Anda di halaman 1dari 2

Calempong Yang Tak Lagi Bertingkah

Oleh: Derichard H. Putra*

Catatan dari Ekspedisi Kebudayaan Sungai Siak

Sayup-sayup, suara itu seperti hari langsung dalam pesta nikah kawin.
Hanya dalam beberapa menit saja, beberapa penduduk kampung berdatangan
mendekat, mereka membentuk sebuah lingkuran, mengelilingi seseorang yang
lagi bersemangat sedang memainkan beberapa alat-alat musik tradisonal.
Beberapa tim ekspedisi terlihat sibuk dengan peralatan masing-masing, tidak
menginginkan moment yang berharga itu hilang begitu saja.
“Anak-anak sini sudah tidak mau lagi berlajar calempong, mereka lebih
tertarik belajar kibord (keyboard-pen), padahal alat-alat ini tergelatak begitu saja
di rumah. Jika mau sayapun siap mengajari mereka”.
Lelaki tua yang memainkan musik tradisonal tadi memandang kami dengan
tatapan kosong, tangan lihainya yang dari tadi selalu bergerak lincah tampak
diam sejenak. Suasasana senyap seketika. Angota tim ekspedisipun saling
berpandangan, beberapa penduduk juga menatap lelaki bersahaja itu. Seperti
kami, mungkin mereka juga berharap apa lagi yang akan dilakukan Sang Pemain
musik itu.
“Saya takut, suatu hari nanti calempong tidak dikenal lagi oleh anak-anak
kami, saya sudah tua, siapa lagi pengganti saya”.
Kekuatiran kakek yang memiliki banyak cucu ini bukanya tanpa alasan.
Sejak musik modern ‘merajai’ kampung mereka, calompong yang sudah ratusan
tahun keberadaanya di kampung mereka dalam waktu yang tidak berapa lama
lagi tentu akan hilang ditelan bumi. Tidak ada lagi yang bisa memainkanya.
Pak Tanaka, 60 tahun, adalah satu-satunya penduduk di Kampung
Bakuang Bagondang yang sampai hari ini masih memainkan peralatan musik
calempong. Kami bertemu dengannya seusai ia membersihkan surau di depan
rumahnya, saat kami baru saja mendarat di tepian mandi miliknya. Setelah
mengucapkan salam dan mejelaskan maksud kedatangan kami, Pak Tanaka
dengan bersemangat bercerita tentang kampung dan alat-alat musik miliknya.
“Bapak jemput dulu ya, nanti bisa di foto?”, ujarnya ramah.
Setelah dikeluarkan, Pak Tanaka pun tanpa canggung memainkan
peralatan musik itu, beberapa penduduk kampung yang mendengar langsung
mendekat, tim ekspedi juga terkesima dengn musik yang dimainkannya.
“Calempong ini memiliki 6 anak, 5 buah di antaranya disebut anak
calompong, dan yang ini disebut calempong tingkah, sebetulnya calempong
sendiri ada 4 jenis”, tuturnya sambil memegang calempong tersebut dan
melihatkannya kepada penulis.
Lebih lanjut, imam surau di Bakuang Bagondang ini bercerita, ia belajar
memainkan calempong dari ayahnya yang juga pemain calempong. Sang Ayah
juga belajar dari ayahnya atau kakek Pak Tanaka. Keahlian memainkan
calompong menjadi budaya yang turun-temurun dari nenek moyang mereka.
“Tapi sayang, anak saya tidak lagi mau belajar (calempong-pen)”, ujarnya
sedih.
Dulu, ketika penduduk belum mengenal kibord. Mereka selalu diundang
dalam acara-acara nikah kawin, sunat rasul, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang
ada di kampung mereka. Aktivitas Pak Tanaka bersama teman-temannya sehari-
hari tidak lepas dari peralatan musik tradisional itu. Mereka tidak hanya diundang
oleh masyarakat di kampungnya tetapi juga di kampung-kampung tetangga yang
tidak jauh dari kampung mereka.
“Kalau memainkan calempong, juga harus dimainkan gendang dan gong,
dulu pemainnya adalah teman-teman yang sebaya dengan Bapak, tapi sekarang
mereka sudah tidak lagi”, kenang Pak Tanaka.
Kampung Bakung Bagondang terletak di posisi Lintang Utara 00053.159’
dan Lintang Selatan E 101036.188’ Desa Sei Mandau Kec. Sei Mandau
Kabupaten Siak Sri Indrapura. Sama seperti Kampung Bakuang Bagondang
yang terdapat di aliran Sungai Tapung Kanan, asal mula nama kampung ini juga
berasal dari 3 pohong bakung yang berderet di pinggiran Sungai Mandau yang
selalu berbunyi seperti bagondang (bergendang-pen) ketika menjelang magrib
tiba. Lama-kelamaan penduduk menyebut tempat tersebut dengan Bakuang
Bagondang.
Pak Tanaka melepas kepergian kami dari ‘dermaga kecil’ miliknya,
perjalanan menyusuri Sungai Mandau kembali dilanjutkan, ia masih
melambaikan tangan sebelum akhirnya hilang dibelokan sungai. Saya masih
ingat lirih Pak Tanaka ketika ditanyakan pekerjaannya.
“Seperti biasa, selepas membersihkan surau, Bapak ke kebun karet, tidak
lagi bermain calempong, sebab tidak ada lagi yang mau mendengar
tingkahnya”.*** (Juni 2010) www.derichardhputra.blogspot.com.

*Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Antropologi Universitas Gadja Mada


Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai