Anda di halaman 1dari 12

GLOBAL FRANCHISE : TREND JARINGAN BISNIS GLOBAL YANG BARU .

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Penelitian

Perubahan dalam dunia usaha yang semakin cepat mengharuskan perusahaan untuk

merespon perubahan yang terjadi, problem sentral yang dihadapi perusahaan-

perusahaan saat ini adalah bagaimana perusahaan tersebut menarik pelanggan dan

mempertahankanya agar perusahaan dapat bertahan dan berkembang, tujuan akan

tercapai jika perusahaan terus berinovasi. Ada banyak cara untuk melipatgandakan

income serta kuantitas produksi dari sebuah perusahaan. Salah satu caranya adalah

melalui franchise.

Waralaba (franchise) sebenarnya merupakan suatu sistem bisnis yang telah lama

dikenal oleh dunia, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh perusahaan

mesin jahit Singer di Amerika Serikat, pada tahun l851, yang kemudian diikuti oleh

General Motors Industry pada tahun l8981. Perkembangan waralaba di negeri Paman

Sam menunjukkan, peluang yang muncul dari waralaba menarik orang dari berbagai

latar belakang misalnya para usahawan, profesional, pensiunan, bahkan anak-anak

muda yang baru lulus universitas.

1
www.anneahira.com/waralaba.htm
Salah satu indikator untuk kelangsungan hidup dan keuntungan dari suatu proses

bisnis adalah kelanjutan dari kepuasan pelanggan. Diperkirakan untuk menarik satu

pelanggan baru diperlukan biaya mulai dari lima sampai lima belas kali,

dibandingkan dengan menjaga hubungan dengan satu pelanggan lama.

Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan

terutama di tahun l950-an yang kemudian dikenal menjadi waralaba sebagai format

bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua.

Perkembangan sistem waralaba yang demikian pesat terutama di negeri asalnya,

Amerika Serikat menyebabkan waralaba digemari sebagai suatu sistem bisnis

diberbagai bidang usaha, mencapai 35 persen dari keseluruhan usaha ritel yang ada

di AS2. Sedangkan di Kerajaan Inggris (UK) berkembangnya waralaba dirintis oleh J

Lyons melalui usahanya Wimpy and Golden Egg, pada dekade 60-an3.

Format bisnis waralaba memang tak dapat dipungkiri eksistensinya dan digemari

oleh pengusaha-pengusaha mengingat kecilnya risiko kegagalan yang mungkin

timbul dalam menjalankan usaha khususnya bagi pengusaha-pengusaha pemula.

Bahkan dibanyak negara, kegagalan usaha yang mempergunakan format bisnis

waralaba prosentasenya tidak lebih dari satu digit. Waralaba merupakan alternatif

yang paling mudah untuk memulai bisnis. Bila semuanya harus mulai dari nol, maka

harus melalui trial & error yang meningkatkan risiko. Menurut Goenardjoadi,

dengan adanya waralaba, maka risiko dapat diturunkan hingga menjadi sekitar 15

persen, tergantung lokasi. Menurut Goenardjoadi (redaktur ahli majalah franchise),

waralaba membuat suatu jenis usaha menjadi lebih kuat, karena Research and

Development-nya disatukan ke induk perusahaan, sehingga partner waralaba tidak


2
www.majalahtrust.com
3
lintasilmu.com/?set=viewArtikel&id=100
perlu memikirkan lagi mengenai pengembangan perusahaan4. Semua bisa

terpusatkan. Waralaba membuat pemasaran lebih mudah. Melalui waralaba, investor

tidak perlu memikirkan cita rasa, segmen pasar, hingga display dan seragam

pegawai. Semuanya sudah tersedia dan dikenal pasar, sehingga investor hanya

tinggal mencari lokasi yang strategis untuk mulai membuka usahanya. Bila dana

yang ada tidak cukup untuk mencari lokasi yang strategis, investor dapat

menggunakan kios kecil, sepeda motor, atau mobil toko.

Konsep bisnis waralaba (franchise) akhir-akhir ini telah menjadi salah satu

trendsetter yang memberi warna baru dalam dinamika perekonomian baik di luar

negeri maupun di Indonesia. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir, animo masyarakat

dunia terhadap munculnya peluang usaha waralaba sangat signifikan. Animo ini

terefleksi pada dua cermin yakni : jumlah pembeli waralaba dan jumlah peluang

usaha (business opportunity) yang terkonversi menjadi waralaba.

Franchise sendiri berasal dari bahasa latin yakni francorum rex yang artinya “bebas

dari ikatan”, yang mengacu pada kebebasan untuk memiliki hak usaha. Pada Era

Monarki di Perancis, arti franchise adalah free from servitude5. Ada

individu/kelompok tertentu yang diberikan hak dan keistimewaan (privilege) oleh

raja-raja Perancis untuk mewakili mereka melakukan fungsi publik, misalnya :

menghadiri acara tertentu, melakukan kunjungan ke daerah tertentu, melakukan

lobby politik, menerima upeti/hadiah, memungut pembayaran pajak, dan lain-lain.

Individu/kelompok yang memiliki hak dan keistimewaan ini, kemudian, menjadi

individu/kelompok yang sampai tingkat tertentu memiliki kebebasan dan

4
http://eprints.undip.ac.id/18120/1/Marselia_Herma_Hapsari.pdf
5
International Franchise Business Management : Franchise Manual, 2007 Jakarta
kemandirian yang relatif terhadap raja. Mereka, misalnya, adalah : kelompok kaum

bangsawan, para pemimpin agama, para jenderal, perdana menteri, konsul, dll.

Kata franchising sendiri dimasukan dalam kosa kata bahasa Inggris untuk

menunjukkan strategi pemberian hak dan keistimewaan kepada individu/kelompok

tertentu, sedangkan kata franchise digunakan untuk menyebutkan hak dan

keistimewaan yang diberikan.

Peran Perusahaan Multinasional berbasis franchise dikemukakan secara lebih retorik

berkenaan dengan hubungan antar negara. Perdebatan besar antara pihak yang

menolak dan menerima atau yang mempertahankan kehadiran Perusahaan

Multinasional di negara-negara berkembang telah menghasilkan berbagai

persetujuan, masukan konsep-konsep baru dan bahkan teori-teori pembangunan

ekonomi yang diperkirakan cukup relevan dengan kondisi sebagian besar negara-

negara Dunia Ketiga.

Dalam studi Ekonomi Politik, Perusahaan Multinasional merupakan topik bahasan

yang cukup sentral karena ia merupakan subjek khusus sebagai pelaku maupun

sekaligus objek sasaran pelaku atau kajian pokok. Selain itu juga, isu mengenai

Perusahan Multinasional, melibatkan sejumlah perbincangan di negara-negara maju

dan negara-negara berkembang dan telah merebak menjadi isu internasional, baik

yang pro maupun yang kontra dalam interaksi menyangkut hubungan antar negara.

Dalam konteks studi Ekonomi Politik, Perusahaan Multinasional dikategorikan

sebagai aktor bukan negara (non state actor) yang memiliki peran sangat luas dalam

pola hubungan antar negara saat ini.

Dari segi politik, fokus sentral kepada Perusahaan Multinasional sebagai subjek

dalam hubungan internasional, terkait dengan kekuatan politiknya di tingkat nasional


dan internasional, serta pola manajemennya yang terpusat sehingga membawa

pengaruh pada penguasaan informasi sebagai kekuatan politik, pun kekuatan

ekonomi bagi perusahaan tersebut terhadap pihak yang dihadapinya6.

Dari segi hukum, fokus sentralnya terletak pada Perusahaan Multinasional sebagai

badan hukum yang dapat merupakan cabang, usaha patungan atau perusahaan yang

dimiliki umum (public company). Dalam konteks hukum, franchise dimaknai lebih

luas, yaitu pemberi waralaba tidak hanya memperkenankan penerima waralaba untuk

memakai merek/logo/hak ciptanya, akan tetapi turut pula mengatur internal

perusahaan. Baik mengenai karyawan, pelatihan, lokasi, bahan baku hingga strategi

pemasarannya. Di Indonesia awalnya tak ada aturan hukum yang mengatur

perjanjian waralaba. Pada tahun 1997 terbitlah Peraturan Pemerintah (PP) No 16

tahun 1997 tentang Waralaba. Pasal 1 PP ini menyatakan: Waralaba adalah perikatan

dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan

hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki

pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain

tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa7. Juga

struktur pemilikan usaha, anggaran dasar perusahaan, bentuk hukum pengelolaanya

serta penyelesaiannya jika ada sengketa hukum negara penerima modal. Dengan

demikian, apabila pihak pewaralaba merupakan pihak asing, sedangkan terwaralaba

adalah Indonesia, maka perjanjiannya terikat pada PP No 16 tahun 1997 tentang

Waralaba. Bagaimana format perjanjian waralaba? Apakah bentuknya harus otentik

dalam akta notaris? PP No 16 tahun 1997 tak menjelaskannya. Dapat disimpulkan,


6
Sumantoro. Kegiatan Perusahaan Multinasional Problema Politik, Hukum dan Ekonomi dalam Pembangunan Nasional

7
Lya Meinar. Perbedaan Lisensi dan Waralaba : Tugas Hukum Bisnis Internasional
perjanjian waralaba tak perlu dalam bentuk akta notaris. Para pihak dapat membuat

sendiri - di bawah tangan - dengan mengikuti ketentuan KUHPerdata. Selanjutnya

PP ini mewajibkan pemberi waralaba - sebelum mengadakan perjanjian dengan

penerima waralaba - memberikan keterangan menyangkut kegiatan usahanya, hak

atas Haki-nya, hak dan kewajiban masing-masing pihak, persyaratan yang harus

dipenuhi penerima waralaba, pengakhiran perjanjian, pembatalan dan perpanjangan

perjanjian (Pasal 3 Ayat 1)8. Keterangan-keterangan berikut perjanjian waralaba

tersebut harus didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh

penerima waralaba paling lambat 30 hari sejak berlakunya perjanjian waralaba. Bila

tak dilakukan, maka pencabutan izin usaha perdagangan (SIUP) dapat dilakukan

(Pasal 8)9. Sebagai pelaksana PP, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan

Perdagangan menerbitkan keputusan No: 259/ MPP/Kep/7/1997 yang antara lain

mengatur tentang jangka waktu perjanjian waralaba. Selain itu, disyaratkan pula

untuk mengutamakan penggunaan barang dan atau bahan hasil produksi dalam

negeri sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa sesuai perjanjian waralaba.

Dalam Undang-Undang Merek No 15 tahun 2001 sendiri tidak diatur secara khusus

tentang waralaba. Hanya dalam Pasal 43 Ayat (1) dikatakan, pemilik merek terdaftar

berhak memberikan lisensi kepada pihak lain untuk memakai merek tersebut dengan

perjanjian dan wajib didaftarkan ke Direktorat Jenderal Haki. Rumusan di atas

menunjukkan pada kita semua bahwa waralaba ternyata juga mengandung unsur-

unsur sebagaimana yang diberikan pada lisensi, hanya saja dalam pengertian

waralaba seperti diberikan dalam Black’s Law Dictionary, lebih menekankan pada

pemberian hak untuk menjual produk berupa barang atau jasa dengan memanfaatkan

merek dagang Franchisor (Pemberi Waralaba), dengan kewajiban pada pihak


8
Lya Meinar. Perbedaan Lisensi dan Waralaba : Tugas Hukum Bisnis Internasional
9
Lya Meinar. Perbedaan Lisensi dan Waralaba : Tugas Hukum Bisnis Internasional
Franchisee (Penerima Waralaba) untuk mengikuti metoda dan tata cara atau prosedur

yang telah ditetapkan oleh Pemberi Waralaba. Dalam kaitannya dengan pemberian

izin dan kewajiban pemenuhan standar dari Pemberi Waralaba, Pemberi Waralaba

akan memberikan bantuan pemasaran, promosi maupun bantuan teknis lainnya agar

Penerima Waralaba dapat menjalankan usahanya dengan baik10.

Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa di Indonesia dalam waralaba

atau franchising :

1. Ada ikatan hukum antara franchisor dan franchisee;

2. Franchisor memiliki hak kekayaan intelektual atau penemuan atau cirri khas

usaha;

3. Franchisor membarikan franchisee hak dan keistimewaan untuk

memanfaatkan dan/atau menggunakan hak kekayaan intelektual atau penemuan atau

cirri khas usaha milik franchisor;

4. Franchisee wajib memenuhi persyaratan (termasuk pembayaran/imbalan)

yang ditetapkan franchisor;

5. Franchisor wajib menyediakan dukungan/konsultasi operasional yang

berkesinambungan untuk franchisee.

Dari segi ekonomi, fokus sentralnya pada aspek-aspek faktor produksi,

modal,keahlian manajemen dan keahlian teknologi, serta praktek-praktek usaha yang

terkait dengan persaingan, besarnya pasar, monopoli, dan sebagainya11. Pemasaran

merupakan salah satu kegiatan pokok yang dilakukan oleh perusahaan untuk

mempertahankan kelangsungan hidupnya, tetapi dalam pemasaran modern seperti ini


10

Gunawan Wijaya, Lisensi Atau Waralaba Suatu Panduan Praktis ,PT. RadjaGrafindo Persada
11
Dr. Sumantoro, Kegiatn Perusahaan Multinasinal : Problema Politk, Hukum dan Ekonomi dalam
Pembangunan Nasional, PT. Gramedia Press, Jakarta, 1987.
paragdima pemasaran telah bergeser, tidak hanya menciptakan transaksi untuk

mencapai keberhasilan pemasaran tetapi perusahaan juga harus menjalin hubungan

dengan pelanggan dalam waktu yang panjang. Paradigma tersebut disebut

relationship marketing dasar pemikiran dalam praktek pemasaran ini adalah,

membina hubungan yang lebih dekat dengan menciptakan komunikasi dua arah

dengan mengelola suatu hubungan yang saling menguntungkan antara pelanggan dan

perusahaan12. Dalam penerapan Relationship marketing, perusahaan franchise

mampu memperdayakan kekuatan keinginan pelanggan dengan tekanan teknologi

informasi untuk memberikan kepuasan pada pelanggan. Cakupannya meliputi

tuntutan manajemen mutu terpadu secara global untuk menghadapi kebutuhan bisnis

pelanggan dengan lebih agresif. Strategi bisnis perusahaan franchise difokuskan

pada kelanggengan dan pemuasan pelanggan serta bekerja untuk mengantisipasi

kebutuhan serta penyesuaian hasil produk. Pada dasarnya relationship marketing

adalah hubungan dan ikatan jangka panjang antara produsen, konsumen dan

pemasok serta pelaku lainnya. Esensi relationship marketing paling tidak

menyangkut hubungan yang langgeng dan pertukaran yang terus menerus dan

dituntut untuk saling kepercayaan dan ketergantungan. Sehingga dalam konsep

relationship marketing, perusahaan franchise sangat menekankan pentingnya

hubungan baik jangka panjang dengan konsumen dan infrastruktur pemasaran, yang

dapat menciptakan kesadaran dalam bentuk hubungan dan komitmen yang

menyeluruh. Franchising menurut International Franchise Association adalah a

continuing relationship in which the franchisor provides a licensed privilege to do

business, plus assistance in organizing, training, merchandising, and management in

return for a consideration from the franchisee. Menurut terjemahan dalam bahasa

12
Chan S, 2003
Indonesia merupakan relasi yang berkelanjutan dimana franchisor menyediakan

keistimewaan berlisensi untuk mengoperasikan bisnis, termasuk bantuan dalam

pengorganisasian, pelatihan, penyediaan barang dagangan dan manajemen sebagai

imbalan dari pembayaran yang diberikan franchisee. Penulis melihat ada korelasi

antara relationship marketing dengan pengertian franchise tersebut, pada intinya

mengutamakan interaksi yang berada di posisi sama-sama menang dan

berkesinambungan dalam jangka waktu yang ditentukan, biasanya panjang.

Relationship marketing diartikan sebagai menarik, memelihara dan meningkatkan

hubungan dengan pelanggan. Relationship marketing lebih merupakan pendekatan bersifat

jangka panjang, dimana hal ini berbeda dengan pendekatan pemasaran transaksional yang

lebih berorientasi jangka pendek. Tujuan dari pemasaran transaksional adalah untuk

mendapatkan pelanggan semata, sedangkan tujuan dari relationship marketing adalah

untuk mendapatkan dan mempertahankan pelanggan. Relationship marketing biasanya

lebih sering digunakan perusahaan jasa, sedangkan pemasaran transaksional lebih aplikatif

dan sesuai untuk pemasaran bagi perusahaan yang menghasilkan produk manufaktur13. Di

Indonesia, konsep kerjasama antara pemilik merek dengan pembeli merek berdasarkan

pada simbiosis mutualisme, keadaan yang sama-sama menguntungkan bagi kedua pihak,

pada kasus ini peran relationship marketing kembali bermain untuk memelihara dan

meningkatkan hubungan yang berorientasi jangka panjang.

Selain lintas industri, ternyata franchising juga lintas skala usaha. Franchising dapat

digunakan oleh pemodal kecil sampai konglomerat. Usaha Kecil dan Menengah (UKM),

seperti: restoran padang, warung nasi tegal (warteg), penjaja bakso dorong, penyedia jasa

pembantu rumah tangga, salon kecantikan, bengkel mobil, dll, dapat menggunakan

franchising untuk lebih memasarkan produk atau jasanya. Tetapi, usaha yang

13
Gronroos, 1995 dalam Wibowo S, 2006
membutuhkan modal besar pun, seperti: pabrik the botol “Sosro”, perusahaan manufaktur

plastik “Maspion”, “Plaza”, “Pasar Raya,” dll, juga dapat memanfaatkan franchising untuk

mengembangkan, mendominasi, mem-penetrasi pasar. Disinilah letak kekuatan

franchising, tidak ada strategi bisnis lain yang dapat menyaingi kefleksibelan,

kedinamisan, keresposifan franchising terhadap berbagai tipe industri, berbagai skala

usaha, dan berbagai perubahan cepat yang terjadi di pasar.

Kebanyakan dari pebisnis rookie di era Globalisasi mendapatkan alternatif yang luar biasa

menguntungkan pada pola bisnis franchise. Seperti hal-hal yang telah saya sebutkan diatas,

franchise menjadi magnet yang luar biasa dalam menarik investasi baik asing maupun

lokal. Kecenderungan franchise untuk menjadi kekuatan bisnis yang mampu memberikan

keuntungan yang besar serta lapangan pekerjaan yang luas juga mampu membunuh bisnis

tradisional yang telah berdiri sebelumnya dan harus berkompetisi dengan nama-nama besar

serta kuat.

1.2 Batasan Masalah

Dalam penelitian untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam objek yang

diteliti dengan tetap mempertahankan keutuhan dari objek, sehingga data yang

dikumpulkan bisa dipelajari sebagai keseluruhan yang berintegrasi, maka perlu

diberikan batasan masalah sebagai berikut :

Perkembangan franchise sebagai kekuatan bisnis Internasional yang baru serta segala

manifestasi franchise dalam era Globalisasi terutama di Indonesia.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, peneliti mencoba

mengidentifikasi permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah franchise turut serta membangun jiwa wirausaha di negara-negara

berkembang, terutama Indonesia?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Untuk mencari tahu bagaimana perspektif masyarakat Indonesia tentang

perkembangan pesat franchise, pro maupun kontra.

2. Untuk menjadi media informasi pengembangan usaha bagi siapapun yang ingin

memulai usaha waralaba.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat yang diharapkan dari terlaksananya penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan bisa digunakan untuk menerapkan ilmu

yang telah di dapat dibangku kuliah ke dunia usaha yang sebenarnya.

2. Bagi pihak perusahaan, penelitian ini diharapkan bisa memberikan kontribusi

dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan upaya membangun hubungan

baik dengan konsumen dan referensi bagi pengembangan riset dikemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai