Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern merupakan akibat langsung dari
pengelolaan lingkungan hidup yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan
sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa krisis ekologis yang dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis moral.
Umat manusia kurang peduli pada norma-norma kehidupan atau mengganti norma-norma yang
seharusnya dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri. Manusia modern
menghadapi alam hampir tanpa menggunakan ‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan
dicemari tanpa merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis kualitas sumber daya
alam seperti lenyapnya sebagian spesies dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas
alam. Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai masalah yang
mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia.

Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup. Pengelolaan lingkungan hidup
diselenggarakan dengan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas manfaat
bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat
Indonesia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada TuhanYang Maha Esa.

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan
terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.

Sasaran pengelolaan lingkungan hidup sebagai berikut; pertama, tercapainya keselarasan,


keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup. Kedua, terwujudnya
manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi
dan membina lingkungan hidup. Ketiga, terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan
generasi masa depan. Keempat, tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Kelima,
terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana. Keenam, terlindunginya NKRI
terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Dari sinilah jelas bahwa: setiap warganegara atau masyarakat tentunya mempunyai hak yang
sama atas pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup yang baik dan sehat. Sehingga, setiap
orang mempunyai hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Selain
mempunyai hak, setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup
serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan sekaligus perusakan lingkungan hidup.

Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa betapa pentingnya untuk terus menjaga kelestarian
secara bersinergi bagi semua pihak. Baik dari perwujudan kebijakan pemerintah dan didukung
oleh seluruh komponen masyarakat. Jika pemerintah mampu memberikan kebijakan yang
berpihak terhadap kelestarian lingkungan, maka dengan sendirinya masyarakat juga akan
mengikuti dan bahwa mendorong terwujudnya lingkungan yang lestari dan kenyamanan.

Realitas memperlihatkan kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang


memprihatinkan dengan kecenderungan yang terus menurun.

Salah satu data yang dapat dijadikan rujukan yakni menggunakan brown indicator yakni Jumlah
emisi karbondioksida (CO2) (metrik ton). Konsentrasi CO2 mengambarkan informasi tentang
perubahan iklim. Gas rumah kaca (GRK) antara lain CO2, metan, dan CFC yang dihasilkan oleh
kegiatan manusia (antropogenik), dalam konsentrasi yang berlebihan di lapisan biosfer memicu
terjadinya pemanasan global dan selanjutnya mengakibatkan perubahan iklim. Emisi GRK
dinyatakan dalam konsentrasi CO2 atau CO2-equivalent.[1]

Penyebab lain kondisi lingkungan hidup sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan
kecenderungan yang terus menurun adalah, karena pada tingkat pengambilan keputusan,
kepentingan pelestarian sering diabaikan. Hal ini terjadi mengingat kelemahan kekuatan politik
dari pihak-pihak yang menyadari pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.

Seperti diketahui, pada saat ini perjuangan untuk melestarikan lingkungan hanya didukung
sekelompok kecil kelas menengah yang kurang mempunyai kekuatan politik dalam pengambilan
keputusan.  Seperti kelompok – kelompok peduli lingkungan, LSM, individu – individu yang
aktif dalam pelestarian lingkungan dan kritis terhadap kebijakan- kebijakan yang merugikan
lingkungan, serta kalangan akademisi.

Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat
berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem  lingkungannya,
mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia
saat ini. Cara pandang  dikhotomis yang yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang
memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan  bahwa manusia adalah
pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan
(White,,1967, Ravetz,1971, Sardar, 1984, Mansoor, 1993 dan Naess, 1993). Cara pandang
demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap
kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Disamping itu paham materialisme,
kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat
dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal, termasuk di
negara kita.[2]

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari
sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam
tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara
langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah manusia dan kepentingannya. Hanya manusia
yang mempunyai nilai dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini
hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi kepentingan manusia. Oleh
karenanya alam pun hanya dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak mempunyai
nilai pada dirinya sendiri.[3]

Dalam bukunya, Ethica Nocomachea, Aristoteles menandaskan, “semua pengetahuan dan setiap
usaha manusia itu selalu mengejar suatu tujuan tertentu yang dipandangnya baik atau
berharga.”[4]. Masalah mulai timbul pada saat kita menganalisis arti dan tujuan yang baik itu.
Apakah kebaikan tersebut adalah kebaikan individual, sosial atau ekologis? Itulah masalah
pokok yang telah melahirkan banyak dilema etis.

Akhir-akhir ini tampak bahwa penggunaan sumber daya alam cenderung naik terus, karena:

a. pertambahan penduduk yang cepat


b. perkembangan peradaban manusia yang didukung oleh kemajuan sains
dan teknologi.

Oleh karena itu, agar sumber daya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang panjang maka hal-
hal berikut sangat perlu dilaksanakan.

1. Sumber daya alam harus dikelola untuk mendapatkan manfaat yang


maksimal, tetapi pengelolaan sumber daya alam harus diusahakan
agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.

2. Eksploitasinya harus di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi


sumber daya alam.

3. Diperlukan kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang


ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan
pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.

4. Di dalam pengelolaan sumber daya alam hayati perlu adanya


pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
a. Teknologi yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumber
daya untuk pembaruannya.
b. Sebagian hasil panen harus digunakan untuk menjamin
pertumbuhan sumber daya alam hayati.
c. Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya
dengan daur ulang.
d. Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses
pembaruannya.

