Anda di halaman 1dari 12

Bentuk Perlawanan

Tanpa Kekerasan Masyarakat Samin

Pengantar

Orang Samin kerapkali diasosiasikan dengan masyarakat “terbelakang, tidak sopan,


pemberontak, tertutup, tak mengenal agama, dan dicurigai anggota PKI”. Tetapi, apakah semua
itu benar? Berdasarkan pengalaman sekelompok orang yang mendekati kelompok ini, orang
Samin adalah orang yang sama sekali jauh dari gambaran di atas. Paper ini akan menjelaskan
identitas masyarakat Samin dari sudut pandang perlawanan mereka terhadap dominasi penguasa,
yang dilandasi semangat tanpa kekerasan.

Sejarah Munculnya Samin

Samin Surosentiko: Sang Pendiri

Harry J. Benda dan Lance Castles dalam bukunya The Samin Movement (1960),
menuliskan bahwa ajaran Samin bertumbuh pada tahun 1890-an dan berakar di Randublatung,
sebuah kota kecamatan yang dikelilingi hutan jati, 25 kilometer sebelah tenggara kota Blora.
Ajaran ini disebarkan oleh Samin Surosentiko. Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa
Ploso Kedhiren, Randublatung. Nama asli Samin Surosentiko adalah Raden Kohar. Ia adalah
seorang Pangeran (bangsawan) yang merasa muak dengan pemerintahan Kolonial. Ia lantas
menyamar dan masuk di kalangan rakyat pedesaan. Ia menghimpun kekuatan rakyat melawan
pemerintah Kolonial dengan cara yang khusus. Nama “Samin” dipilih karena ia menganggap
nama itu adalah nama yang bernafaskan kerakyatan. Ia putra dari Raden Surowijaya, yang lebih
dikenal sebagai Samin Sepuh. Samin Surosentiko memiliki pertalian darah dengan Kyai Keti di
Rajegwesi, Bojonegoro dan juga dengan Pengeran Kusumoningayu, penguasa daerah Kabupaten
Sumoroto (kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826. Dalam
naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan,
diketahui juga kekerabatan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto.
Pada tahun 1890, Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah
Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya dan dalam
waktu singkat menjadi pengikutnya. Saat itu, pemerintah Kolonial Belanda masih membiarkan
ajaran Samin yang mereka anggap sebagai aliran kebatinan biasa dan tidak berbahaya bagi
keberadaan pemerintah kolonial. Tahun 1903, Residen Rembang mencatat jumlah pengikut
Samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro berjumlah 722
orang. Mereka sangat giat mengembangkan ajaran Samin sehingga pada tahun 1907, jumlah
orang Samin bertambah menjadi sekitar 5.000 orang. Perkembangan pesat ini membuat
pemerintah Kolonial Belanda waspada. Mereka mulai menangkapi dan memenjarakan para
pengikut Samin. Pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya
sebagai Ratu Adil, bergelar Prabu Panembahan Suryangalam. Selang 40 hari, Samin
Surosentiko ditangkap oleh Raden Pranolo, asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap,
Samin beserta delapan pengikutnya dibuang ke luar Jawa. Beliau meninggal di luar jawa pada
tahun 1914.

Periode Pasca Penangkapan Samin Surosentiko

Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo,


salah satu pengikut Samin kemudian menyebarkan ajarannya di distrik Madiun. Di sinilah,
orang-orang desa diyakinkan untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan
tetapi, Wongsorejo dan baberapa pengikutnya lantas ditangkap dan dibuang ke luar Jawa. Tahun
1911, Surohidin (menantu Samin Surosentiko dan Engkrak, salah satu pengikutnya)
menyebarkan ajaran Samin ke daerah Grobogan. Pengikut yang lain, Karsiyah menyebarkan
ajaran Samin ke Kanjen, Pati. Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajaran di
daerah Jatirogo, Tuban. Namun, usaha mereka menemui kegagalan. Tahun 1984 adalah puncak
Geger Samin. Penyebab utama kejadian ini adalah tindakan Pemerintah Kolonial Belanda yang
menaikkan Pajak. Sebagai ekses tindakan itu antara lain, di daerah Purwodadi orang-orang
Samin tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi. Demikian pula di Distrik Balerejo,
Madiun. Di Desa Tapelan, Bojonegoro terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial
Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak. Di desa Larangan, Pati, orang Samin bahkan
menyerang aparat desa dan polisi. Pada tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah
Kolonial terhenti karena ketiadaan figur pemimpin yang tangguh.
Perlawanan : Memilih antara ”Keras dan Halus”

