Manajemen
Vol 07. No. 04
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
h.175-240
7
TAJUK RENCANA
4
Kartu Deteksi Dini Kanker untuk Keluarga. Sebuah Model Kartu Deteksi Dini Penyakit
MAKALAH KEBIJAKAN
Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada Penelitian)
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
ARTIKEL PENELITIAN
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter Pegawai Tidak Tetap
(Dokter PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di Jawa Barat
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap Kepuasan Kerja
di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
RESENSI BUKU
Manajemen
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
Volume 07/Nomor 04/Desember/2004
Daftar Isi:
TAJUK RENCANA:
IM Sunarsih Kartu Deteksi Dini Kanker untuk Keluarga Sebuah Model Kartu Deteksi
Dini Penyakit _______________________________________________ 177
MAKALAH KEBIJAKAN
Siswanto Pendekatan Politik sebagai Strategi dalam Advokasi Pembangunan
Sulanto Saleh Danu Kesehatan _________________________________________________ 181
Chriswardani Suryawati Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada
Penelitian) _________________________________________________ 189
ARTIKEL PENELITIAN
Nugraha Wendy Freely Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter
Arisanti Nita Pegawai Tidak Tetap (Dokter PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di
Jawa Barat _________________________________________________ 195
Nurulhayah Status Profesi, Lama Kerja, Kemampuan Berbahasa Daerah dan Kinerja
Mubasysyir Hasanbasri Kepala Puskesmas: Analisis Survei Kesehatan dan Keluarga Indonesia 2000
__________________________________________________________ 211
Qurratul Aini Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap
Sito Meiyanto Kepuasan Kerja di RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta ____________ 223
Andreasta Meliala
RESENSI BUKU
Yvonne Dewikarini Reformasi Perumahsakitan Indonesia ____________________________ 229
i
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Tajuk Rencana
TAJUK RENCANA
IM Sunarsih
Magister Manajemen dan Kebijakan Obat, FK UGM, Yogyakarta
K
esehatan merupakan hak dasar pemulihan kesehatan (rehabilitasi) yang
manusia dan merupakan faktor yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu, dan
sangat menentukan kualitas sumber berkesinambungan. Dalam pendekatan primary
daya manusia.1 Oleh karena itu, kesehatan perlu health care sebagai strategi untuk mencapai
dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta “kesehatan untuk semua” ada hal mendasar yang
dilindungi dari ancaman yang merugikan. Telah perlu perhatian yaitu:
dilakukan berbagai upaya promosi kesehatan untuk l dari pelayanan yang bersifat kuratif-rehabilitatif
pemberdayaan masyarakat yang membuat individu menjadi pelayanan yang mengutamakan
atau masyarakat mampu meningkatkan kendali promotif-preventif tanpa melupakan kuratif-
terhadap berbagai aspek kehidupan yang rehabilitatif
mempengaruhi kesehatan. Namun, data l dari bekerja untuk masyarakat menjadi bekerja
menunjukkan masih banyak pasien datang ke untuk dan bersama masyarakat dalam
pelayanan kesehatan dalam keadaan yang lanjut. meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Pada dasarnya keluarga sebagai kelompok l dari pendekatan patient oriented menjadi
terkecil masyarakat mampu untuk mengenali dan pendekatan community oriented.
mengatasi masalah kesehatannya sendiri, baik
melalui upaya yang dilaksanakan sendiri maupun Ketiga hal di atas memerlukan peran aktif
melalui pertolongan dari petugas terkait. Daya keluarga untuk melaksanakannya. Peran akan
keluarga inilah perlu dipupuk, dikembangkan agar semakin optimal apabila keluarga memperoleh
masalah kesehatan dapat teratasi sampai ke informasi kesehatan yang tepat, mempunyai
akarnya mulai dari dan oleh keluarga. Oleh karena pengetahuan dan kemauan untuk memelihara
itulah keluarga perlu didorong, dimotivasi, dan serta melindungi kesehatannya, dan
dibangkitkan kesadarannya akan potensi yang mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat.
dimiliki serta upaya untuk mengembangkannya. Kurangnya pengetahuan dan kemauan akan hal
Filosofi yang mendasari yaitu setiap keluarga atau tersebut menyebabkan masyarakat sulit untuk
masyarakat mempunyai hak dan potensi untuk mengetahui keadaan kesehatannya atau tidak mau
menentukan sendiri tindakan-tindakan yang diperiksa dan diobati penyakitnya, sehingga
berkaitan dengan kesehatannya. Dalam Undang- masyarakat tidak akan memperoleh pelayanan
Undang Nomor 23 Tahun 1992 kesehatan kesehatan yang layak. Oleh karena itu, ada hal-
menyebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak hal yang diperlukan dalam pemberdayaan keluarga
yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yaitu peningkatan pengetahuan masyarakat untuk
yang optimal. Namun, setiap orang berkewajiban mengetahui kesehatannya sendiri, perubahan
untuk ikut serta dalam memelihara dan sikap, dan perilaku.
meningkatkan derajat kesehatan perseorangan,
keluarga dan lingkungannya. Untuk mewujudkan PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat, Penyuluhan dan pelatihan merupakan upaya
diselenggarakan upaya kesehatan dengan meningkatkan peran keluarga dalam perubahan
pendekatan pemeliharaan dan peningkatan perilaku dan mengetahui kesehatannya sendiri.
kesehatan (promotif), pencegahan penyakit Upaya efektif dapat dilakukan memanfaatkan jalur
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan yang telah ada yang dapat sampai ke kelompok
177
Tajuk Rencana
paling kecil yaitu melalui Pemberdayaan 5. Andeng-andeng (tahi lalat) yang berubah
Kesejahteraan Keluarga (PKK). Gerakan sifatnya, menjadi makin besar dan gatal.
pemberdayaan kesejahteraan keluarga bertujuan 6. Darah atau lendir yang tidak normal keluar dari
untuk mewujudkan atau meningkatkan lubang-lubang tubuh.
kesejahteraan keluarga dengan 10 program 7. Adanya koreng atau borok yang tidak mau
pokoknya. Keberadaan lembaga ini telah sampai sembuh.
di desa atau kelurahan. Kelompok-kelompok PKK
ada di dusun, lingkungan RW, RT serta kelompok Tanda awas kanker dalam KDDK tersebut
dasawisma. Kelompok dasawisma inilah merupakan tanda-tanda yang dengan mudah dapat
diharapkan menjadi ujung tombak untuk terlihat oleh orang awam, yang perlu diwaspadai
kesejahteraan keluarga, khususnya di bidang sebagai gejala penyakit kanker. Kartu ini dapat diisi
kesehatan. Pesan apapun dapat diberikan lewat oleh semua orang dengan sangat mudah, sehingga
alur PKK. Pada kelompok terkecil PKK adalah diharapkan gejala kanker akan dapat ditemukan
dasawisma yang mempunyai kesempatan untuk oleh warga sendiri dan dapat segera dilakukan
bertemu pada setiap bulan sekali dengan warga, tindak lanjut pemeriksaan medis sebagai
dapat diberikan penyuluhan dengan melibatkan kewaspadaan yang perlu dilakukan. Ini adalah cara
kader yang ada dan dari puskesmas setempat. yang sangat sederhana pada saat ini, yang dapat
dilakukan untuk mengungkap adanya penderita
MEMERIKSA KESEHATAN SENDIRI baru penyakit kanker oleh dan untuk masyarakat
Sangat ideal apabila anggota keluarga dapat atau dengan kata lain pemberdayaan masyarakat.
mengetahui kondisi kesehatannya sendiri dengan Proses penggunaan KDDK memerankan
cara yang sederhana. Banyak informasi yang telah masyarakat dan sekaligus melakukan penyuluhan
dikembangkan melalui leaflet dan media massa, pada masyarakat. Proses tersebut dimulai dengan
bagaimana pencegahan suatu penyakit dan memberikan penyuluhan tentang kanker kepada
mengetahui secara dini kondisi kesehatannya. kader dusun, kepala dusun dan kepala desa. Di
Contohnya gejala demam berdarah, malaria, TBC, sini peran PKK sangat dominan agar kader dapat
HIV/AIDS, narkoba dan sebagainya, sehingga melaksanakan tugasnya dengan baik. Setelah itu,
keluarga secara dini dapat melakukan upaya informasi diteruskan oleh kader dusun kepada
sendiri maupun upaya mendapatkan pertolongan kepala keluarga di dusunnya masing-masing,
tenaga kesehatan. Informasi serupa banyak dibantu oleh tenaga medis dan para medis
dilakukan melalui penyuluhan, seminar, dan puskesmas. Dari proses ini telah terjadi suatu
sebagainya. Namun, sering belum dapat diketahui proses pemahaman dan peningkatan pengetahuan
sejauh mana pemahaman dan pelaksanaan tentang kanker dan penanggulangannya sebelum
kegiatan dalam penanggulangan penyakit. melakukan aksi pengisian kartu. Kartu dibagikan
kepada masing-masing kepala keluarga dan
KARTU DETEKSI DINI KANKER UNTUK dikumpulkan oleh kader.
KELUARGA Anggota keluarga yang mempunyai tanda
Masyarakat yang telah sadar akan awas kanker, dengan didampingi oleh kader dari
kesehatannya, perlu dibekali sarana untuk dusun setempat diperiksa oleh dokter puskesmas.
mengetahui kesehatannya sendiri. Salah satu yang Bila diperlukan, dilakukan pemeriksaan penegakan
pernah dikembangkan adalah penggunaan Kartu diagnosis dengan papsmear, biopsi jarum halus,
Deteksi Dini Kanker untuk keluarga (KDDK). Kartu mammografi, dan lain sebagainya di puskesmas
Deteksi Dini Kanker (KDDK) ini diciptakan oleh dr. maupun di rujuk ke tempat lain. Dengan demikian,
Akmal Hanafi seorang dokter spesialis obstetri dan penegakan diagnosis dapat dilakukan secara tepat
ginekologi yaitu kartu yang berisi 15 tanda awas dan akan dapat ditemukan warga yang mempunyai
kanker. Kelima belas tanda awas kanker tersebut sel-sel yang menunjukkan keganasan atau kanker.
sebenarnya terjemahan sederhana dari Hasil penelitian Sunarsih, dkk.2, pemberdayaan
WASPADA. WASPADA adalah istilah yang mudah masyarakat dalam penemuan dini kanker dengan
diingat oleh awam untuk mengetahui 7 gejala penggunaan KDDK di 7 dusun Desa Ngalang
kanker, yaitu: menunjukkan bahwa dari 3.990 penduduk terdapat
1. Waktu buang air besar atau kecil ada sejumlah 476 warga dengan tanda awas kanker
perubahan kebiasaan atau gangguan. atau 11,93%-nya. Dari hasil penelitian tersebut
2. Alat pencernaan terganggu dan susah terdapat 35 wanita dengan benjolan di payudara
menelan. yang dinamakan sebagai tanda awas kanker
3. Suara serak atau batuk yang tidak sembuh. payudara. Menurut penelitian Sunarsih, dkk.3, dari
4. Payudara atau di tempat lain ada benjolan. 35 orang tersebut ditemukan sebanyak 3 orang
178
Tajuk Rencana
179
Tajuk Rencana
Informasi tambahan:
1. Bila menemukan tanda – tanda tersebut bukan berarti anda menderita kanker tetapi awas
kemungkinan kanker, periksakan segera ke puskesmas, bidan, dokter/rumah sakit.
2. Apakah ibu – ibu sudah melaksanakan Papsmear: Ya/Tidak
Bila Ya, hasilnya …………………………………………………………………………………..............
3. Apakah sudah melaksanakan SADARI: Ya/Tidak
Bila Ya, hasilnya …………………………………………………………………………………..............
4. Apakah sudah melaksanakan rontgen: Ya/Tidak
Bila Ya, hasilnya …………………………………………………………………………………..............
180
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Pendekatan Politik sebagai Strategi
Siswanto
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Surabaya
ABSTRACT
181
Pendekatan Politik sebagai Strategi
182
Pendekatan Politik sebagai Strategi
Stakeholders
Bahasa Sense-
Ritual making
Bahasa Aksi
Komunikasi
POWER
Komitmen Politik
Advokator Dukungan
Asumsi dasar yang harus dipegang dalam advokasi. Isi pesan haruslah menunjukkan fact find-
melakukan advokasi kepada stakeholders adalah ing yang meyakinkan, disajikan secara lugas, tetapi
sebuah paradigma bahwa stakeholders adalah harus tetap menjaga validitas data. Misalnya, dalam
“bukan bawahan kita”. Jadi, apa yang dapat advokasi program stop rokok, kita bisa
dilakukan hanyalah sebatas mempengaruhi mempengaruhi pemerintah dengan menunjukkan
mereka untuk memahami kepentingan kita. Dalam data berapa kerugian sosial akibat sakit karena
mempengaruhi ini kita harus menggunakan taktik perilaku merokok. Kalau kita mampu menunjukkan
dan strategi yang tepat. data bahwa biaya kerugian akibat industri rokok
Agar isu atau pilihan kebijakan yang kita melampaui manfaatnya, maka data tersebut akan
angkat mendapatkan komitmen politik dan ampuh untuk mendukung kebijakan program stop
dukungan kebijakan (making-sense), maka dalam rokok.
hubungan antara advokator dan stakeholders pada
proses advokasi perlu memperhatikan hal-hal 3. Bahasa
sebagai berikut.1,5 Dalam konteks bahasa, tidak hanya
menyangkut pemilihan bahasa dalam artian yang
1. Latar Belakang Penerima Advokasi sebenarnya tetapi juga menyangkut pemilihan
Sebagaimana sudah disebut di depan bahwa “senjata” yang tepat untuk sasaran advokasi yang
advokasi untuk kebijakan, pada dasarnya adalah tepat pula. Yang dimaksud memilih "senjata" yang
mempengaruhi stakeholders agar ia atau mereka tepat di sini adalah bagaimana cara mengemas
mau menuruti kehendak atau kemauan kita. Agar informasi sedemikian rupa, sehingga informasi
pesan yang kita sampaikan dapat legitimate di mata yang disampaikan dapat legitimate dalam
stakeholders, isi pesan dan bahasa haruslah perspektif atau cara pandang penerima advokasi.
disesuaikan dengan cara pandang (mental model) Sebagai contoh, mempengaruhi Pemda untuk
dari penerima advokasi. Mental model seseorang mengalokasikan pembiayaan yang lebih besar
akan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pribadi pada program upaya kesehatan masyarakat, maka
(pendidikan, pengalaman hidup, kepribadian, analisis biaya-manfaat upaya kesehatan
agama, ideologi, dan kepentingan seseorang) dan masyarakat versus upaya kesehatan perorangan,
budaya masyarakat. Faktor-faktor pribadi tersebut akan lebih mampu meyakinkan legislatif dan
penting untuk diperhatikan agar kita mampu eksekutif daripada dengan analisis kematian dan
menyesuaikan isi pesan dan bahasa agar mampu kesakitan.
‘membujuk’ penerima advokasi. Misalnya, untuk
mempengaruhi bupati atau walikota dengan latar 4. Sumber atau Pembawa Pesan
belakang seorang ekonom, maka ada baiknya Untuk menyampaikan gagasan atau informasi
pesan "dibungkus" dengan bahasa ekonomi. yang menyangkut perubahan kebijakan, perlu
memanfaatkan narasumber yang kredibel,
2. Isi Pesan sehingga mampu “membius” penerima advokasi.
Isi pesan harus diformulasikan sedemikian Misalkan, dalam rangka perubahan kebijakan dari
rupa, sehingga mampu membujuk sasaran rumah sakit tipe birokrasi menuju rumah sakit
183
Pendekatan Politik sebagai Strategi
swadana, maka health economist dari luar dapat Dari Gambar 2, terlihat apa yang dimaknai
dijadikan narasumber untuk mempengaruhi seseorang (penerima advokasi) tentang suatu
legislatif dan eksekutif. Para ahli dari luar bisanya stimulus (bahan advokasi), sangat bergantung
akan lebih diapresiasi daripada ahli dari dalam kepada mental model seseorang. Selanjutnya,
institusi. mental model sangat dipengaruhi oleh faktor
pribadi (pengalaman, pendidikan, agama,
5. Format atau forum keyakinan, kepribadian, dan bahkan kepentingan
Beberapa format dipilih untuk melakukan seseorang) dan faktor budaya masyarakatnya.
advokasi dalam rangka perubahan kebijakan atau Oleh karena itu, pemilihan isi pesan, pengemasan
pembahasan isu tertentu. Misalkan, seminar atau bahasa, pemilihan format dan waktu, sedapat
presentasi, lobi, negosiasi, penggunaan media, mungkin menyesuaikan dengan faktor pribadi dan
atau melalui asosiasi peminat. budaya penerima advokasi.
Saya
Jenjang men g a mbil
Pemaknaan tindakan
b erdasarka
n keyakinan-
Saya men g- g- key akinan
a d o psi saya
keyakinan-
keyakinan-
ke - yakinan
Saya tent an g
men arik dunia
kesimpulan
Saya me mbu at
asumsi-
asumsi- asumsi
b erd asarkan
m akn a- makn a yg
saya t a mb ahkan
Saya
men a mb ahk an
makna - makna
(budaya dan
Saya memilih pribadi) Putaran refleksif
“Data” d ari a p a (keyakinan kita
yan g saya a ma ti m em p eng aruhi dat a
a p a yang kita pilih di
“Data” dan pengalaman
lain waktu
yang dapat diamati
(seperti yan g bisa ditan gk a p
oleh sebu ah vide ot a p e 6
ChrisArgyris,
Chris Argyris‘9013
rec ord er)
184
Pendekatan Politik sebagai Strategi
Berbagai macam power yang dapat digunakan hierarkis dalam organisasi (authority), hanyalah
oleh advokator untuk mempengaruhi stakeholders salah satu dari sekian banyak sumber kekuatan.
di antaranya adalah 7,8: Sementara itu, sumber-sumber kekuatan yang lain
1. Position power (authority). Dengan jabatan bersifat lebih terbuka, dalam arti siapapun dapat
tertentu maka seseorang akan mempunyai meningkatkan kekuatannya untuk saling
kekuasaan formal tertentu sesuai dengan mempengaruhi dengan aktor lainnya. Dengan
jabatannya. Untuk meyakinkan instansi lain, demikian, advokator yang efektif haruslah secara
maka seorang kepala tentunya mempunyai terus-menerus mendongkrak berbagai sumber
pengaruh lebih besar daripada kepala seksi. kekuatan guna meyakinkan pihak lain untuk
2. Informasi dan keahlian. Power akan memenangkan kepentingannya.
mengalir deras pada orang yang menguasai
informasi dan pengetahuan (keahlian). Oleh ANALISIS STAKEHOLDERS
karena itu, inisiasi perubahan lebih sering Politik selalu menyangkut pola hubungan
berawal dari tekanan para ahli di perguruan antaraktor untuk berebut pemaknaan dan
tinggi daripada birokrat. kepentingan, dengan menggunakan power-nya
3. Pengaturan akan sumber daya (resources). masing-masing (lihat sumber power). Untuk itu,
Posisi orang yang memegang kunci pada dalam perspektif politik, apabila ingin
pengaturan resources akan kuat untuk mempengaruhi stakeholders untuk mengegolkan
mempengaruhi pihak lain. Misalnya, Staf Ditjen kebijakan tertentu, maka perlu melakukan analisis
Anggaran akan mempunyai daya tawar yang stakeholders guna mendapatkan peta (mapping)
tinggi pada saat pembahasan pendanaan dari stakeholders yang ingin dipengaruhi.
proyek. Dalam analisis stakeholders, setidaknya ada
4. Kekuatan pemaksa. Orang yang mempunyai dua domain penting untuk dipelajari. Pertama,
kekuatan pemaksa juga memegang kunci untuk menyangkut domain kepentingan, baik
menaklukkan pihak lawan. Misalnya, kepentingan overt maupun kepentingan covert.
pemogokan oleh asosiasi dokter, tentunya akan Kedua, menyangkut domain posisi stakeholders
mampu melumpuhkan aktivitas rumah sakit. dalam kaitannya dengan isu yang kita angkat
5. Aliansi dan jaringan. Adanya aliansi dan termasuk tingkat kekuatannya.
jaringan yang kuat dengan pihak lain akan Kepentingan overt adalah tujuan idealistik
memberikan kekuatan kepada seseorang seseorang dikaitkan dengan organisasi tempat ia
untuk mempengaruhi pihak lain. Dengan menginduk, yang notabene steril dari kepentingan
aliansi dan jaringan seseorang akan dengan pribadi. Misalnya, tujuan overt dari Departemen
mudah mendapatkan dukungan dari para Kesehatan adalah Indonesia Sehat 2010. Tujuan
sekutunya. overt Badan Litbang adalah menghasilkan
6. Akses terhadap agenda. Akses terhadap informasi sahih untuk masukan kebijakan
keputusan tentang agenda apa yang akan pembangunan kesehatan. Jelasnya, kepentingan
dibahas, juga merupakan power yang kuat overt adalah tujuan sakral dari organisasi.
untuk menggagalkan agenda pihak lain dan Sebaliknya, kepentingan covert adalah tujuan-
menggolkan agenda kita. Dalam organisasi, tujuan sempit dari masing-masing aktor yang sarat
posisi sekretaris seringkali menentukan seleksi dengan kepentingan pribadi. Sesuai dengan
terhadap agenda. namanya, tujuan covert jarang terpapar secara
7. Kontrol terhadap pemaknaan dan simbol. publik. Tujuan covert hanya muncul pada
Kontrol terhadap pemaknaan dan simbol pembicaraan informal di kalangan kelompoknya.
penting untuk mempertahankan “unitas” Contoh, tujuan covert dari para peneliti pada proyek
pemaknaan. Advokator yang efektif haruslah penelitian adalah menambah angka kredit dan
mampu mendoktrinasi pihak lain tentang mendapatkan keuntungan finansial.
keyakinan dan pemaknaan yang ia tawarkan. Dalam menganalisis stakeholders, memprediksi
Para kyai, misalnya, mempunyai kemampuan tujuan-tujuan overt dan covert dari para aktor
yang hebat untuk menjaga unitas pemaknaan. sangat penting. Dengan mengetahui mapping
8. Karisma. Seseorang yang mempunyai tujuan overt dan covert dari para aktor yang ingin
karisma tinggi, maka secara fisik, penampilan, kita pengaruhi, kita akan mudah menyesuaikan
serta kepribadiannya akan mampu “membius” bahasa dan konsesi-konsesi yang harus kita
pihak lain untuk menuruti kemauannya. berikan, dalam negosiasi dan dalam rangka
memenangkan kepentingan kita.
Apabila kita lihat sumber-sumber kekuatan dari Domain kedua dari analisis stakeholders
nomor 1 sampai dengan nomor 8, maka kedudukan adalah mapping aktor, kaitannya dengan posisi
185
Pendekatan Politik sebagai Strategi
aktor terhadap agenda yang kita angkat. Yang berbeda dengan agenda advokasi kita.
dimaksud posisi di sini adalah seberapa jauh Ketidaksepahaman ini dapat dipakai sebagai dasar
keberpihakan aktor terhadap agenda yang kita untuk menyusun argumen-argumen advokasi kita.
angkat. Musuh pada satu isu tertentu, misal,
Berkaitan dengan posisi stakeholders ketidaksetujuan akan peningkatan alokasi
terhadap isu atau agenda yang kita angkat, maka anggaran kesehatan, boleh jadi mitra pada isu
stakeholders dapat dikelompokkan menjadi empat, lainnya, misal, setuju agar tarif rumah sakit
yaitu 9: disesuaikan atau dinaikkan. Menentukan profil
a) Pembuat keputusan (stakeholders kunci) musuh, termasuk argumen-argumen yang mereka
b) Beneficiaries (stakeholders primer) kemukakan, penting untuk menyusun counter-
c) Mitra (stakeholders sekunder) argument berdasarkan data dan penelitian
d) Musuh/lawan mutakhir.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan untuk
Pembuat keputusan atau stakeholders memastikan bahwa kita siap menghadapi oposisi
kunci adalah mereka yang mempunyai otororitas (lawan), yaitu:
untuk bertindak melakukan perubahan atau - Identifikasi musuh dan kekuatan musuh,
menetapkan kebijakan baru. Mengingat advokasi - Kumpulkan informasi tentang mereka (sikap,
berhubungan dengan perubahan undang-undang, bidang kerja, kualifikasi, pendidikan, agama,
peraturan, kebijakan, program dan praktik budaya interest pribadi atau tujuan covert, dan
tertentu, maka pembuat keputusan yang menjadi sebagainya),
target advokasi adalah pembuat undang-undang - Identifikasi alasan mengapa mereka
(legislatif), lembaga eksekutif, pemimpin agama, menentang prakarsa atau agenda kita,
tokoh informal, manajer program, dan pemuka - Identifikasi siapa yang dapat mempengaruhi
masyarakat lainnya. Karena tujuan utama advokasi pandangan dan pendapat mereka,
adalah penetapan kebijakan, para pembuat - Siapkan suatu rencana aksi yang mencakup
keputusan adalah target utama dalam program data dan argumen-argumen yang berdasarkan
advokasi. fakta, untuk menghadapi argumen yang
Beneficiaries atau stakeholders primer mungkin dimunculkan oleh lawan.
adalah individu atau kelompok-kelompok yang
memperoleh manfaat secara langsung dari hasil Analisis stakeholders (stakeholders profiling)
kegiatan advokasi. Jika dimobilisasi dengan tepat, tidak hanya bermanfaat untuk mengidentifikasi
stakeholders primer merupakan advokator yang profil stakeholders, tetapi juga untuk mengantisipasi
paling kredibel dan meyakinkan. Namun sayang, dan memperhatikan kebutuhan dan kepentingan
untuk beberapa program memobilisasi stakeholders mereka. Berdasarkan analisis ini, dapat
primer tidak mudah untuk dilaksanakan. diidentifikasi siapa pembuat keputusan yang ingin
Mitra atau stakeholders sekunder adalah dirangkul, mitra dan beneficiaries yang ingin
mencakup semua individu, kelompok dan dilibatkan, serta musuh atau lawan yang perlu
organisasi yang mempunyai pandangan atau posisi dibujuk. Dalam banyak hal, pembuat keputusan
sama, dan siap bergabung dalam suatu koalisi adalah kelompok-kelompok kunci yang mempunyai
untuk membela suatu isu atau agenda tertentu. otoritas untuk melakukan perubahan. Sebagai
Membangun kemitraan adalah penting dalam contoh, bila kita ingin meningkatkan alokasi
rangka memenangkan suatu agenda advokasi. anggaran kesehatan dari APBD II, tentunya orang
Faktor-faktor yang dapat mempererat kemitraan, kuncinya adalah Bupati, Sekretaris Daerah,
antara lain, kesepakatan tentang tujuan kemitraan, Bappekab, Anggota DPRD II (Panitia Anggaran);
pembagian informasi dan pengalaman belajar, sementara sebagai lawan adalah sektor lainnya
komunikasi yang terbuka dan jujur, pertemuan yang juga memperebutkan anggaran.
rutin, dan pertukaran pandangan.
Musuh atau lawan adalah individu-individu MENYUSUN RENCANA AKSI
atau kelompok-kelompok yang memiliki sikap dan Setelah memahami bahwa isu pembangunan
pemahaman yang bertentangan dengan agenda adalah masalah perebutan pemaknaan dan
(program) advokasi kita. Cara sederhana untuk perebutan sumber daya dalam suatu arena kontes
mengidentifikasi musuh dalam advokasi, bukannya pembangunan nasional, maka pendekatan politik
melihatnya sebagai musuh secara terang- menekankan pentingnya analisis pemain, mengukur
terangan, melainkan sebagai seseorang atau kekuatan mereka, membangun koalisi, dan
kelompok yang memiliki keyakinan dan sikap yang memainkan power untuk melegitimasi agenda kita.
186
Pendekatan Politik sebagai Strategi
Dalam menyusun rencana aksi advokasi, demikian, merupakan seni untuk memenangkan
langkah-langkah berikut dapat digunakan: kepentingan dengan memetakan kepentingan
(1) identifikasi atau review data dan hasil penelitian, stakeholders, memetakan kekuatan, dan akhirnya
yang berimplikasi kebijakan, yang akan kita angkat, menyusun strategi.
(2) tentukan instrumen kebijakan publiknya, Untuk menyusun rencana aksi advokasi
(3) petakan posisi stakeholders terhadap agenda dengan efektif, maka perlu dilakukan langkah-
kita, termasuk peta kekuatan dan tujuan overt/ langkah, yaitu: (i) kemukakan data atau informasi
covert-nya, (4) susun rencana aksi yang meliputi dan implikasi kebijakannya, (ii) tentukan instrumen
format, pengemasan bahasa, dan waktu yang kebijakan publiknya, (iii) petakan posisi stakeholders
tepat. terhadap agenda advokasi kita, (iv) identifikasi
Dua tabel berikut dapat digunakan sebagai tujuan overt atau covert stakeholders, (v) prediksi
penolong untuk menyusun rencana aksi advokasi kekuatan stakeholders, dan akhirnya (vi) tentukan
bidang kesehatan. (Tabel 1 dan Tabel 2). strategi yang tepat untuk melaksanakan advokasi.
187
Pendekatan Politik sebagai Strategi
5. Siswanto, dkk. Modul Bidang Kesehatan Bagi 7. Bolman and Deal. Reframing Organizations,
Manajer Puncak Tingkat Kabupaten/Kota. Artistry, Choice, and Leadership, Jossey-Bass
Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Publishers, San Fransisco. 1997.
Kesehatan, Surabaya, 2003. 8. Lee, B. The Power Principle (Prinsip
6. Arifin, A. Modul Pelatihan Strategic Leadership Kekuasaan), Terjemahan, Binarupa Aksara,
dan Learning Organization, Puslitbang Jakarta. 2002.
Pelayanan dan Teknologi Kesehatan, 9. UNFPA. Advokasi: Aksi, Perubahan dan
Surabaya. 2004. Komitmen, UNFPA dan BKKBN. Jakarta. 2002.
188
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Kepuasan Pasien Rumah Sakit
Chriswardani Suryawati
Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat
Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah
ABSTRACT
Hospital patient’s satisfaction is one indicator of hospital services quality. Hospital has
many reasons to fulfill their patient’satisfaction. Satisfied patient would except the medication
better than unsatisfied patient. They will be a “marketer” and create “the positive image” of the
hospital. There was a sosio economic value of the positive image of hospital, especially related
to the hospital ‘s stakeholders.
Reliability, responsiveness, assurance, empathy and tangibles are the dimensions of the
hospital patient’s satisfaction. It would be varied by severity of the illness, age, sex, education,
occupation, race/ethnic and social cultural factors. Hospital patient’s satisfaction could be
measured by observing the services of the important personals (doctors and nurses), admission
dan billing services, medical and non medical facility by conducting such a research.
Most research measure hospital patient’s satisfaction in Indonesia were conducted to
analize the variables determined to the overall services of inpatient atau outpatient services or
specified services by doctors and nurses. Others measured the differences of patient’s
satisfaction related to hospital room class and patient characteristics. Most research were
cross sectional study and quantitative research by developing bivariat or multivariate analysis.
Most study has become a library collection and the dissemination of the research should be
improved in the future. This article will explain the hospital patient’s satisfaction in the theoretical
aspect and in application on several research in Indonesia.
189
Kepuasan Pasien Rumah Sakit
Subyektivitas tersebut bisa berkurang dan bahkan kesehatan, 2) evaluasi terhadap konsultasi
bisa menjadi obyektif bila cukup banyak orang yang intervensi dan hubungan antara perilaku sehat dan
sama pendapatnya terhadap suesuatu hal. Oleh sakit, 3) membuat keputusan administrasi, 4)
karena itu, untuk mengkaji kepuasan pasien evaluasi efek dari perubahan organisasi pelayanan,
dipergunakan suatu instrumen penelitian yang 5) administrasi staf, 6) fungsi pemasaran, 7) formasi
cukup valid disertai dengan metode penelitian yang etik profesional. 4
baik. Linder Pelz (dalam Krowinsky dan Steiber)2
Di dalam situasi yaitu rumah sakit harus mengajukan sepuluh elemen sebagai faktor-faktor
mengutamakan pihak yang dilayani (client oriented), yang perlu diamati dalam mengkaji kepuasan
karena pasien adalah client yang terbanyak, maka pasien, yaitu: keterjangkauan (accessibility),
banyak sekali manfaat yang dapat diperoleh suatu ketersediaan sumber daya (availability of
rumah sakit bila mengutamakan kepuasan pasien.3 resources), kontinuitas pelayanan (continuity of
a. Rekomendasi medis untuk kesembuhan care), efektivitas (terhadap hasil) (efficacy atau
pasien akan dengan senang hati diikuti oleh outcomes of care), keuangan (finance), humanitas
pasien yang merasa puas terhadap pelayanan (humaness), ketersediaan informasi (information
rumah sakit. gathering), pemberian informasi (information
b. Terciptanya citra positif dan nama baik rumah delivering), kenyamanan lingkungan (pleasantness
sakit karena pasien yang puas tersebut akan of surrounding), serta kualitas dan kompetensi
memberitahukan kepuasannya kepada orang petugas (quality atau competence).
lain. Hal ini secara akumulatif akan Model SERVQUAL (service quality) yang
menguntungkan rumah sakit karena dikembangkan Zeithalm dan Parasuraman 5
merupakan pemasaran rumah sakit secara banyak dipakai sebagai landasan konsep penelitian
tidak langsung. tentang kepuasan pasien di banyak tempat. Model
c. Citra positif rumah sakit akan menguntungkan ini menyebutkan bahwa pertanyaan mendasar
secara sosial dan ekonomi. Bertambahnya yang cukup sensitif untuk mengukur pengalaman
jumlah pasien yang berobat, karena ingin konsumen mendapatkan pelayanan tercakup
mendapatkan pelayanan yang memuaskan dalam lima dimensi kualitas pelayanan yaitu: 1)
seperti yang selama ini mereka dengar akan reliability (kehandalan): kemampuan untuk
menguntungkan rumah sakit secara sosial dan menampilkan pelayanan yang dijanjikan dengan
ekonomi (meningkatnya pendapatan rumah segera dan akurat, 2) responsiveness
sakit). Dalam studinya di 51 rumah sakit di (ketanggapan atau kepedulian): kemampuan untuk
Amerika Serikat terhadap sekitar 15.000 membantu konsumen dan meningkatkan
pasien, Nelson, et al. (dalam Krowinski) 2 kecepatan pelayanan, 3) assurance (jaminan
menemukan bahwa ada pengaruh yang
kepastian): kompetensi yang dimiliki sehingga
signifikan antara penampilan rumah sakit
memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, risiko
dengan penampilan finansial rumah sakit
atau keraguan dan kepastian yang mencakup
dalam analisis multivariatnya yang terbukti
pengetahuan, perilaku dan sifat yang dapat
kepuasan pasien berpengaruh secara positif
dipercaya, 4) empathy (perhatian): sifat dan
pada penerimaan rumah sakit, pendapatan
kemampuan untuk memberikan perhatian penuh
bersih dan tingkat pengembalian aset rumah
sakit. kepada pasien, kemudahan melakukan kontak dan
d. Berbagai pihak yang berkepentingan (stake- komunikasi yang baik, 5) tangibles (wujud nyata):
holders) rumah sakit, seperti, perusahaan penampilan fisik dari fasilitas, peralatan, sarana
asuransi, akan lebih menaruh kepercayaan informasi atau komunikasi dan petugas atau
pada rumah sakit yang mempunyai citra positif. pegawai.5
e. Di dalam rumah sakit yang berusaha Ada dua dimensi kepuasan pasien: 1)
mewujudkan kepuasan pasien akan lebih kepuasan yang mengacu hanya pada penerapan
diwarnai dengan situasi pelayanan yang standar dan kode etik profesi: hubungan dokter-
menjunjung hak-hak pasien. Rumah sakitpun pasien, kenyamanan pelayanan, kebebasan
akan berusaha sedemikian rupa sehingga menentukan pilihan, pengetahuan dan kompetensi
malpraktik tidak terjadi. tekhis, efektivitas pelayanan dan keamanan
tindakan, 2) kepuasan yang mengacu pada
DIMENSI DAN VARIABEL PENENTU KEPUASAN penerapan semua persyaratan pelayanan
PASIEN kesehatan: ketersediaan, kewajaran,
Merkouris, et al., 4 menyebutkan bahwa kesinambungan, penerimaan, ketersediaan,
mengukur kepuasan pasien dapat digunakan keterjangkauan, efisiensi, dan mutu pelayanan
sebagai alat untuk: 1) evaluasi kualitas pelayanan kesehatan.2
190
Kepuasan Pasien Rumah Sakit
191
Kepuasan Pasien Rumah Sakit
kemungkinan adanya penyulit tindakan medis, penguasaan iptek keperawatan sesuai dengan
alternatif tindakan lain, prognosis penyakit, serta standar dan metode yang berlaku serta faktor
perkiraan besarnya biaya pengobatan. Selain itu, kepribadian perawat yang harus bersikap dan
pasien juga berhak didampingi oleh keluarga dalam berperilaku sebagai “major caring profesion” dalam
keadaan kritis, mengakhiri pengobatan dan interaksinya dengan pasien, keluarga pasien
perawatan atas tanggung jawab sendiri, serta maupun profesi lain. 2) Efektivitas dan efisiensi
berhak menjalankan agama dan kepercayaannya pemakaian peralatan dan fasilitas keperawatan
selama dirawat di rumah sakit tanpa mengganggu (keamanan, kenyamanan pasien serta terjangkau
pihak lain.9 sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan).
Selain hak, pasien juga mempunyai kewajiban 3) Kepuasan pasien karena terpenuhinya
dan kewajiban ini tentu saja menjadi hak rumah harapan dan kebutuhan pelayananan keperawatan. 8
sakit. Adapun kewajiban pasien, yaitu: pasien dan Sikap dan perilaku dokter, perawat dan
keluarganya harus mentaati peraturan dan tata
petugas lain di rumah sakit tinggi peringkatnya di
tertib rumah sakit, pasien wajib menceritakan
dalam kepuasan pasien. Walau hasil akhir (out-
sejujur-jujurnya tentang segala sesuatu tentang
come) pelayanan kurang sesuai dengan harapan
penyakitnya, pasien wajib mematuhi semua
pasien, pasien masih dapat memahaminya dan
instruksi dokter dalam rangka pengobatan
penyakitnya, pasien (dan atau si penanggungnya) tetap dapat merasakan kepuasannya, karena
wajib melunasi biaya atas semua pelayanan yang dilayani dengan sikap dan perilaku yang
telah diberikan oleh rumah sakit, pasien dan menghargai perasaan dan martabatnya.9
penanggungnya wajib memenuhi semua perjanjian
yang telah ditandatanganinya.9 FAKTOR LAIN DI RUMAH SAKIT YANG
Pelayanan perawat merupakan pelayanan BERPENGARUH PADA KEPUASAN PASIEN
terbanyak yang diperoleh pasien rumah sakit, Selain faktor dokter dan pasien, masih banyak
khususnya pada pelayanan rawat inap. Perawat komponen lain yang mempengaruhi kepuasan
merupakan tenaga di rumah sakit terbanyak pasien. Komponen tersebut, yaitu: pelayanan
(sekitar 40%) dan paling banyak berinteraksi administrasi masuk dan administrasi selama pasien
dengan pasien. Untuk memenuhi kepuasan pasien, dirawat, keuangan, pelayanan makan (bagi pasien
maka apa saja yang menjadi kewajiban dan rawat inap), pelayanan laboratorium dan penunjang
tanggung jawab perawat merupakan hal yang diagnostik lain, obat-obatan, kondisi ruang
harus dikaji.9 perawatan, serta kebersihan-kenyamanan-
Keperawatan menurut hasil Lokakarya keamanan lingkungan rumah sakit.1
Nasional Keperawatan tahun 1983 adalah suatu
bentuk pelayanan keperawatan profesional yang BEBERAPA HASIL PENELITIAN TENTANG
merupakan bagian integral dari pelayanan KEPUASAN PASIEN DI RUMAH SAKIT
kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan Sudah banyak dilakukan penelitian tentang
berbentuk pelayanan bio psiko sosio spiritual yang kepuasan pasien di rumah sakit, baik untuk
komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga kepentingan memperoleh gelar (sarjana, master
dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang atau doktor) atau penelitian untuk suatu
mencakup seluruh proses kehidupan manusia. kepentingan tertentu. Temuan dari penelitian-
Menurut Konsorsium Ilmu Kesehatan, asuhan penelitian tersebut sangat bermanfaat bagi pihak
keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian manajemen rumah sakit untuk melakukan
kegiatan pada praktek keperawatan yang diberikan
perubahan dan pembenahan pelayanan dalam
kepada klien pada berbagai tatanan pelayanan
rangka mewujudkan mutu pelayanan serta
kesehatan dengan menggunakan proses
kepuasan pasien. Hanya patut disayangkan karena
keperawatan dalam lingkup wewenang serta
penelitian-penelitian tersebut banyak yang hanya
tanggungjawab keperawatan. Di Indonesia, standar
asuhan keperawatan ditetapkan dengan menjadi “penghuni perpustakaan”, menjadi
Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) RI monumen ilmiah yang tidak banyak dibaca dan
No.660/Menkes/SK/IX/1987 dan dilengkapi dengan dimanfaatkan oleh pihak lain yang berkepentingan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Medik Sepengetahuan penulis, sebagian besar
(Dirjen Yanmed) Departemen Kesehatan (Depkes) penelitian tersebut membahas tentang faktor-faktor
RI No.105/Yan Med/RS.Umdik/Raw/I/88 tentang atau variabel-variabel yang mempengaruhi
Penerapan Standar Praktik Keperawatan Bagi kepuasan pasien di rumah sakit. Penelitian tersebut
Perawat Kesehatan di Rumah Sakit. membahas kepuasan pasien terhadap keseluruhan
Mutu pelayanan keperawatan sangat pelayanan atau pelayanan tenaga kesehatan
dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu: tertentu (dokter, perawat), atau membahas
1) profesionalisme keperawatan: keterampilan dan berdasarkan kelas perawatan, pelayanan rawat
192
Kepuasan Pasien Rumah Sakit
inap atau rawat jalan. Penelitian yang ada lebih Dalam pelayanan rawat inap, keberadaan
banyak meneliti pasien rawat inap daripada pasien dokter dan perawat sangat dominan. Penelitian
rawat jalan. yang dilakukan oleh JB. Anggono18 menyebutkan
Sebagian besar penelitian tersebut merupakan bahwa kepuasan pasien terhadap pelayanan
studi kuantitatif yang dilakukan pengukuran perawat dipengaruhi oleh keterampilan dan
terhadap serangkaian faktor atau variabel yang perilaku perawat, serta fasilitas yang tersedia di
menurut teori berpengaruh terhadap kepuasan RS.St.Elizabeth Semarang. Untuk pelayanan
pasien. Sebagian besar penelitian yang ada dokter di rumah sakit, S. Mansoer19 menemukan
mengambil datanya secara cross sectional dengan bahwa kunjungan (visite) dokter, cara pemeriksaan
metode survey dan mempergunakan kuesioner pasien, tingkat responsif, informalitas, serta
terstruktur. Data yang diperoleh diolah dengan senioritas dokter mempunyai pengaruh terhadap
variasi uji statistik baik bivariat (korelasi Spearman kepuasan pasien rawat inap di RS Pelni Jakarta.
atau korelasi Pearson atau uji chi square) maupun Penelitian tentang pengukuran indeks
multivariat. kepuasan pasien rawat inap dilakukan oleh
Ada beberapa kesulitan untuk melakukan Anggraini, DD. 20 di RS Islam Jakarta Timur.
pengukuran kepuasan pasien, yaitu: 1) pasien tidak Anggraini, DD.20 menemukan bahwa lima dimensi
mempunyai pengetahuan tentang standar kualitas kualitas pelayanan (SERVQUAL), yaitu, kualitas
pelayanan, 2) pasien berada dalam keadaan tidak pelayanan, kehandalan, ketanggapan, jaminan
bisa mengekspresikan pendapatnya secara kepastian dan perhatian, masing-masing bermakna
obyektif, 3) para tenaga profesional dan pasien terhadap kepuasan pasien. Dengan menggunakan
mempunyaimtujuan yang berbeda, 4) kualitas Angka Indeks Laspeyres, yang merupakan
tergantung kultur dan kebudayaan, 5) variasi komulatif nilai kepuasan pasien terhadap dimensi
karakteristik pasien seperti: umur, latar belakang kualitas pelayanan ditemukan bahwa indeks
pendidikan, kelas sosial dan status pendidikan.4 tertinggi pada minggu ketiga dan minggu
BA. Molachele13, dalam penelitiannya di RSU keempat.20
Fatmawati, Jakarta menemukan bahwa terhadap Penelitian kepuasan pasien yang agak
keseluruhan pelayanan rawat inap di rumah sakit, berbeda dilakukan oleh Chriswardani21 dalam
ada hubungan yang cukup berarti antara kepuasan penelitian pengembangan indikator kepuasan
pasien dengan pelayanan dokter, pelayanan pasien rawat inap di tiga rumah sakit di Jawa
perawat, fasilitas medis, lingkungan rumah sakit Tengah dengan analisis faktor dengan metode
dan makanan yang disediakan untuk pasien. konfirmatif menemukan ada 18 indikator kepuasan
Supraptono14 menemukan adanya hubungan pasien rawat inap dalam tiga dimensi. Ketiga
yang sangat bermakna antara pelayanan dokter, dimensi berikut variabel yang berpengaruh
perawat, dan pelayanan administrasi terhadap terhadap kepuasan pasien, yaitu: 1) pelayanan
kepuasan pasien rawat nginap di RSU.dr. Murjani, petugas: ketelitian dokter dalam memeriksa pasien,
Sampit. keteraturan pelayanan perawat dalam memeriksa
Sandan, H.K. 15 , menyebutkan bahwa pasien, kesungguhan perawat melayani
lingkungan fisik rumah sakit, fasilitas rumah sakit kebutuhan dan permintaan pasien, serta sikap dan
dan perilaku petugas (pemberi) pelayanan perilaku petugas dalam menghidangkan
berpengaruh terhadap kepuasan pasien rawat makanan. 2) Kenyamanan rawat inap: kebersihan
nginap di RSU dr. Doris Sylvanus Palangkaraya. dan karapihan gedung-koridor dan bangsal rumah
Wahyutomo 16 menyebutkan bahwa faktor sakit, kebersihan dan kerapihan ruang perawatan,
penerangan lampu gedung-bangsal dan koridor
lingkungan fasilitas berpengaruh terhadap
di waktu malam, keamanan pasien dan
kepuasan pasien kelas VIP, sedangkan pada
pengunjung rumah sakit, kelengkapan fasilitas
pasien kelas I yang berpengaruh, adalah: obat,
atau perabot ruang perawatan, kebersihan kamar
makanan dan dokter. Pada kelas II dan III ternyata
mandi pasien, variasi menu pasien, dan kebersihan
semua faktor yang diteliti, yaitu: obat, makanan,
peralatan makan pasien. 3) Kemudahan dan
perawat, lingkungan, serta dokter berpengaruh
kelancaran administrasi: ketersediaan dan
terhadap kepuasan pasien di RS St.Elizabeth kelengkapan obat-obatan di apotek rumah sakit,
Semarang. lama waktu pelayanan apotek rumah sakit, lama
Zulkarnain 17 menemukan tidak adanya waktu mendapatkan kepastian dari hasil
hubungan antara karakteristik pasien dengan pemeriksaan penunjang medis, kelancaran dan
tingkat kepuasan pasien di bangsal penyakit dalam kemudahan pelayanan administrasi masuk dan
RSUP.dr.Sardjito Yogyakarta. menjelang pulang.
193
Kepuasan Pasien Rumah Sakit
194
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten
ABSTRACT
Background: The role about non permanent doctor (PTT) in Indonesia has changed in several
times. The latest role is stipulated by Kepmenkes 1540/Menkes/SK/XII/2002. The content of
that role mention that fresh graduate doctor are not only to be a non permanent doctor but also
to be a resident or practice with temporary license. The tendency of this role is the unenthusiastic
to be a non permanent doctor. The aim of this study is to know how the internship will response
this role in their carrier as a doctor.
Objective: This research was purposed to know how far knowledge, attitude and perception
respondent about the role of non permanent doctor..
Method: The method of this research was cross sectional survey method, which done by
collecting data from questionnaire (self-administered questionnaire). The respondent of this
research were internship students who will finish their study for 6 month later from 3 school of
medicine in West Java Province.
Result: The result of this research showed that 19% of respondent has not yet known about
the non-permanent doctor program (PTT), otherwise 52% has not yet known about other program
(cara lain). The most of information about PTT hasn’t been got from the legal institution (Faculty,
Ministry of Health and Indonesian Medical Council) but from the senior students. From all of
the respondent, only 65 % who will commit to joint with PTT, 49 % of that will choose in West
Java Province. The perception of respondent about PTT is variety. The majority said that PTT
is the program for distribute the doctor (71,1%), but 23,4 % respondent said that PTT is
compulsory. Most of respondent (75,6%) say that PTT must be continued with any correction,
and 25,8 % say that PTT must be eliminated.
Conclusion: Generally, respondent showed lack of information the role of non permanent
doctor. The reason is the source of information is not from the legal institution. More than a
quarter of respondent mentioned that they would not enroll to non permanent doctor program
and ready to accept the consequences. Because PTT program didn’t have reward and
punishment system, and carrier model, non permanent doctor isn’t the first choice of respondent
for their carrier. Respondent has still appraise that PTT give them opportunity although it doesn’t
give the good carrier after finish that program. Most respondent say that the role of PTT program
has to improve.
195
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten
2010 diperlukan jumlah dokter yang cukup banyak vey). Survey dilakukan dengan menggunakan
dengan ratio 40 orang dokter per 100.000 kuesioner yang diisi sendiri oleh responden (self-
penduduk, namun daya serap tenaga kesehatan administered questionnaire). Subyek penelitian
oleh jaringan pelayanan kesehatan masih terbatas. adalah mahasiswa tingkat profesi (koasisten) yang
Penyebaran SDM kesehatan belum akan menyelesaikan pendidikan profesi dalam
menggembirakan, sekalipun sejak tahun 1992 telah enam bulan ke depan dan berasal dari tiga Fakultas
diterapkan kebijakan penempatan tenaga dokter Kedokteran di Jawa Barat yaitu Universitas
dan bidan dengan sistem Pegawai Tidak Tetap Padjadjaran (Unpad), Universitas Kristen
(PTT). 1,2,3 Maranatha (UKM), dan Universitas Jenderal
Aturan pendayagunaan tenaga dokter dimulai Ahmad Yani (Unjani). Jumlah subyek dalam
sejak diberlakukannya Undang-Undang (UU) penelitian sebanyak 291 responden. Analisis data
Nomor 8 Tahun 1961 tentang Wajib Kerja Sarjana dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan
(WKS), yang menyebutkan pemerintah mempunyai program SPSS versi 11.0.
kewenangan untuk menempatkan tenaga dokter
dan sebagai imbalannya akan memperoleh reward HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).4 Tetapi aturan 1. Sebaran Responden
ini telah mengalami banyak perubahan sejak Jumlah responden dalam penelitian ini
diberlakukannya Keputusan Presiden Nomor 37 sebanyak 291 responden yang terdiri atas 134
Tahun 1991 tentang Pengangkatan Dokter menjadi orang (46 %) koasisten FK UNPAD, 85 orang (29%)
Pegawai Tidak Tetap (PTT) Selama Masa Bakti. dari FK UKM, dan 72 orang (25%) FK Unjani. Dari
Dengan aturan ini, maka sekalipun telah jumlah total responden tersebut, sebagian besar
menyelesaikan masa wajib kerja sarjana (atau yang (66%) berjenis kelamin wanita dan sisanya (34%)
saat ini dikenal dengan masa bakti sebagai PTT, berjenis kelamin laki-laki.
dokter tersebut tidaklah secara otomatis diangkat
sebagai pegawai negeri.5,6,7 2. Pengetahuan Responden terhadap
Perkembangan terkini aturan pendayagunaan Kebijakan Dokter PTT
tenaga dokter diatur melalui Keputusan Menteri Pengetahuan responden terhadap kebijakan
Kesehatan (Kepmenkes) 1540/Menkes/SK/XII/ dokter PTT yang didapatkan dari hasil penelitian
2002 yang menyatakan bahwa tata cara ini menunjukkan bahwa masih ada responden
penempatan tenaga medis dibagi menjadi dua yaitu (19%) yang belum mengetahui adanya kebijakan
melalui masa bakti dan cara lain. Keputusan PTT. Hasil yang sama tampak pula dari hasil
Menteri Kesehatan (Kepmenkes) ini juga mengatur analisis kuesioner mengenai pengetahuan tentang
mengenai penundaan masa bakti, yaitu seorang kebijakan cara lain, yaitu sekitar (52%) responden
dokter bisa langsung melanjutkan pendidikan tidak mengetahui adanya kebijakan tersebut. Hal
spesialis maupun berpraktik dengan Surat Ijin ini menunjukkan bahwa informasi kebijakan PTT
Praktik Sementara (SIPS). 8 Dengan adanya aturan belum tersampaikan secara merata.
penundaan masa bakti, saat ini terdapat
kecenderungan lulusan dokter baru enggan untuk
Apakah saudara mengetahui adanya kebijakan PTT?
menjalani program PTT. Untuk melihat sejauh
mana minat calon dokter (koasisten) terhadap pro- (n=291)
gram PTT perlu dilakukan sebuah studi untuk
Tidak
mengetahui tingkat pengetahuan, sikap maupun 54 / 19%
persepsi dokter yang akan menjalani kebijakan ini.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan
telaah kritis tentang pengetahuan, sikap dan
persepsi para koasisten sebagai calon dokter yang
akan menjalani kebijakan dokter PTT dan Ya
dimaksudkan dapat menjadi masukan bagi institusi 237 / 81%
terkait dalam menerapkan aturan program PTT.
196
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten
9 / 3%
tidak
Ya Tidak
berminat
132 / 45% 150 / 52%
20%
berminat
65%
Sumber informasi mengenai kebijakan PTT Alasan yang dikemukakan oleh responden
akan sangat mempengaruhi pengetahuan yang berminat menjalani PTT, sebagian besar ingin
responden. Sumber informasi yang didapat harus mendapatkan SIP dan bisa melanjutkan spesialis
berasal dari sumber yang terpercaya untuk dengan biaya SPP yang lebih murah. Hal ini
mendapatkan informasi yang akurat. Hasil mencerminkan bahwa kebijakan dokter PTT belum
penelitian ini menunjukkan bahwa sumber disikapi dalam konteks pengabdian dan
informasi yang didapat responden tentang PTT pemerataan tenaga medis. (Gambar 5)
ternyata sebagian besar (69,42 %) didapatkan dari
kakak kelas. Hal ini jelas sangat mempengaruhi 100%
80%
Gambar 5. Alasan Responden Akan Mengikuti
60% Kebijakan Dokter PTT
40% 85.2
197
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten
Dalam penelitian ini dilihat pula dilakukan dengan sistem kontrak kerja, serta
kecenderungan pemilihan tempat tugas PTT. penempatan sebagai pegawai negeri sipil sesuai
Tempat tugas ini secara umum dibagi menjadi 3 dengan kebutuhan. Penempatan tenaga kesehatan
kriteria yaitu biasa, terpencil dan sangat terpencil. dengan sistem kontrak kerja diselenggarakan atas
Gambar 7 menunjukkan bahwa (82%) responden dasar kesepakatan secara sukarela antara kedua
menginginkan tugas PTT-nya dilaksanakan di belah pihak.1, 9
daerah dengan kriteria biasa yang dari jumlah
tersebut (78,7%) responden memilih untuk bekerja
di rumah sakit dan puskesmas DTP. Hasil penelitian
ini juga menunjukkan sebagian besar responden Yakin
Tidak
yang menyatakan akan mengikuti program PTT 45%
tahu
menginginkan untuk ditempatkan di Pulau Jawa
48%
(66,3%) dan (49,1%) dari jumlah tersebut memilih
ditempatkan di Provinsi Jawa Barat.
Hasil di atas dapat dilihat bahwa pada masa
mendatang penyebaran dokter PTT cenderung Tidak
yakin
akan tidak merata. Responden lebih berminat
7%
memilih ditempatkan di Pulau Jawa, dengan kriteria
biasa dan bertugas di rumah sakit. Akibatnya
Gambar 8. Persepsi Responden
daerah yang terpencil dan sangat terpencil akan tentang Pengembangan Karir Pasca PTT
kesulitan mendapatkan dokter.
Pengembangan karir pasca-PTT akan
Kriteria tempat tugas PTT yang diinginkan mempengaruhi persepsi responden terhadap
kebijakan dokter PTT. Hasil penelitian ini
sangat terpencil menunjukkan sekitar (48%) responden
terpencil
2% menyatakan tidak tahu bahwa PTT akan
16%
mempengaruhi pengembangan karir pasca-PTT.
(Gambar 8).
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
dalam SKN bahwa selama ini sistem penghargaan
dan sanksi, peningkatan karier, pendidikan serta
pelatihan berjenjang dan berkelanjutan, akreditasi
biasa
pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi, registrasi
82%
dan lisensi SDM belum mantap.1 Dengan status
sebagai tenaga kontrak, dokter PTT mempunyai
kewajiban yang sama dengan dokter PNS dalam
Gambar 7. Kriteria Tempat Tugas PTT
yang Diminati Responden hal pelayanan publik. Agar kualitas pelayanan
terhadap publik tetap terjaga, maka beberapa
aspek dalam hal peningkatan kemampuan, dan
4. Persepsi Responden terhadap Kebijakan pengembangan karir harus tetap diperhatikan.10
Pendayagunaan Dokter Persepsi responden terhadap keberlanjutan
Penelitian ini juga melihat persepsi responden program PTT menunjukkan bahwa walaupun
terhadap kebijakan PTT. Hasilnya menunjukkan responden belum menjalankan program PTT,
bahwa (71,1%) responden mempersepsikan PTT hanya (1%) yang menyatakan PTT dilanjutkan
diadakan sebagai upaya pemerintah untuk seperti saat ini. Sebagian besar responden (74,6%)
pemerataan tenaga kesehatan. Namun demikian, memberikan saran agar PTT dilanjutkan dengan
(23%) responden memberikan penilaian bahwa berbagai perbaikan (gaji, fasilitas, dan
PTT merupakan pemaksaan, karena PTT pengembangan karir), dan hanya (25%) yang
dilakukan tanpa adanya kontrak kerja yang memberikan saran PTT dihapuskan (Gambar 13).
disepakati kedua belah pihak. Hal ini tidak sejalan Hal ini menunjukkan bahwa PTT dipersepsikan
dengan aturan pemerintah dalam penempatan oleh responden masih memberikan peluang
tenaga kesehatan yang tercantum dalam SKN, kesempatan kerja setelah lulus, walaupun tidak
yang menyebutkan penempatan tenaga kesehatan memberikan peluang pengembangan karir yang
di sarana pelayanan kesehatan milik pemerintah jelas. (Gambar 9).
198
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten
100%
tidak memberikan peluang pengembangan karir
80%
setelah menyelesaikan program tersebut.
60%
199
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
ABSTRACT
Background: Service agency of Sintesa Community Health Care Insurance Kendari was
founded as community health insurance agency at Kendari City. At the begining the agency
attracts people to become participants of health care insurance but due to some reasons the
number of participants decline.
Objective: The study was aims to identify factors leading to opting out and continuation as
member of community health care insurance agency.
Methods: The study was a qualitative and quantitative type. The qualitative method was applied
to 3 groups (22 people) of focus group discussion, two groups of which consisted of those who
opted out from their participation and one group consisted of those who continued their
participation in the insurance, followed by indepth interview with 4 respondents who opted out
and 2 respondents who were active participants the topics for study are premium issues,
perception of being ill, health care packages, health services at health centers and the
professionalism of service agency. The discussion and interview were recorded, transcripts
were compiled and open coding was conducted.
Results: Most respondents, both who resigned and were active participants, worried about the
cost of being ill. Most participants who resigned said that premi was too high and that they were
dissatisfied with health care packages. Most participants, either those who opted out or those
who were still active said that health service at health centers was unsatisfactory and the
professionalism of service agency was low. Active participants had more knowledge about
community health care insurance than those who resigned. Factors leading to decision of
opting out from participation were the absence of premi collector, temporary cancellation of
premi collection, unawareness of the functioning of community health care insurance, and
distrust toward service agency. Factors leading to active participation were benefits of having
the insurance when participants were ill, satisfaction with health care packages and the fact
that participants had no other health insurance.
Conclusion: High premi, unsatisfactory health service at health centers and health care
packages, as well as low professionalism of service agency were factors leading to decision of
opting out from the insurance. Consequently there was declining number of community health
care insurance participants at Sintesa service agency.
201
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Bapel dan peserta JPKM.7 Faktor penting lain
Masyarakat (JPKM) Bapel Sintesa merupakan dalam penyelenggaraan JPKM adalah premi.
salah satu program yang dijalankan oleh Lembaga Penetapan premi yang terlalu tinggi akan
Swadaya Masyarakat (LSM) Sintesa Kendari mendorong penolakan masyarakat dan
dengan wilayah pelayanan di seluruh Kota Kendari. meningkatkan resistensi masyarakat terhadap
Premi yang tetapkan kepada peserta sebesar program JPKM.8 Paket pemeliharaan kesehatan
Rp7.500,00 per orang per bulan dengan sistem pada penyelenggaraan JPKM dalam
pembayaran secara bulanan, triwulan, dan pelaksanaannya juga memiliki berbagai kelemahan
tahunan. Pelayanan kesehatan yang diberikan oleh yang dalam hal ini berkaitan dengan kepuasan
Bapel Sintesa kepada peserta adalah pelayanan peserta (client satisfaction) dan merupakan salah
rawat jalan tingkat pertama di Puskesmas serta satu hambatan dalam perkembangan program
pelayanan kesehatan rujukan dan rawat inap di JPKM.9 Kelemahan tersebut akhir-akhir ini sudah
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Propinsi dikoreksi oleh Bapel khususnya di tingkat provinsi
Sulawesi Tenggara. Sistem pembayaran kepada seperti di Jamkesos DIY. Tujuan penelitian ini
Puskesmas menggunakan sistem kapitasi dengan adalah mengeksplorasi dan membandingkan
besar kapitasi Rp2.550,00 sedangkan sistem antara peserta yang telah berhenti dan peserta
pembayaran ke Rumah Sakit (RS) dengan sistem yang masih aktif dalam hal pengambilan keputusan
klaim. Pada awal beroperasinya Bapel Sintesa untuk berhenti atau melanjutkan kepesertaan pada
telah mampu menarik minat masyarakat untuk Bapel JPKM Sintesa Kendari.
menjadi peserta terlihat dari jumlah peserta yang
terus meningkat pada bulan-bulan awal BAHAN DAN CARA PENELITIAN
beroperasinya. Pada bulan Oktober 2003 peserta Jenis penelitian adalah kualitatif dan kuantitatif.
JPKM Sintesa tidak lagi bertambah bahkan terus Metode kualitatif yang digunakan untuk
mengalami penurunan. Berbagai permasalahan memperoleh informasi tentang penyebab berhenti
yang dihadapi Bapel, antara lain sumber daya dan tetap aktifnya peserta JPKM Bapel Sintesa
manusia yang terbatas, sistem pemasaran, premi adalah dengan Diskusi Kelompok Terarah (DKT)
dan pelayanan kesehatan di PPK mengakibatkan dan wawancara mendalam. Metode kuantitatif
jumlah peserta terus menurun. digunakan untuk mengukur variabel pengetahuan
Dalam pelaksanaannya JPKM memerlukan dan penghasilan. Sampel penelitian diambil secara
keterlibatan peran para pelakunya, yaitu Bapel, purposive sampling dengan subyek penelitian
peserta, pemberi pelayanan kesehatan (PPK) dan adalah peserta JPKM Bapel Sintesa yang telah
badan pembina (Bapim).3 Berbagai hambatan berhenti antara bulan Juli 2003 sampai dengan
ditemui dalan pelaksanaan JPKM. Cakupan yang bulan Juni 2004. Sebanyak 6-10 orang
hanya sedikit dan sifat keanggotaan yang sukarela pekerjaannya swasta dan tukang ojek dengan
mengakibatkan hukum bilangan banyak (the law pendidikan maksimal SLTA dan peserta yang masih
of the large number) tidak berfungsi.4 Lambannya aktif sebagai peserta JPKM Bapel Sintesa minimal
perkembangan JPKM antara lain juga karena PPK pada bulan Juli 2004 sebanyak 6-10 orang dengan
kurang profesional dalam memberikan pelayanan pendidikan maksimal SLTA melalui DKT dan
kesehatan selain dari pemahaman JPKM yang masing-masing 4 orang peserta berhenti dan
kurang.5 Kelambatan perkembangan JPKM dapat peserta aktif melalui wawancara mendalam.
dilihat dari aspek masyarakat, seperti: tingkat Diskusi kelompok terarah (DKT) dilakukan tiga kali,
pengetahuan kesehatan masyarakat yang jauh dari yaitu dua kali pada kelompok berhenti dan satu
cukup, kesehatan masih bukan merupakan kali pada kelompok aktif.
prioritas utama masyarakat, dan keterbatasan Diskusi kelompok terarah (DKT) dan
kondisi kemampuan ekonomi masyarakat. 6 wawancara dilakukan dengan menggunakan
Rendahnya minat masyarakat dan tidak siapnya pedoman DKT dan wawancara mendalam yang
aparat (Bapel) dan PPK, juga merupakan didalamnya diuraikan tujuan, perkenalan, prosedur
permasalahan yang ditemukan yang menunjukkan serta enam buah pertanyaan berkaitan dengan
ketidakberhasilan program JPKM.2 Konsep JPKM pengambilan keputusan untuk berhenti dan tetap
yang terlalu ideal, peraturan Bapel dan PPK yang aktif sebagai peserta JPKM. Tema pertanyaan
tidak kondusif, tersedianya pilihan menjual asuransi tersebut adalah: bagaimana pendapat responden
di luar JPKM, masih murahnya pelayanan tentang premi, persepsi terhadap risiko sakit, paket
kesehatan di Puskesmas dan RS, dan belum pemeliharaan kesehatan, pelayanan kesehatan di
memadainya sumber daya manusia yang PPK, profesionalisme Bapel dan secara khusus
mengelola JPKM yang manajemennya lebih apa yang menyebabkan responden berhenti
kompleks dari asuransi kesehatan tradisional maupun tetap aktif sebagai peserta JPKM.
merupakan penyebab lambatnya pertumbuhan Pedoman DKT disusun dan diuji coba terlebih
202
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
dahulu terhadap satu kelompok peserta yang telah Perkembangan yang lambat diawal
berhenti. Peneliti bertindak sebagai fasilitator berjalannya JPKM Bapel Sintesa ini berhubungan
dengan latar belakang bekerja pada bagian dengan penghasilan keluarga. Sebagian besar
perencanaan dan keuangan Dinas Kesehatan Kota peserta yang telah berhenti menjadi peserta hanya
Kendari dan sedang menempuh pendidikan S2 seorang diri atau berdua saja. Jika mengikutkan
Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi seluruh anggota keluarga menjadi peserta JPKM
Kesehatan. responden mengatakan berat, karena faktor
Hasil DKT masing-masing kelompok dan penghasilan seperti ungkapan responden sebagai
wawancara mendalam masing-masing responden berikut:
direkam, dibuat transkrip untuk kemudian dianalisis. “…….. kalau saya bu kalau anggota keluarga
Proses analisis dilakukan dengan cara open banyak bu, berat. Seperti saya kalo 6 atau 10
coding yang selanjutnya diklasifikasikan menjadi orang maunya ditetapkan saja jangan hitung per
kepala……macam saya kan 6 orang kalo
kategori-kategori. Untuk meningkatkan reliabilitas Rp5.000,00 kan Rp30.000,00 satu bulan,
dilakukan juga interpretasi oleh pembimbing pada sementara kita punya pencaharian
transkrip yang telah di open coding. Triangulasi bagaimana…….“.
sumber dilakukan dengan mewawancarai Klp Berhenti I, Responden 7
penanggung jawab program JPKM pada Bapel
Sintesa serta penelusuran data pemanfaatan Hal ini sesuai dengan pendapat Mukti6 yang
pelayanan kesehatan peserta pada Bapel dan PPK. mengatakan bahwa keterbatasan kondisi
Kategori-kategori ini kemudian dikelompokkan kemampuan ekonomi masyarakat juga merupakan
dalam variabel penelitian dan selanjutnya dilakukan permasalahan kelambatan perkembangan JPKM
analisis secara deskriptif kualitatif. di Indonesia.
Penelitian Iriani14 juga menyimpulkan, ada
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN tujuh faktor yang berhubungan dengan kemauan
Responden yang hadir pada DKT peserta yang membayar iuran dana sehat secara teratur yang
telah berhenti masing-masing 8 orang dan pada pendapatan atau pengeluaran keluarga merupakan
DKT peserta aktif yang hadir 6 orang. Wawancara salah satu faktor selain faktor pendidikan,
mendalam dilakukan sebanyak empat kali pada pengetahuan, persepsi, kebiasaan berobat,
peserta yang telah berhenti dan dua kali pada tanggungan keluarga, kelengkapan sarana
peserta aktif. pelayanan kesehatan, kemudahan mengumpulkan
iuran, dan jarak tempuh, serta perilaku petugas.
1. Pengetahuan
Analisis kuantitatif yang dilakukan untuk 3. Persepsi terhadap Risiko Sakit
mengukur pengetahuan responden menunjukkan Persepsi terhadap risiko sakit baik peserta
pengetahuan tentang JPKM pada peserta aktif berhenti maupun peserta aktif hampir sama.
semua termasuk kategori baik sedangkan pada Sebagian besar responden mengatakan khawatir
peserta yang telah berhenti yang termasuk kategori dengan biaya jika jatuh sakit karena faktor ekonomi
baik hanya 45%. atau penghasilan, biaya RS yang tinggi, tidak ada
Seperti dikatakan oleh Mukti6, kelambatan simpanan, dan karena JPKM sudah tidak berlaku.
perkembangan JPKM di Indonesia dapat dilihat dari Khawatir karena faktor ekonomi atau penghasilan
aspek masyarakat, penyedia layanan kesehatan, seperti ungkapan berikut:
dan organisasi penyelenggara JPKM. Dari aspek “……ya saya rasa begitu, karena kalau kita tahu
masyarakat masih dihadapkan pada masalah bahwa biayanya sekarang cukup tinggi apalagi
mendasar seperti tingkat pengetahuan kesehatan misalnya kita melihat kondisi yang memang
belum memungkinkan, kita merasa berat dengan
masyarakat yang jauh dari cukup.
adanya biaya-biaya itu……..”.
Wawancara Peserta Aktif, Responden 1
2. Penghasilan
Rerata penghasilan peserta yang telah Biaya RS yang tinggi dan biaya obat yang
berhenti lebih tinggi dari peserta aktif. Rerata mahal juga merupakan kekhawatiran peserta bila
penghasilan peserta yang telah berhenti adalah jatuh sakit seperti ungkapan berikut:
Rp532.500,00 dengan penghasilan terendah “…….Jelas, iyo toh kuatir. Siapa tau biayanya di
Rp150.000,00 dan tertinggi Rp1.200.000,00. rumah sakit tidak disangka-sangka lebih besar
Adapun rerata penghasilan peserta aktif adalah dari yang kita duga toh …..“.
Rp406.250,00 dengan penghasilan terendah Wawancara Peserta Berhenti, Responden 3
Rp300.000,00 dan tertinggi Rp 800.000,00.
203
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
“…….kan biasa itu tiba-tiba kita butuh biaya “......dari hasil pengamatan saya juga salah satu
banyak. Uangnya wah itu, maksudnya tiba-tiba kendala waktu itu sampai JPKM ini agak berat
kita jatuh sakit, kita butuh obat, mau beli…., di berkembang karena itu tingginya premi yang
sanakan seperti kalo di rumah sakit bu langsung harus mereka bayar sehingga itu juga apa
obat, langsung bayar, langsung resep namanya....kurang banyak peserta yang
dikasih…….”. masuk.....”.
DKT Klp Aktif, Responden 1 Wawancara Pengelola Bapel
Selain itu, peserta merasa khawatir dengan Bagi peserta aktif tingkat premi dirasakan tidak
biaya bila jatuh sakit karena faktor tidak adanya memberatkan dibandingkan dengan pelayanan
simpanan atau tabungan seperi berikut: yang diterima di PPK seperti berikut ini:
“……..memang bu, kalau seandainya kita ini “.......Saya pikir kalau untuk iurannya itu cukup,
masih sehat, artinya setelah kita jatuh sakit kan eh sangat ringan karena memang sangat
sekarang kita sudah hitung-hitung karena jelas terjangkau, apalagi kalau kita melihat bahwa
manusia itu nanti akan sakit. Jadi seyogyanya kalau misalnya kita terjadi sakit itu pelayanannya
kita pada saat sehat itu kita ada simpananlah juga jauh sangat tidak sesuai dengan iuran yang
begitu…..” kita kumpul.....”.
DKT Klp Berhenti II, Responden 1 Wawancara Peserta Aktif, Responden 1
Hal ini seperti hasil penelitian Mukti10 yaitu 90% Hasil penelitian Husniah11 juga menyimpulkan
responden menjawab sumber biaya perawatan di bahwa peserta JPKM Bapel Jasma Angsana
RS adalah biaya sendiri dan diperkuat dengan Singkawang yang masih aktif menilai bahwa tingkat
jawaban responden tentang persepsi terhadap premi yang harus dibayar dapat diterima,
risiko sakit yang menunjukkan bahwa 67% sebaliknya peserta sudah berhenti merasa
menjawab khawatir dan sangat khawatir akan biaya keberatan dengan premi yang harus dibayar.
kesehatan bila jatuh sakit. Tujuan utama perhitungan premi adalah untuk
menentukan biaya yang akan dibebankan kepada
4. Premi masyarakat untuk melaksanakan program jaminan
Peserta yang telah berhenti mengatakan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat yang
bahwa premi tidak berat jika menjadi peserta bersangkutan. Untuk mencapai tujuan ini, semua
seorang diri saja atau hanya berdua tetapi bila pihak yang terlibat dalam JPKM harus mencari
memasukkan seluruh anggota keluarga premi keseimbangan yang sesuai dalam menentukan
sebesar Rp7.500,00 per orang per bulan dirasakan tingkat premi yang akan dibebankan kepada
berat seperti ungkapan responden berikut: masyarakat. Keseimbangan yang sesuai dapat
“……Kalau saya merasa berat itu kalau bayar per diperoleh dengan mempertimbangkan tiga elemen
kepala. Saya rasa Bapel JPKM buat suatu komite dasar (asas) dalam menentukan tingkat premi,
artinya komite itu simpulkanlah itu misalnya satu yaitu kecukupan (adequacy), kewajaran (com-
keluarga lima kepala, jelas kami merasa berat per
bulannya….. Artinya harus disetujui oleh pihak
petitiveness atau reasonableness), dan keadilan
direktur Sintesa misalnya satu keluarga itu (equity). Ketiga elemen dasar ini akan menjaga
Rp10.000,00 biar 10 orang anaknya tapi pelaksanaan program JPKM dalam melayani
disepakati begitu karena kami juga merasa berat masyarakat secara adil (fair) dan terhindar dari
misalnya dibayar per kepala……”.
DKT Klp Berhenti II, Responden 3
kesulitan keuangan akibat tingkat premi yang terlalu
rendah atau kesulitan pemasyarakatan akibat
Premi yang terlalu tinggi dengan hitungan per tingkat premi yang terlalu tinggi. Keberhasilan
kepala menurut responden berhenti menyebabkan program JPKM sangat ditentukan oleh tingkat
banyak masyarakat mengundurkan diri seperti partisipasi masyarakat dalam program. Premi yang
ungkapan berikut: terlalu tinggi akan mendorong penolakan
masyarakat dan meningkatkan resistensi
“......Makanya itu hari banyak sebenarnya yang
mau masuk kalo begitu. Waktu rapat pertama masyarakat atas program JPKM. Keseimbangan
dorang (mereka) kira..... banyak orang bu tapi antara kualitas tingkat pelayanan dan kewajaran
karena mereka dengar begitu tidak jadi mi....”. tingkat premi merupakan hal yang harus senantiasa
DKT Klp Berhenti I, Responden 6 dijaga.8
Menurut pengelola Bapel premi yang 5. Paket Pemeliharaan Kesehatan
ditetapkan oleh Bapel terlalu tinggi, sehingga Peserta berhenti yang pernah memakai kartu
kurang banyak peserta yang masuk dan ini JPKM untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
merupakan salah satu kendala sehingga JPKM merasa cukup atau puas dengan paket
Bapel Sintesa tidak berkembang seperti dikatakan pemeliharaan kesehatan yang ada seperti berikut:
oleh pengelola Bapel sebagai berikut:
204
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
“Cukup bagus karena ini kita bisa pakai berobat 6. Pelayanan Kesehatan di PPK
begitu saja....macam-macam pelayanannya”.
Ketidakpuasan terhadap pelayanan kesehatan
di PPK baik Puskesmas maupun rumah sakit tidak
Peserta berhenti khususnya yang belum
hanya diungkapkan oleh peserta yang telah
pernah memakai kartu JPKM untuk mendapatkan
berhenti tetapi juga oleh peserta yang masih aktif.
pelayanan sebagian besar merasa tidak puas
Bagi responden yang sudah pernah menggunakan
dengan paket pemeliharaan kesehatan karena
kartu JPKM untuk mendapatkan pelayanan
adanya batasan-batasan dan RS tertentu sebagai
kesehatan tanggapan responden umumnya positif
PPK seperti ungkapan berikut:
dengan pelayanan kesehatan umum. Tetapi tidak
“........keinginan kita sebagai masyarakat kecil demikian dengan pelayanan kesehatan gigi, KB
bu,……JPKM Sitesa itu kan segala apa saja
penyakit. Harapan kita itu dibantu dengan JPKM
dan persalinan karena walaupun ketiga pelayanan
kesehatan. Ah sementara di sini seperti ada ini termasuk dalam kontrak tetapi petugas di PPK
pembedaan, batasan-batasan penyakit seperti mengharuskan peserta untuk membayar seperti
yang terjadi macam operasi tidak dibiayai, ini pas ungkapan berikut:
seperti kita masyarakat kecil dilayani
keseluruhan…..”. “......disuruh bayar dulu bu, hanya kalau umum
DKT Klp Berhenti II, Responden 1 ndak, hanya kalau gigi biasa kadang kita....ada
juga yang itu apa namanya....orangnya di situ apa
“........tapi maunya kalau dirujuk ke rumah sakit namanya....petugasnya sekke (kikir) apa
jangan rumah sakit propinsi saja, maunya bisa namanya begitu......”.
semua rumah sakit seperti Santa Wawancara Peserta Berhenti, Responden 4
Anna........karena biasa kita berkunjung ke
keluarga kita trus kita sakit misalnya di “......waktu melahirkan di Abunawas di suruh
Wawotobi, tidak mungkin misalnya kita sakit di bayar. Saya kasihkan kartu begini toh ndak
luar kota kita kembali dulu baru berobat. Maunya berlaku di sini bu kartu begini. Ini bukan kartu
kartunya bebas.....”. gratis, kita bayar tiap bulan, pertahun juga bisa.
DKT Klp Berhenti II, Responden 2 Iya memang tapi kita tidak baku pegang dengan
JPKM. Akhirnya saya keluar dari Rumah Sakit
saya bayar dulu baru saya datang melapor di
Terhadap paket pemeliharaan kesehatan, kantornya.....”.
peserta aktif merasa cukup atau puas dan sudah DKT Klp Aktif, Responden 2
sesuai dengan premi yang dibayarkan seperti
ungkapan-ungkapan responden sebagai berikut: Perasaan tidak puas responden terhadap
“.......itu mi kita nekat ikut karena maksudnya pelayanan kesehatan di Puskesmas juga
semua penyakit begitu toh bisa kita pake berobat, diungkapkan oleh responden berhenti maupun
tinggal yang disengaja saja yang tidak bisa.....”. responden aktif yang merasa dibedakan dengan
DKT Peserta Aktif, Responden 4
pasien umum seperti ungkapan berikut:
“.......saya kira kalau menurut saya sesuai “......iya, kayaknya dibedakan begitu karena kalau
dengan apa yang ada dikontrak itu sudah cukup kita pakai kartu JPKM tidak terlalu diperhatikan
sesuai dengan dana yang kita keluarkan, karena begitu, karena memang waktu saya hamil.... lama
tidak mungkin juga kita keluarkan dana sedikit dianu dulu yang membayar dulu, yang ambil
kita menuntut yang lebih besar. Saya pikir sudah kartu dulu.....”.
pantas dengan apa yang tercantum dalam Wawancara Peserta Aktif, Responden 2
kontrak itu.......”.
Wawancara Peserta Aktif, Responden 1 “........tapi kan saya pernah dilayani
kayak....terlambat begitu dilayani. Ada yang baru
Hasil penelitian Widwiono 12 juga datang toh dia tiba-tiba duluan masuk daripada
saya………perasaan sama-sama ji ndak terlalu
menyimpulkan bahwa ada hubungan antara mendesak tapi dia diduluankan…..”.
pengetahuan paket JPKM dengan minat responden Wawancara Peserta Berhenti, Responden 3
terhadap kepesertaan JPKM.
Seperti dikatakan Azwar9 sekalipun pelayanan Faktor ketidaktahuan petugas di PPK tentang
kesehatan paripurna, berkesinambungan yang keberadaan JPKM Bapel Sintesa ini juga
dilaksanakan secara berjenjang menjanjikan merupakan salah satu penyebab ketidakpuasan
banyak manfaat, terutama dapat lebih responden atas pelayanan kesehatan yang
meningkatkan efektivitas pelayanan kesehatan. diberikan oleh PPK karena responden disuruh
Namun hal tersebut juga memiliki pelbagai
bolak-balik seperti yang diungkapkan sebagai
kelemahan. Kelemahan yang terpenting adalah
berikut:
menyangkut kepuasan peserta (client satisfaction).
Para pemakai jasa pelayanan sering merasa “….....dia kasihkan rujukan ke propinsi trus di
propinsi saya berobat ah saya di ping pong lagi.
dipersulit karena untuk memperoleh pelayanan Katanya dokter siapakah itu dokter bedah di
kesehatan yang lebih lanjut, harus memperoleh sana. Dia bilang oh ini tidak berlaku mi, jadi saya
surat rujukan dari sarana pelayanan kesehatan kembali lagi. ….coba bu melapor dibagian sana,
tingkat pertama. tata usahanya toh, saya pergi sana dia bilang
205
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
206
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
“........baru ini kan biasanya ada itu.... berhenti di kegiatan home industri.......program HIV
tengah jalan, dorang (mereka) tidak anu lagi jadi AIDS........terus yang lain ada program
kita biasa ragu-ragu kalau kita mau pergi berobat Askesos........terus banyak tetapi ya....mungkin
baru tidak pernah datang, seperti tahun ini kita sudah cukup......”.
membayar bu tidak pernah mi dia datang karena Wawancara Pengelola Bapel
dia pikir mungkin sudah dibayar........”.
DKT Klp Aktif, Responden 1
Banyaknya program yang ditangani
penanggung jawab JPKM Bapel Sintesa juga
Cara pengumpulan premi menurut peserta
menyebabkan kurangnya perhatian dalam
yang telah berhenti maupun yang masih aktif tidak
menjalankan program JPKM ini. Penanggung
sulit karena kolektor datang menagih ke rumah
jawab JPKM sudah tidak terlalu memperhatikan
peserta seperti ungkapan berikut:
berapa Puskesmas yang masih menjadi PPK
“Iya tidak sulit, ada yang datang menagih ke dalam program JPKM ini seperti ungkapan
rumah”.
penanggung jawab Bapel sebagai berikut:
Tetapi menurut responden yang terjadi justru “.........jadi kan sekarang yang sisa jalan itu,
sisa....kalau ndak salah sisa 3 atau 4 Puskesmas.
kolektor yang tidak datang menagih iuran lagi Kan dulu cuma 5 atau 6 Puskesmas. Kalau yang
seperti ungkapan-ungkapan responden sebagai lalu sudah berhenti karena pesertanya habis, itu
berikut: ada penyampaian ke Puskesmas….hanya
memang yang belakangan ini ya terus terang
“…….tidak ditagih bu, sudah 40 uang yang saya sudah tidak terlalu perhatikan........”.
masuk saya membayar….”. Wawancara Pengelola Bapel
DKT Klp Berhenti I, Responden 2
“........karena anu....dia kan tidak pernah lagi Dalam hal mendapatkan kartu pelayanan
datang menagih......”. kesehatan semua responden mengatakan mudah
Wawancara Peserta Berhenti, Responden 1 mendapatkan karena peserta mendapatkannya 1
“…..artinya sudah tidak ada yang datang hari atau 2 hari setelah didaftar menjadi peserta
menagih. Jadi kita ini bu mau bayar sama siapa. seperti ungkapan-ungkapan berikut:
Pusing mau bayar dengan siapa…..”.
“......saya rasa semua satu kali diantar itu hari
DKT Klp Berhenti II, Responden 2
bu karena saya yang mengedarkan dengan
pak....Angsuran pertama itu langsung keluar
Keterbatasan tenaga merupakan faktor kartunya....”.
terhambatnya perkembangan JPKM Sintesa ini DKT Klp Berhenti, Responden 8
selain dari faktor peserta sendiri seperti yang “......ndak, kayaknya 2 hari begitu langsung
diungkapkan pengelola Bapel sebagai berikut: dibawakan ke sini.....”.
“......karena selama ini salah satu faktor Wawancara Peserta Aktif, Responden 2
mandeknya JPKM ini karena pengumpulan premi
itu tidak bisa kita optimalkan. Jadi ada dua sisi Ada berbagai pendapat respoden tentang
yang saya lihat, pertama dari kita sendiri penampungan keluhan dan penyelesaiannya oleh
keterbatasan tenaga yang kedua dari sisi peserta
sendiri.......”. Bapel. Baik responden aktif maupun berhenti kedua
Wawancara Pengelola Bapel kelompok ini mengatakan keluhannya segera
ditanggapi dan diselesaikan tetapi ada juga yang
“........tapi disisi lain berdasarkan laporan teman-
teman bahwa mereka itu kadang sudah 2 kali, 3
tidak. Beberapa responden mengatakan keluhannya
kali datang tidak terbayar....dan bahkan ada yang segera ditanggapi karena mendapat penggantian
menyatakan setelah datang, berhenti karena biaya pelayanan yang telah mereka keluarkan lebih
tidak pernah sakit. Jadi dia minta mundur karena dahulu seperti ungkapan responden:
dia bilang saya rugi ini karena tidak pernah juga
sakit”. “.....ah ditanggapi tawa. Langsung dia urus,
Wawancara Pengelola Bapel malahan dimarahi itu bidan-bidan. Dikembalikan
itu kita punya uang........”.
DKT Klp Aktif I, Responden 1
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM) Bapel Sintesa merupakan “…..waktu saya melahirkan saya bayar
salah satu program yang dijalankan oleh LSM Rp325.000,00 trus dikasih kuitansi pembayaran
dari RS….baru saya bawa ke kantor Bapel baru
Sintesa Kendari. Penanggung jawab JPKM Bapel digantikan…..”.
Sintesa juga menangani beberapa program lain DKT Klp Aktif I, Responden 2
seperti yang dikatakan oleh penanggung jawab
JPKM Bapel Sintesa sebagai berikut: Keluhan peserta yang tidak ditanggapi oleh
“.......untuk divisi program sendiri yang di sini, Bapel juga menyebabkan responden berhenti
jadi yang pertama sarana air bersih dan sanitasi, dari kepesertaan JPKM seperti yang
terus yang kedua JPKM sendiri,........pembinaan diungkapkan responden sebagai berikut:
207
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
“........hanya itu bu kenapa saya berhenti bu, sementara kalau bilang mau tarik kembali itu
hanya itu saja kendalanya saya kenapa saya tidak ada masalah bu tapi ada penjelasan kenapa
berhenti bu karena itu dia ambil saya punya kartu tiba-tiba berhenti…….”.
saya suruh perbaiki tidak dikasih DKT Klp Berhenti II, Responden 1
kembalikan........”.
Wawancara Peserta Berhenti, Responden 4 “......bukan saya yang berhenti bu. Di sana yang
stopkan di Sintesa itu. Bagian penagihan katanya
distopkan dulu untuk sementara ndak tau apa
Walaupun beberapa responden merasa puas alasannya nanti bulan depannya baru dia datang
karena keluhannya kepada Bapel untuk mendapat kembali kasih informasi. Sampai sekarang juga
penggantian biaya terpenuhi tetapi ada juga sudah hampir satu tahun lagi……”.
responden yang tidak setuju dengan cara Wawancara Peserta Berhenti, Responden 2
membayar biaya pelayanan kesehatan lebih dulu
kemudian digantikan oleh Bapel seperti ungkapan Bahkan karena tidak transparan dalam
responden berikut: pengelolaan premi sehingga responden menyuruh
istri berhenti dari kepesertaan JPKM:
“….seperti kita tiba-tiba sakit ya bu....syukurlah
kalau ada uang. Itu susahnya kalau nanti kita mau “.......reperti kemarin bu istri saya kan sudah
bayar nah tidak ada uang.........Ini susahnya kalau bayar 5 bulan premi walaupun hanya Rp7.500,00
kita mau bayar sendiri sementara kita sudah per bulan uang itu telah disetor ke sana entah
masuk JPKM ternyata kita tidak dibantu kembali atau tidak tapi ke mana uangnya.......”.
duluan........”. DKT Klp Berhenti II, Responden 1
DKT Klp Berhenti II, Responden 1
Menurut pengelola Bapel konsep JPKM awal
Dalam hal kepercayaan terhadap Bapel dalam yang dikembangkan Bapel akan dihentikan dulu
pengelolaan premi, peserta aktif cenderung lebih dan akan diintegrasikan pada program lain seperti
percaya kepada Bapel sehingga responden tetap ungkapan berikut:
menjadi peserta JPKM selain karena responden “........saya rencana setelah peserta habis ini,
tidak mempunyai asuransi kesehatan yang lain konsep JPKM awal yang coba kita kembangkan
seperti ungkapan responden berikut: itu kita hentikan, selanjutnya nanti JPKM yang
ke depan itu kita coba semacam integrasikan ke
“……kita percaya kasian jadi kita tidak ragu-ragu dalam program........Askesos (Asuransi
turun…makanya kita masuk kita masuk JPKM ini Kesejahteraan Sosial) yang sekarang ini.
bu karena kita tidak punya asuransi kesehatan Makanya untuk sementara saya habiskan dulu
yang lain…….”. masa kepesertaannya”.
DKT Klp Aktif, Responden 4 Wawancara Pengelola Bapel
Juga responden aktif tetap percaya karena Ketidakpercayaan terhadap Bapel ini juga
kolektor yang bermasalah telah berhenti seperti karena responden menganggap Bapel mengelola
ungkapan: JPKM ini sebagai bisnis dan mencari keuntungan:
“…….Oh iyo...iyo, percaya kan dia sudah tidak “……..salah satu penyelenggara apa saja pasti
mi, keluar mi.....”. menyangkut masalah keuntungan....bagi badan
DKT Klp Aktif, Responden 5 yang menyelenggarakan itu bisnis, dia
membantu tapi........jelas dia dapat
Ketidakpercayaan terhadap pengelolaaan keuntungan.......”.
premi oleh Bapel lebih banyak diungkapkan oleh DKT Klp Berhenti II, Responden 1
peserta yang telah berhenti dan khususnya yang
belum pernah memakai kartu JPKM untuk Tidak siapnya aparat yang menangani pro-
mendapat pelayanan kesehatan seperti yang gram JPKM menurut Hendrartini2 merupakan salah
diungkapan responden berikut: satu penyebab ketidakberhasilan program JPKM
di lapangan. Pada umumnya pengelola Bapel
“……nanti pikir-pikir dulu lagi, sudah
pengalaman beginikan selama satu tahun kita
masih belum mengetahui manajemen pengelolaan
membayar Rp21.000,00 per bulan ndak tau Bapel JPKM yang baik khususnya manajemen
uangnya dikemanakan juga…….”. pemasaran, manajemen keuangan dan
Wawancara Peserta Berhenti, Responden 2 perencanaan sebagai organisasi bisnis. Sebagai
organisasi bisnis JPKM Bapel Sintesa belum dapat
Ketidakpercayaan responden juga disebabkan melakukan manajemen pemasaran, keuangan dan
karena Bapel tidak memberi tahu atau menjelaskan perencanaan dengan baik. Dalam melakukan
alasan berhenti sementara seperti ungkapan- pemasaran JPKM ini Bapel lebih banyak
ungkapan responden berikut: melakukan secara door to door, sehingga JPKM
“…….masalahnya begini, mestinya ada ini hanya bertambah anggotanya pada awal-awal
penjelasan, sekarang kan tidak ada penjelasan berdirinya. Menurut pengelola Bapel kekurangan
bu jadi kita tidak tahu persis kenapa macet
208
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
tenaga juga menjadi penyebab tidak ketentuan secara tertulis yang mencakup
berkembangnya JPKM ini yang menyebabkan pemberian informasi bagi peserta dan PPK, paket
pengumpulan premi tidak dapat dioptimalkan selain pemeliharaan kesehatan, dan tata cara
dari faktor peserta sendiri yang kurang sadar memperoleh pelayanan.
manfaat JPKM seperti diungkapkan oleh pengelola Banyaknya program yang ditangani oleh
Bapel sebagai berikut: penanggung jawab Bapel juga berpengaruh pada
“...Sebenarnya memang ada dua faktor juga perkembangan JPKM ini, karena penanggung
memang anu...., pertama strategi yang kita jawab menjadi kurang memperhatikan program
kembangkan dulu dengan door to door JPKM.
penagihan premi rupanya sangat tidak efektif
trus kedua kita mencoba apa namanya
Terhambatnya program JPKM ini seperti
keterbatasan tenaga dan ketiga memang dikatakan Hendrartini 2 adalah karena pada
ditingkat masyarakat tingkat kesadarannya umumnya Bapel belum mengetahui pengelolaan
terhadap JPKM itu masih sangat....katakanlah manajemen JPKM yang baik. Pasal 41 Permenkes
masih sangat rendah.....”.
Wawancara Pengelola Bapel Nomor 571/Menkes/Per/VII/1993 menyebutkan
penyelenggaraan program JPKM harus dilakukan
Penyuluhan dan pembinaan yang tidak secara terpisah dari kegiatan lain yang dilakukan
diberikan kepada peserta dikatakan oleh pengelola oleh Bapel dan pemisahan tersebut meliputi
Bapel JPKM Sintesa, karena faktor tenaga pemisahan organisasi, pengelolaan, tenaga,
lapangan yang kurang dan lokasi tempat tinggal sarana, dan dana. Selain faktor tenaga, faktor dana
peserta yang umumnya berjauhan sehingga sulit juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan JPKM
melakukan mobilisasi untuk bertemu. Bapel Sintesa ini. Dalam menjalankan program ini
Seperti pendapat Thabrany7 yang mengatakan pengelola hanya bergantung pada dana dari
bahwa salah satu hal penyebab lambatnya donatur yang besarnya hanya untuk biaya
pertumbuhan Bapel dan peserta JPKM antara lain operasional Bapel selama satu tahun sehingga
belum memadainya sumber daya manusia yang ketika pengumpulan premi peserta tidak dapat
mampu mengelola asuransi kesehatan apalagi dioptimalkan Bapel menjadi kesulitan dana dan
JPKM yang manajemennya lebih kompleks dari dikatakan oleh pengelola Bapel bahwa Bapel
pengelolaan asuransi kesehatan tradisional. sebelumnya tidak melakukan analisis kecukupan
Sumber daya manusia di Bapel JPKM berijin dana untuk pelaksanaan JPKM ini dan hanya
umumnya masih belum sesuai dengan kualifikasi berdasarkan ketersediaan dana operasional
yang diperlukan. Departemen Kesehatan tidak selama satu tahun seperti ungkapan berikut:
mensyaratkan kualifikasi tenaga untuk Bapel. “......ndak ada-ndak ada analisa sampai ke situ.
Berbeda dengan perundang-undangan asuransi Yang jelas waktu itu kan kita memang sanggup
biaya operasionalnya selama satu tahun.....”.
yang mensyaratkan paling sedikit separuh dari Wawancara Pengelola Bapel
pimpinan perusahaan harus memiliki gelar
profesional tertentu. Ketiadaan persyaratan spesifik Bapel Sintesa dalam mengelola JPKM ini
ini, khususnya dalam penghimpunan dana akan belum memperhatikan rencana operasional
sangat besar risikonya bagi perkembangan JPKM penyelenggaraan JPKM seperti bunyi Pasal 38
itu sendiri. Dalam kegiatan operasionalnya Bapel Permenkes Nomor 571/Menkes/Per/VII/1993 yang
baru dapat menerapkan tiga jurus, yaitu ikatan menyebutkan bahwa rencana operasional
kontrak, penyediaan pelayanan paripurna dan penyelenggaraan JPKM harus dibuat setiap tahun
manajemen keluhan peserta. Bapel dalam yang salah satunya adalah modal, cadangan, dan
kegiatannya beroperasi sebagai asuransi investasi.
pertanggungan kerugian (indemnity insurance)
yang kurang sesuai dengan konsep managed care KESIMPULAN DAN SARAN
atau JPKM.4
Kontrak yang tidak diberikan kepada peserta Kesimpulan
juga menjadi hambatan dalam pelaksanaan JPKM Premi yang terlalu tinggi, pelayanan kesehatan
ini. Sebagian besar responden mengatakan hanya di PPK dan paket pemeliharaan kesehatan yang
menerima formulir atau kuitansi sebagai ikatan belum memuaskan serta profesionalisme Bapel yang
antara peserta dengan Bapel. Dalam Pasal 50 belum baik merupakan faktor yang menyebabkan
Permenkes Nomor 571/Menkes/Per/VII/1993 peserta JPKM berhenti sehingga terjadi penurunan
disebutkan bahwa Bapel dalam menyelenggarakan jumlah peserta JPKM pada Bapel Sintesa.
program JPKM harus membuat ketentuan-
209
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
210
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja
ABSTRACT
Background: The shifting of the responsibility of the district health office from the ministry
health to local government during decetralization policy could mean a positive impact on health
status. Since they experience public financed programs and have the capacity to note the
difference between what happen in the field what stated in the official report, DPRD and
community could have an opportunity to oversee the performance of DOH. If this assumption
is true, LAKIP in decentralization era would be more commonsensical and accountable to the
program mission and reality. This study evaluates if the practice of performance accountability
reporting (LAKIP) in District Health Office has improved after the implementation of district
autonomy act. It looks at the evidence for a new vision and mission of the DOH during the
decentralization policy, organizational changes in response to them, and local stakeholder
participation in local health planning.
Method: Main source of information is 2002 and 2003 performance accountability report and
relevant government documents. During the field work in November to December 2004,
respondents from DOH, DPRD, and community organizations were interviewed.
Result: LAKIP reflects more about administrative accountability. No description on the
effectiveness of the program available in the report. Several issues related to this matter include
time uncertainty of money for program implementation program organization. Importantly, the
shift in financial responsibility of local government has no effect on the increase in local resources
available for health. The organization vision and mission lack of clarity and district specific
intention. Although it is reasonable to share the global and national scope of the Health
Department’s vision, it is important that local government express its own vision so that create
the local driving force to achieve them differently from other district or the national standard.
Local stakeholders do not seem to have a room to express their own vision. DPRD and local
NGOs have shown a degree of participation health program and planning, however they involved
in a few limited events and in an ad hoc basis. Part of this problem is due to the limited personal
background of the DPRD member in local health problems, program interventions, and the
DOH work practices.
Conclusion: LAKIP still reflects administrative procedure in one form of finance public
responsibility. Program effectiveness and efficiency remains unnoticed. While it is difficult to
judge the performance of DOH for health merely on the basis of LAKIP, it is necessary to open
public access to the LAKIP so that local stakeholders could verify the gap between the contents
and the public experience.
211
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja
212
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja
pajak yang terbatas. 2 Hal ini terjadi pula di Karena pembiayaan yang terbatas, tidak
Kabupaten Kulonprogo bahwa pembiayaan sesuai dengan besar kewenangan yang harus
kesehatan tidak seiring dengan luas kewenangan dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan, maka
yang diberikan. Pembiayaan cenderung menurun kinerja yang dihasilkan tidak optimal. Masih ada
dan proporsi belum sesuai dengan standar WHO beberapa kewenangan yang tidak muncul dan tidak
yaitu minimal 15% APBD (Tabel 4). terukur dalam pertanggungjawaban kinerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Kulonprogo (Tabel 5).
Jenis Kewenangan
Tanggung Jawab %
(Sesuai SK Bupati Kulonprogo No. 839 Tahun 2000)
Sepenuhnya Ijin praktik tenaga kesehatan 14
Ijin sarana kesehatan (67%)
Ijin distribusi pelayanan obat
Penyelenggaraan sarana kesehatan
Penyelenggaraan promosi kesehatan
Penyelenggaraan upaya kesehatan lingkungan dan pemantauan
dampak pembangunan
Pencegahan dan penanggulangan narkoba
Pengendalian pengobat tradisional
Penetapan tarif pelayanan kesehatan
Penyelenggaraan sistem kewaspadaan pangan dan gizi
Penelitian dan pengembangan
Penyelenggaraan kerjasama kesehatan
Penyehatan perilaku masyarakat
Pelayanan kesehatan masyarakat
Sebagian Pelaksanaan standar pelayanan minimal 4
Perencanaan pembangunan kesehatan (19%)
Pencegahan dan pemberantasan penyakit
Perencanaan dan pengadaan obat pelayanan kesehatan dasar
essensial
Terbatas Penetapan kebijakan bidang kesehatan 3
Pengaturan dan pengorganisasian sistem (14%)
kesehatan
Pengimplementasian sistem pembiayaan
kesehatan melalui JPKM atau sistem lain
Total 21
(100%)
213
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja
2002 2003
Capaian Kewenangan %
214
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja
Pembuatan keputusan DPRD aktif dan mendukung anggaran program kesehatan dan karena itu
relatif mulus. Tetapi biaya yang keluar tidak seperti yang diharapkan
Pelaksanaan LSM Bina Sehat Masyarakat yang terbentuk setelah otonomi daerah terlibat
dalam proses pelaksanaan kegiatan malaria dalam bentuk koordinasi
penyemprotan malaria dan kelambunisasi
LSM Bina Insan Mandiri terlibat dalam penyuluhan malaria dan program
kewaspadaan pangan dan gizi
LSM Budi Mulia aktif dalam penyuluhan PHBS dan pemberian makanan
tambahan bagi anak usia sekolah
Evaluasi Komisi E melakukan kunjungan lapangan tetapi bersifat informal dan tidak
melakukan pengamatan yang mendalam. Mereka menanggapi AKIP dalam
pertanggungjawaban Bupati. Masalah kesehatan yang menjadi perhatian
adalah program pemberantasan malaria
Dinas Kesehatan
Menyelenggarakan sebagian urusan rumah
tangga daerah dalam bidang kesehatan
Meskipun susunan organisasi kesehatan tidak menjelaskan bahwa ada perbedaan desain
banyak berbeda tetapi ada perbedaan yang cukup organisasi sebelum dan sesudah otonomi daerah
berarti dalam hal desain organisasi kesehatan bila dikaji dengan Henry Mintzberg.6 (Tabel 9).
sebelum dan sesudah otonomi daerah. Berikut ini
215
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja
216
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja
Sesudah otonomi daerah dapat dilihat bahwa pelaksanaan misi instansi, disarankan beberapa
manajer tertinggi adalah Bupati, yang menunjukkan hal sebagai berikut. Pemerintah Daerah perlu
bahwa pertanggungjawaban ada pada tingkat meningkatkan tanggung jawab kewenangan bidang
daerah. Dinas Kesehatan sebelum otonomi kesehatan menjadi secara penuh dengan
menjadi pelaksana, tetapi setelah otonomi daerah meningkatkan pembiayaan bagi program program
Dinas Kesehatan menjadi organisasi yang kesehatan secara bertahap. Dinas Kesehatan perlu
bertanggung jawab kepada Bupati. Karena dalam memperbaiki proses akuntabilitas kinerja mulai dari
otonomi daerah, rumah sakit menjadi unit perencanaan, pengukuran kinerja sampai dengan
pelaksana daerah. Direktur bertanggung jawab pelaporan pertanggungjawaban. DPRD dan LSM
pada Bupati, membuat pertanggungjawaban perlu meningkatkan fungsi kontrol di daerah
kinerja kesehatan secara keseluruhan menjadi terhadap kinerja Dinas Kesehatan dengan
lebih sulit karena memerlukan koordinasi yang kuat dilibatkan secara dini dalam proses pengambilan
antara Dinas Kesehatan dan rumah sakit agar tar- keputusan, perencanaan sampai dengan evaluasi.
get-target program kesehatan bisa dicapai.
217
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan
ABSTRACT
Background: Community health service is a sector that has become the responsibility of all
Indonesian regencies with regards to the implementation of the regional autonomy to enable
the community to get better access to health services. Unfortunately, the implementation of
health services post regional autonomy in fact is deteriorating due to reduction of drug
procurement budget over the years, whereas drug availability is one of success indicators of
community health services. In fact, medical treatment in community health services in Indonesia
is dominated by curative measures where drug is a very vital component. These facts serve as
a basis for carrying out this research to evaluate the effect of regional autonomy to the drug
availability in South Bengkulu Regency.
Objective: To evaluate the utilization of available drug budget, to evaluate the budget planning
and drug procurement process, to evaluate the drug availability for the top 10 diseases, and to
evaluate the efficiency and effectiveness in the drug procurement.
Methods: Analytical-descriptive method on the analysis unit of South Bengkulu Regency Health
Services Office. The data has been gathered based on observations and interviews with
Bengkulu Regency Health Services Head of Office, the Pharmaceutical Warehouse Manager
and management staff of the Health Services Office.
Results: Drug budget fitness decreases from 154,15% to 58,71% and allocation of budget in
health sector to drugs decreases from 81,66% to 6,89%. The planning process uses the
consumption pattern involving integrated drug planning team, while drug procurement process
follows existing regulations. Drug availability drops from 42 months to 14 months with an increase
in drug unavailability from 2,56% to 6,68%. The increase in efficiency and effectiveness of drug
management is marked by increase in fitness of drug availability to disease pattern to under
90%, reduction of damaged drugs from 10,53% to 1,08% and reduction of expired drugs from
15,31% to 1,62%.
Conclusions: The decrease in drug procurement budget has caused the decline in drug
availability, but with positive impact on effectiveness and efficiency of drug management. Possible
measures to be taken to bring a healthy autonomous society into reality include an increase in
drug budget proportion, the use of rational drug in health service units and the promotion of
JPKM program.
219
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan
rupiah menjadi 348,25 juta rupiah atau turun 76%. memperoleh gambaran tentang tingkat ketersediaan
Nilai belanja obat ini hanya 2,48% dari anggaran obat publik pada Dinas Kesehatan Kabupaten
kesehatan umum tahun 2002 yang besarnya Bengkulu Selatan sebelum dan sesudah otonomi
berkisar 12,27 milyar rupiah.5 daerah.
Persentase anggaran obat di atas sangat kecil Bahan penelitian berupa peraturan perundang-
bila dibandingkan dengan persentase anggaran undangan pelaksanaan otonomi daerah, dokumen
obat nasional. Belanja obat merupakan bagian anggaran pengadaan obat, pengadaan obat, pola
terbesar dari anggaran kesehatan baik di negara demografi dan pola penyakit, data pemakaian obat,
maju maupun di negara berkembang. Jika di data stok obat, LPLPOP, dan standar pengobatan
negara maju berkisar antara 10%-15%, maka di puskesmas.
negara berkembang lebih tinggi yaitu hingga 35%- Jenis data yang diperlukan untuk penelitian
66%. Indonesia sendiri sekitar 39% anggaran adalah jumlah anggaran dinas kesehatan secara
kesehatan dipergunakan untuk anggaran umum, kebutuhan dana pengadaan obat, anggaran
pembelanjaan obat.6 obat yang tersedia, kuantum obat yang
Kecilnya proporsi anggaran pengadaan obat direncanakan dalam satu tahun, pola penyakit
publik tersebut bertolak belakang dengan ide dasar daerah, pemakaian obat seluruh puskesmas,
penyelenggaraan otonomi daerah. Lemahnya ketersediaan obat di gudang farmasi, obat yang
pelayanan sektor kesehatan akan menjadi kontra rusak dan kadaluarsa, pendistribusian obat ke
produktif terhadap kinerja pemerintah daerah puskesmas, dan data tentang kekosongan obat.
dalam melaksanakan pelayanan publik. 7
Pertanyaannya adalah bagaimana dampak HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
penurunan anggaran dan proporsi penyediaan obat I. Anggaran Pengadaan Obat Publik
terhadap ketersediaan obat publik? Selama kurun waktu lima tahun terakhir, alokasi
Perubahan besar terhadap anggaran anggaran pengadaan obat publik di Kabupaten
kesehatan terutama proporsi anggaran pengadaan Bengkulu Selatan menunjukkan perubahan yang
obat yang cenderung terus mengalami penurunan, cukup drastis. Terhadap anggaran kesehatan secara
mendorong dilakukannya penelitian mengenai umum, anggaran pengadaan obat mengalami
pengaruh penurunan anggaran obat tersebut penurunan (Gambar 1 dan Tabel 1).
terhadap tingkat ketersediaan obat di Dinas
Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan. Penelitian
ini secara umum bertujuan meneliti ketersediaan
obat publik di Dinas Kesehatan Kabupaten
Bengkulu Selatan pascaotonomi daerah. Secara
khusus penelitian ini bertujuan mengetahui
pemanfaatan anggaran yang tersedia, mengetahui
proses perencanaan anggaran dan pengadaan
obat, mengetahui tingkat ketersediaan obat
terhadap sepuluh pola penyakit terbanyak, dan
mengetahui efisiensi serta efektivitas pengadaan
obat di Kabupaten Bengkulu Selatan.
Gambar 1. Perubahan Anggaran Pengadaan Obat
Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan
BAHAN DAN CARA PENELITIAN Tahun 1999-2003
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis yang
dilakukan di Kabupaten Bengkulu Selatan dengan Pengurangan anggaran secara drastis tersebut
mengambil unit analisis Dinas Kesehatan seharusnya memperoleh perhatian dari pemerintah
Kabupaten Bengkulu Selatan. Pada prinsipnya daerah. Apakah hal ini menunjukkan tidak adanya
memperbandingkan ketersediaan obat publik perhatian yang cukup dari pemerintah daerah
dikaitkan dengan jumlah anggaran pengadaan obat terhadap kebutuhan obat masyarakatnya?
sebelum dan setelah pelaksanaan otonomi daerah,
melalui pemfokusan ketersediaan obat pada
sepuluh jenis penyakit terbanyak, diupayakan untuk
220
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan
TAHUN
Uraian Sebelum Desentralisasi Sesudah Desentralisasi
1999 2000 2001 2002 2003
Dana kesehatan 1.615.534 1.887.605 6.837.010 12.270.510 11.932.240
(jutaan rupiah)
Dana pengadaan obat 1.172.209 1.541.484 436.633 641.732 821.962
(jutaan rupiah)
Perbandingan Dana (%) 72,56 81,66 6,39 5,23 6,89
Berdasarkan perhitungan kesesuaian dana mencapai 23,67% dari perkiraan minimum kebutuhan
pengadaan obat, diperoleh fakta bahwa terjadi pola pada negara berkembang di tahun 2003.
yang sama antara grafik dana pengadaan obat dengan Ada empat faktor penyebab inefisiensi
kesesuaian dana pengadaan obat. Penurunan yang (overbudget atau overstock obat) diawal
cukup drastis terjadi sejak tahun 1999 hingga tahun pelaksanaan desentralisasi yaitu; 1) merupakan
2003. Secara berturut-turut terjadi penurunan periode masa transisi, 2) rutinisasi masih menjadi
persentase kesesuaian dana pengadaan obat dari model pelaksanaan program, 3) persepsi keamanan
(146,53%) pada tahun 1999, (154,15%) tahun 2000,
dalam penyediaan obat tingkat kabupaten, kondisi
(39,69%) tahun 2001, (45,84%) tahun 2002, dan
aman jika ada stok obat, 4) keuntungan. Bagi
(58,71%) pada tahun 2003. Jika anggaran obat pada
tahun anggaran berikutnya tidak mengalami masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan dan
peningkatan maka dapat dipastikan pelayanan bagi pelaksana pengadaan obat mendapat insentif
kesehatan kepada publik akan menurun secara tapi kerugian bagi pelaksana teknis dalam hal
kualitas maupun kuantitasnya. penanganan dan pengelolaan obat.8
Dana Obat per Kapita (dalam rupiah) II. Ketersediaan Obat Publik pada 10 Jenis
Penyakit Terbanyak
Beberapa indikator yang digunakan sebagai
tolok ukur ketersediaan obat publik pada Dinas
Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan adalah:
221
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan
Tabel 2. Kesesuaian Item Obat dengan DOEN D. Persentase Obat Kadaluarsa dan Obat Rusak
Memperhatikan data obat kadaluarsa dan obat
Uraian Tahun Persentase rusak seperti terlihat pada Tabel 5, terdapat
persentase kadaluarsa dan kerusakan yang cukup
Sebelum Desentralisasi 1999 98,16
2000 93,01
besar sebelum otonomi daerah.
2001 99,07
Sesudah Desentralisasi 2002 99,53 Tabel 5. Obat Kadaluarsa dan Obat Rusak
2003 100,00
Persentase
Uraian Tahun
Berdasarkan data di atas, tingkat ketaatan para Kadaluarsa Rusak
pengelola obat publik yang cukup tinggi, baik
sebelum maupun setelah otonomi daerah. Kondisi Sebelum Desentralisasi 1999 15,31% 10,53%
2000 13,63% 8,59%
seperti ini sangat mendukung ketersediaan obat
2001 10,43% 2,37%
publik, khususnya pada sisi efisiensi. Sesudah Desentralisasi 2002 5,21% 1,42%
2003 1,62% 1,08%
B. Kesesuaian Ketersediaan Obat dengan
Pola Penyakit Sumber: diolah dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu
Ketersediaan obat harus mendukung kegiatan Selatan
pengobatan terhadap pola penyakit yang
diperkirakan muncul dalam tahun anggaran Sisi lain yang bernilai positif dari otonomi
tersebut. daerah berdasarkan Tabel 5 di atas adalah terjadi
peningkatan efisiensi yaitu berkurangnya
Tabel 3. Kesesuaian Ketersediaan Obat persentase obat rusak dan kadaluarsa.
dengan Pola Penyakit
222
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan
memiliki jatah obat tadi belum membutuhkannya persentase kesesuaian antara ketersediaan
pada saat tersebut. obat dan pola penyakit, walaupun kesesuaian
tersebut masih di bawah 90%. Akan tetapi,
F. Persentase Rata-Rata Waktu Kekosongan tingkat kesesuaian tersebut tidak dapat
Obat dijadikan indikator terhadap ketersediaan
Kekosongan obat merupakan satu kondisi yang seluruh kebutuhan obat publik karena terjadi
menggambarkan ketidaktersediaan obat dalam penurunan linear terhadap ketersediaan obat
jangka waktu satu tahun. Rata-rata waktu yang cukup tajam. Berdasarkan perhitungan
kekosongan obat dari obat indikator menggambarkan diperoleh hasil bahwa selama lima tahun
kapasitas sistem pengadaan dan distribusi dalam terakhir terjadi penurunan ketersediaan obat
menjamin kesinambungan suplai obat. dari angka 42 bulan sebelum otonomi daerah
menjadi hanya 14 bulan pada tahun 2003.
Tabel 7. Rata-rata Waktu Kekosongan Obat 4. Berkurangnya anggaran pengadaan obat
publik pascaotonomi daerah tidak selalu
Uraian Tahun Persentase berdampak negatif terhadap manajemen obat
di tingkat Kabupaten Bengkulu Selatan.
Sebelum Desentralisasi 1999 2,56
2000 4,09
Berdasarkan indikasi yang ada terdapat
2001 6,96
perbaikan tingkat efisiensi yang sangat baik
Sesudah Desentralisasi 2002 6,83 dari tahun sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari
2003 6,68 besarnya penurunan anggaran obat yang tidak
terlalu berdampak pada penurunan tingkat
Kekosongan obat yang terjadi karena ketersediaan obat.
keterlambatan pengadaan obat dibiarkan karena
masih ada obat lain sebagai pengganti. Di samping Saran
itu, puskesmas dapat mengadakan obat yang 1. Bagi pembuat kebijakan daerah dapat lebih
kosong dengan dana JPS yang tersedia di proporsional dalam penganggaran
puskesmas. Kekosongan obat meski terdapat obat pembiayaan kesehatan guna pemeliharaan
pengganti dapat menurunkan mutu pengobatan kesehatan publik.
yang diberikan. Bagi Dinas Kesehatan harus lebih mampu
meyakinkan pemerintah daerah dalam
KESIMPULAN DAN SARAN merebut porsi anggaran kesehatan sesuai
dengan rekomendasi World Health Organiza-
Kesimpulan tion (WHO) sebesar minimal 15%.
1. Berdasarkan pemanfaatan anggaran yang 2. Untuk memenuhi kebutuhan obat yang tidak
tersedia diperoleh hasil bahwa terdapat terpenuhi, terutama jika terdapat wabah
perbedaan yang tajam untuk anggaran endemis dan bencana alam, dinas kesehatan
pengadaan obat sebelum dan setelah dapat mengajukan permintaan penambahan
desentralisasi. Walau terdapat kenaikan obat kepada Departemen Kesehatan Republik
anggaran pengadaan obat Indonesia yang menyediakan buffer stok
pascadesentralisasi, besarannya pada tahun nasional, tentunya harus didukung dengan
2003 hanya berkisar 58,71% dari kebutuhan data keadaan yang sebenarnya.
dana pengadaan obat. Berdasarkan hasil 3. Efisiensi penggunaan obat di tingkat
perhitungan indikator kesesuaian dana puskesmas dapat ditingkatkan lagi oleh Dinas
pengadaan obat sejak tahun 2001 hingga Kesehatan dengan mengadakan pelatihan
2003 terjadi kekurangan kesesuaian penggunaan obat yang rasional kepada
kebutuhan dana pengadaan obat berkisar petugas kesehatan secara berkala dan
41%-60%. dilakukan pengawasan.
2. Proses perencanaan melalui tim perencanaan Peningkatan kualitas petugas farmasi
obat terpadu melibatkan semua unsur terkait kabupaten dengan memberi kesempatan
dan pengadaan obat di Kabupaten Bengkulu melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
Selatan menggunakan metode konsumsi. tinggi atau mengikutsertakan dalam pelatihan-
3. Kekurangsesuaian dana pengadaan obat pelatihan secara berkala dan
ternyata tidak secara langsung mengakibatkan berkesinambungan.
berkurangnya kesesuaian ketersediaan obat 4. Memanfaatan peluang dana lain yang mungkin
untuk 10 pola penyakit terbanyak. Hal ini tersedia seperti menggalakkan program
dibuktikan dengan relatif membaiknya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
223
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan
Masyarakat (JPKM) agar masyarakat dapat 5. Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan,
membiayai sendiri pemeliharaan Data Anggaran Kesehatan dan Pengadaan Obat
kesehatannya. Publik.
6. Departemen Kesehatan RI, Pedoman
KEPUSTAKAAN Pengelolaan Obat Publik dan Perbekalan
1. Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Kesehatan, Jakarta. 2002.
dan 25 Nomor Tahun 1999, Sinar Grafika, 7. Dwiyanto, A., dkk. Teladan dan Pantangan
Jakarta. dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan
2. Annisa, E., dan Suryawati, S. Pengaruh Otonomi Daerah, PSKK-UGM, Yogyakarta,
Ketersediaan Dana Kontan Terhadap 2003.
Pengadaan dan Penggunaan Obat tingkat 8. Triyanto. Desentralisasi dan Penganggaran
Puskesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Ku- Obat pada Dinas Kesehatan Kabupaten
dus, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tesis. Pasca
Yogyakarta. 2001;04(01):53-61. Sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat UGM,
3. Sunarsih. Jurnal Manajemen Pelayanan Yogyakarta. 2000.
Kesehatan, Yogyakarta. 2002;05(02):67-71. 9. Purwaningsih, S., dkk. Evaluasi Penerapan
4. Riyanto, S. Tantangan Pendanaan Kesehatan Perda Kabupaten Gunung Kidul No.14/2000
Pascaotonomi dan Desentralisasi, Jurnal Terhadap Ketersediaan Obat Di Puskesmas,
Manajemen Pelayanan Kesehatan, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan.
Yogyakarta. 2002;05(03):113-16. 2003;06 (01):29-34.
224
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan
ABSTRACT
Background: This study observes the relationship between leadership style and staff
commitment towards job satisfaction at RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta. It was obvious
that job satisfaction occurred in PKU Muhammadiyah Yogyakarta. It was indicated by high rate
of staff absence which reaches 5%, promotion system which was not yet well-managed, low
staff commitment, staff distrust towards their superior, lack of support and encouragement
from the superior, absence of transparancy between staff and the management indecision
making process. The decline of hospital performance in the last two years. High rate of absence
and declining performance indicates low productivity as a positive effect of job satisfaction.
Objectives: The objective of the study was to raise staff’s job satisfaction by examining the
relationship between leadership style and staff commitment towards job satisfaction.
Methods: The study was a descriptive one with cross sectional survey scheme which used
questionnaires distributed to 202 respondents. The subject of the study was staff of RSU PKU
Muhammadiyah Y ogyakarta by using stratified random sampling technique. Data analysis
was conducted using correlation and double regression analysis.
Results and discussion: The results of statistical analysis showed the following relationship
pattern: perception to leadership style (R=0,518), work commitment (R=0,667) influenced job
satisfaction with 0,000 significance. Effective contribution of staff commitment was 44,4% having
greater contribution to job satisfaction than leadership style which had 26,9% effective
contribution.
Conclusion: Both perception of leadership style and work commitment influenced job
satisfaction. In order to increase job satisfaction, personnel policy adopted by the management
of RSU PKU Muhammadiyah should be able to motivate staff for work.
225
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan
2. Pegawai yang meninggalkan tugas dan tempat Jenis alat ukur yang digunakan dalam rangka
kerja tanpa alasan yang jelas pada saat jam memperoleh data penelitian ini berupa kuesioner
kerja mencapai 10% per bulannya. tertutup yang sudah diuji validltas dan
reliabilitasnya. Sebelum dilakukan uji hipotesis,
Kerugian akibat kemangkiran karyawan di terlebih dahulu dilakukan uji asumsi yang meliputi
RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta diperoleh uji normalitas sebaran dan uji linieritas hubungan.
sebesar Rp1.043.047.329,00 dengan tingkat Penelitian ini menggunakan analisis korelasi dan
kemangkiran sebesar 5%. Angka ini jauh di atas regresi berganda sebagai metode analisis datanya.
standar kemangkiran untuk perusahaan menurut Perhitungan analisis data dilakukan dengan
World Class Operator (WCO) yaitu sebesar <1% menggunakan alat bantu program software
per tahunnya. Dari berbagai penelitian yang telah statistik.
dilakukan oleh para ahli terlihat bahwa terdapat Beberapa kesulitan yang dialami peneliti
korelasi kuat antara kepuasan kerja dan tingkat dalam penelitian yaitu pengisian angket oleh
kemangkiran. Artinya, karyawan yang tinggi tingkat responden tidak dapat diawasi oleh peneliti. Selain
kepuasan kerjanya akan rendah tingkat itu, tingginya mobilitas dan kesibukan responden
kemangkirannya. menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk
Kepuasan kerja merupakan masalah yang pengumpulan data menjadi lebih lama dari rencana
penting untuk diperhatikan dalam hubungannya semula.
dengan produktivitas kerja karyawan yang tentu
sangat besar manfaatnya bagi organisasi. Oleh HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
karena itu, diperlukan perhatian dan upaya yang Responden terbesar dalam penelitian ini
berkesinambungan untuk mengatasinya. Untuk itu, terletak pada jenis pekerjaan tenaga nonmedis
perumusan masalahnya adalah apakah rendahnya yaitu sebesar 93 orang atau 47,94%. Hasil statistik
kepuasan kerja karyawan disebabkan gaya menunjukkan bahwa menurut persepsi karyawan,
kepemimpinan yang kurang sesuai? atau komitmen gaya kepemimpinan yang diterapkan di RSU PKU
karyawan yang rendah? Muhammadiyah Yogyakarta lebih condong pada
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk gaya kepemimpinan partisipatif. Hasil statistik
menguji hubungan antara gaya kepemimpinan dan deskriptif perbandingan rerata empiris = 68,64 yang
komitmen karyawan terhadap kepuasan kerja. mendekati dengan rerata hipotesis =72 pada
variabel komitmen kerja menunjukkan bahwa
BAHAN DAN CARA PENELITIAN komitmen kerja karyawan RSU PKU
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif Muhammadiyah Yogyakarta sudah cukup baik.
dengan rancangan penelitian crossectional survey. Pada kategorisasi interpretasi skor persentase
Subjek penelitian ini adalah karyawan RSU PKU komitmen kerja menunjukkan hasil interpretasi
Muhammadiyah Yogyakarta dengan pengambilan sangat tinggi = 69,07%, tinggi = 23,20%, sedang =
sampel menggunakan teknik pencuplikan rambang 5,67% dan rendah =2,06%, sedangkan
bertingkat (stratified random sampling). kategorisasi interpretasi skor persentase kepuasan
Pengelompokkan dalam strata berdasarkan jenis kerja menunjukkan hasil interpretasi sangat tinggi
pekerjaan yaitu tenaga medis, tenaga paramedis = 26,29%, tinggi = 25,77%, sedang = 34,54% dan
perawatan, tenaga paramedis nonperawatan, dan rendah = 13,40%.
tenaga nonmedis. Kemudian cuplikan rambang Berdasar hasil uji analisis regresi antara
sederhana dipilih dari setiap strata jenis pekerjaan. variabel persepsi gaya kepemimpinan, komitmen
Jumlah populasi pada penelitian ini sebesar 603. kerja karyawan terhadap kepuasan kerja di RSU
Kriteria sampel yang ditetapkan adalah karyawan PKU Muhammadiyah Yogyakarta secara bersama-
tetap. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh besar sama diperoleh nilai F regresi 76,434, koefisien
sampel sebesar 202 karyawan. korelasi sebesar 0,667 dengan tingkat signifikansi
1. Variabel bebas 1: persepsi gaya 0,000. Hal ini berarti bahwa persepsi gaya
kepemimpinan dengan subvariabel gaya kepemimpinan, komitmen kerja berperan terhadap
direktif, gaya suportif, gaya delegatif, dan gaya kepuasan kerja karyawan RSU PKU
partisipatif. Muhammadiyah Yogyakarta. Hasil penelitian
2. Variabel bebas 2: komitmen karyawan dengan tersebut sesuai dengan teori yang dikemukakan
subvariabel affective commitment, continuance oleh Soejadi 1, yang mengatakan bahwa ada
commitment, dan normative commitment. beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan
3. Variabel terikat: kepuasan kerja karyawan. kerja dan yang paling penting adalah komitmen,
gaji, promosi, rekan sekerja, atasan, dan pekerjaan
itu sendiri. Sesuai dengan hasil analisis regresi
226
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan
tersebut menunjukkan bahwa penerapan gaya pemimpinnya menerapkan gaya yang direktif yaitu
kepemimpinan atasan yang sesuai adalah gaya gaya kepemimpinan yang dilaksanakan oleh
partisipatif. Penerapan gaya ini akan dapat pimpinan kepada bawahan dengan banyak
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan. Begitu memberikan pengarahan dan petunjuk, tetapi
pula apabila terjadi peningkatan komitmen kerja sedikit dukungan. Di samping itu, biasanya
karyawan akan dapat menyebabkan peningkatan menggunakan komunikasi satu arah. Inisiatif
kepuasan kerjanya. Oleh karena itu, berdasarkan pemecahan masalah dan keputusan hanya
hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa ada dilakukan oleh pemimpin dan pelaksanaannya
korelasi positif antara persepsi gaya kepemimpinan diawasi secara ketat oleh pemimpin.
dan komitmen kerja karyawan terhadap kepuasan Gambaran gaya kepemimpinan yang
kerja karyawan. diterapkan atasan dapat ditemukan berbeda antara
Temuan ini mendukung pendapat para ahli kenyataan dengan gaya kepemimpinan yang
bahwa kepuasan karyawan meningkat bila dipersepsikan karyawan. Hal ini dapat dijelaskan
mendapat dukungan dari atasan langsungnya yang melalui pendapat yang dikemukakan oleh Muchlas2
penuh pengertian, bersahabat, menyampaikan dan Robbins 6 bahwa ada tiga faktor yang
pujian untuk hasil kerja yang baik, dan mempengaruhi persepsi yaitu situasi, target, dan
mendengarkan pendapatnya.2 Atasan dengan gaya pelaku persepsi. Kemudian adanya selektivitas
kepemimpinan demikian tercermin dalam gaya dalam persepsi dipengaruhi oleh faktor perhatian
kepemimpinan partisipatif sesuai dengan hasil luar yang terdiri dari pengaruh-pengaruh
penelitian bahwa 45,84% tenaga medis, paramedis lingkungan luar seperti: intensitas, ukuran, kontras,
perawatan sebesar 48,71%, pada karyawan repetisi, gerakan, keterbaruan, dan keterbiasaan.
paramedis nonperawatan sebesar 43,33% dan Faktor perhatian dalam didasarkan pada masalah
45,16% karyawan nonmedis mengungkapkan psikologis individu yang bersifat kompleks seperti
kecondongannya pada gaya kepemimpinan proses belajar, motivasi, dan kepribadian. Faktor
partisipatiflah yang diterapkan atasannya. Menurut lingkungan kerja yang memiliki kekuatan terbesar
Muchlas2 gaya kepemimpinan partisipatif adalah dalam berinteraksi dengan karyawan dan tingkat
gaya kepemimpinan yang dilaksanakan oleh pendidikan dapat pula menjelaskan adanya
perbedaan penilaian antara karyawan baik secara
pimpinan kepada bawahan dengan banyak
individu maupun kelompok.
memberikan dukungan, tetapi sedikit memberikan
Dari analisis regresi mengenai hubungan
pengarahan. Dalam membuat keputusan
antara komitmen kerja dan kepuasan kerja
dilaksanakan bersama-sama bawahan dan kontrol
diperoleh angka R yaitu koefisien korelasi sebesar
atas keputusan dilakukan secara bergantian.
0,667, nilai F regresi 153,597 dengan tingkat
Proses pengambilan keputusannya disebut signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan makna
sebagai partisipasi karena posisi kontrol atas bahwa ada hubungan positif antara komitmen
pengambilan keputusan dipegang secara bersama- karyawan dan kepuasan kerja. Hal ini berarti
sama. Hasil penelitian ini juga mendukung semakin tinggi komitmen maka semakin tinggi pula
penelitian yang dilakukan Purwanto 3 yang kepuasan kerjanya. Hasil penelitian ini mendukung
menyebutkan bahwa perawat yang termasuk pendapat para ahli bahwa komitmen kerja sebagai
dalam kelompok staf manajerial lebih,menyukai variabel independen dapat mempengaruhi variabel
gaya kepemimpinan partisipatif daripada gaya dependennya yaitu kepuasan kerja. Hal tersebut
kepemimpinan direktif walaupun dijalankan dengan sebagaimana dituturkan oleh Mathiew dan Zajac7
penuh kebajikan kepada bawahannya. Dari hasil yang mengatakan bahwa dengan adanya
penelitiannya didapatkan hubungan yang signifikan komitmen yang tinggi akan membuat perusahaan
antara gaya kepemimpinan dengan kepuasan atau organisasi akan mendapatkan dampak positif
kerja. Hasil ini mendukung pula hasil penelitian seperti, meningkatnya produktivitas, kualitas kerja,
Hartawan4 dengan unit analisisnya karyawan Dinas dan kepuasan kerja karyawan, serta penurunan
Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Penelitian tingkat keterlambatan, absen dan tumover
Hartawan4 mengenai hubungan gaya dan situasi karyawan.
kepemimpinan terhadap kepuasan kerja Hasil penelitian ini juga mendukung
menyimpulkan bahwa kepuasan kerja karyawan pernyataan William8 yang mengemukakan bahwa
sangat dipengaruhi oleh faktor atasan. Namun, komitmen merupakan suatu faktor penentu dari
penerapan gaya kepemimpinan partisipatif tidaklah kepuasan kerja. Seseorang yang memiliki
sesuai untuk semua karyawan pada semua bidang komitmen yang tinggi menandakan adanya
pekerjaan. Siagian 5 mengemukakan bahwa kepuasan pada dirinya yang berkaitan dengan
pegawai bawahan akan bersedia bekerja keras jika pekerjaan.
227
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan
Hasil penelitian komitmen kerja ini ment sebanyak 38,4% yang mengandung makna
berdasarkan model komitmen yang dikemukakan bahwa karyawan dapat setia, tidak keluar dari
oleh Allen dan Meyer 9 . Allen dan Meyer 9 organisasi disebabkan pengaruh sosial seperti tidak
memberikan model komitmen yaitu Three Compo- ingin dikatakan sebagai tukang pemberontak, tidak
nent Model of Organizational Commitment yang ingin mengecewakan pemimpinnya atau tidak ingin
merupakan konsep utama komitmen terhadap dianggap sebagai karyawan yang kurang baik dan
organisasi. Model komitmen pegawai ini mencakup tidak bisa berterima kasih.
tiga elemen penting yaitu keinginan (desire), Hasil penelitian yang menyatakan ada
kebutuhan (need), dan kewajiban (obligation) yang hubungan antara komitmen sebagai variabel
mempresentasikan tiga bentuk komponen yaitu independen dengan kepuasan kerja sebagai
affective, continuance, dan normative commitment. variabel dependen ini sekaligus membuktikan
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa ditemukannya fakta bahwa tidak hanya kepuasan
komitmen karyawan terhadap RSU PKU kerja sebagai variabel independen yang dapat
Muhammadiyah Yogyakarta disebabkan oleh: (1) mempengaruhi komitmen kerja sebagai variabel
suatu bentuk keterikatan antara pegawai terhadap dependen. Sebagaimana penelitian yang dilakukan
organisasi. Hal ini tercermin melalui usaha pegawai AI Rosyid10 bahwa kepuasan kerja merupakan
yang berupa totalitas dalam memberikan yang salah satu faktor yang dapat meningkatkan
terbaik untuk organisasi; (2) menerima nilai-nilai komitmen pegawai. Hal tersebut didukung oleh teori
dan tujuan organisasi; dan (3) adanya keinginan yang dikemukakan oleh Handoko 11 bahwa
untuk diakui oleh organisasi tempat individu timbulnya komitmen kerja dipengaruhi oleh
bekerja. kepuasan kerja yang dirasakan oleh karyawan.
Hasil statistik pada kategori sikap komitmen Diketahui pula dari hasil penelitian bahwa
karyawan RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta interpretasi karyawan mengenai kepuasan kerja di
menunjukkan bahwa 74,6% tenaga medis RSU RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
PKU Muhammadiyah Yogyakarta mempunyai sikap menunjukkan kategorisasi sangat tinggi =26,29%,
komitmen yang dikategorikan dalam affective com- tinggi = 25,77%, sedang = 34,54% dan rendah =
mitment. Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek 13,40%. Terlihat dari hasil tersebut bahwa variabel
affective commitment merupakan aspek komitmen kepuasan kerja yang terdiri dari penghargaan,
yang paling menonjol bagi tenaga medis. Hal ini dukungan kondisi kerja, tanggapan atau penilaian
berarti bahwa mereka terikat untuk tetap berada terhadap pekerjaan dan dukungan rekan sekerja
pada organisasi karena merasa mempunyai satu sudah diinterpretasikan cukup baik oleh
tujuan dan selera yang sama dengan organisasi karyawannya. Hasil interpretasi yang rendah pada
tetapi bila organisasi mengganti arah atau tujuan, sebagian karyawan menandakan perlu adanya
mereka mungkin akan keluar dari organisasi. Di perhatian dari pihak rumah sakit untuk lebih
sisi lain, aspek komitmen yang menonjol pada meningkatkan kepuasan kerja karyawannya.
karyawan tenaga paramedis perawatan dan Diketahui bahwa 95 karyawan atau 49% karyawan
nonperawatan adalah continuance commitment. menyatakan tidak setuju dengan butir pernyataan
Sebesar 63,2% tenaga paramedis perawatan dan nomor 2 yaitu
56,8% tenaga paramedis nonperawatan tergolong “Keputusan promosi karyawan ditangani
dalam continuance commitment yang berarti sikap secara adil”,
komitmen karyawan didasarkan karena kebutuhan sebanyak 86 karyawan atau 44,3% karyawan
untuk tetap berada dalam organisasi. Berdasarkan menyatakan tidak setuju dengan butir pernyataan
hal tersebut kualitas hidup yang dipandang dari dua nomor 3 yaitu
“Ada cukup kesempatan untuk
sisi, yaitu: (1) dengan bertahan dalam organisasi, mengembangkan diri dalam pekerjaan saya”
individu meningkatkan investasi dalam bentuk dan sebanyak 88 karyawan atau 45,4%
senioritas, spesialisasi, tunjangan, ikatan keluarga karyawan menyatakan tidak setuju dengan butir
dalam organisasi yang belum tentu bisa mereka nomor 8 yaitu
dapatkan dengan bekerja pada organisasi lain, (2) “promosi untuk pekerjaan saya dilakukan
individu merasa harus tetap bekerja dalam secara teratur”.
organisasi karena mereka tidak memiliki Hal ini menandakan bahwa terdapat masalah
pandangan atau alternatif pekerjaan lain. Tidak pada sistem promosi yang dijalankan sehingga hal
adanya investasi (side-bets) dan alternatif tersebut mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
pekerjaan lain, maka pegawai memiliki komitmen Tingkat pengaruh persepsi gaya
yang tinggi karena mereka harus melakukannya kepemimpinan, komitmen kerja terhadap kepuasan
(have to). Tenaga nonmedis mempunyai sikap kerja sebesar 43,9% menunjukkan bahwa masih
komitmen yang dikategorikan normative commit- ada 56,1% variabel lain yang diduga berpengaruh
228
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan
terhadap kepuasan kerja. Ada beberapa faktor lain langkah-Iangkah peningkatan komitmen karyawan
yang dapat meningkatkan kepuasan kerja antara sehingga dapat lebih meningkatkan kepuasan kerja
lain yaitu umur, komunikasi, pengembangan karir, karyawannya. Hal tersebut tidak dimaksudkan
kondisi psikologis.11 untuk mengecilkan makna dari peranan penerapan
Model regresi penelitian ini telah memenuhi gaya kepemimpinan terhadap kepuasan kerja,
asumsi normalitas dan linieritas. Hasil perhitungan yang juga menjadi langkah selanjutnya dalam
statistik menunjukkan adanya arah korelasi positif usaha untuk lebih meningkatkan kepuasan kerja
antara persepsi dengan kepuasan, terlihat dengan karyawannya.
angka R = 0,667. Angka R square sebesar 0, 269
menunjukkan pengaruh persepsi terhadap KEPUSTAKAAN
kepuasan kerja sebesar 26,9%. Dari uji Anova atau 1. Soejadi, S. P. Pedoman Penilaian Kinerja
F test, diperoleht F hitung sebesarh 70,520 dengan Rumah Sakit Umum. Ketiga Bina, Jakarta.
tingkat signifikansi 0,000. Untuk korelasi regresi 1996.
didapat angka R sebesar 0,667 yang menandakan 2. Muclash, M. Perilaku Organisasi 1: Dengan
bahwa korelasi atau hubungan komitmen dengan Beberapa Contoh Studi Kasus. Program
kepuasan adalah kuat. Angka R square sebesar Pendidikan Pascasarjana Magister
0, 444 menunjukkan pengaruh komitmen terhadap Manajemen Rumah sakit, UGM, Yogyakarta.
kepuasan kerja sebesar 44,4%. Dari uji Anova atau 1999.
F test, didapat F hitung adalah 70,520 dengan 3. Purwanto, H. Persepsi Gaya Kepemimpinan
tingkat signifikansi 0,000. dan Kepuasan Kerja Karyawan di Rumah Sakit
Umum Daerah Swadana Jombang. Tesis,
Tabel 1. Korelasi Regresi Persepsi Gaya Kepemimpinan, UGM, Yogyakarta. 1998.
Komitmen Kerja terhadap Kepuasan Kerja 4. Hartawan, A. Hubungan Gaya dan Situasi
Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja
Variabel R R F Signifikansi Karyawan Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Square Tengah. Tesis Program Pascasarjana Magis-
Persepsi gaya kepemimpinan,
ter Manajemen Rumah sakit, UGM,
komitmen kerja terhadap 0,667 0,439 76,434 0,000 Yogyakarta. 2001.
kepuasan kerja 5. Siagian, S. P. Teori dan Praktek
Kepemimpinan. Rineka Cipta, Jakarta. 1991.
6. Robbins, S. P. Perilaku Organisasi: Konsep,
KESIMPULAN DAN SARAN Kontroversi, Aplikasi (Alih Bahasa). PT.
Prenhallindo, Jakarta. 1996.
Kesimpulan 7. Mathiew, J. E., and Zajac, D. M. A Review and
Sesuai dengan hasil analisis regresi tersebut Meta Analysis of the Atendent Correlates, and
ditunjukkan bahwa penerapan gaya kepemimpinan consequences of Organizational Commitment.
atasan yang sesuai, berdasarkan hasil penelitian Psychological Bulletin. 1990;108: 171-194.
ini, adalah gaya partisipatif. Dengan demikian, gaya 8. William, S. Management and Organization.
tersebut akan dapat mempengaruhi kepuasan kerja South-Western Publishing. Co, Ohio. 1984.
karyawan dan dengan semakin meningkatnya 9. Allen, N. J., and Meyer, J. P. The Measure-
komitmen yang tinggi akan mempengaruhi pula ment and Antecendent Affective, Continuance,
kepuasan kerja. and Normative Commitment to Organization,
Journal of Occupational Psychology. 1990;
Saran 63:1-18.
Apabila ditinjau dari hasil penelitian, terlihat 10. Al Rosyid, N. H. Hubungan antara Human
bahwa sumbangan efektif komitmen karyawan Relation dan Komitmen Kerja pada
sebesar 44,4% lebih besar peranannya terhadap Perusahaan. Skripsi. Fakultas Psikologi, UGM,
kepuasan kerja daripada peranan penerapan gaya Yogyakarta. 1995.
kepemimpinan yang memilki sumbangan efektif 11. Handoko, T. H. Manajemen Personalia dan
sebesar 26,9%. Oleh karena itu, RSU PKU Sumber Daya Manusia (Edisi ketiga). Penerbit
Muhammadiyah Yogyakarta disarankan untuk BPFT, Yogyakarta. 1997.
jangka pendek agar lebih memprioritaskan
229
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004
RALAT
MAKALAH KEBIJAKAN VOL. 07/NO.03/SEPTEMBER/2004
LANGKAH-LANGKAH PELAYANAN
• KB : • UMUM : • KB :
– Riwayat Kes. Reproduksi – Keadaan Umum – Pemberian / Pemasangan
– Riwayat Penyakit – Tensi Alkon
– Pemakaian Alkon • PALPASI PERUT : – Konseling
– Kontra Indikasi Pemakaian – Kehamilan? – Pengobatan Efek Samping
ALKON – Penyakit / Tumor dan lain- – Rujukan ke RS
• PMS/AIDS : lain • PMS :
– Keluhan / Gejala – Gejala Penyakit PMS – Penyuluhan PMS/Aids
– Faktor Risiko • Inspeksi Alat Kelamin: Ada – Konseling
Kelainan atau Tidak – Penjaringan/ Penemuan
• In Speculo: Ada Cairan Vagina Penderita Dengan
Berlebihan /Abnormal? Pengambilan Spesimen è
Periksa Di Laborat
– Pengobatan
– Rujuk Ke RS
232
JMPK Vol. 07/No.04/Desember/2004 Resensi
Resensi Buku
231
Indeks
ISSN: 1410-6515
Manajemen
Pelayanan Kesehatan
The Indonesian Journal of Health Service Management
1 Badan Layanan Umum (BLU) sebagai Bentuk Hukum Organisasi Rumah Sakit Pemerintah yang
Bersifat Lembaga Nonprofit.
Laksono Trisnantoro
Makalah Kebijakan
Artikel Penelitian
19 Analisis Pembiayaan Kesehatan yang Bersumber dari Pemerintah melalui District Health
Account di Kabupaten Sinjai.
Akhirani, Laksono Trisnantoro
27 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Upaya Pengendalian Biaya Pelayanan Kesehatan Peserta
PT. Askes di Puskesmas Kota Yogyakarta.
Fita Yulia Kisworini, Julita Hendrartini
35 Analisis Faktor-faktor Penyebab Pengambilan Obat di Luar Apotek Rumah Sakit Bakti Timah Pangkal
Pinang.
Mohamad Edi, Sulanto Saleh Danu, Riris Andono Ahmad
Resensi Buku
233
Indeks
Makalah Kebijakan
55 Pertimbangan Kebutuhan Bisnis dan Kesiapan Organisasi untuk Berubah sebagai Dasar
Pengambilan Keputusan Re-Engineering sebagai Strategi Peningkatan Mutu.
Tjahjono Kuntjoro.
Artikel Penelitian
75 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr.
Sardjito.
Nunuk Maria Ulfah, Soenarto Sastrowijoto, Sulanto Saleh Danu.
81 Tingkat Kepuasan Dokter Keluarga Terhadap Sistem Pembayaran Kapitasi PT Askes di Kota Medan.
Mega Karyati, Ali Ghufron Mukti, M. Syafril Nusyirwan
Resensi Buku
99 Optimizing the Power of Action Learning: Solving Problems and Building Leaders in Real Time.
Hari Kusnanto
Tajuk Rencana
103 Tantangan Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit di Era Global.
Sunartini Hapsara
Makalah Kebijakan
105 Kepimpinan Klinik-Peran dan Tantangan Manajer Rumah Sakit dalam Peningkatan Mutu Pelayanan
Kesehatan
Iwan Dwiprahasto
234
Indeks
109 Integrasi Kegiatan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual dalam Pelayanan Keluarga Berencana
di Puskesmas.
Kristiani
Artikel Penelitian
115 Survey Kepuasan Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan Perjan Rumah Sakit Sanglah Denpasar.
Muninjaya
125 Upaya Perbaikan Perencanaan dan Distribusi Obat Puskesmas melalui Monitoring-Training-Planning
di Kabupaten Kolaka.
Harun Masirri, Sri Suryawati, Siti Munawaroh
141 Hubungan Besaran Iur Biaya dengan Kepuasan Peserta Askes di Rumah Sakit Umum Wangaya.
Ida Ayu Kade Widnjani, Ali Ghufron Mukti, Julita Hendrartini
147 Studi tentang Pembiayaan, Kepuasan Kerja dan Perilaku Pelanggan Polindes di Daerah Terpencil:
Analisis Situasi dalam rangka Making Pregnancy Safer (MPS).
Ristrini, Wasis Budiarto
157 Efek Himbauan Pelatihan terhadap Kelengkapan Rekam Medis Pasien Rawat Inap di RSU Pancaran
Kasih GMIM Manado.
Maria R.I Koagouw, Hari Kusnanto, Andreasta Meliala
163 Telaah Rekam Medis Pendidikan Dokter Spesialis sebelum dan sesudah Pelatihan di IRNA II,
RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.
Meliala, Sunartini
Resensi Buku
Tajuk Rencana
177 Kartu Deteksi Dini Kanker untuk Keluarga. Sebuah Model Kartu Diteksi Dini Penyakit.
IM Sunarsih
Makalah Kebijakan
189 Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada Penelitian)
Chriswardani Suryawati
235
Indeks
Artikel Penelitian
195 Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter Pegawai Tidak Tetap (Dokter
PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di Jawa Barat.
Nugraha Wendy Freely, Arisanti Nita
201 Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Bapel Sintesa
Kendari.
Amelia, Ali Gufron Mukti
211 Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo di Daerah
Istimewa Yogyakarta
Dwi Ciptorini, Mubasysyr Hasanbasri
219 Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan Pasca Otonomi
Daerah
Dewi Mustika, Sulanto Saleh Danu
225 Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap Kepuasan Kerja di
RSU PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Quratul Aini, Sito Meiyanto, Andreasta Meliala
Resensi Buku
236
Indeks
INDEKS PENULIS
Akhirani
Analisis Pembiayaan Kesehatan yang Bersumber dari Pemerintah melalui District Health Account di
Kabupaten Sinjai, 07(01):19-ap.
Ahmad, R. A.
Lihat, Edi, M.
Aini, Q
Hubungan antara Gaya Kepemimpinan dan Komitmen Karyawan terhadap Kepuasan Kerja di RSU PKU
Muhammadiyah Yogyakarta, 07(04): 225-ap.
Amelia
Analisis Penurunan Peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) Bapel Sintesa Kendari,
07(04): 201-ap.
Budiarto, W.
Lihat, Ristrini.
Chusniati, U.
Health Economics “Fundamental and Flow of Funds” 2nd Edition, 07(01): 51-rb.
Ciptorini, D.
Otonomi Daerah dan Akuntabilitas Kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Kulonprogo di Daerah Istimewa
Yogyakarta, 07(04): 211-ap.
Danu, S. S.
Lihat, Edi, M.
Lihat, Mustika, D.
Lihat, Ismedsyah.
Lihat, Ulfah, N. M.
Dewikarini, Y
Reformasi Perumasakitan Indonesia, 07(04): 231-rb.
Dwiprahasto, I.
Medical Error di Rumah Sakit dan Upaya untuk Meminimalkan Risiko, 07(01):13-mk.
Memahami dan Belajar dari Kegagalan Organisasi, 07(02):53-tr.
Kepimpinan Klinik-Peran dan Tantangan Manajer Rumah Sakit dalam Peningkatan Mutu Pelayanan
Kesehatan, 07(03):105-mk.
Edi, M.
Analisis Faktor-faktor Penyebab Pengambilan Obat di Luar Apotek Rumah Sakit Bakti Timah Pangkal
Pinang, 07(01):35-ap.
Freely, N. W
Pengetahuan, Sikap dan Persepsi Koasisten tentang Kebijakan Dokter Pegawai Tidak Tetap (Dokter
PTT) di Tiga Fakultas Kedokteran di Jawa Barat, 07(04): 195-ap.
237
Indeks
Hapsara, S.
Tantangan Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit di Era Global, 07(03):103-tr.
Hasanbasri, M
Lihat, Ciptorini, D.
Hendrartini, J.
Lihat, Kisworini, F. Y.
Lihat, Widnjani, I. A. K.
Ismedsyah
Evaluasi Distribusi Antituberkulosis di Kabupaten Kota Provinsi Sumatera Utara, 07(03):135-ap.
Karyati, M.
Tingkat Kepuasan Dokter Keluarga Terhadap Sistem Pembayaran Kapitasi PT Askes di Kota Medan,
07(02):81-ap.
Kisworini, F. Y.
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Upaya Pengendalian Biaya Pelayanan Kesehatan Peserta
PT. Askes di Puskesmas Kota Yogyakarta, 07(01):27-ap.
Koagouw, M. R. I
Efek Himbauan Pelatihan terhadap Kelengkapan Rekam Medis Pasien Rawat Inap di RSU Pancaran
Kasih GMOM Manado, 07(03): 157-ap.
Kristiani
Integrasi Kegiatan Penanggulangan Penyakit Menular Seksual dalam Pelayanan Keluarga Berencana
di Puskesmas, 07(03):109-mk.
Lihat, Ratna, W.
Kuntjoro,T.
Pertimbangan Kebutuhan Bisnis dan Kesiapan Organisasi untuk Berubah sebagai Dasar Pengambilan
Keputusan Re-Engineering sebagai Strategi Peningkatan Mutu, 07(02): 55-mk.
Kusnanto, H.
Optimizing the Power of Action Learning: Solving Problems and Building Leaders in Real Time, 07(02):99-
rb.
Lihat, Koagouw, M. R. I.
Masirri, H.
Upaya Perbaikan Perencanaan dan Distribusi Obat Puskesmas melalui Monitoring-Training-Planning di
Kabupaten Kolaka, 07(03):125-ap.
Meiyanto, S
Lihat, Aini, Q.
Meliala, A
Telaah Rekam Medis Pendidikan Dokter Spesialis sebelum dan sesudah Pelatihan di IRNA II, RSUP Dr.
Sardjito Yogyakarta, 07(03): 163-ap.
Lihat, Aini, Q
Lihat, Koagouw, M. R. I.
238
Indeks
Mukti, A. G
Lihat, Amelia.
Lihat, Karyati, M.
Lihat, Widnjani, I. A. K.
Munawaroh, S.
Lihat, Masirri, H.
Muninjaya
Survey Kepuasan Pengguna Jasa Pelayanan Kesehatan Perjan Rumah Sakit Sanglah Denpasar,
07(03):115-ap.
Murti, B.
Intervensi Pemerintah di sektor kesehatan: Regulasi Monopoli-Oligopoli, 07(01):3-mk.
Mustika, D.
Ketersediaan Obat Puskesmas pada Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Selatan Pasca Otonomi
Daerah, 07(04): 219-ap
Nita, A.
Lihat, Freely, N.W
Nusyirwan, M. S.
Lihat, Karyati, M.
Probandari, A.
Health Economics for Developing Countries: a Practical Guide, 07(03): 173-tr.
Ratna, W.
Evaluasi Kegiatan Perawatan Kesehatan Keluarga Rawan di Puskesmas Mergangsan dan Mantrijeron
Kota Yogyakarta, 07(02):89-ap.
Ristrini
Studi tentang Pembiayaan, Kepuasan Kerja dan Perilaku Pelanggan Polindes di Daerah Terpencil: Analisis
Situasi dalam rangka Making Pregnancy Safer (MPS), 07(03):147-ap.
Sastrowijoto, S.
Lihat, Ulfah, N.M.
Siswanto
Pendekatan Politik sebagai Strategi dalam Advokasi Pembangunan Kesehatan, 07(04): 181-mk.
Sjabana, D.
Penggunaan Indikator WHO untuk Memonitor Implementasi Kebijakan Obat Nasional (Hubungan antara
Karakter Negara dan Indikator Latar Belakang, Struktur, Proses, dan Keluaran), 07(02): 69-ap.
Sunarsih, I.M.
Kartu Diteksi Dini Kanker untuk Keluarga. Sebuah Model Kartu Diteksi Dini Penyakit, 07(04):177-tr.
Lihat, Ismedsyah.
Sunartini
Lihat, Meliala.
Supardi, S.
Lihat, Ratna, W.
239
Indeks
Suryawati, C.
Kepuasan Pasien Rumah Sakit (Tinjauan Teoritis dan Penerapannya pada Penelitian, 07(04): 189-mk.
Suryawati, S.
Lihat, Masirri, H.
Lihat, Sjabana, D.
Lihat, Yudatiningsih, I.
Trisnantoro, L.
Badan Layanan Umum (BLU) sebagai Bentuk Hukum Organisasi Rumah Sakit Pemerintah yang Bersifat
Lembaga Nonprofit, 07(01):1-tr.
Lihat, Akhirani
Ulfah, N.M.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Peresepan Obat Generik di Instalasi Rawat Jalan RSUP Dr. Sardjito,
07(02):75-ap.
Utarini, A.
Alternatif Strategi Pelaksanaan Peran Regulasi pascaDesentralisasi di Daerah, 07(02):61-mk.
Widnjani, I. A. K
Hubungan Besaran IUR Biaya dengan Kepuasan Peserta Askes di Rumah Sakit Umum Wangaya,
07(03):141-ap.
Yudatiningsih, I.
Pengaruh Umpan Balik Dampak Monitoring-Training-Planning (MTP) dalam Pengobatan ISPA di
Puskesmas Kabupaten Sleman, 07(01):41-ap.
240