Anda di halaman 1dari 12

SISTEM PENGEMBANGAN DAN PENGUSAHAAN AIR BERSIH DI JAWA BARAT

“POTENSI DAN POLA BISNIS AIR BERSIH DAN AIR MINUM”

Oleh :

Deny Juanda PURADIMAJA1, Indratmo Soekarno 2, Zainal Abidin3, D. Erwin Irawan4

Disampaikan pada Acara Seminar


“Pengelolaan dan Pemanfaatan Air Bersih Guna Meningkatkan Kesehatan Masyarakat Jawa Barat
Menuju Era Globalisasi”
Jumat, 22 Nopember 2002 (Aula Barat ITB)

I. PENDAHULUAN

Sekitar 85% dari tubuh manusia terdiri dari air, sehingga dengan demikian air merupakan unsur terpenting
dalam kehidupan manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, air tidak hanya diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan kesehatan individu, tetapi juga menjadi tumpuan beroperasinya berbagai macam industri yang
salah satunya adalah industri air minum. Untuk itu sebelum membahas secara rinci mengenai jenis
industri ini, maka gambaran potensi sumberdaya air di Propinsi Jawa Barat perlu diketahui terlebih
dahulu.

I.1 SEKILAS POTENSI SUMBERDAYA AIR DI PROPINSI JAWA BARAT

Suplai sumberdaya air di alam berasal dari 3 sumber, yaitu: air hujan, air sungai, dan airtanah. Pada bagian
selanjutnya ditampilkan gambaran singkat potensi masing-masing jenis air di Propinsi Jawa Barat.

Potensi air hujan digambarkan dengan distribusi curah hujan. Jumlah hujan rata-rata tahunan di P. Jawa
adalah 2700 mm/tahun (Working Group WHO-KLH, 1996). Namun di daerah tertentu di Propinsi Jawa
Barat, seperti di sekitar G. Ciremai (Kabupaten Kuningan), curah hujan tahunan dapat mencapai 5000
mm/tahun (IWACO-WASECO, 1990). Curah hujan yang cukup melimpah tersebut merupakan
sumberdaya yang sangat potensial untuk dapat dikelola dengan baik.

Selain air hujan, air sungai juga mempunyai potensi yang melimpah. Berdasarkan Tabel 1 berikut,
distribusi debit sungai sesaat berkisar antara 3,386 m3/detik (S. Cisadane di lokasi pengamatan Cisalopa)
sampai 161,638 m3/detik (S. Citarum di lokasi pengamatan Bendung Walahar). Selain itu, Debit andalan
sungai-sungai besar di Jawa Barat pun cukup tinggi, untuk S. Cisadane tercatat memiliki debit andalan
tertinggi rata-rata pada bulan November (146,8 m 3/detik), S. Cimanuk sebesar 153,3 m3/detik pada bulan
Maret, S. Citarum sebesar 112,8 m3/detik pada bulan Januari.

1
Departemen Teknik Geologi, FIKTM–ITB, 2 Departemen Teknik Sipil, FTSP-ITB, 3 Departemen Teknik
Kimia, FTI-ITB, 4 Asisten Laboratorium Hidrogeologi, Departemen Teknik Geologi FIKTM-ITB
1
Tabel 1A Distribusi debit sesaat 4 sungai di Propinsi Jawa Barat
(BPLHD, 2001)

Debit sesaat (m3/detik)


Sungai Lokasi Pengamatan
21-Jun-2001 25-Jun-2001 27-Jun-2001 24-Sep-2001 23-Oct-2001 Rata-rata
Cisalopa 4,005 3,179 2,805 2,837 4,107 3,3866
Cisadane
Rumpin 23,908 49,194 27,147 15,369 23,155 27,7546
Cisarua 4,114 3,389 2,886 2,217 3,174 3,156
Ciliwung
Depok 15,256 13,8 8,269 7,723 29,353 14,8802

22-Jun-2001 27-Jul-2001 29-Aug-2001 27-Sep-2001 25-Oct-2001 Rata-rata


Wangisagara 2,757 3,005 1,51 1,263 33,299 8,3668
Majalaya 7,497 6,455 4,125 2,3 12,938 6,663
Citarum
Cijeruk 11,17 8,943 6,995 4,344 72,794 20,8492
Burujul 23,614 26,349 11,34 14,47 106,06 36,3666

22-Jun-2001 27-Jul-2001 28-Aug-2001 26-Sep-2001 24-Oct-2001 Rata-rata


Citarum Nanjung 28,247 33,132 12,104 19,266 172,758 53,1014

23-Jun-2001 28-Jul-2001 25-Aug-2001 28-Sep-2001 25-Oct-2001 Rata-rata


Bayongbong 6,656 3,936 2,155 1,815 14,15 5,7424
Cimanuk Banyuresmi 17,38 12,49 7,3 25,145 39,615 20,386
Tomo 42,982 15,759 16,837 60,681 259,165 79,0848

Tabel 1B Distribusi debit andalan rata-rata bulanan 4 sungai di Propinsi Jawa Barat (1991-1998)
(BPLHD, 2001) …. Dalam m3/detik

Sungai Stasiun Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Batu Beulah 141,1 136,4 137,4 133,6 137,2 95,5 86,6 84,1 91 125,7 146,8 131,2
Cisadane Legok Muncang 16 15,8 14,8 14,3 12,7 11 10,3 12 11,5 12,9 15,6 15,4
Cimanuk Tomo 118 140,2 153,3 151,9 83,4 41 23 19,2 14,1 33,5 63 93,5
Tegal Datar 29,5 28,8 27 22,9 21,9 15,9 14 13 12,9 18,7 28,1 28,4
Cimandiri Leuwi Lisung 9,8 8,016 8,41 10,65 7,448 4,654 4,11 3,208 3,448 3,376 8,312 9,578
Citarum Nanjung 112,8 95,82 132,3 125,7 65,9 42,95 26,28 14,75 18,15 29,54 88,53 85,35

2
Kemudian, dari sektor airtanah, telah dilakukan identifikasi cekungan airtanah secara regional di
Indonesia (Tabel 2). Sesuai dengan tabel tersebut, di Propinsi Jawa Barat terdapat 19 cekungan airtanah
dengan potensi total sebesar 11,48 m3/detik. Secara lebih rinci, penamaan masing-masing cekungan
disajikan pada Tabel 2 berikut.

Secara umum potensinya cukup tinggi di cekungan-cekungan yang mengandung endapan gunungapi
muda, sedangkan potensi yang rendah terdapat pada cekungan-cekungan yang mengandung batuan
sedimen Tersier dan batuan gunungapi tua. Adapun potensinya yang terendah sebesar 0,026 m 3/detik
(Cekungan Airtanah Pelabuhan Ratu) dan tertinggi sebesar 3,416 m3/detik (Cekungan Airtanah Bandung).

Tabel 2 Cekungan airtanah di Propinsi Jawa Barat dan potensinya


(Direktorat Geologi Tata Lingkungan, 1993, op.cit Working Group WHO-KLH, 1996)

Potensi
Propinsi No
(10 m /tahun) (m3/detik)
6 3

Jawa Barat
Nama cekungan: 19
Pangandaran 1 7,3 0,231
Pemeungpeuk 2 3,8 0,12
Jampang Kulon 3 1,2 0,034
Pelabuhan Ratu 4 0,8 0,026
Malimping 5 2,4 0,076
Labuhan 6 14,3 0,463
Cilegon 7 6,2 0,197
Serang Tangerang 8 37,2 1,18
Krawang Jatibarang 9 64,9 2,058
Rawardanau 10 4,4 0,14
Cianjur 11 15,6 0,495
Sukabumi 12 12,5 0,396
Bandung 13 107,8 3,416
Lembang 14 4,2 0,133
Garut 15 25,3 0,802
Sumedang 16 3,3 0,105
Jatitujuh 17 15 0,476
Cikijing 18 13,3 0,422
Tasikmalaya-Ciamis 19 22,4 0,71
TOTAL POTENSI (m3/detik) 361,9 11,48

Berdasarkan gambaran potensi sumberdaya air di atas, maka masing-masing jenis air akan mempunyai
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dan kekurangan masing-masing jenis air serta fungsinya untuk
memenuhi kebutuhan manusia dapat dilihat pada Gambar 1 berikut ini.

Pada gambar tersebut sumber air sungai mempunyai kelebihan, yaitu: lokasi pengambilan yang dekat
mengingat lokasi pemukiman umumnya dibuat di dekat alur sungai, sehingga aksesibilitasnya cukup
mudah. Sedangkan kekurangannya adalah kerentanannya terhadap polusi karena tidak mempunyai sistem
proteksi alamiah yang baik. Kerentanan terhadap polusi tersebut menyebabkan biaya pengolahannya
(treatment) pun menjadi tinggi.

3
Di sisi lain, airtanah dapat menjadi pilihan, yaitu karena mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi
terhadap pencemaran, sehingga kualitasnya pun relatif konstan yang menyebabkan harga produksinya
dapat ditekan; mempunyai debit reguler, terutama untuk airtanah tertekan. Namun airtanah mempunyai
kekurangan yang terkait dengan konstruksi sumur bor dan perpipaan yang cukup mahal.

Berdasarkan analisis diatas, maka terdapat 3 skenario pemanfaatan sumberdaya air, yaitu:
1. pemanfaatan airtanah saja
2. pemanfaatan air sungai
3. kombinasi pemanfaatan air sungai dan airtanah

Gambar 1 Skenario pemanfaatan berbagai sumberdaya air

4
I.2 POTRET POTENSI MATAAIR DI JAWA BARAT

Mataair merupakan outlet alamiah yang menyebabkan airtanah dapat keluar ke permukaan. Pada periode
1991 sampai 1993, telah dilakukan inventarisasi mataair pada 13 kabupaten dan kota (Tabel 3). Hasilnya
terdapat total 740 titik mataair (DGTL, 1991, IWACO-WASECO, 1993, op.cit Sayoga dkk, 2001). Dari
jumlah tersebut terdapat 5 kabupaten yang memiliki lebih dari 100 titik mataair dengan debit mencapai
500 l/detik. Kabupaten Sukabumi (127 titik mataair), Bandung (110 titik), Garut (107 titik), Tasikmalaya
(96 titik), dan Ciamis (126 titik mataair).

Sebagai tambahan, terdapat data beberapa mataair di kawasan lereng timur G. Ciremai (Tabel 4). Debit
air yang dikeluarkan oleh 13 mataair tersebut berkisar antara 80 l/detik sampai lebih dari 1000 l/detik.
Besaran tersebut tentunya sangat besar, sehingga upaya-upaya pengelolaan diperlukan untuk menjaga
kelangsungannya (sustainability-nya).

Tabel 3 Inventarisasi Regional Jumlah dan Potensi Debit Mataair di Propinsi Jawa Barat
(DGTL, 1991 dan IWACO-WASECO, 1993 op.cit. Sayoga dkk, 2001)

Kabupaten/ Mata air Debit


No. Urut Keterangan
Kota (titik) (liter/detik)
23 < 10
1 Bogor 37 titik
14 50 - 100
112 < 10
8 10 – 50
2 Sukabumi 127 titik
5 50 – 100
2 100 - 500
35 < 10
3 Cianjur 3 10 – 50 40 titik
2 50 - 100
4 Cirebon 3 < 10 3 titik
1 AP 29 titik
5 Kuningan
28 100 - 500 AP = Air panas
15 < 10
15 10 – 50
6 Majalengka 33 titik
2 50 – 100
1 100 - 500
7 Purwakarta 2 50 - 100 2 titik
3 < 10
8 Subang 8 50 – 100 13 titik
2 100 - 500
65 < 10
9 Bandung 42 10 – 50 110 titik
3 100 - 500
10 10 – 50
10 Sumedang 17 titik
7 50 - 100
90 < 10
10 50 –100 107 titik
11 Garut
3 100 – 500 AP = Air panas
4 AP
49 < 10
12 10 – 50
96 titik
12 Tasikmalaya 22 50 – 100
AP = Air panas
10 100 – 500
3 AP
99 < 10
11 10 – 50
13 Ciamis 126 titik
11 50 – 100
5 100 - 500
TOTAL 740

5
Tabel 4 Potensi debit mataair di kawasan timur G. Ciremai
(IWACO-WASECO, 1990 op.cit, Deny Juanda P., 2000)

No Mataair Ketinggian Debit total


(mdpl) (l/detik)
1 Cibulan 480 400 - 500
2 Cibulakan 500 250 - 370
3 Cigorowong 472 250 - 300
4 Cibolerang 375 160 - 190
5* Cipaniis 475 > 1000
6 Cijumpu 395 130 - 220
7 Cisemaya 347 500 - 800
8 Cibujangga 445 170
9 Cicerem 350 140 - 290
10 Citengah 354 130 - 170
11 Telaga Remis 210 125 - 300
12 Telaga Nilem 190 160 - 400
13 Bojong 191 80 - 200
* Merupakan grup mataair (4 buah) yang digabung ke dalam
sebuah sumur kolektor

II. SISTEM PENGEMBANGAN SERTA PENGUSAHAAN AIR BERSIH

Sebelum membahas tentang hal ini lebih jauh, perlu ada kajian terminologi, antara air bersih, air baku, dan
air minum. Sebagai acuan, digunakan klasifikasi umum golongan air, yaitu:

 Golongan A: Air yang dapat digunakan sebagai air minum secara langsung tanpa
pengolahan terlebih dahulu
 Golongan B: Air yang dapat digunakan sebagai air baku untuk minum (harus dimasak dahulu)
 Golongan C: Air yang dapat digunakan untuk keperluan perikanan dan peternakan
 Golongan D: Air yang dapat digunakan untuk keperluan latihan dan dapat dimanfaatkan untuk
usaha perkotaan, industri, pembangkit listrik tenaga air

Dalam bab ini, hal yang akan dibahas adalah air bersih sebagai air yang termasuk golongan A, atau
dengan kata lain adalah air minum.

Meningkatnya kebutuhan akan air minum, menyebabkan suplai dari Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) setempat menjadi tidak mencukupi lagi. Karena itu peluang industri air minum dalam kemasan
menjadi terbuka. Saat ini, produksi air minum kemasan telah dilakukan secara masal dengan teknik
eksploitasi dan pengolahan yang modern.

6
II.1 POLA KERJASAMA

Industri air minum dalam kemasan memerlukan dukungan modal yang besar, manajemen yang
profesional, dan teknologi pengolahan air yang handal. Untuk itu, ada beberapa bentuk pola kerjasama
antar pihak yang dapat dikembangkan, yaitu:

1. Swasta (sebagai investor) – Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumberdaya air dan lahan)

SWASTA PERUSAHAAN PEMDA


(investor) DAERAH (sumber air & lahan)

2. Pemerintah Daerah (dengan DAU* besar) sebagai investor – Pemerintah Daerah (sebagai
pemilik sumberdaya air dan lahan)

PEMDA 1 PERUSAHAAN PEMDA 2


(DAU besar- DAERAH (sumber air & lahan)
investor)

*Dana Alokasi Umum (Contoh Pemda dengan DAU besar: Pemda-pemda penghasil migas)

3. Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumber air dan lahan), Swasta (investor), Perguruan
Tinggi (sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia)

PEMDA
(sumber air & lahan)

PERUSAHAAN
DAERAH

PERGURUAN
TINGGI SWASTA
(kualitas, teknologi, (Investor)
sumberdaya manusia)

7
Penulis melihat bahwa dari sudut akademik, industri air minum dalam kemasan dapat mempunyai
kontribusi yang besar kepada dunia pendidikan. Karena itu, pola kerjasama yang ketiga sangat
direkomendasikan. Dengan pola kerjasama sebagaimana dalam bagan di atas, maka akan terjalin sinergi
antara Pemerintah Daerah selaku pemilik lahan dan sumber air, swasta selaku investor, dan Perguruan
Tinggi sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia.

Bagi Perguruan Tinggi, kerjasama dalam bentuk industri air minum merupakan skala bisnis kegiatan
pengolahan kualitas air yang sebelumnya hanya dilakukan pada skala laboratorium. Dengan adanya
kerjasama industri air minum, maka hasil-hasil inovasi dari laboratorium yang telah teruji dan
tersertifikasi dapat dengan segera diaplikasikan di dunia industri.

Nilai tambah berikutnya dirasakan oleh pihak swasta sebagai investor. Dengan adanya kerjasama dengan
Perguruan Tinggi, maka biaya pembuatan fasilitas penelitian dan pengembangan (research and
development facilities) dapat dialihkan untuk kegiatan penelitian terapan di Perguruan Tinggi sebagai
penjamin kualitas dan updating teknologi. Pihak Pemerintah Daerah pun akan dapat merasakan dukungan
penuh dari Perguruan Tinggi untuk kemajuan daerahnya, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya
air.

II.2 ANALISIS KEUANGAN UNIT PRODUKSI AIR MINUM DALAM KEMASAN

Secara umum, biaya yang dikaluarkan dalam suatu kegiatan proyek/bisnis meliputi: biaya lenyap, biaya
studi kelayakan, biaya investasi, biaya operasi, dan biaya sosial.

1. Biaya lenyap, adalah biaya yang dikeluarkan di masa lalu sebelum terdapat keputusan untuk
menjalankan proyek. Biaya ini tidak diperhitungkan dalam analisis investasi/evaluasi proyek.
2. Biaya studi kelayakan, mencakup biaya studi kelayakan teknis maupun ekonomis. Biaya ini
umumnya juga tidak diperhitungkan.
3. Biaya investasi, biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membangun proyek, termasuk: biaya
pembebasan tanah, pengadaan material bangunan, konstruksi, upah dll.
4. Biaya operasi, biaya yang dikeluarkan setelah proyek selesai dibangun.
5. Biaya sosial, biaya non material (non tangible) berupa pengorbanan yang ditanggung oleh
masyarakat karena kehadiran proyek.

Selanjutnya menurut Dumairy (1992), aliran uang keluar telah dimulai sejak pembangunan industri
dimulai, sedangkan aliran uang masuk baru dimulai pada tahun ke-2. Kemudian sejalan dengan proses
produksi, uang masuk dan keluar akan seimbang pada tahun ke-4, sehingga pada tahun ke-5 telah
didapatkan keuntungan (Gambar 2).

Secara lebih rinci, pada Gambar 3 dan Tabel 4 disajikan parameter-parameter yang perlu dianalisis
dalam studi kelayakan industri air minum. Pada gambar dijelaskan bahwa parameter input yang
diperlukan meliputi: biaya investasi dan biaya operasional (untuk 3 bulan pertama). Sedangkan parameter
output yang dianalisis meliputi: harga pokok produksi (dalam berbagai kemasan) dan harga jual produk
(untuk berbagai kemasan).

Adapun berbagai asumsi yang digunakan adalah: besar equity, jumlah shift produksi per hari (7 jam per
shift), jumlah produksi per tahun, dan harga bahan penunjang.

8
Gambar 2 Pola umum arus kas investasi dalam sebuah proyek (Dumairy, 1992)

Total biaya investasi Total Biaya Operasional


(3 bulan pertama)

INDUSTRI AIR MINUM


DALAM KEMASAN

Harga pokok produk per Harga jual produk per


jenis kemasan jenis kemasan
(galon, 600 ml, dll) (galon, 600 ml, dll)

Gambar 3 Parameter input dan output yang dianalisis dalam produksi air minum dalam kemasan

9
Tabel 5 Resume parameter-parameter dalam analisis keuangan
unit produksi air minum dalam kemasan

A. Total Jumlah Modal yang Diperlukan


a. Total Biaya Investasi
b. Total Biaya Operasional (3 bulan pertama)

B. Harga Pokok dan Harga Jual


1 Galon
a. Harga Pokok Produksi per botol galon
b. Harga Jual per botol galon
2 Botol 600 ml
a. Harga Pokok Produksi per botol 600 ml
b. Harga Jual per botol 600 ml
3 Cup 220 ml
a. Harga Pokok Produksi per cup 220 ml
b. Harga jual per cup 220 ml
C. Pay Back Period
D. % IRR (Internal Rate of Return)

Asumsi Dasar Perhitungan

1 Equity (%)
2 Jumlah shift produksi per hari (7 jam per shift)
3 Jumlah hari kerja per tahun
4 Jumlah produksi per tahun
a. Botol galon per tahun (500 galon/jam)
b. Botol 600 ml per tahun (4800 botol/jam)
c. Cup 220 ml per tahun (4800 botol/jam)
5 Harga bahan penunjang
a. Tutup galon
b. Tisue
c. Segel galon
d. Botol 600 ml
e. Segel botol 600 ml
f. Label 600 ml
g. Karton
h. Lakban
I. Cup 220 ml

10
III. KESIMPULAN

Potensi sumberdaya air Propinsi Jawa Barat

Berdasarkan gambaran potensi sumberdaya air di atas, maka Propinsi Jawa Barat mempunyai potensi
air hujan (mencapai 5000 mm/tahun), air sungai (debit sungai sesaat mencapai 161,638 m3/detik dan
debit andalan rata-rata S. Cimanuk mencapai 153,3 m3/detik), dan airtanah yang cukup besar (19
cekungan airtanah).

Selain itu, dari sudut potensi mataair, Propinsi Jawa Barat memiliki jumlah mataair yang cukup banyak
dengan debit mencapai lebih dari 1000 l/detik (kasus Kabupaten Kuningan). Sebanyak lima kabupaten
(Sukabumi, Bandung, Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis) memiliki lebih dari 100 titik mataair.

Selanjutnya, berdasarkan analisis kelebihan dan kekurangan dalam fungsinya untuk memenuhi kebutuhan
manusia, maka paling tidak terdapat 3 skenario pemanfaatan sumberdaya air, yaitu:
1. pemanfaatan airtanah saja
2. pemanfaatan air sungai
3. kombinasi pemanfaatan air sungai dan airtanah

Pola kerjasama

Industri air minum dalam kemasan memerlukan dukungan modal yang besar, manajemen yang
profesional, dan teknologi pengolahan air yang handal. Untuk itu, ada beberapa bentuk pola kerjasama
antar pihak yang dapat dikembangkan, yaitu:

1. Swasta (sebagai investor) – Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumberdaya air dan lahan)
2. Pemerintah Daerah (dengan DAU* besar, misalnya: daerah penghasil migas) sebagai investor
– Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumberdaya air dan lahan)
3. Pemerintah Daerah (sebagai pemilik sumber air dan lahan), Swasta (investor), Perguruan
Tinggi (sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia)

PEMDA
(sumber air & lahan)

PERUSAHAAN
DAERAH

PERGURUAN
TINGGI SWASTA
(kualitas, teknologi, (Investor)
sumberdaya manusia)

11
Pola kerjasama yang ketiga sangat direkomendasikan dengan fungsi masing-masing pihak sebagai
berikut:
1. Pemerintah Daerah selaku pemilik lahan dan sumber air,
2. Swasta selaku investor, dan
3. Perguruan Tinggi sebagai penjamin kualitas, alih teknologi, dan sumberdaya manusia.

Bagi Perguruan Tinggi, kerjasama dalam bentuk industri air minum merupakan skala bisnis kegiatan
pengolahan kualitas air yang sebelumnya hanya dilakukan pada skala laboratorium. Dengan adanya
kerjasama industri air minum, maka hasil-hasil inovasi dari laboratorium yang telah teruji dan
tersertifikasi dapat dengan segera diaplikasikan di dunia industri.

Bagi pihak swasta sebagai investor, biaya pembuatan fasilitas penelitian dan pengembangan (research and
development facilities) dapat dialihkan untuk kegiatan penelitian terapan di Perguruan Tinggi sebagai
penjamin kualitas dan updating teknologi pengolahan air.

Kemudian, pihak Pemerintah Daerah pun akan dapat merasakan dukungan penuh dari Perguruan Tinggi
untuk kemajuan daerahnya, khususnya dalam hal pengelolaan sumberdaya air.

REFERENSI

1. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (2001), Pengendalian Kualitas Air S. Cisadane,
Ciliwung, Cileungsi, Citarum, dan Cimanuk melalui Program Kali Bersih (Prokasih), Propinsi
Jawa Barat

2. Dumairy (1992), Ekonomika Sumberdaya Air. Pengantar ke Hidrodinamika, BPFE Yogyakarta

3. Irawan, D.E. (2001), Karakterisasi Sistem Akifer dan Pola Aliran Airtanah Tesis magister

4. IWACO – WASECO (1990), West Java Provincial Water Resources, Master Plan for Water
Supply (Kuningan District), Departemen Pekerjaan Umum RI

5. Puradimaja, D.J. (2000), Mataair dan Nilai Ekonomi Lahan, Harian Umum Pikiran Rakyat edisi

6. Sayoga, Rudy dkk (2001), Proyek Penelitian Potensi dan Manajemen Sumberdaya Mineral,
Airtanah dan Energi se Jawa Barat, Distamben-Jabar- LP-ITB

7. Working Group WHO-KLH (1996), Agenda Abad ke-21 Indonesia Bidang Sumberdaya Air
(Water Resources and Water Quality), WHO-KLH

12

Anda mungkin juga menyukai