Suku Samin dengan ajaran Saminisme tumbuh sebagai sebuah gerakan perjuangan
melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah rakyat demi memperluas hutan
jati. Pada awal mula kelahirannya, Saminisme memang tumbuh dari suatu kesadaran untuk
melawan penjajahan. Sang pendiri, Samin Surosentiko, merasa bahwa gerakan perlawanan
terhadap penjajah dengan sarana kekerasan selalu berakhir dengan kegagalan. Dari pengamatan
tersebut, ia mencoba membentuk suatu gerakan perlawanan yang tidak menggunakan sarana
kekerasan fisik (semodel konsep Ahimsa-nya Gandhi). Inilah model perlawanan secara “halus”,
nonfisik (kultural).

Gerakan perlawanan secara halus ini telah menarik hati banyak orang di sekitarnya.
Banyak orang ingin bergabung dengan kelompok Samin Surosentiko ini. Dengan semakin
banyaknya orang yang bergabung, terbentuklah suatu komunitas baru. Inilah generasi awal
Saminisme. Dari gerakan yang mulanya bersifat perlawanan inilah, Samin Surosentiko mulai
mengembangkan semacam ajaran sebagai prinsip-prinsip dasar yang dipakai sebagai falsafah
hidup mereka, sekaligus juga sebagai landasan (filosofis) perlawanan tersebut. Ajaran inilah
yang digeluti, dikembangkan, dan “tersebar” ke mana-mana. Ajaran ini boleh dibilang berfungsi
sebagai semacam prinsip dasar pembentuk falsafah hidup orang Samin, dalam kerangka besar
perlawanan tanpa kekerasan (yang pada awalnya mereka kumandangkan pada pemerintahan
kolonial).

Maka, untuk mengerti bagaimana kaitan antara ajaran Samin dengan perlawanan
mereka sendiri, perlulah terlebih dahulu memahami konsep-konsep ajaran Saminisme.

Perumusan Ajaran

Pokok ajaran Saminise sebenarnya sangat sederhana. Namun, yang perlu pertama-tama
diingat adalah pandangan Samin berada dalam mainstream Jawa. Artinya, ada latar belakang ke-
Jawa-an tertentu yang melandasi pemikiran orang Samin. Ada tiga pokok yang dapat
dimunculkan:
1. Konsep sentral dalam agama Adam adalah urip (hidup) di mana di dalamnya ditunjuk
semua esensi dari bentuk-bentuk hidup itu sendiri. Hidup terwujud dalam aneka wujud
(bentuk), namun dapat dibagi menjadi dua bagian: wong (manusia) dan sandang pangan
(makanan dan pakaian). Untuk wong, ada dua tipe yakni lanang (lelaki) dan wedok
(perempuan). Sementara tiap wong, memiliki nama semisal Suto atau Nojo. Tempat di
mana wong tinggal (Semarang atau Bandung misalnya), adalah sekadar sebutan, karena
faktanya hanya ada satu tempat di mana wong tinggal, yakni bumi ini.
2. Bagi orang Samin, semua aktivitas di dunia pada dirinya memiliki dua tujuan hidup:
tatane wong (yaitu menghasilkan wong dengan jalan sikep rabi-hubungan seksual-) dan
toto nggaoto (yaitu menghasilkan sandang pangan dengan mengolah tanah). Kedua hal
ini sangat mempengaruhi pandangan mereka tentang hidup, keutamaan, dan dambaan
mereka akan dunia yang ideal.

Dalam tatane wong, tugas lelaki adalah “menanam” dan perempuan bersalin. Ide tentang
dua jalan itu secara tepat dirumuskan dalam ungkapan “Jen bengi tatane wong, jen rino
toto nggaoto”. Maka, hidup wong sikep itu mengikuti Adam, yang ditafsirkan dari kata
damel (adam = dam = damel), yaitu mengolah tanah di waktu siang dan melaksanakan
tatane wong di malam hari. Dua pokok inilah yang harus menjadi prinsip fundamental
wong sikep.

1. Selain itu, tentang wong, ada dua jenis: wong jowo yang jujur, tidak jahat, tidak menipu,
dan wong jawal yang gila dan jahat. Maka, wong sikep harus hidup seturut agama Adam
dan menjadi wong jowo. Ide ini diafirmasi dengan ide karma yang menyatakan bahwa
setiap perbuatan akan memiliki konsekwensinya sendiri-sendiri.

Yang utama dari ajaran ini tetap dua tujuan hidup yang sudah disebut di atas. Tatane wong dan
toto nggaoto adalah yang primer, sementara yang lain sifatnya sekunder.

Mengapa ajaran ini bisa menjadi landasan yang kuat untuk perlawanan? Karena, seturut
kepercayaan orang Samin, tanah jawa adalah tanah mereka. Tanah ini adalah hak mereka sebagai
keturunan Adam dan Pandawa. Kalau ada pihak luar yang mewajibkan mereka untuk membayar
pajak, misalnya, sudah mengindikasikan bahwa mereka membayar di atas tanah mereka sendiri.
Hal ini sekaligus mengandaikan bahwa tanah mereka disewakan atau digadaikan. Seakan mereka
mengontrak. Orang Samin tidak setuju hal itu, terutama terhadap adanya pajak. Maka, tidak ada
yang boleh ”mengatur” mereka dalam mengolah tanah, dan oleh karenanya tidak ada kelas di
antara mereka. Semua sederajat untuk menjalankan aktivitasnya demi pemenuhan tujuan hidup
yang mereka pegang.
Agama Adam, dalam hal ini memiliki peranan yang kuat. Bisa disimak dalam efek
yang dikeluarkannya terhadap orang Samin, sbb: tidak ada Negara melainkan relasi perkawinan
(conjugal), tidak ada sikep (yakni orang yang punya “saham” dalam kehidupan desa dan wajib
membayar pajak) melainkan wong sikep yang berkewajiban memeluk istri dan tanahnya,
semuanya bersifat sekunder selama seseorang menjaga janjinya dan tidak campur tangan urusan
sesame, tidak ada pajak, tidak ada ronda (selain ronda dengan istrinya sendiri di malam hari), tak
ada kaula, tak ada Gusti, tak ada raja (Karena semua itu hanya kata-kata dengan maupun tanpa
referensi. Semua kembali pada wong yang menentukan apakah kata-kata itu bermakna atau
tidak). Dalam dunia wong sikep disadari bahwa hierarki berada dalam ambang kehancuran,
eksistensi Negara terhapus, dan otoritas adalah kekosongan belaka.

Praksis Gerakan Perlawanan Tanpa Kekerasan terhadap Pemerintahan Kolonial

Berikut sebuah percakapan singkat ketika seorang pengikut Samin diperiksa di


persidangan pada tahun 1914:

+ “Kamu masih hutang 90 sen kepada negara”

- ”Saya tak hutang kepada negara”

+ “Tapi kamu mesti bayar pajak.”

+ “Wong Sikep (yaitu orang Samin) tak kenal pajak”

+ “Apa kamu gila atau pura-pura gila? “

- “Saya tidak gila dan juga tidak pura-pura gila”

+ “Kamu biasanya bayar pajak, kenapa sekarang tidak?”

- ”Dulu itu dulu, sekarang itu sekarang. Kenapa negara tak habis-habis minta uang?”

+ ”Negara mengeluarkan uang juga untuk penduduk pribumi. Kalau negara tak cukup uang, tak
mungkin merawat jalan-jalan dengan baik.”

- “Kalau menurut kami keadaan jalan-jalan itu menganggu kami, kami akan
membetulkannya sendiri.”

+ ”Jadi kamu tak mau bayar pajak?”


- ”Wong Sikep tak kenal pajak.”

Percakapan di atas adalah salah satu contoh bentuk nyata penolakan orang Samin
terhadap pemerintahan kolonial. Dalam gerakan perlawanan ini, ada 4 hal pokok yang menjadi
bentuk penolakan terhadap pemerintah Belanda: penolakan membayar pajak, penolakan
memperbaiki jalan, penolakan jaga malam /ronda, dan penolakan kerja paksa.

Dalam melaksanakan penolakan ini, orang Samin terkenal jujur dan konsisten. Sebagai
contoh: karena menolak memperbaiki jalan, mereka tidak menggunakan jalan raya tersebut
melainkan melewati jalan setapak/pematang sawah pada saat bepergian. Mereka merasa tidak
membuat, apalagi memperbaiki sehingga merasa tidak berhak menggunakan. Sikap polos dan
sederhana orang Samin inilah yang merepotkan pemerintah kolonial dan (juga nantinya) lokal,
yaitu NKRI sesudah kemerdekaan.

Di samping melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial, orang Samin juga


mengembangkan kehidupan di antara mereka. Nilai-nilai kejujuran, kesederhanaan,
kebersamaan, keadilan, dan kerja keras menjadi tekanan dalam kehidupan bersama.

Orang Samin menganggap semua orang saudara. Mereka akan mengatakan yang salah
adalah salah, yang benar adalah benar. Orang Samin tidak takut kehilangan harta benda dengan
membiarkan rumah terbuka. Mereka percaya jika terjadi pencurian, pelaku bukan dari kalangan
dalam. Kalau pelaku dari luar, mereka yakin barang yang dicuri akan kembali. Mereka percaya
terhadap lingkungan tempat mereka tinggal. Orang Samin juga tidak mengenal dagang. Jika ada
saudara yang membutuhkan, mereka saling membantu sehingga istilah utang tidak dikenal.

Perihal hubungan antar pribadi tersebut, orang Samin memiliki 3 hukum. Pertama,
angger-angger pangucap (hukum berbicara) yang berisi keharusan memelihara mulut dari kata-
kata tidak senonoh dan menyakiti orang lain. Kedua, angger-angger pratikel (hukum tindak-
tanduk) berisi larangan berbuat jahat, berperang mulut, iri hati, dan mengambil milik orang lain.
Ketiga, angger-angger lakonana (hukum yang harus dilakukan) yang berarti ”kesabaran” harus
diingat orang Samin dalam menjalani hidupnya.
Selain menjaga hubungan antar pribadi, mereka juga menjaga hubungan dengan alam.
”Banyu podo ngombe, lemah podo dhuwe, godong podo gawe” (air sama-sama diminum, tanah
sama-sama dimiliki, dan daun sama-sama dimanfaatkan). Maksud dari kalimat tersebut adalah
bahwa kekayaan alam perlu dijaga bersama karena telah memberi manfaat dalam kehidupan.
Mereka membuat irigasi, pupuk, dan mengolah tanah sesuai pandangan keselarasan dengan
alam. Demikian, mereka menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk individu dan makhluk
sosial.

Jika dilihat secara menyeluruh, segala tata hidup masyarakat Samin menekankan pada
hidup moral. Moral ini yang menjadi pijakan utama untuk melakukan perubahan dan
mengusahakan tatanan masyarakat ideal. Sebetulnya tata hidup antar mereka juga kritik pasif
terhadap pemerintah yang berkuasa.

Melihat Peran Khusus Bahasa

Bahasa kita kenal sebagai alat yang komunikasi sekaligus sebagai ekspresi dari yang
ada di dalam hati dan pikiran kita. Kita mengenal ungkapan ”apa yang keluar dari mulutmu,
menunjukkan apa yang ada dalam hatimu”.

Dalam kehidupan orang Samin, bahasa mempunyai arti penting. Secara umum,
masyarakat Samin menggunakan bahasa Jawa sebagai sarana komunikasi. Namun, bukan bahasa
Jawa jenis Basa Kedaton, Krama Inggil, Krama mudha, Krama andhap, dan Ngoko andhap yang
mereka pakai, melainkan memilih menggunakan Ngoko sebagai alat komunikasi. Ngoko adalah
tingkatan dalam bahasa Jawa yang dipakai dalam lingkungan rakyat jelata. Bukan tanpa maksud
mereka memilih jenis ini. Ngoko dipakai untuk menunjukkan semangat kesamaan derajat yang
kental sekaligus simbol perlawanan. Terhadap siapapun mereka akan menggunakan Ngoko.

Ajaran yang mereka miliki dipertegas dengan penggunaan Ngoko. Bagi masyarakat
jawa yang terbiasa dengan penggunaan tingkatan bahasa yang berbeda, tentu akan memandang
orang Samin sebagai orang yang kurang ajar, tidak tahu sopan santun, dan kasar. Padahal Ngoko,
jika dilihat lebih dalam, menunjukkan kejujuran orang Samin.

Saminisme Berhadapan dengan Masyarakat dan Pemerintah


Awal gerakan Saminisme merupakan bentuk perlawanan heroik (paling tidak yang
diakui masyarakat waktu itu) terhadap penjajahan kolonial Belanda lama kelamaan mengalami
pergeseran makna dalam perjalanan sejarah. Stereotip tertentu mulai tumbuh subur. Stereotip ini
berkembang sebagai akibat politisasi pemerintah yang berkuasa. Dalam masa pemerintahan
Soekarno, para penganut Saminisme dipaksa (domesticated) untuk kembali lagi ke mainstream
kebudayaan Jawa.

Peristiwa 1965 mempengaruhi kehidupan orang Samin. Mereka dicurigai sebagai


anggota PKI meskipun banyak pejabat desa setempat yang menganggap Samin hanyalah Samin.
Hal ini dimasukkan sebagai agenda pengembalian kembali mereka dalam mainstream tatanan
masyarakat Jawa.

Hal ini mendorong perkembangan stereotip masyarakat samin. Stereotip masyarakat


terdiri atas dua hal; pertama bahwa penganut ajaran Samin merupakan orang yang tidak
berpendidikan, tidak mengenal sopan santun, terbelakang, dan menghambat pembangunan.
Bahkan yang lebih kejam mereka dihubungkan dengan para maling (ketika penjajahan Belanda
mereka dituduh sebagai pencuri kayu jati). Dan steoreotip kedua adalah bahwa penganut
Saminisme merupakan orang yang lugu, baik dan jujur.

Stereotip pertama digunakan pemerintah untuk memaksa para penganut ajaran Samin
beralih dan meninggalkan ajaran tersebut. Usaha pemerintah ini biasanya disebarluaskan melalui
media massa. Stereotip kedua muncul dari pengalaman orang yang bergaul dengan mereka,
namun masih menganggap kalau kebudayaannya lebih tinggi.

Amrih Widodo, peneliti masyarakat Samin, dan penulis artikel “Cultural Politics and
Political cultural: Samin in the New Order: The Politics of Encounter and Isolation” dalam buku
Imagining Indonesia (1997), menggarisbawahi kelanjutan perubahan dinamis hubungan antara
kekuasaan pemerintah berhadapan dengan komunitas Samin. Perubahan dinamis dilihat dari
konteks situasi, kondisi, dan perkembangan masyarakat Samin berhadapan dengan pemerintah.

Atas nama pembangunan yang menekankan stabilitas dan pemerataan ekonomi


pemerintah orde baru dapat dikatakan paling kejam terhadap orang Samin. Pemerintah membuat
kebijakan ’menjawakan’ dan ’mengindonesiakan’ mereka kembali. Puncak kekalahan yang
diderita masyarakat Samin adalah peristiwa perkawinan paksa 117 pasang pengantin di hadapan
pejabat daerah, peneliti, dan media massa pada 7 Agustus 1989. Peristiwa ini menyimbolkan
seolah masyarakat Samin sekarang telah kembali ke jalan yang benar. Namun perlawanan
mereka ternyata tidak berhenti di sini. Setelah peristiwa perkawinan massal yang
diselenggarakan dan dipublikasikan oleh pemerintah kepada masyarakat, pada pemilihan kepala
desa berikutnya, seorang petani muda Samin memenangkan pemilihan kepala desa. Ia
mengalahkan kepala desa lama yang kembali mencalonkan diri. Hal ini menunjukkan kedaulatan
dan pernyataan tidak langsung kekuatan masyarakat Samin.

Dalam peristiwa perkawinan massal di atas, masyarakat Samin tidak bisa tidak harus
memilih satu di antara lima agama yang diakui oleh pemerintah dalam upacara perkawinan.
Mereka kemudian memilih agama budo (bedakan dengan Budha) yang berarti mlebune udo
(masuknya telanjang). Pemerintah senang karena merasa berhasil menjinakkan penganut Samin
memeluk ajaran mainstream Budha, padahal tidak demikian. Penganut Samin sendiri
mengartikan budo dalam perspektif mereka. Bagi mereka, dengan beragama budo mereka tidak
mengubah agama mereka. Mereka memilih budo dengan alasan menolak tekanan yang berusaha
mentransformasikan sosio-cultural pada status dan indentitas mereka. Kedua, memberikan
konfirmasi akan identitas Samin sendiri, bahwa mereka masih mampu mengontrol diri mereka
walaupun hanya dalam level simbolik.

Pemaksaan oleh pemerintah Indonesia kepada masyarakat penganut ajaran Samin untuk
kembali ke mainstream Jawa sebenarnya sangat erat kaitannya dengan historis kelahiran aliran
Saminisme. Sebagai bentuk perlawanan tanpa kekerasan, hal ini memberikan pesan khusus. Dari
sudut pandang pemikiran pemerintah, kita bisa menangkap adanya suatu harapan bahwa dengan
tidak adanya lagi pemerintah kolonial, Saminisme seharusnya berakhir. Mungkin dapat dipahami
bila penganut Samin masih berkembang, tentu akan sulit bagi pemerintah untuk menata,
mengatur, dan melaksanakan kebijakan pembangunan nasional. Mungkin sekali pemerintah takut
karena Samin bisa menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan pemerintahan dan berpotensi
meluas dalam masyarakat penentang kebijakan pemerintah.

Epilog
Saat ini, masyarakat Samin telah berusaha menyesuaikan diri dengan perkembangan
masyarakat luar. Mereka menaati peraturan pemerintah, membayar pajak, dan lain sebagainya.
Handphone, komputer, traktor, dan televisi telah menjadi bagian hidup mereka. Banyak dari
mereka yang pergi ke sekolah dan mengikuti kursus-kursus ketrampilan. Meskipun demikian,
mereka tetap berusaha untuk menghidupi keutamaan-keutamaan yang diajarkan oleh pendahulu
mereka. Namun, KTP yang dimiliki orang Samin (biasanya) tetap tanpa keterangan agama.

DENGAN DEMIKIAN SAMIN SUROSENTIKO ADALAH PAHLAWAN LOKAL YANG PERLU DIPERHATIKAN
JASA-JASANYA.

Asal Usul Nama Blora :

Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti Lumpur, kemudian
berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang lebih dikenal dengan nama
BLORA. Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah
berarti jurang atau tanah rendah. Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran
huruf W dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata.Sehingga seiring dengan
perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH menjadi
BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA. Jadi nama BLORA berarti tanah
rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Blora Era Kerajaan :

Blora dibawah Kadipaten Jipang.Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI,
yang pada saat itu masih dibawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu bernama
Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang. Daerah kekuasaan meliputi :
Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir (Hadiwijaya) mewarisi
tahta Demak pusat pemerintahan dipindah ke Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan
Pajang.

Blora dibawah Kerajaan Mataram :

Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan Mataram yang berpusat
di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah Mataram bagian Timur atau daerah Bang
Wetan. Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719 ) daerah Blora diberikan kepada
puteranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati. Luas Blora pada saat itu 3.000
karya (1 karya = ¾ hektar ). Pada tahun 1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh
Amangkurat IV, sehingga sejak saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.

Blora di Jaman Perang Mangkubumi (tahun 1727 - 1755):


Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749) terjadi pemberontakan yang dipimpin
oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi berhasil menguasai Sukawati, Grobogan,
Demak, Blora, dan Yogyakarta. Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi Raja
di Yogyakarta. Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku
Bumi menjadi Raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember 1749. Bersamaan
dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi Raja, maka diangkat pula para pejabat yang lain,
diantaranya adalah pemimpin prajurit Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.

Blora dibawah Kasultanan :

Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan
nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan,
yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan
Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai
bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi Bupati Wilatikta
tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga beliau pilih mundur dari jabatannya

Blora sebagai Kabupaten :

Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram Kabupaten Blora merupakan daerah
penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini disebabkan karena Blora terkenal dengan
hutan jatinya. Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah Kabupaten pada hari
Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11 Desember 1749 Masehi, yang
sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati
pertamanya adalah WILATIKTA.

Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan :

Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke
20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin memburuknya kondisi sosial dan ekonomi
penduduk pedesaan pada waktu itu. Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh
Pemerintah Penjajah sangat memberatkan bagi pemilik tanah ( petani ) . Di daerah-daerah lain di
Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti peristiwa Cilegon pada
tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang petani dari Blora mengawali perlawanan
terhadap pemerintahan penjajah yang dipelopori oleh Samin Surosentiko. Gerakan Samin
sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, yaitu
suatu gerakan yang tidak merupakan pemberontakan radikal. Beberapa indikator penyebab adana
pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah antara lain : Berbagai macam pajak
diimplementasikan di daerah Blora Perubahan pola pemakaian tanah komunal pembatasan dan
pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk Indikator-indikator
ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan protes petani di daerah Blora. Gerakan ini
mempunai corak MILLINARISME, yaitu gerakan yang menentang ketidak adilan dan
mengharapkan zaman emas yang makmur.
Daftar Pustaka

Mulder,Niels. Jawa-Thailand ”Beberapa Perbandingan Sosial Budaya”. Yogyakarta : Gajah


Mada University Press, 1983

Sastroatmodjo, Suryanto. Masyarakat Samin Siapakah Mereka? Yogyakarta: Narasi, 2003

Sastroatmodjo, Suryanto. ”Dari Lokantara ke Ngamartalaya,” Majalah Busos, Thn.XXI, No.196,


1992

Widodo, Amrih. “Cultural Politics and Political cultural: Samin in the New Order: The Politics
of Encounter and Isolation,” Imagining Indonesia, eds. Schiller, Jim, and Barbara Martin. Ohio :
Ohio University Center for International Studies Monograph in International Studies Southeast
Asian Series, Number 97 Athens, 1997

Winarno, Sugeng. ”Samin: Ajaran Kebenaran yang Nyleneh,” Agama Tradisional : Potret
Kearifan Hidup Masyarakat Samin dan Tengger, eds. Nurudin, Vina Salviana, dan Deden
Faturrohman. Yogyakarta: LKiS, 2003

Anda mungkin juga menyukai