5. Sumber Daya Manusia


Manusia dibedakan dari sumber daya alam hayati lainnya karena manusia memiliki kebudayaan,
akal, dan budi yang tidak dimiliki oleh tumbuhan maupun hewan. Meskipun paling tinggi
derajatnya, namun dalam ekosistem, manusia juga berinteraksi dengan lingkungannya,
mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungannya sehingga termasuk dalam salah satu faktor saling
ketergantungan. Berbeda dengan sumber daya hayati lainnya, penggunaan sumber daya manusia
dibagi dua, yaitu sebagai berikut :
a. Manusia sebagai sumber daya fisik
Dengan energi yang tersimpan dalam ototnya manusia dapat bekerja
dalam berbagai bidang, antara lain: bidang perindustrian,
transportasi, perkebunan, perikanan, perhutanan, dan peternakan.

b. Manusia sebagai sumber daya mental


Kemampuan berpikir manusia merupakan suatu sumber daya alam
yang sangat penting, karena berfikir merupakan landasan utama bagi kebudayaan. Manusia
sebagai makhluk hidup berbudaya, mampu
mengolah sumber daya alam untuk kepentingan hidupnya dan mampu
mengubah keadaan sumber daya alam berkat kemajuan ilmu dan
teknologinya. Dengan akal dan budinya, manusia menggunakan
sumber daya alam dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karena itu,
manusia tidak dilihat hanya sebagai sumber energi, tapi yang
terutama ialah sebagai sumber daya cipta (sumber daya mental) yang
sangat penting bagi perkembangan kebudayaan manusia.

Upaya mengatasi krisis lingkungan, secara etis, harus melibatkan berbagai landasan etis yang
memang benar-benar memposisikan manusia dan alam sama-sama derajatnya, baik dalam
ketinggiannya (biosentrisme dan ekosentrisme), maupun dalam kerendahannya (etika
kepedulian) sekaligus membingkainya dengan etika bersama yang mengikat secara transenden.

B. Pembahasan

Apa yang dimaksud dengan lingkungan hidup? Pertanyaan mendasar tersebut harus terjawab
sebelum melangkah lebih jauh tentang pelestarian lingkungan hidup. Lingkungan hidup
merupakan ruang kehidupan yang terdiri beberapa komponen yang saling berinteraksi secara
seimbang. Dalam Dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy disebutkan bahwa Etika
lingkungan hidup adalah kajian  dalam filsafat yang mempelajari hubungan moral manusia dan
kedudukan nilai moral lingkungannya  yakni lingkungan di luar manusia.

Proses interaksi ini disebabkan oleh fungsi yang berbeda dari masing-masing setiap individu
makhluk hidup dan berusaha menjaga dan mempertahankan eksistensi dan fungsinya. Komponen
yang terdapat di dalam ruang kehidupan tersebut adalah :
•  Lingkungan fisik (anorganik), lingkungan yang terdiri dari gaya kosmik dan fisigeografis :
tanah, udara, air, radisai, gaya tarik, ombak dan sebagainya.

•  Lingkungan biologi (organic), segala sesuatu yang bersifat biotis

•  Lingkungan sosial, terdiri dari :

1. Fisiososial, yaitu yang meliputi kebudayaan materiil : peralatan, senjata, mesin, gedung
dan sebagainya
2. Biososial manusia dan bukan manusia, yaitu manusia dan interaksi terhadap sesamanya
dan hewan beserta tumbuhan domestik dan semua bahan yang digunakan manusia yang
berasal dari sumber organik.
3. Psikososial, yaitu yang berhubungan dengan tabiat bathin manusia, seperti sikap,
pandangan, keinginan, keyakinan. Hal ini terlihat dari kebiasaan, agama, ideology,
bahasa dan lain-lain.

 Lingkungan komposit, yaitu lingkungan yang diatur secara institusional, berupa lembaga-
lembaga masyarakat

Dengan pemahaman lingkungan hidup diatas, maka upaya pelestarian lingkungan hidup adalah
upaya pelestarian komponen-komponen lingkungan hidup beserta fungsi yang melekat dan
interaksi yang terjadi diantara komponen tersebut. Adanya perbedaan fungsi antara komponen
dan pemanfaatan dalam pembangunan, maka pelestarian tidak dipahami sebagai pemanfaatan
yang dibatasi. Namun pelestarian hendaknya dipahami sebagai pemanfaatan yang
memperhatikan fungsi masing-masing komponen dan interaksi antar komponen lingkungan
hidup dan pada akhirnya, diharapkan pelestarian lingkungan hidup akan memberikan jaminan
eksistensi masing-masing komponen lingkungan hidup. Dengan adanya jaminan eksistensi,
lingkungan hidup yang lestari dapat diwujudkan.

Upaya pelestarian lingkungan hidup yang telah dilakukan oleh banyak pihak selama ini
menunjukan banyak keberhasilan dan tidak sedikit yang mengalami hambatan dalam mencapai
tujuan yang ingin dicapai dalam masing-masing aspek. Upaya-upaya tersebut lebih terlihat
sebagai gerakan yang berdiri sendiri di masing-masing lokasi, kasus dan aspek lingkungan yang
dihadapi. Selain itu, upaya pelestarian yang telah dilaksanakan kurang dirasakan manfaat
/kegunaan baik secara jangka menengah maupun jangka panjang.

Menurut Muhammad Ridha Hakim, seorang Project Leader WWF Indonesia Program Nusa
Tenggara menuturkan bahwa masalah kerusakan hutan dan lingkungan, pada dasarnya bertumpu
pada lima masalah pokok yaitu : hukum dan kebijakan, peminggiran akses dan kontrol
masyarakat terhadap sumber daya hutan, sistem tata niaga kayu yang tidak kondusif, bias
operasional pengelolaan hutan, dan adanya pengaruh perubahan makro.

Mana dari berbagai masalah tersebut yang 3 menjadi akar masalah ? Jika berbagai masalah
pokok tersebut dirangkai sebagai sebuah proses hubungan sebab akibat, maka ditemukan bahwa
akar masalah utama kerusakan hutan bersumber karena adanya kebijakan yang tidak akomodatif.
Tertutupnya komunikasi dan dialogis diantara pengambil keputusan dengan masyarakat dalam
proses penyusunan kebijakan, merupakan faktor utama yang menyebabkan kebijakan menjadi
tidak akomodatif dan realistis. Jika penerapan kebijakan menimbulkan gejolak, konflik, dan sarat
dengan penyimpangan, maka itu merupakan harga yang harus dibayarkan akibat kebijakan tidak
memenuhi aspek-aspek mendasar dalam penyusunan kebijakan, dalam hal ini aspek filosofis,
yuridis, sosiologis, metodologi, dan ekologi. Taman Nasional atau wilayah konservasi lainnya,
mungkin merupakan prioritas rendah bagi pemerintah daerah, karena berdasarkan UU,
tanggungjawab atas kawasan konservasi tetap berada di tangan pemerintah pusat. Sejauh
kawasan ini sekarang merupakan peluang yang hilang untuk menghimpun PAD dibandingkan
dengan Hutan Produksi, maka keberadaan kawasan lindung dan konservasi di suatu daerah dapat
dilihat oleh pemerintah daerah lebih sebagai beban daripada berkah.

Dalam perspektif filsafat, nalar antroposentrisme merupakan penyebab utama munculnya krisis
lingkungan. Antroposentrisme merupakan salah satu etika lingkungan yang memandang manusia
sebagai pusat ekosistem. Bagi etika ini, nilai tertinggi dan paling menentukan dalam tatanan
ekosistem adalah manusia dan kepentingannya. Dengan demikian, segala sesuatu selain manusia
(the other) hanya akan memiliki nilai jika menunjang kepentingan manusia, ia tidak memiliki
nilai di dalam dirinya sendiri. Karenanya, alam pun dilihat hanya sebagai objek, alat, dan sarana
bagi pemenuhan kebutuhan manusia. Cara pandang antroposentris ini menyebabkan manusia
mengeksploitasi dan menguras sumber daya alam dengan sebesar-besarnya demi kelangsungan
hidupnya. Tak pelak, krisis lingkungan pun sulit terhindarkan, karena alam tidak mampu lagi
berdaya menahan gempuran keserakahan manusia.

Antroposentrisme atau ada yang menyebut egosentrisme merupakan buah dari alam pikiran
modern tersarikan dari esensialisme kesadaran akan kenyataan otonomi manusia di hadapan
alam semesta, yang mulai muncul di bawah semboyan terkenal: Sapere Aude! (berpikirlah
sendiri!) dan Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada)-nya Rene Descartes. Dengan
semboyan kokoh ini, alam pikiran modern benar-benar menjadi masa di mana rasionalitas
manusia muncul dan menggeser segala otoritas non-rasio, termasuk agama. Dari kesadaran
essensialisme inilah embrio nalar antroposentrisme mulai nampak. Keyakinan akan rasionalitas
manusia pada momen berikutnya mengejawantah dalam aktifitas kreatif, penciptaan, dan inovasi
sains dan teknologi hingga munculnya masyarakat ekonomi global yang pada akhirnya
membawa bencana yang maha dahsyat, yakni krisis lingkungan yang justru mewarnai optimisme
modernitas ini. Mula-mula secara embrional, masyarakat ekonomi global lahir dari rahim
revolusi industri dan revolusi hijau, yang telah menggeser masyarakat feodal yang mapan.
Masyarakat ekonomi baru ini senantiasa didominasi oleh keinginan untuk memanfaatkan
sebesar-besarnya potensi alam untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia. Karena motif
ekonominya yang begitu dominan, pada akhirnya tidak ramah terhadap lingkungan.[8]

Menurut Hossein Nasr Manusia modern telah mendesakralisasi alam, meskipun proses ini sendiri
hanya di bawa ke  kesimpulam logisnya oleh sekelompok minoritas. Apapalgi alam telah
dipandang sebagai sesuatu yang harus digunakan  dan dinikmati semaksimal mungkin.[9]

Etika antroposentrisme pada akhirnya bukannya tanpa kritik. Setidaknya, oleh berbagai aliran
etika lingkungan yang muncul belakangan, baik oleh etika neo-antroposentrisme (yang hendak
memperbaiki kesalahan-kesalahan pendahulunya), etika biosentrisme (yang menganggap semua
makhluk adalah pusat kehidupan, dan masing-masing memiliki nilai dan tujuan, dengan
demikian, manusia tidak lebih unggul dari spesies yang lain, karena ia tidak lain adalah anggota
dari komunitas kehidupan), etika ekosentrisme (yang menganggap bahwa bukan hanya manusia
dan benda yang hidup saja yang menjadi anggota ekosistem, tetapi juga benda mati [abiotik]),
dan etika kepedulian (yang menganggap bahwa antara manusia dan alam adalah sama-sama
lemahnya, dan tidak bisa hidup dengan dirinya sendiri, karenanya manusia di dalam relasinya
dengan alam harus mengedepankan sikap kepedulian).

