah strategis. Pertama; memberikan utang, fasilitas, dan
kemudahan ekonomi kepada negara jajahan itu, mendirikan lembaga keuangan
semacam IMF dan World Bank. Kedua; merekrut putra-putra bangsa negara jajahan
dan membeasiswakan mereka ke pusat-pusat pendidikan Barat seperti Amerika,
Inggris, Jerman, dan Prancis.
Langkah kedua ini dilakukan dengan motif membina teknisi-teknisi yang mampu
menggunakan jenis-jenis peralatan dan perlengkapan importir. Sebagaimana langkah
pertama dimaksudkan untuk meningkatkan daya beli masyarakat di negara-negara
tersebut, sehingga produk-produk mereka bisa diimport dan dipasarkan lebih banyak
lagi di negara-negara itu. Dengan begitu, pasar-pasar Barat pun bisa tetap bertahan
marak sebagaimana sebelumnya.

Tetapi, strategi ini tidak selalunya menguntungkan. Karena, sebagian dari pelajar-
pelajar jebolan Barat yang kembali ke negaranya malah memikirkan kemerdekaan
dan perjuangan. Mereka menuntut penjajahan asing agar secepatnya hengkang, dan
inilah sebagai babak baru perlawanan yang mulai menggelinding sejak akhir abad
sembilan belas dan memuncak pada abad ke dua puluh.

Berbagai macam perjuangan semangat kemerdekan itu telah dilakukan dan, pada
akhirnya, Barat sampai pada kesadaran dan bersikap agak realistis. Karenanya,
mereka menyodorkan ide "hubungan atau diplomasi atau kasak kusuk" ketimbang
"penjajahan". Dengan cara itu, mereka mampu mencuri kesempatan sekaligus
peluang di masa-masa kemudian. Di antara intrik-intrik itu ialah pembentukan
negara-negara persemakmuran (Common Wealth) oleh Inggris, sehingga negara-
negara bekas jajahan Inggris menjadi 'kawan' Inggris di bawah nama
persemakmuran. Dengan demikian, penjajahan sesungguhnya tetap berlangsung
meski dengan modus lain yang makin imut-imut.

Walhasil, semangat perjuangan kemerdekaan semakin memanas dan bergejolak dari


hari ke hari. Keadaan ini menuntut imperialisme merumuskan strategi yang lebih
cerdas guna mempertahankan hegemoninya. Di sini jelas bagaimana perubahan
sistem penjajahan yang vulgar berganti jubah dengan sistem penjajahan terselubung
yang lebih canggih dan mutakhir.

Salah satu dari rangkaian strategi mutakhir mereka ialah menciptakan unsur-unsur
dan partai-partai politik di dalam negara-negara incaran, atau ikut campur dalam
proses pembentukan sebagian partai, pembentukan ormas dan LSM-LSM terbang,
sehingga bahkan pemimpin partai, ormas dan LSM itu sendiri tidak merasakan
adanya campur tangan asing dan upaya mengendalikan mereka.

Dengan slogan-slogan anti imperialisme, mereka berusaha mengumpulkan massa.


Dengan slogan itu pula, partai menjadi eksis kokoh. Berikutnya, orang-orang partai
itu sendiri yang memulai mengulurkan tangan kepada tuan-tuan asing mereka.
Dengan demikian, kepentingan-kepentingan pihak asing dipenuhi dan dijaga oleh
putra-putra bangsa itu sendiri secara otomatis.

Well, berlalunya masa dan bertambahnya pengalaman, Barat sampai pada


kesimpulan untuk kelanggengan dan pengakaran kepenjajahan, penyalahgunaan
hubungan-hubungan dengan negara-negara lain bergantung pada dinamika budaya
dan ideologi negara-negara tersebut, dimana tidak hanya pola pikir, ideologi dan cara
pandang individu itu berubah, tapi menularkan gaya hidup individualis, konsumeris,
kapitalis, hedonis, dan aduhais persis yang berlaku di Eropa dan Amerika, bahkan
sistem pemerintahan yang berkuasa pun diusahakan untuk bergantung penuh pada
penggunaan dan pengandalan peralatan-peralatan dan tehnologi-tehnologi Barat,
belum lagi mentalitas rakyat dibuat minder, penakut dan kerdil di hadapan
pembangunan dan kemajuan mereka.

Jika dua tujuan di atas ini bisa dicapai, kekuasaan niscaya terjamin kelanggengannya.
Namun, salah satu dari faktor penghambat pencapaian tujuan itu di dunia Timur
adalah budaya Timur yang berlandaskan pada kecenderungan zuhud dan semangat
kebersamaan. Untuk ini, mereka menyiapkan senjata budaya yang sedemikian rumit
dan detail.

Maka, diangkatlah isu korelasi budaya dan tehnologi. Isu yang menciptakan opini
bahwa setiap tehnologi itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja
tehnologi itu masuk ke suatu negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke
dalamnya. Maka itu, kita dipaksa memilih dua pilihan; menerima tehnologi dengan
segenap budaya yang dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak
tehnologi berikut budayanya. Karena tehnologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka
mau tidak mau budaya pun harus datang dari sana pula.

Kenyataannya, isu ini telah menunjukkan kegagalannya di Jepang. Mengapa? Karena


di Jepang kendati secara terbuka menerima masuknya budaya Barat, namun mereka
tetap menjaga dan mempertahankan adat istiadat, nilai-nilai ketimuran, serta budaya
bangsanya. Dengan begitu, masyarakat Jepang mampu mencapai kemajuan yang luar
biasa pesatnya, bahkan mampu melampaui pencapaian masyarakat Barat itu sendiri.

Di Iran, sebelum kemenangan Revolusi Islam, isu "Islam dan Pembangunan" sudah
digulirkan dalam peta politik Barat. Para perancang konspirasi ini mengklaim, Islam
adalah agama qona'ah dan hemat, sementara pembangunan adalah cermin kemajuan
dan pemanfaatan kekayaan sebanyak mungkin. Karena itu, Islam tidak bisa
kompromi dengan pembangunan. Islam tidak akan mampu menampung ide besar
pembangunan dan kemajuan dari Barat. Karenanya kita mau tidak mau harus
berkembang dan maju dengan selera dan aturan Barat, maka Islam atau setidaknya
bagian-bagian tertentu dari Islam yang bertentangan dengan ide dan proses
pembangunan itu harus di bekukan. Karena itulah agama harus dikerangkeng dengan
istilah privatisasi.

Saat ini pun, suara-suara parau dan sumbang kerap kita dengar dalam forum ceramah
ataupun dalam media cetak. Suara-suara yang menekankan pola pikir dan pemikiran
yang berupaya menampilkan Islam sebagai penentang ide dan proses pembangunan.
Upaya-upaya itu misalnya dengan mengangkat isu-isu seperti, pertentangan antara
tradisi dan modernitas, keniscayaan kritik atas tradisi, dan semacamnya, semua itu
digelindingkan dalam rangka mengusung hegemoni pemikiran Barat.

Kendati kajian terperinci atas hubungan Islam dan pembangunan membutuhkan


ruang khusus, tetapi perlu diingat, bahwa Islam tidak hanya menyambut
pembangunan dan kemajuan, tetapi juga menuntut kepada umatnya hari ini harus
lebih baik dari hari sebelumnya. Hanya persoalannya, pembangunan dan kemajuan
yang diinginkan oleh Islam adalah kemajuan dan pembangunan yang berjalan di
dalam batas-batas nilai dan hukum cemerlang Islam, sehingga dapat menjamin
kesejahteraan dunia dan akherat.

Maka, sama sekali tidak ada keharusan logis antara pembangunan dengan menerima
paksa budaya Barat. Sebagai contoh, di masa barbarisme Barat yang buas, umat
Islam ketika itu tampil sebagai pelopor ilmu pengetahuan dan pembangunan di dunia.
Bahkan, sebagaimana yang diakui oleh orang Barat sendiri, jika Islam tidak
meninggikan warisan peradabannya di sana, sebagaimana di Spanyol, mereka
sekarang ini hidup setengah buas dan liar. Mereka sama sekali tidak akan mencapai
kejayaan dan kemajuan teknologi seperti sekarang ini.

Di sini, di temukan persepsi yang khas dari isu pembangunan politik dan budaya
yang berdasarkan persepsi ini, fungsi isu ini sejalan dengan haluan dan tujuan sistem
sosial Islam. Tetapi, apa yang dimaksudkan oleh sebagian dari para penulis dan
pemikir Barat dari istilah-istilah tersebut ada pemaksaan dan penunggalan budaya
Barat atas budaya Islam. Bombardir massif media-media massa atas opini dan
mentalitas publik, serbuan buku-buku dan teori-teori sok ilmiah di pusat-pusat
pendidikan tinggi dari satu sisi, dan kanalisasi pemikiran siswa-siswa jebolan luar
negeri yang telah menamatkan pendidikannya di berbagai bidang seperti; ekonomi,
sosiologi, hukum dan ilmu-ilmu politik, untuk kemudian kembali ke negaranya
dengan mentabligkan pemikiran-pemikiran Barat dengan bahasa ibunya dari sisi lain,
semua itu adalah bagian dari serangan budaya Barat dan upaya menggiring negara
mereka kembali untuk menjajah dengan cara licik, strategis dan imut-imut.

Dengan berbagai metode dan cara, Barat memberi dua pilihan; tertinggal dari
pembangunan dan kemajuan peradaban atau mengesampingkan sentimen dan
fanatisme agama, lalu bersikap lemah, acuh tak acuh dalam permasalahan ekonomi,
politik yang kadangkala agama menjadi pengganjal dalam bidang-bidang itu, persis
yang selalu di tekankan dan diyakinkan oleh mereka.

Pada saat sama, negara-negara jajahan itu mendapatkan pinjaman sedemikian besar
dari IMF dan Bank Dunia. Dan, dengan menyediakan peluang untuk penanaman
modal luar negeri dan membuka sektor-sektor bebas, mereka mendapatkan modal
yang cukup untuk kegiatan produksi. Lantaran lembaga-lembaga keuangan dan
ekonomi dunia itu tidak begitu saja free meminjamkan ataupun menanamkan modal
di suatu negara tanpa syarat tertentu dan mengikat, mereka harus mengendorkan
semangat komitmen pada sebagian prinsip-prinsip dan nilai, untuk kemudian bisa
mendapatkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan ekonomi dari pihak-pihak pemilik
modal.

Dalam persoalan-persoalan budaya pun, Barat berusaha mensosialisasikan sikap


nerimo dan lapang dada. Karena, dengan cara inilah kita berintegritas dan masuk
dalam pergaulan masyarakat internasional, "merasa" setara dalam geng bangsa-
bangsa kelas wahid, disetarakan kedudukannya di tengah masyarakat pilihan Khalik.
Jika bersikeras, mempertahankan prinsip, nilai-nilai budaya dan agama, maka kita
mesti siap terasingkan dan terkucilkan di dunia pemilik modal ini.

Des, dogmatisme harus dikesampingkan dan mengedepankan sikap nerimo dan


liberal, menghindar dari cara berfikir absolutistik, sehingga jika ada segolongan
orang yang melecehkan hal-hal yang kita percayai sebagai kebenaran, tidak layak
kita menunjukkan reaksi sebegitu tegas, cuek saja. Padahal dalam agama, “yakin”
menempati posisi yang tinggi. Sebaliknya, ragu dan skeptisme yang merupakan salah
satu dari nilai-nilai universal Barat adalah tercela dan terlarang. Konsekuensinya,
komitmen pada prinsip-prinsip dan asas-asas agama merupakan salah satu nilai
tertinggi manusia.

Maka itu, isu-isu seperti pembangunan politik beserta senjata trisulanya menjadi
salah satu senjata ampuh untuk pecahbelah umat, pengkerdilan umat. Sebuah trik dan
strategi untuk membabat habis nilai-nilai agama dan jiwa anti imperialisme serta
mengikis rata sentimen dan kepekaan religiusitas dan semangat mandiri rakyat,
seiring dengan hancurnya akherat, dunia merekapun kembali di bawah ketiak
imperialisme Barat, atau menjadi kaum agamis bentukan Amerika. [islamtimes]
kode topik : 30261

Anda mungkin juga menyukai