Anda di halaman 1dari 10

Pendahuluan

Pembangunan Negara kesatuan Republik Indonesia, khususnya pembentukan Hukum Nasional


tentang Tanah, didasarkan atas Hukum Adat TAP. MPR. No.2 tahun 1960 pasal 4 ayat 3
merupakan basis pembangunan semesta. Negara Republik Indonesia merupakan negara
agraris, tidak mengherankan apabila pembangunan di bidang agraria menduduki tempat yang
penting dan urgent. Urgensi ini disebabkan karena pada jaman penjajahan, hukum agraria
Indonesia bersifat pluralistis, dan kurang memberi jaminan akan "kepastian hukum" serta
dapat pula menghambat bahkan mungkin merintangi "kesatuan" bangsa Indonesia.

Secara konstitusional pula UUD 1945 memberikan landasannya yang termaktub didalam pasal
33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat". Dengan menimbang bahwa di dalam negara Republik Indonesia yang susunan
kehidupan rakyatnya, perekonomiannya masih bercorak agraris, dengan adanya bumi, air dan
ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai arti yang sangat penting
untuk membangun masyarakat adil dan makmur.

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang secara resmi dicantumkan dalam
lembaran negara No. 104 tahun 1960 sebagai hukum Agraria secara nasional, guna
menggantikan hukum Agraria yang pluralistis yang berbasis pada kedaerahan, dan
pelaksanaan dari Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dengan ketentuan dalam pasal 33 UUD
1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam Pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960, juga mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan
penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah Bangsa dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-
royong. Hal ini diperkuat dengan dasar hukum yaitu UU No. 5 tahun 1960 UUPA Bab 1
mengenai Dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok pasal 2 ayat (1) & (2) yang berbunyi:

1.  Atas dasar, ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi di kuasai oleh negara, sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

2.  Hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang
untuk:

 Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut. 
 Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan dan perbuatan-perbuatan hukum
yang mengenal bumi, air dan ruang angkasa.
UUPA ini lebih dikenal oleh masyarakat dengan UU No. 5 Tahun 1960, yang dimaksud dengan
agraria meliputi hal-hal yang ada didalamnya, mencakup pula pengertian air, udara yang ada
di atasnya atau ruang angkasa dan semua jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah
tersebut. Yang dimaksud dengan bumi yaitu ladang, kebun dan sebagainya, sehingga boleh
dikatakan bahwa Hukum Agraria meliputi pula Hukum Tanah, atau dengan kata lain bahwa
Hukum Tanah merupakan bagian dari Hukum Agraria.

Dengan adanya UUPA. diharapkan akan berakhirlah dualisme dan pluralisme hukum agraria di
Negara RI dan yang ada hanya hukum agraria yang bersifat nasional, yang didasarkan atas
satu sistim hukum saja, yaitu sistim hukum seperti tercantum di dalam UUPA yang pada
hakekatnya UUPA tersebut bersumber atas hukum asli Indonesia, yaitu hukum Adat.
Pengertian Hukum Adat di sini adalah hukum Adat yang bersifat dinamis.

Pada perkembangan selanjutnya, segala sesuatu mengalami perubahan kearah


penyempurnaan yang mengacu pada kepentingan yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara, maka keberadaan hak ulayat masyarakat hukum Adat dari waktu ke waktu
semakin mengalami penyempitan, bahkan tidak tertutup kemungkinan menjurus ke arah
hapusnya hak tersebut dari khasanah hukum Adat.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan semakin cepatnya proses pemudaran hak-hak
masyarakat hukum Adat di Jawa Tengah, antara lain;

 pengaruh lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok


Kehutanan (UUPK) serta peraturan pelaksanaan kedua undang-undang tersebut.
 paradigma perubahan sosial dan era globalisasi; dan
 adanya pembatasan-pembatasan, oleh karena telah diserahkan oleh negara kawasan-
kawasan hutan tertentu kepada perorangan atau badan hukum, untuk dikelola atau
dieksploitasi.

Hukum Adat di daerah Surakarta dan Yogyakarta Jawa tengah dalam kaitannya dengan politik
hukum nasional dan pembinaan hukum itu sendiri. Menurut H Abdurachman di jelaskan
sebagai berikut.

“Hukum Adat daerah Surakarta dan Yogyakarta adalah termasuk hukum yang hidup (the
living law), sehingga pada dasarnya kedudukannya ditentukan sepenuhnya oleh masyarakat di
mana hukum itu berlaku. Bila mana masyarakat menyatakan hukum yang bersangkutan
masih relevan, mereka akan mempertahankannya, dan bilamana mereka menganggapnya
sudah tidak relevan lagi maka hukum tersebut dengan sendirinya akan terkesampingkan”.

Akan tetapi sekarang ini harus menyadari bahwa masyarakat itu juga hidup dalam suatu
ikatan kenegaraan di mana negara juga mempunyai politik hukum yang sifatnya nasional
yang dalam beberapa kasus tertentu mungkin berbeda dengan ketentuan hukum Adat yang
berlaku secara lokal politik hukum negara yang dituangkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, berperan mengarahkan perkembangan ketentuan hukum yang berlaku
termasuk ketentuan hukum Adat yang berlaku secara lokal harus menyesuaikan diri dengan
ketentuan-ketentuan tersebut.

Ada beberapa undang-undang yang berpengaruh terhadap kedudukan hukum Adat pada
umumnya dan hukum Adat masyarakat Jawa Tengah khususnya, yaitu undang-undang No. 5
tahun 1960 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Agraria (UUPA), undang-undang No. 5 tahun
1967 tentang Ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Kehutanan (UUPK), Undang-
undang Darurat UU DRT 1951, Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok
kehakiman, serta Undang-undang No. 1 tahun 1974, tentang Perkawinan.

Kedudukan dan peranan hukum Adat menurut keputusan seminar hukum Adat dan pembinaan
hukum nasional tahun 1975 yang dirumuskan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN,
1976: 251) sebagai berikut:

1.  Hukum Adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-
bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju kepada unifikasi hukum dan
terutama dilakukan melalui pembuatan peraturan-peraturan perundang-undangan,
dengan tidak mengabaikan timbul atau tumbuh dan berkembangnya hukum kebiasaan
dan pengadilan dalam pembinaan hukum; dan

2.  Pengambilan bahan-bahan dari hukum Adat dalam menyusun hukum nasional pada
dasarnya berarti: 

penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum dari hukum Adat untuk dirumuskan
dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini dan masa
mendatang dalam rangka pembangunan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
penggunaan lembaga-lembaga hukum Adat yang dimodernisir dan disesuaikan dengan
kebutuhan zaman, tanpa menghilangkan ciri dan sifat kepribadian Indonesia.
memasukan konsep-konsep dan asas-asas hukum Adat kedalam lembaga hukum baru dan
lembaga-lembaga hukum asing yang dipergunakan untuk memperkaya dan
memperkembangkan hukum nasional agar tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945.

3.   Di dalam pembinaan hukum harta kekayaan nasional, hukum Adat merupakan salah
satu unsur, sedangkan di dalam pembinaan hukum kekeluargaan dan hukum
kewarisan nasional merupakan intinya.

4.  Dengan terbentuknya hukum nasional yang mengandung unsur-unsur hukum Adat,
maka kedudukan dan peranan hukum Adat itu telah terserap di dalam hukum
nasional.Mengenai pengertian hukum nasional, Sunaryati Hartono menjelaskan:
“Pengertian Hukum Nasional dipakai dalam arti yang berbeda dengan pengertian
hukum positif, tetapi lebih mengandung arti ius constituendum Indonesia atau sistem
hukum yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, yang memproklamirkan
kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.”

Karena suatu sistem selalu terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang saling berkaitan
dan pengaruh-mempengaruhi, lagi pula terikat oleh satu atau beberapa asas tertentu, maka
sistem hukum pun terdiri dari sejumlah unsur atau komponen, yang sebagian pada saat ini
sudah ada dan sudah berfungsi, tetapi sebagian besar masih harus diciptakan.

Memahami sistem hukum nasional dalam perspektif politik hukum nasional yang dikemukakan
tersebut di atas maka berlakulah hukum Adat disamping hukum nasional memang merupakan
persoalan tersendiri yang tidak sederhana sebab dalam konsep negara kesatuan maka
diperlukan hanya satu sistem hukum yang berlaku secara nasional. Dalam politik hukum
diupayakan secara berangsur-angsur hukum Adat diserap ke dalam sistem hukum nasional
atau lebih tegas lagi kedalam hukum positif yang tertulis, dalam hal ini peraturan perundang-
undangan.

Dengan latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan: Bagaimanakah status
hukum keberadaan tanah-tanah adat milik kerajaan Yogyakarta yang dikuasai oleh warga
masyarakat Adat wilayah Yogyakarta yang secara otomatis akan tunduk pada ketentuan-
ketentuan aturan-aturan yang dikeluarkan oleh penguasa setempat yaitu penguasa kerajaan
Yogyakarta? 

Status Hukum Tanah Yogyakarta Setelah Berlaku UUPA

Dikeluarkannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria, merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 33 UUD 1945 dan penetapan Presiden No. 1
Tahun 1960 L.N. 1960-10. Dalam salah satu konsidennya mendasarkan pada ketentuan Pasal
33 ayat (3) UUD 1945, yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1), yang menyatakan bahwa:
"Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat".

Berdasarkan hak menguasai tersebut, maka negara mempunyai wewenang untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan


pemeliharaan bumi, air, dan ruang angkasa.

2.  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang


dengan bumi, air, dan ruang angkasa.
3.  Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Kemudian atas dasar hak menguasai dari negara, ditentukan macam-macam hak atas tanah
yang dapat diberikan kepada orang-orang baik secara perseorangan atau individu maupun
secara bersama-sama serta kepada badan-badan hukum, menurut peruntukan dan
keperluannya. Macam-macam hak atas tanah tersebut, diperinci lebih lanjut dalam pasal 16
ayat (1) UU No. 5/1960, yang meliputi:

 Hak Milik
 Hak Guna Usaha
 Hak Guna Bangunan
 Hak Pakai
 Hak Sewa
 Hak Membuka Tanah
 Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.
 Hak atas tanah yang bersifat sementara, ditentukan dalam Pasal 53 UUPA yang
meliputi; hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan sewa tanah pertanian.
Karena sifatnya sementara dimungkinkan akan dihapus, hal ini untuk membatasi sifat-
sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang.

Status Hukum Tanah Yogyakarta Sebelum UUPA

Di sisi yang lain, berdasarkan sejarah terbentuknya Kerajaan Yogyakarta, maka pola
penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah pada mulanya terbentuk feodal yang
kemudian berubah menjadi hak atas tanah secara komunal dan hak milik perseorangan. Hal
ini terjadi karena segala sesuatunya berasal dan bersumber kepada pranata-pranata yang
dikeluarkan oleh Penguasa Kerajaan, yang berarti segalanya berorientasi kepada kekuasaan
raja. Raja adalah merupakan satu-satunya penguasa wilayah yang tertinggi, yang menjadi
pusat sembahan dan dambaan para kawula dalem. Menurut salah satu informan dikatakan
bahwa karena sangat besarnya kepercayaan rakyat kepada sultan atau raja, yang seakan-
akan sebagai penguasa tunggal hingga seluruh tanah seisinya serta cara pengaturannya
dipercayakan penuh kepada beliau, semua tanah adalah kagungan dalem noto artinya milik
raja atau sultan.

Pada jaman itu, yang namanya desa belum merupakan suatu persekutuan hukum. Desa tidak
lebih dari sekumpulan keluarga yang bersama-sama mendiami sebidang tanah sebagai tempat
gantungan hidup. Soedarso mengatakan:

Bahwa sebelum tahun 1918 di DIY belum ada apa yang disebut desa
sebagai persekutuan hukum, yang ada hanyalah desa-desa sebagai
kompleks perumahan dan rakyat penggarap dari tanah-tanah yang menjadi
hak para patuh apanage hourder, yang mereka peroleh dari raja sebagai
gaji atau biaya hidupnya. Mereka terdiri dari para pegawai raja dan keluarga
raja dan keluarga raja.

Tanah sebagai kagungan dalem noto atau milik raja, pada dasarnya dapat dibagi menjadi 2
yaitu Keprabon Dalem  dan Dede Keprabon Dalem. Yang dimaksud dengan Keprabon Dalem
yaitu serangkaian persyaratan yang mutlak diperlukan bagi seorang raja di Ngayogyakarta.
Persyaratan tersebut dapat berwujud benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda
bergerak antara lain adalah keris atau tombak pusaka, bender pusaka, sedang benda tidak
bergerak berupa alun-alun, pagelaran, siti hinggil, kraton dan lain sebagainya.

Sedangkan  tanah dede keprabon dalem diperuntukkan bagi keperluan mendirikan rumah-
rumah bagi putro sentono dalem, seperti Pangeran Adipati Anom, Pangerah Hangabehi,
mendirikan rumah-rumah bagi abdi dalem seperti Pepatih Dalem di Kapatihan, Dalapan
Nayoko di kenayakaan, sebagai gaji para putro sentono dalem, dan para abdi dalem, bagi
desa-desa, Kademangan, Kabekelan di kelurahan, dan

ragi kawulo dalem atau rakyat dengan hak anggadhuh turun-temurun.

Kedudukan rakyat sebagai petani penggadhuh adalah sebagai penggarap dalam arti yang
sebenarnya, dengan pengertian mereka tidak memiIiki hak atas tanah itu. Adapun hasil dari
tanah itu atau hasil panen dibagi dua disebut dengan maru dengan perincian: 2/5 bagaian
untuk patuh, 2/5 bagian lagi untuk penggarap atau petani, dan 1/5 bagian untuk bekal.

Sebelum tahun 1918, informasi dari Kantor Paniti Kismo mengatakan adanya suatu tatanan
masyarakat yang feodalisme, rakyat sebagai lapisan masyarakat terbawah tidak memiliki hak
apapun atas tanah yang ditempati dan dikerjakannya. Dalam lingkungan masyarakat banyak
dipengaruhi anggapan dan keyakinan bahwa raja adalah pemimpin yang suci mengusai
segala-galanya dan memiliki segalanya, bahkan dirinya dianggap sebagai salah satu yang
dikuasai dan men jadi hak milik raja. Beliau juga menambahkan, untuk masa sekarang masih
banyak orang yang ingin menjadi abdi dalem, meskipun imbalan sebagai abdi kecil sekali
bahkan mungkin tanpa mendapat imbalan.

Pada jaman sebelum reorganisasi, di daerah swapraja Yogyakarta dan Surakarta tanah adalah
milik raja dan ia berkuasa penuh atas tanah-tanah. Sebagian dari tanah-tanah itu langsung di
kuasai oleh raja, yang merupakan semacam tanah Domein. Sebagian tanah lainnya, ialah apa
dinamakan tanah kejawen, atau sering juga disebat tanah gaduhan, tanah lungguh dan yang
dalam istilah asing terkenal dengan tanab apanage, dipergunakan untuk menjamin kebutuhan
daripada keluarga raja, atau untuk menggaji para abdi dalem.

Desa pada waktu itu semata-mata hanyalah merupakan daerah tempat tinggal saja, suatu
kompleks pekarangan-pekarangan dengan rumah-rumah di atasnya. Rakyat dapat
memperoleh hak milik, yaitu dengan jalan membuka tanah terhadap tanah liar atau kosong.
Hak milik dalam hal ini adalah merupakan hak milik yang sifatnya lemah, seolah-olah
hanyalah merupakan hak mengusahakan atau mengerjakan saja.

Terhadap tanah-tanah pertanian, menurut salah satu informasi hampir tidak dijumpai adanya
hak milik. Hak atas tanah pertanian berupa sawah dan tegal hanyalah merupakan hak usaha,
hak tersebut dapat diwariskan tetapi tidak dapat dijual. Di samping itu, untuk tanah
pekarangan dan perkebunan juga hanya merupakan hak mengerjakan, dapat diwariskan
tetapi tidak dapat dijual dan digadaikan.

Dengan dikeluarkannya Rijksblad Kasultanan tahun 1918 No. 16 dan Rijksblad Pakualaman
tahun 1918 No. 16, maka berubahlah susunan pemerintahan yang diikuti dengan perubahan
penguasaan atau pengurusan tanah, pada saat itu dikeluarkan suatu pernyataan "Domein
Verklaring" untuk seluruh wilayah kerajaan. Dalam Pasal 1 dinyatakan ketentuan sebagai
berikut:

Sakabehe bumi kang ora ono tanda yektine kadarbe ing liyan mawan wewenang eigendom,
dadi bumi kagungane kraton ingsung Ngayogyakarta.

Tanah yang tidak dapat dibuktikan dengan hak eigendom oleh pihak lain, adalah kepunyaan
kerajaan atau “ku”, Yogyakarta. Pasal ini mengandung maksud pelestarian asas di wilayah
kerajaan Yogyakarta, pengertian kata domein mengandung arti sebagai pemilikan dan
pengusahaan. Asas domein yang tercantum Rijksblad tersebut, selanjutnya dipakai sebagai
pangkal pelaksanaan peraturan-peraturan agraria di DIY. Sebagai dasar kewenangan bagi DIY
sebagai kerajaan Nyayogyakarta untuk mengatur sendiri urusan agraria yakni dengan
perjanjian atau politik kontrak yang diadakan setiap adanya penggatian kekuasaan atau
pergantian raja di kerajaan Ngayogyakarta.

Tahun 1018 merupakan tonggak awal adanya desa sebagai badan hukum dan hak-hak atas
tanah, Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (1) Rijksblad Kasultanan dan
Rijksblad Pakualam tersebut, yang menyatakan: semua tanah yang terletak dalam wilayah
yang telah diorganisir yang nyata-nyata dipakai rakyat, baik yang ditempati maupun yang
diolah secara tetap atau tidak tetap sebagaimana tercatat dalam register kelurahan, diberikan
kepada kelurahan baru tersebut dengan hak anggadhuh, Iniandsch Bezitrecht. Tanah-tanah
yang diberikan kepada pamong kelurahan adalah tanah-tanah yang termasuk dalam register
kelurahan yang bersangkutan.

Asas Hukum Status Tanah Adat Daerah Istimewa Yogyakarta.


Untuk mengetahui asas hukum bekas tanah adat yang ada di Daerah Istimewa
Yogyakarta, maka pada halaman berikut ini dapat dilihat bahwa apabila mengacu
atau tunduk kepada UU No. 3 Tahun 1950 maka status tanah di daerah Yogyakarta
yang dahulunya merupakan tanah Adat Kasultanan dan Pakualaman dengan
keluarnya Undang-Undang tersebut statusnya menjadi Rijksblad Kasultanan, Sultan
Grant, Paku Alam Grond, namun dengan keluarnya Undang-Undang yang baru terbit
dikemudian hari yaitu UUPA No. 5 th. 1960, apabila mengacu atau tunduk pada
aturan baru tersebut, maka status tanah Adat di Daerah Yogyakarta yang
sebelumnya adalah Rijksblad Kasultanan, Sultan Grant, Paku Alam Grond, dengan
terbitnya undang-undang tersebut status tanah adat menjadi dikonversi
berdasarkan UUPA yang baru tersebut.

Apabila asas hukum yang dipakai adalah Lex Speciali Derogat Lex Generale, aturan
yang khusus menyimpangi atau mengabaikan aturan yang umum, maka seharusnya
UU No. 3 Tahun 1950 yang dianggap paling kuat dalam mengatur status tanah adat
di daerah Yogyakarta, oleh karena dalam asas hukum Lex Speciali Derogat Lex
Generale ini UU No. 3 Tahun 1950 lebih khusus mengatur Pemerintah Daerah
Yogyakarta berikut tanah adat aset daerah dibanding Undang-Undang Pokok Agraria
yang pemberlakuan hukumnya lebih umum kepada siapa saja dan atas tanah apa
saja.

Apabila asas hukum yang dipakai adalah Lex Posteriore Derogat Lex Priore, aturan baru akan
mengalahkan aturan yang lama dalam oyek hukum yang sama atau sejenis, maka seharusnya
Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Th. 1960 yang dianggap paling kuat dalam mengatur
status tanah adat di daerah Yogyakarta, oleh karena dalam asas hukum Lex Posteriore
Derogat Lex Priore ini Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 th. 1960 terbitnya lebih
belakangan atau baru dibanding UU No. 3 Tahun 1950 yang terbitnya lebih dahulu atau lama.

Dari tinjauan asas hukum di atas itu pula, maka seharusnya untuk menuju sistem
hukum nasional yang modern khususnya hukum pertanahan, perlu adanya
sitemisasi yaitu dari peraturan tanah adat yang lebih khusus dan rendah derajatnya
untuk ditingkatkan kepada yang lebih umum dan tinggi derajatnya sehingga menjadi
sistem hukum pertanahan nasional, yaitu status tanah adat di Daerah Yogyakarta
yang berdasarkan UU No. 3 Tahun 1950 dengan menjadikan status tanah adat
berupa Rijksblad Kasultanan, Sultan Grant, Paku Alam Grond pada saat dihadapkan
dengan UUPA No. 5 th. 1960, biarlah penyelesaian sengketa hukum tersebut
diselesaikan melalui mekanisme pengadilan tentang hukum manakah yang dianggap
paling tepat untuk status tanah adat di daerah Yogyakarta tersebut, sehingga
putusan hak atas tanah adat di daerah Yogyakarta tersebut dapat dipertanggung
jawabkan secara hukum legal.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa sejak tanggal 1
April 1984 telah terjadi dualisme hukum di bidang pertanahan yang mengatur tanah adat di
Yogyakarta karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah
Istimewa Yogyakarta masih tetap mengakui berlakunya rijksblad-rijksblad maupun peraturan-
peraturan daerah sehingga pengurusan agraria yang semula berdasarkan wewenang otonomi,
seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950, namun dengan berlaku
sepenuhnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dan aturan-aturan pelaksanaannya yang
mengatur tentang konversi pertanahan mulai tanggal 1 April 1984, maka beralih menjadi
wewenang dekonsentrasi dan diyatakan tidak berlakunya lagi segala rijksblad-rijksblad,
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan lainnya yang mengatur tentang keagrariaan di
Daerah Istimewa Yogyakarta.

Dari kedudukan hukum yang semacam ini maka kedudukan tanah adat di Daerah
Istimewa Yogakarta dengan berlakunya UUPA terjadi pengalihan keagrariaan di
Daerah Istimewa Yogyakarta yang sesuai dengan UUPA menurut sistem
dekonsentrasi. Tanah bekas kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi tanah yang
dimiliki secara pribadi atau perorangan oleh Sultan dan pejabat atau punggawa
kesultanan, sedangkan tanah grant sultan ialah milik kesultanan secara organisasi
dan menjadi aset kesultanan yang dapat dimanfaatkan oleh perseorangan atau
badan hukum dengan suatu perjanjian. Tanah yang menjadi milik Pemda atau tanah
negara pengelolaannya dilimpahkan kepada instansi dan kelurahan setempat terdiri
dari tanah desa, tanah pangarem-arem, tanah wedi kengser, tanah yang dimiliki
dengan hak yasan atau hak anderbe oleh perorangan.

Tanah bekas kekuasaan Pakualaman, terdiri dari tanah yang dimiliki oleh Paku Alam
secara perorangan, tanah yang dimiliki Paku Alam secara organisasi, tanah sisanya
dilimpahkan kepada Pemda. Kebijakan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam bidang pertanahan bagi berlakunya hukum adat sebagai landasan hukum
agraria dalam sistem hukum nasional yaitu dengan memberlakukan berbagai
Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta.

R.Ay. Sri Retno Kusumo Dhewi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya.

Referensi:

Abdurrahman, 1994. Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-Undangan Agraria Indonesia.


Jakarta: Akademi Prassindo.

Adebo dkk., 1989. Negara dan Bangsa, Jilid 3. Jakarta: PT Widyadara.


Admadja, I Dewa Gede. “Perkembangan Hukum Lingkungan dalam Teori dan Praktek”, dalam
Majalah Ilmu Hukum Kertha Patrika, No. 75 Th. XXV, September, 2000.

Al Barry, M. Dahlan, 1994. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Arloka.

Arief. S. UUPA Hukum Angraria dan Hukum Tanah di Indonesia. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Arto, A. Mukti, 2001. Mencari Keadilan, Kritik dan Solusi Terhadap Praktik Peradilan Perdata di
Indonesia.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bachsam Mustafa, 1985. Hukum Agraria Dalam Persepketif. Bandung: Remadja Karya.

Badawi, G Sukahar, Gowgioksiong, 1967. Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria. Jakarta:


Penerbit Kinta.

Bagus, Lorens, 2000. Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Bambang Sunggono, 1997. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Barry, M. Dahlan Al., 1994. Kamus Modern Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Arloka.

Basah, Sjachan, 1997. Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia.
Jakarta: Penerbit Alumni.

Bruggink, J.J. 1990. Refleksi Tentang Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Sumber Foto: http://rinangpramito.blogdetik.com/2-keadaan-fisik/

Anda mungkin juga menyukai