Untuk itu diperlukan alternatif landasan etika yang lebih komprehensif yakni etika bersama yang
mengikat secara transenden, yakni sebuah etika bersama yang di dalam pandangan etisnya
memiliki garis vertikal kepada Yang Absolut. Lalu, di atas landasan apa etika bersama itu
hendak dibangun?. Dengan melihat berbagai dimensinya, hemat penulis, nampaknya agama
mampu memainkan peran itu. Selain merupakan fenomena universal manusia, agama juga
merupakan dimensi esensial hidup dan sejarah manusia yang tidak mudah –untuk tidak
mengatakan tidak mungkin- tergantikan oleh ideologi lain, baik humanisme ateistik ala
Feurbach, sosialisme ateistik ala Marx, sains ateistik ala Freud dan Russel, atau pun yang lain.
Agama, nampaknya tampil dengan sangat meyakinkan karena memberikan basis absolutisitas
dan keharusan moral secara tanpa syarat, dimanapun, kapanpun, dan dalam hal apapun. Tuntutan
etis serta keharusan tanpa syarat itu hanya bisa didasarkan pada sesuatu yang tak bersyarat dan
yang Absolut.

Jadi upaya mengatasi krisis lingkungan, secara etis, harus melibatkan berbagai landasan etis yang
memang benar-benar memposisikan manusia dan alam sama-sama derajatnya, baik dalam
ketinggiannya (biosentrisme dan ekosentrisme), maupun dalam kerendahannya (etika
kepedulian) sekaligus membingkainya dengan etika bersama yang mengikat secara transenden.
Etika semacam ini bukan sekedar teori moral, melainkan juga sebuah ecosophy karena mencakup
teori dan kearifan hidup (wisdom). Jika krisis lingkungan tidak hanya disebabkan oleh perilaku
teknis, tetapi juga disebabkan oleh ecosophy yang salah, maka upaya mengatasi krisis
lingkungan juga bisa dimulai dari ecosophy yang memposisikan secara tepat hubungan manusia
di dalam ekosistem.

Ajaran Islam menawarkan kesempatan untuk memahami Sunatullah serta menegaskan tanggung
jawab manusia. Ajaran Islam tidak hanya mengajarkan untuk mengambil manfaat dari sumber
daya alam, tetapi juga mengajarkan aturan main dalam pemanfaatannya dimana kesejahteraan
bersama yang berkelanjutan sebagai hasil keseluruhan yang diinginkan.

Salah satu Sunnah Rasullullah SAW menjelaskan bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk
mendapatkan manfaat dari suatu sumberdaya alam milik bersama untuk memenuhi kebutuhan-
kebutuhan hidupnya sepanjang dia tidak melanggar, menyalahi atau menghalangi hak-hak yang
sama yang juga dimiliki oleh orang lain sebagai warga masyarakat. Penggunaan sumberdaya
yang langka atau terbatas harus diawasi dan dilindungi.

Siapa pun tidak bisa begitu saja melupakan bahwa ajaran Agama Islam bukankah menyerukan
manusia untuk ramah terhadap lingkungan? Surat ar-Ruum ayat 41, al-Baqarah ayat 11-12, 27,
60, 205, Surat Ali Imran ayat 63, Surat al-Maidah ayat 32-33, 64, Surat al-A’raf ayat 56, 74, 85,
Surat Huud 85, 116, Surat ar-Ra’du ayat 25, Surat an-Nahl ayat 88, Surat as-Syu’ara ayat 151-
152, 183, Surat al-Qashash ayat 77, 83, Surat al-Ankabuut ayat 36 dan surat as-Shaad ayat 28, dll
merupakan sebagian dari sekian banyak seruan agama untuk ramah terhadap lingkungan. Hemat
penulis jika toh manusia memiliki kedudukan yang tinggi (khalifah) ia tidak lain adalah
“aristokrat biologis” yang memiliki tanggungjawab moral dan harus melayani spesies dan alam
semesta yang status biologisnya lebih rendah, bukan justru memanfaatkan kelemahan alam. Dan
bukankah agama-agama pada dasarnya lahir tidak lepas dari situasi histoiris? Dengan demikian
agama membutuhkan pikiran-pikiran kreatif dari umatnya agar pesan-pesannya tetap kontekstual
(shahih li kuli al- zaman wa al-makan). Upaya pikiran kreatif yang kontekstual dalam bidang
lingkungan tidak bisa ditunggu, setiap detik memiliki konsekuensi terhadap kehidupan manusia.

. Pengaruh Antropogenik Penggunaan CFC Terhadap Perubahan Iklim


Ozon (O3) adalah molekul yang terdiri dari tiga atom oksigen yang berbentuk gas pada
suhu kamar. Ikatan antar atom oksigen dalam molekul ozon ini agak lemah dibandingkan dengan
molekul oksigen yang terdiri atas dua atom (O2), sehingga salah satu dari ketiga atom
oksigennya mudah lepas dan bereaksi dengan molekul yang lain. Lapisan ozon yang terdapat di
stratosphere, kira-kira 10-50 km di atas permukaan bumi, memegang peranan yang sangat
berharga untuk melindungi kita dari bahaya sinar ultraviolet Secara alamiah ozon terutama
terbentuk dari hasil proses fotodisosiasi, di mana matahari mempunyai peranan yang sangat
penting dalam proses ini. Di samping itu, di permukaan bumi ada precursor ozon yaitu gas-gas
yang mengakibatkan terbentuknya ozon seperti metana (CH4), nitrogen oksida (NO) dan karbon
monoksida (CO). Uap air dan klorin merupakan bahan perusak ozon. Gas-gas ini, baik gas
pembentuk ozon maupun gas perusak ozon, biasanya merupakan gas-gas polutan dan banyak
terdapat pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat polusi yang tinggi.
Ozon terutama terbentuk dan terurai di daerah ekuator di mana terdapat hutan tropis yang
cukup luas. Secara alamiah, alam telah mengatur fenomena transportasi yang akan membawa
gas-gas yang terdapat di permukaan bumi ini ke lapisan di atasnya dan mendistribusikan ozon ke
daerah lintang yang lebih tinggi, dan terakumulasi di daerah kutub. Ozon mengabsorpsi radiasi
ultraviolet yang mempunyai panjang gelombang 400 nm yang dipancarkan matahari yang
dikenal sebagai radiasi UV-B. Radiasi UV-B yang menembus atmosfer akan mencapai bumi
tanpa filter dari lapisan ozon dan menimbulkan radiasi UV-B secara berlebih.
Penyelidikan bahkan membuktikan CFC juga menyumbang 15% terjadinya efek rumah
kaca yang berakibat kenaikan suhu atmosfer bumi. Bahaya penggunaan CFC bagi lingkungan
baru diketahui tahun 1974 dengan hipotesa penipisan lapisan ozon, CFC di lapisan stratosfer
akan melepaskan khlorin karena terkena sinar matahari. Khlorin selanjutnya bereaksi dengan
ozon membentuk khlorin monoksida (ClO) dan oksigen,namun ClO akan terurai lagi melepaskan
khlorin, selanjutnya proses penguraian ozon ini terjadi berulang sampai lebih 10.000 kali.
Sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh Prof. Sherwood Rowland dan Prof. Mario
Molina dari University of California, mengatakan bahwa gas-gas CFC menimbulkan penipisan
lapisan ozon. Peningkatan sinar ultraviolet yang disebabkan oleh penipisan lapisan ozon
mungkin bukan hanya memberikan efek yang  tidak  baik terhadap kesehatan seperti kanker kulit
dan katarak, tetapi juga  dapat menyebabkan pemanasan global yang juga membawa satu potensi
bencana besar bagi planet kita. Cholorofluorocarbon (CFC) sering menjadi pilihan untuk
pemakaian dalam jumlah besar karena toksisitasnya yang rendah sehingga resiko pemakaiannya
juga dianggap rendah. Saat ini pemakaian CFC dilarang karena klorin yang ada dalam bahan
kimia ini mempengaruhi terhadap penipisan lapisan ozon.
Sejak tahun 1970 an, zat-zat kimia seperti chlorofluorocarbon (CFC) dan
hydrochlorofluorocarbon (HCFC) sudah menyebabkan penipisan lapisan ozon. Zat kimia
perusak lapisan ozon ini sangat stabil, sehingga bisa mencapai stratosphere secara utuh. Ketika
berada di stratosphere, zat kimia ini dirubah oleh radiasi ultraviolet dari sinar matahari dan
mengeluarkan atom-atom klorin perusak ozon. Setelah lapisan ozon menipis, jumlah bahaya
ultraviolet yang mencapai bumi bertambah antara lain menyebabkan perubahan ekosistem,
kanker kulit, katarak, dan tak kalah besar dampaknya terhadap perubahan iklim dunia
Chlorofluorocarbon (CFC) dikembangkan oleh Dr. Thomas Midgley pada tahun 1928 sebagai
pengganti amoniak, pendingin pada lemari es. CFC juga digunakan secara luas sebagai
pembentuk buih, detergen dan sebagai air conditioner, gas pendorong (spray), pembersih dan
plastik foam, serta bahan pemadaman kebakaran dikarenakan sifat-sifatnya yang sangat stabil,
dan menjadi suatu zat kimia yang sangat penting untuk mempertahankan kemajuan teknologi
industri dan kenyamanan hidup.
Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat, maka berikut ini kami paparkan bentuk
antropogenik penggunanan CFC yang berpengaruh terhadap perubahan iklim. Antropogenik
penggunaan CFC yang dimaksud dalam hal ini adalah perilaku negativ masyarakat dalam
menggunakan CFC secara berlebihan atau menggunakan CFC dalam hal-hal yang tidak penting,
bahkan sebagian masyarakat seolah sudah merasa dimanjakan oleh CFC tanpa memahami efek
negativ yang ditimbulkan.
Parfum merupakan zat pewangi yang digunakan sebagai pengharum badan. Parfum
seperti yang biasa kita pakai merupakan pembunuh nomor satu bagi kita. Parfum merupakan satu
dari beberapa bahan yang yang mengandung CFC (ChloroFluoroCarbon). CFC yaitu zat yang
merubah ozon menjadi oksigen. Jika tidak ada ozon maka sinar ultra violet yang masuk kebumi
tidak dapat dicegah lagi. Pemicu dampak selanjutnya dari penipisan ozon yaitu pemanasan
global. Selain parfum ada juga AC, kulkas, pembuatan busa, bahan pelarut terutama bagi kilang-
kilang elektronik. Namun dari semua pemakaian tersebut, parfum memiliki potensi yang paling
besar dalam menghasilkan CFC.
 Dapat dikalkulasikan, hampir semua remaja, anak-anak bahkan orang tua memakai
parfum. Apa yang akan terjadi terhadap ozon kita? Satu molekul parfum dapat menghilangkan
kira-kira 100.000 molekul ozon di atmosfer dan dapat bertahan disana 50 sampai 100 tahun. Hal
ini tentu akan berdampak buruk bagi kelangsungan makhluk hidup dibumi ini. Dampak yang kita
rasakan yaitu ketika hari mendung maka udara akan terasa panas, tidak sejuk. Hal ini merupakan
dampak dari penipisan ozon yang tak mampu lagi menghalangi sinar ultraviolet yang masuk.
Para ahli kesehatan mengungkapkan bahwa manusia yang terpapar sinar Ultra Violet B & C
dengan intensitas yang tinggi bisa terkena penyakit kanker kulit, katarak mata, hingga penurunan
sistem kekebalan tubuh. Oleh karena itu, sebaiknya kita mulai sekarang meminimalisir
penggunaan parfum yang menggunakan CFC, begitu pula dengan peralatan yang sejenisnya.

C. Peran Strategis Indonesia Meminimalisir Penggunaan CFC


Pada Protokol Montreal bulan September 1987, dicapai kesepakatan Internasional guna
melindungi lapisan ozon. Kesepakatan itu antara lain produksi dan penggunaan CFC-11, CFC-
12, CFC-113, CFC-114, halon, karbon tetraklorida, dan metil kloroform harus dihentikan,
kecuali untuk penggunaan khusus. Selain itu, industri diharapkan mengembangkan bahan
pengganti CFC yang bersahabat dengan ozon (ozone-friendly). Protokol Montreal ini
ditandatangani oleh 41 negara termasuk Indonesia dan sekarang ini Indonesia berencana untuk
melarang impor metil bromida dan CFC yang merupakan BPO (Bahan Perusak Ozon), mulai 1
Januari 2008, atau dua tahun lebih cepat dari tenggang waktu yang ditargetkan Protokol
Montreal untuk penghapusan CFC di negara-negara berkembang, dan tujuh tahun lebih cepat
untuk penghapusan metil bromida.
 Masyarakat  Indonesia sendiri mempunyai peran penting dalam menghadapi perubahan
iklim dunia. Pola hidup masyarakat yang kurang bersahabat dengan lingkungan sekitar, dapat
mengakibatkan perubahan iklim yang tidak wajar atau dengan kata lain tidak sesuai dengan
kondisi iklim yang normal pada umumnya.
Peran serta masyarakat Indonesia yang sangat bermanfaat dalam memberi kontribusi
positif dalam perubahan iklim sekarang ini kaitannya dengan antropogenik penggunaan CFC
dapat ditempuh sebagai berikut;

1.   Tinggalkan semua produk yang menghasilkan CFC

Seperti yang kita ketahui CFC mempunyai andil yang sangat besar dalam perubahan
iklim dunia sekarang ini. CFC yang berlebihan di udara akan mempercepat penipisan ozon, jadi
alangkah baiknya jika kita meninggalkan produk-produk yang menghasilkan CFC, atau
setidaknya meminimalisir pemakaian produk yang menghasilkan CFC, sebagai sumbangsi kita
untuk mengendalikan  global warming
2. Segera di pikirkan atau di rancang peralatan yang non CFC
Dewasa ini mungkin sangat susah bagi sebagian masyarakat untuk meninggalkan
pendingin ruangan, lemari es, dan kaleng-kaleng aerosol (parfum spray), pada hal disisi lain
peralatan tersebut berdampak negatif bagi lingkungan. Oleh karenanya kita sebagai sang khilafah
di muka bumi, di tantang untuk bagaimana mengubah atau memodifikasi peralatan yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan namun sangat mengancam lingkungan dengan CFC yang di
hasilkannya, menjadi peralatan non CFC atau tidak lagi memproduksi CFC agar peralatan
tersebut dapat tetap kita gunakan.

ANCAMAN PENCEMARAN TERHADAP KELESTARIAN BIOTA LAUT(2006-05-01 07:20:49 Paulus Londo &
Anastasia Widiy )
.Ditilik dari lingkup habitatnya, unsur hayati laut dapat dibagi atas:
Biota Perairan Pantai termasuk area peralihan antara daratan dan laut yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Kawasan ini umumnya ditandai dengan adanya hutan mangrove, serta perairan yang kaya
akan bermacam mikroba. Biota laut yang hidupnya berasosiasi dengan mangrove antara lain berbagai
jenis moluska (siput air), udang, kepiting, tiram, ikan-ikan tertentu, ular rawa, buaya, biawak, dan
sebagainya.
Biota Perairan Dangkal yakni kawasan perairan di sekitar pantai atau di kawasan terumbu karang. Unsur
hayati laut yang hidup di kawasan ini biasanya sangat variatif, mulai dari kelompok plankton, moluska,
rumput laut hingga berbagai jenis ikan. Terumbu karang sendiri adalah biota laut yang terbentuk dari
endapan masif kalsium karbonat yang dihasilkan oleh berbagai karang dan organisma-organisma lain.
Sebagai ekosistem hayati laut, terumbu karang merupakan eksosistem yang kompleks dan produktif
dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Masing-masing memiliki bentuk dan warna yang beraneka
ragam sehingga menjadi panorama alam dasar laut yang indah. Selain itu dengan produktivitas organik
yang tinggi, terumbu karang berfungsi sebagai tempat mencari makan, pelindung fisik, tempat tinggal,
berpijah (bertelur) dan berkembangnya berbagai jenis biota laut. Secara singkat unsur hayati laut yang
tersebut dibagi atas:
Kelompok organisma jentik meliputi jenis: - Alga (gracilaria, gelidum, Hypnea, dan sebagainya).-
Krustasea (kepiting, udang, udang karang, rajungan, rajungan batu, dan sebagainya).
Kelompok moluska (lola, trochus niloticus, kerang mutiara, turbo marmoratus, dan sebagainya).
Kelompok ekhinodermata (teripang, bulu babi, dan sebagainya.
Kelompok ikan meliputi jenis:
Ikan ekor kuning, ikan pisang-pisang dan sejenisnya.
Berbagai jenis ikan hias. Selain terumbu karang, perairan laut dangkal terutama di dekat pantai
ditemukan padang lamun (sea grass beds) dan rumput laut (sea weeds). Padang lamun adalah area yang
dipenuhi lamun yakni sejenis tumbuhan berbunga yang terbenam di dalam air, sedang rumput laut
adalah sejenis rumput-rumputan yang tumbuh di dalam air memiliki substrat keras dan kokoh sebagai
tempat melekat.
Unsur Biota Laut Dalam, yakni biota laut yang habitatnya jauh dari pantai, antara lain:
Kelompok ikan:
Jenis Ikan Pelagis yaitu ikan yang berenang bebas di perairan seperti cakalang, ikan layar, ikan terbang,
tongkol, tuna dan sebagainya.
Jenis Ikan Demersal, yaitu ikan yang hidup di dasar laut, seperti kakap, kerapu, cucut, dan sebagainya.
Kelompok biota bukan ikan, seperti krustacea (berbagai jenis udang dan kepiting), moluska (berbagai
jenis kerang, tiram dan sejenisnya), ekhinodermata (berbagai jenis teripang, binatang bulu babi,
binatang bintang laut) dan berbagai jenis biota laut lainnya.Pencemaran Lingkungan LautSaat ini
kelestarian hayati (biota) laut Indonesia menghadapi ancaman serius. Bahkan sebagian diantaranya
telah mendekati kepunahan akibat pencemaran dan perusakan alam lingkungan laut. Berbagai upaya
pencegahan telah dilakukan, baik oleh masyarakat, pemerintah maupun lembaga-lembaga
internasional, namun tetap tak mampu mencegah degradasi kualitas lingkungan perairan lain.Secara
normatif “Perusakan Lingkungan” diartikan sebagai segala tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan
lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang
berkesinambungan. Sedangkan “Pencemaran Lingkungan” adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan
manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan
peruntukannya.Apabila pencemaran dan perusakan lingkungan tidak diatasi dengan sungguh-sungguh,
maka dampaknya akan akumulatif sehingga membahayakan kelangsungan hayati laut, bahkan
mengancam kehidupan manusia. Kerusakan lingkungan perairan umumnya terjadi karena ulah manusia,
seperti akibat penangkapan ikan dengan bahan peledak yang mengakibatkan rusaknya terumbu karang,
penggunaan arus listrik atau bahan kimia beracun, atau pemakaian alat tangkap yang dapat merusak
habitat fauna dan flora laut seperti jaring pukat harimau, dan sebagainya.Ancaman yang juga amat
berbahaya bagi kelestarian hayati laut adalah pencemaran laut yang berlangsung terus menerus
sepanjang waktu. Sumber benda atau zat pencemar (polutan) yang masuk ke perairan laut umumnya
berasal dari :
Penggunaan bahan kimia dalam penangkapan ikan, atau pengolahan hasil laut lainnya. Penangkapan
ikan dengan menggunakan sianida tidak hanya mengancam kelestarian biota laut, tetapi sekaligus
menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Begitu pula pencemaran yang terjadi akibat akumulasi
sisa-sisa mercuri yang menghancurkan biota tertentu, bahkan membahayakan jiwa manusia. Biasanya
kehancuran hayati laut ditandai dengan berkurangnya ikan tertentu di suatu kawasan dan kemudian
diikuti dengan punahnya makhluk hidup lain di wilayah laut tersebut. Atau kepunahan semua makhluk
hidup terjadi serempak yang ditandai dengan banyaknya ikan serta biota laut terapung mati di
permukaan laut.
Tumpahan minyak/bahan kimia dari kapal-kapal yang mengalami kecelakaan di laut, atau kapal yang
tidak dilengkapi dengan sistem pengolahan limbah yang memadai, atau kapal yang sengaja membuang
limbah ke laut. Beberapa hasil penelitian memaparkan bahwa pencemaran akibat limbah dari kapal
belakangan ini cenderung meningkat. Ini bisa terjadi karena sebagian kapal tidak dilengkapi dengan
sarana pengolahan limbah bahkan sengaja membuang limbahnya ke laut. Sementara sistem
pengawasan laut Indonesia sangat minim. Berbeda dengan negara maju, Indonesia hingga kini belum
memiliki alat pendeteksi limbah pelayaran yang hasilnya bisa dijadikan dasar menyeret pelaku
pencemaran ke pengadilan.
Kiriman limbah dari darat yang terbawa oleh aliran air sungai. Pencemaran tersebut biasanya terjadi di
kawasan berdekatan dengan daerah industri. Di perairan Teluk Jakarta, misalnya, akibat akumulasi
pencemaran yang berlangsung secara terus menerus telah menimbulkan pencemaran laut yang cukup
signifikan. Bahkan kawasan perairan ini seakan-akan telah berubah menjadi “septic tank” besar yang
setiap hari tanpa henti menampung berbagai kotoran yang berasal dari daratan Jakarta. Beberapa
sumber mengatakan bahwa berdasarkan pengamatan dari udara, terlihat adanya perbedaan warna yang
kontras pada wilayah perairan teluk Jakarta, terutama pada tepian pantai hingga sejauh 5 kilometer ke
arah laut lepas, akibat kadar pencemaran yang cukup tinggi. Tingginya tingkat pencemaran tersebut
tentu tak terlepas dari adanya 13 sungai yang bermuara di teluk Jakarta. Namun kondisi tersebut
menjadi semakin buruk akibat ketidak-pedulian masyarakat terhadap lingkungan perairan laut,
setidaknya hal ini tampak pada kenyataannya masalah limbah jarang diperhitungkan dalam
perencanaan pembangunan kota.Kerusakan lingkungan pada wilayah pesisir pantai, terutama pada
kawasan rawa-rawa dan hutan mangrove semakin menambah kadar pencemaran laut, sebab zat-zat
beracun baik dari limbah rumah tangga maupun industri langsung terbawa air ke laut tanpa melewati
proses penguraian terlebih dahulu. Zat-zat tersebut kemudian mematikan jenis biota laut tertentu, dan
sebagian terserap oleh ikan-ikan sehingga membahayakan kesehatan manusia.Upaya Pencegahan
Dewasa ini tingkat ancaman terhadap hayati laut sudah sangat serius. Apalagi banyak nelayan asing
beroperasi tanpa ijin. Keberanian nelayan asing melanggar batas-batas laut nusantara yang ditentukan
juga cukup tinggi. Bahkan berani melawan petugas dengan senjata api, meski berada di perairan
teritorial Indonesia.Mengatasi berbagai gangguan dan ancaman di atas memang tidak gampang.
Wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas dengan keragaman sifat dan karakternya memerlukan
biaya pengamanan yang tinggi. Tentu disamping ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang
memadai. Dari aspek hukum, pengamanan laut dari ancaman perusakan dan pencemaran sesungguhnya
sudah optimal. Setidaknya sudah banyak produk perundangan-undangan yang mendukungnya. Namun
piranti hukum tentu tak akan bermakna bila tidak ditopang dengan kemampuan menegakkannya secara
konsisten dan tegas di lapangan. Disinilah letak kompleksitas permasalahan, karena untuk semua itu
memerlukan kesiapan aparat penegak hukum yang trampil beroperasi di medan laut (dengan segala
karakteristiknya). Selain itu juga membutuhkan sarana pendukung dalam jumlah memadai, terutama
alat apung yang mampu bergerak cepat. Pengadaan sarana dan penyiapan tenaga aparat memerlukan
biaya tinggi yang akan terasa memberatkan bila hanya terpusat pada unsur-unsur kekuatan tertentu
saja. Berpijak pada prinsip, bahwa pengamanan dan perlindungan terhadap kekayaan laut adalah pada
hakekatnya menjadi tugas nasional maka seyogyanya seluruh warga negara wajib melaksanakannya.
Karena itu, perlu dirancang sistem pengamanan dan perlindungan kekayaan laut yang dapat
menampung partisipasi segenap warga negara. Penyelenggaraan program pelatihan khusus bagi
nelayan, masyarakat pantai, para pelaut tradisional, dan unsur masyarakat lainnya yang terkait dengan
laut agar mampu melaksanakan tugas-tugas tadi, mengandung makna strategis bagi masa depan
bangsa. Sebagai negara kepulauan di kawasan tropis, jenis hayati laut Indonesia sangat beraneka-ragam.
Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan yang karakteristiknya juga beragam sebagai habitat
kehidupan berbagai jenis biota laut tersebut. Namun sebagian besar sumberdaya hayati laut yang ada
mulai terancam kepunahan akibat perusakan dan pencemaran yang tinggi di perairan laut. Akibatnya,
dalam jangka panjang Indonesia bakal kehilangan kekayaan alam laut, dan masyarakat nelayan bakal
kehilangan sumber penghidupannya.Proses pencemaran laut umumnya disebabkan oleh penggunaan
bahan kimia dalam penangkapan ikan, pembuangan limbah oleh kapal-kapal, serta kiriman limbah dari
darat yang terbawa oleh aliran sungai. Adapun pencemaran yang bersumber dari darat cenderung
meningkat. Ini terjadi selain akibat rendahnya kesadaran masyarakat, lemahnya penegakan hukum, juga
karena hancurnya sebagian hutan mangrove dan kawasan rawa-rawa pantai yang berfungsi sebagai
penyaring (filter) zat kimia beracun yang terbawa aliran air dari darat ke laut.Upaya pencegahan dan
penanggulangan pencemaran laut belum maksimal terutama akibat keterbatasan sarana, dana, sumber
daya manusia, serta rendahnya kesadaran masyarakat. Pada aspek legal memang telah ditetapkan
sejumlah ketentuan hukum dan perundang-undangan yang dapat membatasi praktek pencemaran laut
sekaligus untuk melestarikan sumber daya alam hayati yang hidup di dalamnya. Namun implementasi
ketentuan tersebut masih mengalami banyak kendala. Sementara di sisi lain, partisipasi masyarakat juga
masih sangat rendah. Mengingat sebagian besar kekayaan hayati laut Indonesia belum terinventarisasi
dan teridentifikasi dengan lengkap, maka kegiatan penelitian kelautan harus ditingkatkan. Sehubungan
dengan itu, pemerintah dapat bekerjasama dengan lembaga perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat, baik yang ada di Indonesia maupun di luar negeri, terutama yang memiliki
kompetensi memadai di bidang kelautan. Selain itu, disiplin ilmu yang berhubungan dengan kelautan
seyogyanya dikembangkan, dan pendidikan kelautan dapat diajarkan mulai tingkat sekolah
dasar.Pencegahan pencemaran agar ditingkat melalui program-program yang terpadu dan bersifat lintas
sektor. Di sisi lain upaya penyelamatan terhadap spesies hayati laut yang mendekati kepunahan perlu
diupayakan dengan sungguh-sungguh. Dalam rangka itu pula, penangkapan ikan dan biota laut lainnya
dengan menggunakan bahan beracun harus dipandang sebagai kejahatan terhadap lingkungan dan
patut dikenai sangsi berat. Hal yang sama juga dapat dikenakan kepada pihak yang sengaja membuang
limbah beracun ke laut, atau sengaja mengalirkan zat-zat beracun ke sungai.Penyadaran masyarakat
akan pentingnya pelestarian hayati laut harus ditingkatakan melalui program-program nyata, berbasis
pada masyarakat pesisir pantai. Demikian pula event-event yang berorientasi pada pembinaan
semangat cinta bahari hendaknya ditingkatkan dan disebarkan kesemua daerah dengan melibatkan
organisasi-organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa.

Anda mungkin juga menyukai