Anda di halaman 1dari 5

Murji’ah.

Golongan ini yg pertama kali berpendapat bahwaamal perbuatan tidak termasuk


iman. Pada umumnya perselisihan mereka dalam masalah lafazh bukan masalah hukum.
Kemudian pendapat-pendapat mereka meningkat lbh berat hingga menyepakati
pengabaian nilai-nilai amalan. Sebagian mereka tidak wajib melaksanakan faraidh dan
tidak perlu menjauhi hal-hal yg diharamkan. Mereka menganggap cukup dgn mengatakan
beriman.
Adapun pokok pemikiran dan aqidah murji’ah, diantaranya adalah
1. Iman itu adalah tashdiq saja atau pembenaran hati saja atau iqrar saja.
2. Amal itu tidak masuk dalam hakekat iman dan tidak pula masuk dalam bagian iman.
3. Iman tidak bisa bertambah atau berkurang.
4. Orang yang berbuat maksiat tetap dikatakan mu’min kamilul iman atau mukmin yang
sempurna imannya, dan di akhirat kelak ia tidak akan masuk neraka.
5. Manusia itu pencipta amalnya sendiri dan allah tidak dapat melihatnya diakhirat nanti. Ini
seperti pemahaman mu’tazilah
6. Sesungguhnya imamah itu tidak wajib, kalaupun imamah itu ada, maka imamnya itu boleh
datang dari golongan mana saja walaupun bukan dari quraisy. Dalam masalah ini
pemahamannya seperti Khawarij.

Selanjutnya kita akan perhatikan bagaimana. KECAMAN para ulama Ahlussunnah  TERHADAP


MURJI’AH
Imam Az-Zuhri rohimahulloh berkata:Tidak ada bid’ah yang lebih berbahaya dalam Islam kecuali
bid’ah  Irja’.
Imam Al-Auza’i rohimahulloh berkata: Yahya bin Abi Katsir serta Qatadah mengatakan bahwa
tidak ada  yang lebih ditakuti oleh ummat dalam hal hawa nafsu melebihi irja’
Syuraik rohimahulloh berkata: “Mereka adalah sejelek-jelek kaum, cukuplah Rafidlah itu disebut
jelek akan tetapi Murji’ah lebih jelek lagi karena mereka mendustakan Allah.”
Shafyan Ats-Tsauri rohimahulloh berkata: “Murji’ah meninggalkan Islam lebih lembut dari pada 
pakaian   Sabiri

BANTAHAN TERHADAP PENDAPAT MURJI`AH


Bantahan-bantahan berikut dikupas secara ringkas, dan diarahkan terhadap pengertian iman menurut Murji'ah
sebagaimana telah diungkapkan di atas. 

[1].Golongan yang mengatakan iman hanyalah apa yang ada di dalam hati saja, berupa keyakinan dan amalan
hati, seperti pendapat Asy'ariyah.

Bantahan.
Menurut pendapat mereka ini, bahwa orang yang meyakini berita yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam dari Allah Ta'ala, baik berupa Al-Qur'an maupun As-Sunnah, dan hatinya tunduk, maka dia telah
beriman, walaupun tidak mengikrarkan syahâdatain dan walaupun dia sama sekali tidak melakukan amalan
lahiriyah. Maka pendapat ini bertentangan dengan ijma' yang mewajibkan mengikrarkan syahadatain. Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ''Jika seseorang tidak mengucapkan dua syahadat, padahal dia
mampu, maka dia kafir dengan kesepakatan kaum Muslimin''.[5]

Demikian juga bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan hubungan amal

1
hati dengan amalan anggota badan. 

“Ingatlah sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik maka
seluruh tubuh juga baik. Jika segumpal daging itu rusak maka seluruh tubuh juga rusak. Ketahuilah, segumpal
daging itu adalah hati” [6]

Tentang hadits ini, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: ''Jika hati itu baik dengan apa yang ada
di dalamnya, yaitu berupa keimanan, secara ilmu dan amal yang berkaitan dengan hati, pasti mengharuskan
kebaikan tubuh dengan perkataan yang nampak dan beramal dengan keimanan yang sempurna''.[7]

Beliau juga menyatakan: ''Adalah suatu kemustahilan, seseorang beriman dengan keimanan yang kokoh di dalam
hatinya, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan shalat, zakat, puasa, dan haji atasnya, dan (kemudian)
selama hidupnya, dia tidak pernah bersujud kepada Allah sama sekali, tidak berpuasa Ramadhan, tidak membayar
zakat, dan tidak berhaji ke Baitullah; ini mustahil; ini tidaklah muncul kecuali bersamaan dengan kemunafikan dan
kezindiqan di dalam hati, tidak dengan iman yang benar''.[8]

[2]. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah keyakinan hati atau ma'rifat saja, seperti yang dinyatakan
oleh Jahm bin Shafwân. 

Bantahan
Pernyataan demikian merupakan pendapat yang sangat rusak. Karena jika begitu, berarti Fir'aun dan kaumnya
termasuk orang-orang yang beriman, karena hati mereka membenarkan Nabi Musa dan Nabi Harun, namun ia
tidak beriman kepada keduanya. Allah Yang Maha Mengetahui isi hati manusia telah memberitakan isi hati Fir'aun
dan kaumnya dengan firman-Nya.

“Dan mereka (Fir'aun dan kaumnya) mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka), padahal
hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat
kebinasaan” [an-Naml :14]

Padahal sudah pasti jika Fir'aun dan kaumnya termasuk orang-orang kafir yang akan masuk neraka. Allah
berfirman

“Ia (Fir'aun) berjalan di muka kaumnya di hari Kiamat lalu memasukkan mereka ke dalam neraka. Neraka itu
seburuk-buruk tempat yang didatangi” [Huud : 98]

Demikian juga, konsekuensi dari anggapan mereka itu, berarti Iblis termasuk orang-orang yang beriman, karena
dia mengetahui Rabbnya, bahkan berdoa kepada-Nya. Allah berfirman.

“Iblis berkata: "Ya Rabbku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan”
[al-Hijr : 36]

Menanggapi pemikiran Jahm bin Shafwan, Imam Ibnu Abil-'Izzi al-Hanafi rahimahullah berkata: ''Kekafiran
menurut Jahm, yaitu bodoh (tidak mengenal) terhadap ar-Rabb Ta'ala, padahal tidak ada orang yang lebih bodoh
dari Jahm terhadap Rabbnya. Karena dia menjadikan ar-Rabb sebagai wujud semata, dan meniadakan seluruh
sifat-sifat yang ada pada-Nya. Tidak ada kebodohan yang lebih besar dari anggapan yang seperti ini, sehingga dia
menjadi kafir dengan pengakuannya sendiri''.[9]

[3]. Golongan yang mengatakan bahwa iman hanyalah perkataan lisan saja. Ini merupakan pendapat Murji`ah
dari firqah Karrâmiyyah. 

Bantahan:
Jika iman hanya perkataan lisan saja, maka berarti orang-orang munafik termasuk sebagai orang yang beriman.

2
Pendapat ini sangat jelas kerusakannya. Allah berfirman:

“Allah mengancam orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang kafir dengan neraka Jahanam,
mereka kekal di dalamnya. Cukuplah neraka itu bagi mereka, dan Allah mela'nati mereka, dan bagi mereka adzab
yang kekal” [at-Taubah : 68]

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: ''Ahlus-Sunnah telah sepakat berkaitan dengan hilangnya keimanan;
bahwasanya tashdîq (meyakini berita) tidak bermanfaat- jika tidak disertai dengan amalan hati, kecintaan hati dan
ketundukannya''.[10]

[4]. Golongan yang mengatakan, iman ialah keyakinan hati dan perkataan lisan. Mereka adalah Murji'ah dari
kalangan fuqaha (para ahli fiqih). 

Bantahan: 
Pendapat seperti ini menyelisihi ijma' Salafush-Shalih yang mengatakan amal termasuk iman. Amalan (perbuatan)
anggota badan adalah perbuatan yang tidak bisa dilakukan kecuali dengan anggota badan. Seperti: berdiri shalat,
ruku’, sujud, haji, puasa, jihad, membuang barang menggaggu dari jalan, dan lain-lain. 

Di antara dalil yang menunjukkan amal anggota badan termasuk dari iman, yaitu firman Allah Ta'ala: 

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabbmu dan perbuatlah kebajikan,
supaya kamu mendapat kemenangan” [al-Hajj : 77]

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan ruku', sujud, dan beribadah kepada Allah. Perintah
ini menunjukkan bahwa melaksanakannya merupakan iman. 

Lebih jelas lagi dapat ditelaah dari firman Allah Ta'ala: 

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada
manusia” [al-Baqarah :143]

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang firman Allah ''Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu'',
yaitu shalat kamu ke Baitul-Maqdis sebelum itu. Allah tidak akan menyia-nyiakan pahalanya di sisi-Nya. Di dalam
kitab Shahîh (Shahîh Bukhari, no 4486 - Pen) disebutkan dari al-Barâ`, dia berkata; '' Sebagian orang yang dahulu
shalat ke arah Baitul-Maqdis telah meninggal, maka orang-orang berkata: 'Bagaimana keadaan mereka dalam hal
itu?' Maka Allah menurunkan 'Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu'.[11]

Ayat di atas secara jelas menunjukkan, bahwa amal anggota badan termasuk iman, karena Allah menyebut shalat
dengan iman. 

KESESATAN MURJI`AH LAINNYA


Pada uraian di atas telah disampaikan pendapat dari berbagai firqah Murji'ah tentang pengertian iman. Pendapat
sesat mereka berpangkal dari pemahaman-pemahaman menyimpang sebagai berikut. 

[1]. Menurut kelompok Murji`ah, iman merupakan satu bagian dan tidak terbagi-bagi.

Bantahan: 
Anggapan mereka ini bertentangan dengan 'aqîdah Ahlus-Sunnah yang berpendapat bahwa iman memiliki bagian-
bagian atau cabang-cabang. Jumlah cabang-cabang iman itu lebih dari 73 bagian. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda: 

“Iman ada 73 lebih atau 63 lebih bagian. Yang paling utama ialah perkataan Laa ilaaha illallah, dan yang paling

3
rendah ialah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan satu bagian dari iman” [HR Muslim,
no. 35]

Di antara cabang-cabang iman itu ada yang merupakan pokok-pokok iman. Jika cabang tersebut hilang maka
keimanan juga hilang. Cabang-cabang ini, seperti rukun iman yang enam. Demikian juga ada sebagian cabang
iman yang merupakan furu` (cabang kecil). Jika cabang tersebut hilang maka keimanan tidak hilang, akan tetapi
nilai dan kadarnya berkurang. Misalnya seperti menyingkirkan gangguan dari jalan. Oleh karena itulah iman itu
bisa bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketaatan, dan berkurang karena kemaksiatan. 

Kemudian anggapan kaum Murji`ah yang berpendapat bahwa iman itu hanya satu bagian, berarti keimanan
orang yang paling fasik sama dengan keimanan Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, bahkan bisa dianggap setara
dengan keimanan para nabi dan malaikat. Sehingga adakah kerusakan yang lebih besar dari anggapan ini? 

[2]. Dengan anggapan karena iman itu hanya satu bagian, maka keimanan tidak bertambah dan tidak berkurang.

Bantahan: 
Anggapan mereka ini bertentangan dengan Al-Kitab dan as-Sunnah yang menunjukkan bahwa iman itu bisa
bertambah dan dapat berkurang. Allah Ta'ala berfirman: 

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan:
"Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada
mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka, dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi
penolong Kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung". [Ali 'Imran :173]

Ketika Imam Sufyan bin 'Uyainah ditanya, apakah iman itu bertambah dan berkurang? Maka beliau menjawab:
''Tidakkah kamu membaca 'maka perkataan itu menambah keimanan mereka' -Qs Ali 'Imran/3 ayat 173- 'dan
Kami tambah pula untuk mereka petunjuk' -Qs al-Kahfi/18 ayat 13''. [12]

[3]. Tidak boleh berkata "insya Allah" dalam menyatakan keimanan. Karena berarti menunjukkan keragu-raguan.
Bahkan sebagian kaum Murji`ah mengafirkan orang yang melakukannya. 

Bantahan: 
Jika perkataan "insya Allah" untuk menyatakan keimanan itu sebagai bentuk keraguan, maka perkataan itu tidak
boleh. Karena keimanan harus dengan keyakinan. 

Seseorang menyatakan "insya Allah" dalam menyatakan keimanan, bisa jadi karena hal lainnya, seperti karena
tidak mengetahui akhir hayat seseorang. Sebagaimana kita ketahui, penilaian keimanan itu adalah di akhir
hayatnya. Atau karena iman yang sempurna itu mencakup melakukan seluruh kebaikan yang diperintahkan Allah,
dan juga meninggalkan seluruh keburukan yang dilarang-Nya. Sehingga, jika seseorang mengatakan ''saya
mukmin'', berarti dia memuji diri sendiri dengan mengatakan sebagai seorang mukmin. Jika persaksiaannya
benar, berarti ia menyatakan diri sebagai ahli surga. Tentu hal ini batil. 

Kesimpulannya, berkata "insya Allah" dalam menyatakan keimanan, bisa terlarang dan bisa saja dibolehkan,
sebagaimana perincian di atas. Wallahu a'lam. [13]

[4]. Murji`ah berpendapat bahwa amalan anggota badan tidak termasuk iman. 

Bantahan: 
Pendapat seperti ini tentu bertentangan dengan ijma' Salaf yang menyatakan bahwa amal anggota badan
termasuk iman. Penjelasan masalah ini telah dijelaskan dalil-dalilnya di depan.

[5]. Dengan prinsip sesat ini, kaum Murji`ah berpandangan bahwa tidak kekufuran yang terjadi pada anggota

4
badan. Begitu pula perbuatan maksiat tidak mengeruhkan kemurnian iman. 

Bantahan: 
Pandangan ini bertentangan dengan ijma' Salaf yang menyatakan bahwa kekafiran bisa terjadi karena kayakinan,
perkataan, perbuatan, atau keraguan. Begitu pula perbuatan maksiat itu bisa mengurangi nilai keimanan. Bahkan
bagi pelakunya dikhawatirkan menemui su’ul khatimah.

PEMBUKTIAN BERSIH DAN TERBEBAS DARI PEMIKIRAN MURJI`AH


Para ulama salaf telah menyebutkan beberapa penjelasan yang menunjukkan bersih dan terbebasnya seseorang
dari pemikiran irja'. Maknanya, barangsiapa mengatakannya maka ini menunjukkan indikasi bahwa orang tersebut
bersih dari sifat irja' yang tercela. 

Perkataan itu ialah sebagai berikut. 


[1]. Mengatakan bahwasanya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. 

[2]. Menyatakan bahwa dosa-dosa akan membahayakan walaupun ada keimanan, dan dosa-dosa itu akan
mengurangi keimanan. 

Imam Ahmad rahimahullah ditanya tentang orang yang mengatakan ''iman itu bertambah dan berkurang'', maka
beliau menjawab: ''Orang itu bersih dari irja`"[14]

Imam al-Barbahari rahimahullah berkata: ''Barangsiapa mengatakan iman adalah perkataan dan perbuatan, iman
itu bertambah dan berkurang, maka dia telah keluar dari irja' semuanya, (dari) awal hingga dan akhirnya''.[15]

[3]. Menyatakan boleh mengucapkan "insya Allah" dalam keimanan. 


Imam Abdur-Rahman bin Mahdi rahimahullah berkata: ''Jika seseorang meninggalkan pernyataan 'insya Allah'
(istitsnâ) dalam keimanan, maka itu adalah prinsip irja`''[16]

[4]. Menyatakan bahwa kekufuran bisa terjadi pada amalan-amalan anggota badan. 
Hal ini karena semua firqah Murji`ah menyatakan bahwa tidak terjadi kekafiran dengan sebab amalan-amalan
anggota badan. 

[5]. Menyatakan bahwa iman adalah perkataan dan perbuatan. 


Imam Ahmad rahimahullah berkata: ''Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak 'engkau berpemahaman irja`?', (namun)
beliau menjawab 'aku menyatakan iman adalah perkataan dan perbuatan, maka bagaimana (mungkin) aku
menjadi orang yang memiliki pemahaman irja'?''[17]

Dari riwayat ini kita mengetahui bahwa tuduhan terhadap seorang ulama sebagai seorang Murji'ah –padahal
tidak- sudah terjadi pada zaman Imam Ibnul-Mubarak. Sehingga tidak heran jika tuduhan-tuduhan itu juga
bergema pada masa kini terhadap sebagian tokoh-tokoh Salafiyyin, sebagaimana dituduhkan kepada Imam al-
Albani dan sebagian murid beliau- padahal mereka bersih dari tuduhan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang
yang melontarkan tuduhan itu hendaklah mengingat sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam : 

“Barangsiapa berkata tentang seorang mukmin sesuatu yang tidak ada padanya, Allah akan menempatkannya
pada lumpur neraka, sehingga dia keluar dari apa yang telah dia katakana” [18]

Demikian sedikit penjelasan tentang firqah Murji`ah dan kesesatannya. Semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai