Anda di halaman 1dari 7

Pelanggaran HAM di Indonesia yang belum Terungkap :

1. G30SPKI
2. TRisakti
3. Tanjung Priok
4. Warsidi Lampung
5. sampai Kasus Semanggi I dan II

1. G30SPKI
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi pada Jumat subuh. Saat
itu terjadi penculikan disertai pembunuhan terhadap tujuh Jenderal
Angkatan Darat. Drama pembantaian para Jenderal ini juga menewaskan anak
Jenderal AH Nasution, Ade Irma Suryani.

Versi buku putih Pemerintah menuturkan, hanya dua hari setelah pembantaian
itu, Brigjen Soeharto berhasil mengendalikan suasana. Dengan bekal
Supersemar diapun memberangus PKI, yang diakini sebagai pelaku makar,
sampai ke akar akarnya.

Penanganan kasus G30S, menurut Asvi Marwan Adam, jika akan diselesaikan
oleh lembaga KKR bakal menuai kesulitan yang amat sangat. Tidak hanya soal
banyaknya versi cerita seputar kejadian.
Tapi masyarakat masih trauma dengan tragedi tahun 1965 itu.

Peristiwa G30S, banyak peneliti melihat, merupakan puncak tragedi setelah


terjadi serentetan peristiwa politik yang melibatkan massa PKI dan massa
non PKI. Hasil penelitian Hermawan Sulistiyo di Jawa Timur membuktikan itu.

Dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu, Hermawan menulis bahwa ada
serentetan peristiwa perebutan tanah yang menciptakan letupan konflik-
konflik kecil di berbagai daerah di Jawa Timur. Dan peristiwa yang sering
meminta korban jiwa dari pihak santri NU itu memunculkan trauma dendam
berkepanjangan.
Karena itu, menurut Hermawan, saat PKI dinyatakan sebagai organisasi
terlarang karena dianggap menjadi otak kudeta politik tahun 1965, dan
terjadi perburuan besar-besaran terhadap aktivis PKI, pembantaian yang
terjadi di Jatim sungguh sangat besat, baik dalam skala jumlah maupun
tingkat kesadisannya.

2. TRAGEDI TRISAKTI

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998,


terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari
jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti
di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.

Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin
Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus,
terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

Ekonomi Indonesia mulai goyah pada awal 1998, yang terpengaruh oleh krisis
finansial Asia. Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke
gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti., pada pukul 17.15
para mahasiswa bergerak mundur, diikuti bergerak majunya aparat keamanan.
Aparat keamanan pun mulai menembakkan peluru ke arah mahasiswa. Para
mahasiswa panik dan bercerai berai, sebagian besar berlindung di universitas
Trisakti. Namun aparat keamanan terus melakukan penembakan. Korban pun
berjatuhan, dan dilarikan ke RS Sumber Waras.

3. TANJUNG PRIOK
Tragedi ini terjadi pada September 1984. Saat itu hampir tengah
malam, tiga orang juru dakwah, Amir Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir
berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya, Priok.
Mereka menuntut pembebasan empat pemuda jamaah Mushala As-Sa'adah
yang ditangkap petugas Kodim
Jakarta Utara.

Empat pemuda itu digaruk tentara karena membakar sepeda motor Sertu
Hermanu. Anggota Babinsa Koja Selatan itu hampir saja dihajar massa jika
tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat di sana.
Ketika itu, 7 September 1984, Hermanu melihat poster ''Agar para wanita
memakai pakaian jilbab.' Dia meminta agar poster itu dicopot.

Tapi para remaja masjid itu menolak. Esoknya Hermanu datang lagi,
menghapus poster itu dengan koran yang dicelup air got. Melihat itu, massa
berkerumun, tapi Hermanu sudah pergi. Maka beredarlah desas-desus 'ada
sersan masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya.' Massa
rupanya termakan isu itu. Terjadilah pembakaran sepeda motor itu.

Maka, pengurus Musholla pun meminta bantuan Amir Biki, seorang tokoh di
sana agar membebaskan empat pemuda yang ditahan Kodim itu. Tapi ia gagal,
dan berang. Ia lantas mengumpulkan massa di
jalan Sindang Raya dan bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah.
Biki dengan mengacungkan badik, antara lain mengancam RUU Keormasan.

Pembicara lain, seperti Syarifin Maloko, M. Natsir dan Yayan, mengecam


Pancasila dan dominasi Cina atas perekonomian Indonesia. Di akhir pidatonya
yang meledak-ledak, Biki pun mengancam, ''akan menggerakkan massa bila
empat pemuda yang ditahan tidak dibebaskan.'' Ia memberi batas
waktu pukul 23.00. Tapi sampai batas waktu itu, empat pemuda tidak juga
dibebaskan.

Maka, Biki pun menggerakkan massa. Mereka dibagi dua; kelompok pertama
menyerang Kodim. Kelompok kedua menyerang toko-toko Cina. Bergeraklah
dua sampai tiga ribu massa ke Kodim di jalan Yos
Sudarso, berjarak 1,5 Km dari tempat pengerahan massa.

Biki berjalan di depan. Tapi di tengah jalan, depan Polres Jakarta Utara,
mereka dihadang petugas. Mereka tak mau bubar. Bahkan tak mempedulikan
tembakan peringatan. Mereka maju terus,
menurut versi tentara, sambil mengacung-acungkan golok dan celurit.
Masih menurut sumber resmi TNI, Biki kemudian berteriak, Maju...serbu...'
dan massa pun menghambur. Tembakan muntah menghabiskan banyak sekali
nyawa. Biki sendiri tewas saat itu juga.

Keterangan resmi pemerintah korban yang mati hanya 28 orang. Tapi dari
pihak korban menyebutkan sekitar tujuh ratus jamaah tewas dalam tragedi
itu. Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam peristiwa itu
ditangkapi; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al
Hamidy. Ceramah-ceramah mereka setahun sebelumnya terkenal keras;
menyerang kristenisasi, penggusuran, Asaa Tunggal Pancasila, Pembatasan
Izin Dakwah, KB, dan dominasi ekonomi oleh Cina.

Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani


didampingi Harmoko sebagai Menpen dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya
memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah terjadi
penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir.
Sembilan korban tewas dan 53 luka-luka, kata Benny.

4. WARSIDI LAMPUNG

Peristiwa ini terjadi di Cihedeung, Dukuh Talangsari III, Desa


Rajabasa Lama Kec. Way Jepara Lampung Tengah pada 7 Februari 1989.
Kasus pembantaian ini bermula ketika Danramil 41121 Way
Jepara Kapten Soetiman menerima sepucuk surat dari Camat Zulkifli Maliki.
Isinya; Di Dukuh
Cihedeungada yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan kedok
pengajian. Laporan dari Kepala Dusun Cihideung, Sukidi, itu kemudian
dijadikan oleh Soetiman untuk memanggil tokoh pengajian itu yang bernama
Anwar.

Soetiman meminta agar Anwar selambat-lambatnya 1 Februari 1989


menghadap. Tapi Anwar menolak. Ia justru malah meminta agar Danramil yang
datang ke tempatnya.

Merasa ditolak, giliran Zulkifli sang Camat yang memanggil Anwar. Tapi juga
tak diindahkan. Anwar malah memanggil Muspika agar datang ke tempatnya.

Kemudian pada 5 Februari 1989, sekitar enam pemuda desa Cihideung yang
sedang ronda disergap oleh tentara. Saat itu pihak aparat berhasil menyita
61 pucuk anak panah dan ketapel kayu.

Sehari setelah itu, Kasdim 0411 Lampung Tengah, Mayor E.O Sinaga,
mengajak Soetiman, Zulkifli dan Letkol Hariman S. (Kakansospol) dan
beberapa staf CPM ke Cihideung untuk memenuhi undangan Anwar.
Ternyata, sesampainya di sana mereka malah dihujani anak panah. Soetiman
tewas.

Pada hari yang sama, di tempat yang lain, sekelompok orang menyerang Pos
Polisi yang menjaga hutan lindung di Gunung Balak. Dua polisi terluka. Kepala
Desa Sidorejo, Santoso Arifin dibunuh.
Malam harinya sebuah oplet di jalan Sri Bawono disergap gerombolan. Sopir
opelet dibunuh dan
kernet dilukai. Pratu Budi Waluyo yang kebetulan berada di lokasi itu juga
tewas.

Maka pada 7 Februari 1989, usai sholat subuh, tiba-tiba terdengan


serentetan tembakan. Lalu api menjilat-jilat ke bangsal tempat jamaah
Wardisi menginap. Suara tembakan itu disambut dengan
takbir,''Allahu akbar....'', berbaur dengan jerit tangis dan histeria.

Serangan fajar itu berasal dari empat peleton tentara dan 40 anggota
Brimob di pimpin langsung oleh Komandan Korem 043 Garuda Hitam (saat itu)
Kolonel A.M. Hendropriyono.

Setelah usai suara tembakan itu, jumlah korban versi tentara menyebutkan
hanya 27 orang. 'Berapapun yang tewas, bagi kami itu tetap tragedi
kemanusiaan yang tidak bisa didiamkan,'' tandas Fikri Yasin Koordinator
Komite Smalam, sebuah LSM yang getol memperjuangkan nasib korban
pembantaian Lampung.
5.TRAGEDI SEMANGGI I

tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu, unjuk


rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan
dengan kelompok
Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.

Pam Swakarsa terdiri dari tiga kelompok, dari latar belakang yang berbeda.
Pembentukan Pam Swakarsa belekangan mendapat respon negatif dari
masyarakat. Mereka kemudian mendukung aksi mahasiswa, yang sempat
bentrok dengan Pam Swakarsa.

Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya


Wawan seorang anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara
begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa.
Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan
oleh sebuah video
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.

Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di


garis depan berhadapan dengan aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan
AD yang didukung alat berat militer ini melakukan penembakan bebas ke arah
mahasiswa.

Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela


pohon sambil terus menembaki mahasiswa yang berada di dalam kampus.
Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari
atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang
diyakini sejumlah
saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.

6. TRAGEDI SEMANGGI II
Satu tahun setelah Tragedy emanggi I, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam
kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22, mahasiswa Fakultas Teknik
UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan
mahasiswa terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU
PKB).

Kasus ini, menurut Hermawan Sulistyo dari Tim Pencari Fakta Independen
menyebut seperti sudah diperkirakan sebelumnya oleh aparat. Dia
menurutkan begini; ''Yun Hap ditembak pukul 20:40 oleh
konvoi aparat keamanan yang menggunakan sekurangnya enam truk militer
yang mendekat dari arah
Dukuh Atas. Konvoi menggunakan jalan jalur cepat sebelah kanan alias
melawan arus. Paling depan tampak mobil pembuka jalan menyalakan lampu
sirine tanpa suara. Sejak masuk area jembatan
penyeberangan di depan bank Danamon, truk pertama konvoi mulai menembak.
Sejumlah saksi mata
melihat berondongan peluru dari atas truk pertama, menyusul tembakan dari
truk-truk berikutnya.''

Berdasarkan fakta di lapangan TPFI menegaskan tidak mungkin ada


kendaraan lain selain kendaraan aparat. Sebab, jalur cepat yang dilalui truk-
truk itu masih ditutup untuk umum. Lagi pula
truk-truk itu bergerak melawan arus, jadi tidak mungkin ada mobil lain yang
mengikuti.

Kini akibat peritiwa itu, sejumlah petinggi TNI Polri sedang diburu hukum.
Mereka adalah Jenderal Wiranto (Pangab), Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin
(mantan Pangdam Jaya), Irjen (Pol) Hamami
Nata (mantan kapolda Metro Jaya), Letjen Djaja Suparman (mantan Pangdan
jaya) dan Noegroho
Djajoesman (mantan Kapolda Metro Jaya).

Anda mungkin juga menyukai